Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kontemplasi. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus

Malam itu, tepat usai tahun baru, pada 02 Januari 2019, adalah awal kedatangan saya pindah pesantren ke Kaliwates Jember. Ialah setiap hari bagi santri baru adalah hari-hari yang baru.

Tapi sesuatu disebut baru apalagi santri mampu dan dapat terus tumbuh beradaptasi dengan harapan dan impian yang mengitari lingkungan kehidupan sekitarnya. Itu sesuatu yang rumit dan butuh adaptasi panjang mengikuti alur kehidupan.

Tapi apapun tantangannya sebagai santri baru memaksa dirinya harus beradaptasi dan sebisa mungkin mengerti keadaan atau peluang kesempatan belajar. Dengan peluang kesempatan itulah ia dapat tumbuh dan terus belajar memperbaharui diri yang baru dari diri yang pernah layu.

***

Setelah setengah tahun berada di pesantren pikiran kembali melayang-layang terkait keputusan melanjutkan kuliah. Harapan itu tak pernah surut bergulat dengan peristiwa tiap hari ketika santri lewat depan kamar saat saya berdiam diri di kamar sendirian melamun tentang pendidikan masa depan. Suatu impian masa depan yang tak pernah gampang ditaklukkan. Begitu bisikan hati dan pikiran berkecamuk kacau setelah melewati penolakan kampus berkali-kali saat saya coba mendaftar kuliah.

Anda tahu, ditolak kampus berkali-kali ketika itu jauh lebih menyakitkan ketimbang ditolak perempuan mengajak pacaran. Itu pengalaman paling berpengaruh besar dalam perjalanan saya selanjutnya, dan bagaimana saya menyikapi persoalan kehidupan mendatang yang mungkin akan jauh lebih mencekam memecahkan onggokan batu besar di tengah jalan.

Saya merasa pada waktu itu seperti berada dalam kondisi terendah, berada dalam kondisi diambang putus asa, dan memang setiap orang akan mengalami fase pengalaman terendah, bukan dalam arti ia paling terendah dari sekian banyak manusia, melainkan titik terendah dalam arti melewati proses tantangan mencekam melewati persoalan kehidupan yang mungkin taruhannya ialah impian dan nyawa.

Saya pernah berada dalam kondisi diambang putus asa seperti itu. Satu pengalamannya ialah ketika memperjuangkan hak pendidikan yang sempat terlunta-lunta dan ditolak kampus berkali-kali. Kira-kira catatan proses penolakan kampus itu jika ditulis pengalamannya seperti ini alurnya.

Percobaan pertama pendaftaran kuliah.

Pada malam hari itu saya membuka website pendaftaran kampus dan ternyata dalam laman resmi tertera bahwa ijazah saya sudah kadaluwarsa. Artinya kampus hanya menerima ijazah angkatan kelulusan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan. Sementara ijazah saya tidak masuk dalam bagian ketentuan tersebut.

Akhirnya saya menghubungi pihak kampus lewat email dan dibalas oleh pihak kampus. "Maaf, kami hanya menerima angkatan mahasiswa baru sesuai ketentuan aturan". Pikiran saya langsung pening setelah sekian hari menunggu balasan email dan mendapatkan jawaban menyakitkan dan mendiskreditkan yang entah apa maksud dan fungsi aturan seperti itu.

Percobaan kedua pendaftaran kuliah.

Saya mencoba klarifikasi langsung ke pihak kampus di bagian rektorat pusat dan menanyakan hal serupa namun saya bumbui pertanyaan lain dengan perbandingan, "Mengapa kampus PTKIN lain seperti UINSA masih menerima ijazah angkatan 2016, sementara kampus di sini tidak menerima?"

Pihak kampus menjawab seenaknya. "Ya ... Mas kalau begitu daftar kampus di sana saja". Kendang telinga saya langsung pecah, mata saya bergocoh dengan raut muka monster.

Percobaan ketiga pendaftaran kuliah.

Saya menanyakan banyak hal kepada kawan para aktivis kampus bagaimana sekiranya saya bisa mendaftar kuliah, barangkali mereka bisa membantu dan mencarikan orang petinggi kampus yang bisa saya temui untuk bernegosiasi, saya ingin menyampaikan maksud baik saya untuk belajar, tetapi rupanya para kawan aktivis kampus itu tidak punya relasi ke arah situ. Akhirnya negosiasi buntu.

Percobaan keempat pendaftaran kuliah.

Kabar bahwa saya ingin melanjutkan kuliah ternyata tersebar di keluarga pesantren, tempat di mana saya bermukim diri mengajar para santri. Pengasuh pesantren jadi dosen. Akhirnya, oleh pengasuh, saya dibantu dan dicarikan jalan bagaimana supaya saya terdaftar kuliah namun tetap saja tidak bisa oleh sebab aturan yang ada katanya.

Keluarga pesantren sempat juga menawarkan saya kuliah di luar negeri tetapi saya langsung memohon maaf. "Sempat punya impian kuliah ke luar negeri, Gus. Cuma pihak keluarga tidak mengizinkan kalau terlalu jauh," curhat saya. "Dalam negeri saja saya maksa ke orangtua tetapi tetap tidak bisa. Tahun ini baru saya mengajukan lagi mau kuliah, baru diizinkan oleh Ibu".

Kabar bahwa saya ingin kuliah itu makin menyebar di kalangan guru SD tempat saya mengajar alquran pada waktu pagi. Salah satu Ustadzah Hafizah ternyata suaminya dosen syari'ah di kampus. Ia membantu saya mencarikan jalan lewat jalur salah satu dekan. Yaitu suaminya itu. Tapi tetap suaminya tidak punya otoritas wewenang mengubah aturan yang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Hafizah. Ia kemudian menawarkan kampus di tempat lain namun saya katakan keluarga setujunya kuliah di tempat kelahiran saja. Ustadzah Hafizah itu paham kondisi batin seorang Ibu dan menasehati saya agar bersabar supaya menemukan jalan keluar. Siapa tahu masih ada jalan harapan, katanya.

Anda tahu, bukan; bahwa memupuk harapan berarti harus menyiapkan diri menghadapi kekecewaan. Sejak harapan kuliah pupus di tengah jalan berkali-kali, dalam diri saya seperti ada perasaan kecewa dan putus asa, bukan saja pada diri sendiri maupun pada orang yang telah mengkhianati, melainkan juga kepada orangtua sebab sejak lama saya sudah meminta izin kuliah kepada orangtua, khususnya Ibu, namun tidak diperkenalkan oleh keluarga. Setelah saya empat tahun lulus sekolah menengah, baru kemudian orangtua mengizinkan saya kuliah.

Apa itu tidak membuang-buang waktu namanya?

Karena itu, sebetulnya saya sempat malas hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebab saya sudah telat cukup lama. Namun karena lingkungan menghidupkan impian lama, secercah harapan kuliah tak pernah lepas dalam pikiran.

Penampakan santri kuliahan saban hari mondar-mandir depan kamar saya tiap pulang kampus, menyadarkan dan membangunkan tidur panjang saya menuntut hak menempuh pendidikan perguruan tinggi.

***

Pada 29 Juli 2019 ialah tepat penutupan akhir pendaftaran kampus. Saya mendaftarkan diri setelah menemukan jalan terang lewat proses komunikasi salah satu panitia penyelenggara. (Tentang bagian ini kita cerita di lain waktu dan melihat bagaimana rezeki itu bekerja sesuai rencana yang maha kuasa). Pada proses ini banyak orang-orang baik membantu saya menyiapkan segala kebutuhan pendaftaran kampus, termasuk biaya. Saya tidak akan melupakan kontribusi orang-orang baik itu seperti tertulis dalam catatan lalu di sini.

Pada 31 Juli 2019 ialah waktu tes ujian pendaftaran kampus. Saya tidak belajar sama sekali sebab waktu terlampau singkat dan saya memilih membaca buku-buku apa saja yang akan saya pelajari di bangku kuliah nanti. Saya punya keyakinan kuat bahwa saya akan diterima sebagai mahasiswa sebab program studi yang saya ambil adalah tergolong baru dan sepi peminat. Karena itu saya yakin saja. Pasti diterima, kata teman saya. Dan benar. Pernyataan dan keyakinan kuat itu tidak meleset barang sedikit pun.

Rabu, 05 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Hak Pendidikan

Ibu sebetulnya tidak ingin aku kuliah. Ibu lebih senang jika aku mondok saja atau mengajar atau bekerja sambil menabung pundi-pundi rupiah. Entah mengapa Ibu tidak menginginkan aku kuliah. Ibu tidak memberi alasan jelas dan masuk akal.

Tetapi, lambat laun, aku paham mengapa Ibu, lebih tepatnya, tidak mengizinkan aku kuliah: semasa sekolah menengah aku sering telat bayar tagihan (selain sering telat masuk sekolah) bahkan hampir tidak bisa ikut ujian nasional lantaran tak bisa bayar cicilan dan, oleh Ibu guru, aku dan kawan-kawan senasib, dimarahi dan dipermalukan di depan kelas, hanya karena telat bayar tagihan sekolah. Begitu teganya guru semacam itu. Dimana letak keadilan dan kebijaksaan dalam hati guru semacam itu?

Aku bersyukur pada waktu itu masih ada guru yang punya hati manusiawi dan memberi kelonggaran waktu untuk kami bisa ikut ujian nasional dan kami, para siswa-siswi miskin itu, terpaksa diluluskan.
***
Delapan bulan setelah dinyatakan lulus SMA, sekitar Mei 2016, aku sempat bilang kepada Ibu kalau aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun tidak diizinkan, akhirnya aku minta izin kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pondok saja; tetapi rupanya Ibu masih tetap bersikukuh tidak mengizinkan aku pindah, apalagi kuliah.

Aku kesal kepada Ibu. Marah. Mengutuk diri. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa anak muda lain bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sementara aku tidak bisa dan tidak diizinkan? Rerumputan dan bebatuan di sekitar tempat aku berdiam diri merenung tidak menjawab, tanaman padi hanya bergoyang-goyang kesana kemari mengikuti hembusan angin sore hari.

Aku segera sadar dan paham bahwa ada keterbatasan dalam kehidupan yang aku jalani. Itulah kenapa sewaktu sekolah aku sering telat bayar tagihan, menjanjikan akan bayar setelah punya rezeki, dan tak jarang aku meminta tenggat waktu kepada Bapak Ibu guru untuk bisa melunasi cicilan tagihan hingga bulan depan.

Tetapi keterbatasan tidak berarti bahwa aku tidak punya hak melanjutkan pendidikan bukan? Begitu aku coba berpikir positif menatap masa depan di suatu sore pada saat masih di pondok.

Selepas sekolah itu aku coba bernegosiasi kembali pada saat Ibu dan Bapak menjenguk aku di pesantren, dan aku bilang bahwa aku tidak bisa terus menerus menghafal Alquran di sini. Pesantren awal tempat aku belajar. Aku bilang sekali lagi kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pesantren lain, aku butuh sistem sosial pendukung agar aku bisa berkonsentrasi pada saat menghafal Alquran. Moga-moga ibu mengerti maksud baik aku kali ini.

Pindah dan Kembali Lagi ke Pesantren Lama Sebentar

Pada keputusannya Ibu mengerti maksud baik aku dan membolehkan aku pindah ke pesantren lain di Semarang. Akhirnya, pada Jum'at 12 Januari 2017, aku jadi berangkat ke kota lawang sewu tersebut. Itu diizinkan karena di kota sana ada teman pondok; juga karena mendapat beasiswa; dan juga karena terlanjur mendaftar jadi calon santri baru program menghafal Alquran dalam waktu satu tahun.

Pada 02 Februari 2018 ialah kepulangan aku dari tanah rantau training menghafal Alquran di Semarang itu. Aku memutuskan kembali ke pesantren semula, mengabdikan diri di sana sampai ramadan tiba. Tujuan aku kembali ke pesantren semula, selain tetap belajar dan mengabdi diri kepada ilmu dan guru, ialah membenahi apa yang belum selesai aku kerjakan, menata tugas yang diberikan kiai, dan menyerahkan perpindahan tugas kepada santri senior sebelum akhirnya aku pindah belajar ke tempat lain.

Wajah Penyesalan dan Kegagalan Kuliah

Setelah boyong dari pesantren awal, aku mengukuhkan diri kembali memperjuangkan kuliah, tetapi aku tetap gagal. Kegagalan kali ini cukup membekas dalam kehidupanku dan memupuk hati nurani aku pada satu prinsip tegas: setiap warganegara (tanpa memandang latar apa pun) punya hak yang sama dalam menempuh pendidikan, menikmati akses pendidikan bermutu hingga ke perguruan tinggi.

Ceritanya ada "orang dalam" menawarkan aku kuliah dengan jaminan beasiswa di suatu daerah luar Jawa; syaratnya aku harus sambil bantu mengajar di yayasan miliknya. Keluarga mengizinkan. Itu berarti aku diperkenankan kuliah di luar Jawa. Sesuatu mustahil sebetulnya, mengingat keluarga sebelumnya tidak setuju jika aku kuliah terlalu jauh. Tetapi bagaimana pun aku harus tetap kuliah.

Lagi-lagi aku berpikir positif dan mungkin ini jalan terbaik yang harus aku tempuh, kendati perjalanan cukup jauh.

Sebelum keberangkatan aku menanyakan apakah di daerah kampus sana ada program studi yang aku minati; dan pihak sana menjawab ada. Oleh karena katanya ada, sebelum keberangkatan aku menyiapkan segala berkas administrasi pendaftaran kuliah, melunasi tanggungan ijazah sekolah dan kebutuhan lainnya. Berangkatlah aku ke daerah yang dituju, tetapi sesampainya di sana aku mendapat kebohongan janji. Alih-alih mendapat beasiswa, kekesalan dalam dada setiap hari menyala-nyala.

Itu terbukti saat aku berada di sana selama tiga bulan. Dan paham betul karakter "orang dalam" yang membawa aku sampai ke sana. Ah ... aku tak mau mengungkit masa lalu kelam tersebut. Aku muak mengingat perlakuannya terhadap guru-guru lain yang sebagian haknya tak diberi, padahal guru itu begitu berjasa dan berbakti sepenuh hati mengajar anak didik yang dititipkannya. Namun kebaikan guru terkadang banyak dimanfaatkan. Karena itu aku pulang dan kembali ke kampung halaman.

Di satu pihak aku menyesal sebab waktu emas aku terbuang begitu saja, di pihak lain aku bahagia sebab aku bisa keluar dari lingkungan penjara. Waktu itu aku hanya bisa berdoa. Moga-moga Tuhan menggantikan sesuatu yang paling berharga dan mengabulkan permintaan doa hambanya.

Dan doa-doa itu betul-betul terkabul bahwa aku mendapat sesuatu yang lebih berharga. Aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang selama ini aku impikan, kendati perjalanan awal itu cukup terjal seperti melewati onggokan batu besar menghadang pengguna jalan. Dan aku memecahkan onggokan batu besar itu di tengah perjalanan, kendati aku sempat putus asa karena mustahil bisa melewati tantangan itu semua.

Kembali ke Pesantren Lagi: Secercah Harapan Kuliah

Aku akan menceritakan semua perjalanan memecahkan onggokan batu besar itu. Karena itu simak baik-baik, ya.

Itu sejak kakak dan istrinya menawarkan aku untuk bantu mengajar Alquran lagi di suatu pesantren daerah Kaliwates, Jember. Aku berkenan dan keluarga mengizinkan. Akhirnya aku meniatkan diri dalam kebaikan, tidak hanya bantu mengajar sebetulnya, tetapi lebih kepada belajar kembali menjadi santri. Itu artinya aku ingin menjadi santri baru dan belajar hal-hal baru lagi. 

Aku merasa bahwa pesantren ini seperti jalan terang kesempatan meraih harapan. Awalnya, pada saat keberangkatan dan sampai di pesantren tempat aku akan mengajar santri, perasaan antara lima puluh persen akan betah dan lima puluh persen tidak akan betah menyelimuti diri. Namun sejak masuk kamar yang disediakan pengurus pondok itu aku langsung seratus persen betah; sebab, dalam ruangan berukuran tiga kali lima meter itu, kamar itu disesaki buku-buku bermutu.

"Kalau ustad suka baca buku, silakan buku-buku itu boleh dibaca sepuasnya," kata pengurus yang menemani aku malam itu.

Aku senang sekali atas tawarannya dan bertanya kepada pengurus itu; punya siapa buku-buku bagus sebanyak itu, dan pengurus bilang bahwa buku-buku itu milik adiknya Gus; yang waktu itu masih kuliah pada program studi sejarah di Jember. Ia juga bilang bahwa kebanyakan santri di sini masih sekolah madrasah aliyah dan sebagian lain masih kuliah di IAIN Jember.

Anda tahu, perasaan aku yang awalnya kendor mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena sudah empat tahun sejak aku lulus sekolah ketika  itu juga membuncah kembali; semangat itu berkoar-koar setiap kali melihat sebagian santri kuliahan lewat depan kamarku, dan aku bertanya habis dari mana,  kata mereka baru datang kuliah.

Lagi-lagi aku ingin kuliah. Aku ingin hak aku sebagai warganegara, sebagai sesama anak bangsa terpenuhi; sebab pendidikan adalah hak semua anak bangsa, entah bagaimana caranya aku akan menuntut hak itu bahwa aku harus kuliah tahun ini! (Tentang kelanjutan cerita ini baca: Memoar Kuliah(2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik). 

Selasa, 04 Juni 2024 0 Komentar

Tembok

Tembok, pikir mahasiswa yang duduk menggenggam buku sastra di dalam kelas. Jika keadaan kuliah kini membosankan, dia sering merasa bahwa dirinya adalah tembok.

Seandainya kehidupan kampus layaknya lautan, dia akan mengarungi samudra, bercumbu dengan gelombang ombak, bermain dengan ikan-ikan, dan mengendalikan perahu layar yang mungkin sewaktu-waktu akan menenggelamkan dirinya, dan dia sigap mengambil tindakan di laut lepas itu. Tapi kini dia berada dalam kampus, kehidupan yang dirasakannya sepi diskusi dua tahun terakhir ini bagaikan tembok: memberi sekat, mengejar prestise akreditasi, mengajar kecerdasan teknokratis, menghambat kreatifitas, memenjara imajinasi, dan membelenggu kemanusiaan mahasiswa.

"Aku akan pulang," pikirnya saat menginjak semester akhir di teras kampus itu mengurusi berkas-berkas, dan dia membayangkan nasib orang-orang miskin terhantar di desanya. "Aku rindu kehidupan desa," batinnya. "Aku ingin menyuapi sebutir nasi di mulut keriput Mak yang sedang terbaring sakit, membantu Bapak di ladang milik orang kaya, dan menemani adik belajar membaca yang baru masuk SD dua bulan lalu."

***

Setelah empat tahun lalu lulus, mahasiswa itu melipat jubah kesarjanaannya, membaurkan diri bersama masyarakat di kampung halamannya, dan mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Satu minggu berada di kampung halaman, kini dia dan bapaknya berada di tengah sawah, matahari menyetrika punggungnya, pilu keringat mengguyur sekujur tubuhnya yang kini mulai tak lagi gagah seperti dulu berada di kampus, dan dia tetap gemar membaca buku sastra; sebab buku sastra baginya adalah pelangi kehidupan itu sendiri.[]

Jumat, 10 Mei 2024 0 Komentar

Apa Tujuan Kita Saling Mencintai dalam Ikatan Pernikahan?

Saya kok tiba-tiba gatal ingin membahas tujuan pernikahan dan kaitan menafsir puisi masyhur Eyang Sapardi ini ya.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Barangkali kita perlu duduk sejenak untuk memikirkan ulang tujuan sebuah pernikahan. (Khususnya yang belum menikah atau boleh juga yang sudah menikah karena tersesat di tengah jalan misalnya). Sebab kadangkala kita lupa apa tujuan pengambilan keputusan dalam institusi pernikahan. Seolah-olah tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan ialah kebahagiaan. Begitukah tepatnya?

***
Sebagian pembaca menangkap puisi itu ala kadarnya: cinta bertepuk sebelah tangan atau cinta yang tak direstui atau nada tafsir serupa lainnya. Padahal maknanya, menurut tinjauan analisis saya sebagai penggemar puisi bagus, tidak sesederhana itu.

Mari coba kita bedah kemungkinan lain makna mendalam puisi masyhur itu.

Saya menangkap makna puisi ini sebentuk pembuktian cinta sejati, sebentuk pembuktian cinta ilaihi dua insan, sebagai suatu ungkapan "yang tak sempat diucapkan" Kasih (K: besar) yang telah, atau pasti, sampai pada maut, pada akhir kehidupannya.

Dalam ketidakmampuan mengungkapkan isi hatinya itulah Kasih mengibaratkan perasaan kekasih yang, atau akan, ditinggalkannya seperti kayu yang menyerahkan diri kepada api; seperti awan kepada hujan. Karena itu, katanya, "aku ingin mencintaimu dengan sederhana" saja, meskipun tidak sesederhana itu pada kenyataannya.

Seolah-olah Kasih yang telah, atau akan, meninggal itu ingin mengatakan demikian. Coba perhatikan pada bait pertama.

"kayu kepada api yang menjadikannya abu"

Kamu berkobar tanpa aku. Kamu harus tetap hidup meski tanpa aku. Begitulah kayu kepada api. Kayu yang tampak kokoh akan menjadi abu tak kala kamu semakin berkobar dilahap api kesedihan. Semakin berkobarnya kamu, semakin aku tiada.

Kemudian semakin terang maknanya pada bait berikutnya.

"awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"

Kamu deras tanpa aku. Kamu harus tetap bahagia meski hidup tanpa aku. Begitulah awan kepada hujan. Awan yang tampak kelabu akan semakin deras tak kala kamu menangis dikoyak hujan kesedihan. Semakin menangis kamu, semakin aku deras. Begitupun kamu sayang. Seolah-olah begitu, aih.

Lalu apa tujuan kita saling mencintai dalam ikatan sebuah pernikahan jika pada ujung ceritanya perpisahan?

Secara spontan kebanyakan orang akan menjawab adalah kebahagiaan. Bagi saya bukan. Tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan bukan kebahagiaan, melainkan mempersiapkan pasangan satu sama lain untuk mampu berdiri tegak bertahan hidup meski kelak akan berpisah. Berpisah dimaksud hanya sekadar perpisahan secara jasmani, sementara secara rohani pada hakikatnya kita tidak pernah berpisah; sebab kerajaan kita bukan di dunia, melainkan di akhirat. 

Puisi Eyang Sapardi ingin mengungkapkan makna cinta yang tersirat semacam itu. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ..." Meski kita tahu mencintai tidak sesederhana itu. 

Bukankah setelah kepergian Kasih yang kita cintai itu akan tetap melekat abadi dalam kenangan hati dan pikiran? Bukankah begitu keimanan kita dalam perjanjian agung bersama Allah di hadapan bapak penghulu itu?[]

Selasa, 05 Maret 2024 0 Komentar

Doa Ibu

Saya berdoa moga-moga semua doa Ibu dikabulkan oleh Tuhan; sebab saya tahu bahwa Ibu saya mendoakan saya dalam kebaikan. Misalnya Ibu sering berdoa agar anaknya mendapat jodoh yang shalihah, sesuatu yang sering didengungkan oleh Ibu pada suatu kesempatan duduk bersama dikala menikmati suasana hujan turun dari langit sore menjelang malam itu, dan saya mengaminkan dalam hati, diam-diam, moga-moga semua doa Ibu dikabulkan Tuhan. Amin ... 
Senin, 20 Maret 2023 0 Komentar

Proses Menjadi Manusia


Pengalaman yang kita serap dan masuk ke alam pikiran dan perasaan menjadi produk tindakan-tindakan kita dalam menanggapi suatu hal (baca: problem kehidupan) atas dua fungsi tersebut. Apabila satu di antara keduanya tidak berfungsi, maka yang akan terjadi adalah emosi. Benar atau tidaknya penyataan ini hanya berdasar pada pengalaman pribadi, namun saya ingin membubuhinya dengan teori neo-psikoanalisis Alfred Adler.

Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. Mungkin kita pernah memiliki cerita dan pengalaman yang sama. Mari kita saling belajar dan berproses menjadi manusia bersama-sama …

Sekadar berbagi cerita. Sejak kecil oleh kedua orangtua saya dididik kasar. Lebih-lebih ibu. Namun pada waktu-waktu tenang dan bahagia orangtua mendidik saya dengan kasih sayang dan orang lain pun saya perlakukan dengan kasih sayang (implikasi dari didikan orangtua tersebut). Maka tidak heran kemudian terkadang saya melakukan tindakan-tindakan kasar bahkan kepada orang lain. Pun sebaliknya: Perlakukan saya terhadap orangtua dan orang lain dengan kasih sayang—meskipun sangat minim sekali.

Sekali waktu, pernah saya tak mau mengikuti perintah orangtua. Saya menolak dan memberontak karena tidak ingin mengaji al-Qur’an. Alasan saya—dan ini tidak dimengerti orangtua pada waktu itu; terutama ibu—bahwa saya mendapat diskriminasi oleh kawan bahkan saudara sendiri karena saya tidak lancar mengaji.

Alasan lain mengapa saya menolak dan tidak mau mengaji adalah di tempat mengaji pun saya sering mendapat perlakukan kurang enak oleh guru. Oleh guru ngaji telinga saya sering dijewer dan saya menangis dan kesakitan lantaran tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Saya malu dan tidak ingin mengaji al-Qur’an lagi.

Lalu kini saya membayangkan dan mencoba merefleksikan ulang atas pengalaman-pengalaman masa kecil itu ke dalam kondisi kehidupan saya saat ini. Bahwa terkadang saya merasa rendah diri dihadapan orang lain. Kerendahan diri ini yang membuat saya emosional untuk mencapai kemampuan orang lain; jika orang lain memperlakukan saya semena-mena.

Bahwa terkadang saya kehilangan nalar sehat dan perasaan manakala bertindak kasar pada suatu waktu tertentu—baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Saya kehilangan kontrol emosional ketika fungsi perasaan dan pikiran sehat itu tidak bisa dikendalikan pada waktu bersamaan.

Tak heran apabila pada suatu ketika saya pernah diperlakukan oleh kawan sendiri dengan tidak “tidak semestinya”, saya marah besar dan emosi saya meluap-luap hingga kehilangan kontrol emosional; bahkan kepada orang lain yang sebelumnya tidak berseteru dengan saya. Tindakan saya seperti percikan api yang bisa melahap dan membakar benda apapun.

Meskipun emosi saya belum sampai pada tahap memaki-memaki dan menjambak rambutnya dan menjotos mukanya, hanya adu mulut saja, saya merasa bahwa ada yang salah dengan tindakan saya setelah perseteruan itu reda.

Saya merasakan mestinya pada waktu itu tidak seharusnya saya terlampau bertindak kasar kepada kawan saya itu. Tapi tindakan saya sudah terlampau berlebihan menanggapi suatu hal tersebut. Saya menyesal dan mengoreksi apa yang telah terjadi pada diri saya hingga menjadi serigala bagi orang lain.

Saya sadar dan menyadari bahwa saya kehilangan satu atau dua fungsi ini: Akal sehat dan perasaan kasih sayang kepada orang lain dalam mencerna permasalahan yang terjadi. 

Apa yang saya lakukan adalah bahwa saya terlampau mengedepankan satu di antara kedua fungsi tersebut dan melupakan kedua fungsi tersebut—yang semestinya dikelola secara seimbang namun karena ketidakmampuan mengolah dua fungsi tersebut—sehingga yang keluar hanyalah emosi berlebihan dan tidak terkontrol atas dua peranan ini: akal sehat dan perasaan.

Inilah mungkin yang dimaksud oleh Alfred Adler apa yang disebut kepribadian superior. Adalah sebuah kepribadian untuk menciptakan kekuatan diri yang mengharapkan kemampuan dan kemapanan serta kesuksesan yang sama; tujuannya adalah untuk menutupi kerendahan diri dihadapan orang lain tadi.

Cerita lain sebaliknya. Pada suatu waktu saya mengobrol dengan kawan (bukan kawan yang dimaksud cerita awal). Disadari atau tidak bahwa ternyata obrolan receh saya menyinggung perasaan mitra lawan bicara dan membuat kawan itu kehilangan nalar sehat dalam mencerna maksud dan tujuan saya mengucapkan kalimat-kalimat itu yang saya semburkan ke telinganya.

Dia emosi. Dia mengumpat. Amarahnya meluap-luap persis seperti luapan emosi yang saya ceritakan di awal. Kedua kasus cerita itu mungkin saling kehilangan dua fungsi ini: Pikiran sehat dan perasaan jernih.

Padahal maksud saya tidak seperti apa yang dipersepsi oleh pikiran dan perasaan kawan saya tersebut. Maksud saya adalah begini … dan mitra lawan bicara saya menanggapi begitu … 

Tetapi ya sudahlah nasi telah jadi bubur.

Kesimpulan dua cerita pengalaman ini adalah saya cenderung menyalahkan orang jika orang lain memperlakukan saya “tidak semestinya”. Pun sebaliknya: Perlakuan saya kepada orang lain yang “tidak semestinya” pasti pula menyalahkan. 

Mungkin ini adalah cara pandang kepribadian seseorang memandang sebuah kehidupan yang menjadi gaya hidupnya. Seseorang cenderung menyalahkan orang lain; sementara kesalahan diri sendiri luput koreksi dari dirinya sendiri.

Konon—menurut cerita banyak orang—perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding pikiran. Sementara lelaki sebaliknya: lebih mengedepankan pikiran dibanding perasaan. Benar atau tidak menurut anggapan ini, kiranya perlu telaah ulang agar tidak sesat pikir dan menyesatkan pikiran orang lain.

Terlepas penyataan di atas (maksudnya anggapan kontradiktif tentang perasaan lelaki dan perempuan) pada kasus cerita pertama dan kedua atas pengalaman saya di atas bisa dibaca bahwa terkadang antara perasaan dan pikiran sehat lelaki dan perempuan memiliki pengelolaan emosi yang nyaris sulit diprediksi kapan perasaan harus dikedepankan dan kapan pula pikiran sehat diutamakan.

Kedua kasus itu mengindikasikan bahwa kedua fungsi itu harus sejalan secara bersamaan manakala kita dipertemukan pada sebuah kasus yang membuat diri kita nyaris kehilangan kontrol emosi. Kasus demikian hampir melibatkan banyak orang. Namun bagi orang yang paham mengolah fungsi perasaan dan pikiran ini membuat orang tersebut bijak dalam menanggapi suatu hal yang mengusik emosionalnya.

Sejak saya menyadari bahwa ada kekurangan dalam diri saya— juga orang lain tentu saja—dalam mengontrol emosional, pada saat itulah kesadaran belajar mengolah emosi adalah sebuah proses keniscayaan. Dan saya bisa menerima berbagai macam jenis manusia di planet bumi ini. Kreatifitas cara pandang demikianlah yang menuntun seseorang bergerak dari sebelumnya bringas kemudian menyadari sebuah kesalahan diri yang pernah dilakukannya; sehingga kita lebih optimistis menatap masa depan lebih baik lagi.

Pertama-tama saya harus sadar dan menyadari bahwa ada kekurangan pada setiap diri seseorang—baik saya maupun orang lain–dan keistimewaan tersembunyi yang menuntun seseorang tersebut berperilaku sesuai minat sosial.

Dengan cara itu saya—dan kita semua—belajar dan saling mempelajari kekurangan dan kelebihan kita masing-masing dan bagaimana menerima perbedaan sikap pada setiap kita yang sedang berproses menjadi manusia seutuhnya.

Memang demikianlah karakter manusia bahwa pada dasarnya proses menjadi manusia itulah paling sulit dalam hidup ini. Namun kita tak pernah lupa bukan, kalau kita hidup untuk terus saling belajar dari kesalahan-kesalahan?
Sabtu, 18 Maret 2023 0 Komentar

Di Musala itu ...

Ibu mengatakan, sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua tepat pada hari ke 17 ramadan 2021, setelah sebelumnya kami mengecewakan permintaannya untuk salat tarawih di musala, bahwa menjadi santri adalah tanggungjawab ananda kepada Tuhan yang menciptakan kita. Seberapa pun tinggi ilmu ananda peroleh di pesantren itu jikalau ilmu ananda tak membuahkan akhlak sama seperti tanaman padi yang gagal menjadi nasi, ucapnya sebelum sujud terakhirnya di musala itu.
Rabu, 21 September 2022 2 Komentar

Memaknai Ucapan "Selamat Ulang Tahun"

Beberapa kawan dengan tulus mengucapkan "selamat ulang tahun" atas hari kelahiran saya kemarin lalu. Saya senang niat mereka adalah mendoakan saya, sesuatu yang selalu saya harapkan dari mereka, pun sebaliknya, mereka (kadang) mengharapkan doa dari saya. Tetapi, sesuatu yang saya tunggu-tunggu sebenarnya (jika boleh jujur), saya tidak mendapat kado selain "bingkisan doa" saja, padahal saya mengharapkan mereka menghadiahkan kado istimewa, buku Yuval Noah Harari, Sapiens misalnya, atau yang Homo Deus

Entah. Mungkin mereka mengucapkan "selamat" atas hari kelahiran ini karena ingin mendoakan atau ada dorongan lain (semisal dorongan untuk merawat tradisi kebiasaan menceburkan kawannya ke kolam kalau pas hari kelahiran) sebagai bentuk kawan baik, dan saya tidak tahu pasti, biarkan Tuhan yang Maha Esa saja yang tahu soal niat itu. Titik. Tapi saya yakin bahwa mereka jauh dari sifat buruk semisal mendoakan yang jelek. 

Namun di sisi lain, menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran ini telah mengetuk tempurung kesadaran saya selama ini. Sebab berkurangnya usia membuat kecemasan saya semakin akut tak ketulungan. Entah. Saya belum menemukan jawaban pasti mengapa saya begitu cemas dan bingung menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran. Sewaktu mereka mengucapkan "selamat" lewat pesan WhatsApp saya kikuk dan berpikir dalam-dalam untuk jawab apa sebab ini baru pertama kali saya mendapat ucapan selamat. 

Mungkin sebagian jawaban atas kebingungan dan kecemasan ini adalah pada suatu hari, yang entah mengapa dan kenapa, tiba-tiba saja saya menulis sesuatu tentang hari kelahiran. Saya menulis demikian: 

"Hari ini adalah hari usia saya diingatkan. Saya sadar bahwa setiap waktu adalah kesempatan. Ada dalam kendali setiap diri yang memanfaatkan atau menyia-nyiakan. Dalam ketakutan yang semakin akut, dari waktu ke waktu, yang saya takuti adalah seluruh kejadian yang pernah saya lalui di dunia ini akan terulang kembali. 

Itu sebabnya saya tidak menginginkan hari ulang tahun, tidak pernah menginginkan atau menerima ucapan selamat ulang tahun, dari siapapun, pada hari kelahiran. Saya tidak ingin tahun sudah berlalu terulang kembali dengan seluruh kejadian-kejadiannya, dengan seluruh entah berantahnya. 

Datangnya hari kelahiran, setidaknya bagi saya, adalah waktu kehilangan dan usia diingatkan, dengan kesadaran atau ketidaksabaran. 

Jika saya menerima ucapan selamat atas hari kelahiran, apakah saya berada dalam kesadaran atau ketidaksadaran, keduanya selalu menjadi pedang yang sewaktu-waktu menghunus kesempatan, dan kemanusiaan manusia dipertaruhkan, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka. 

Selalu ada ketakutan mendera yang tidak bisa dijelaskan ke dalam kata-kata dan ketakutan itu memungkinkan saya mati dalam kebisingan, cemas dalam kesendirian, tak berdaya dalam kesunyian---dari ribuan pertanyaan tentang kehidupan."
***
Mungkin kebingungan dan kecemasan saya selama ini disebabkan oleh karena saya masih mengulangi tahun sudah berlalu itu; dengan seluruh kejadian-jadiannya; yang menyebabkan saya semakin bingung serta cemas akan suatu hal tentang kehidupan ini. 

Saya ingin mereka mengucapkan "Selamat Hilang Tahun", agar kesadaran kemanusiaan saya pulih bahwa hidup adalah tentang kesempatan dan harapan; bahwa hidup tentang "menunggu" atau "ditunggu" (meminjam istilah cerpen almarhum Eyang Sapardi) yang "Maha", karena itu kehidupan ini terkadang harus dipertanyakan "mau kemana" atau "hendak kemana" tujuannya. 

Setiap datang hari kelahiran adalah kata lain dari hari kehilangan. Setidaknya itu menurut saya yang sedang mengarungi kehidupan ini. 

Hal yang paling esensial dari kehidupan ini adalah kedudukan kita sebagai manusia. Sebab terkadang kita sebagai manusia jauh atau bahkan kehilangan sifat kemanusiaan kita. Oleh karena itu, saya merenung dan menulis puisi demikian:

Masihkah Aku Manusia?

Sesudah melanglang buana
Aku butuh jeda
untuk menemukan sesiapa
Aku butuh merasa
untuk mempelajari dunia
Aku butuh aksara
untuk mengikat makna

Yang kan ku tulis dalam lembaran sajak sajak tentang siapa manusia

Aku terus mencari
Dan terus mencari di ujung sunyi

Tapi tak ku temukan aku:

Tentang aku yang merindu
Tentang aku yang hampa
Tentang aku yang dusta
Tentang aku yang putus asa
Tentang aku yang menghamba
Atau aku Tuhan semesta? 

Tentang pencarian aku sebenarnya. 
Apakah aku benar-benar manusia? 

Dan aku berakhir. 
Berakhir dari hingar bingar dunia. 

Aku menemukan aku
Bahwa aku adalah manusia
Tapi pantaskah aku 
kau sebut manusia? 
*** 
Ya, sebaiknya, sering-seringlah menjumpai kemanusiaan kita, sebab perjalanan paling terjal adalah menjadi manusia. 
Jumat, 26 Agustus 2022 0 Komentar

Di Beranda Sunyi Rindu Kini Menyepi Kita

: untuk kawan-kawan KKN 176

sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; setelah dingin telah usai; setelah berdentumg puing-puing kerinduan; setelah gelegar tawa tak lagi terdengar; setelah obrolan receh telah lenyap, & kini kita kembali hangat pada masing-masing keadaan; namun kenangan menancap kuat dalam tempurung kepala—dari ribuan sumbringan tawa; yang tersisa hanyalah bayangan peristiwa—dari pertanyaan tentang manusia.

kepada siapa rindu ini meletup; yang mencair di tengah gurun kesendirian; yang menghasrati api pertemuan; yang diam-diam memabukkan; hening lagi sunyi malam ini; hingga mata berkaca-kata menulis puisi.

sunyi kini memabukkan; hening berlabuh terisak-isak; dari mata seperti aliran air terjun yang mengguyur muka; sesaat mengingat-teringat satu persatu satu kenangan itu; dalam puisi ini riuh rindu; ke dalam sanubari yang tak tertahankan di penghujung sunyi.

sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; hanya bayangan tentang kita kini yang tersisa; tentang suatu masa dimana kita pernah bersama; dalam suatu atap yang kini bernaung di lubuk terdalam tempurung kepala—dari peristiwa-peristiwa 40 hari di gubuk singgah sana.

dalam bayanganku pagi itu; ketika seluruh mata mengalir dan aku tidak—seraya tersenyum menyaksikan; telah ku skenario untuk tidak mencair bagian mata; karena kau tahu dan aku rasa lebih berusia dari sesiapa di antara kita; namun diam-diam aku memalingkan muka sesaat kau memeluk dan menangis pamit pulang pada ibu kos itu; seraya benar-benar aku tak kuasa menahan tangis; aku pergi berlabuh ke belantara untuk pura-pura bahwa aku masih kuat menahan luka mata; karena aku tahu & … ku coba saja senyum meski senyum terasa getir; melihat masih ada sisa mata yang mengalir; sepertia aliran air terjun yang mengguyur; gemercik kesedihan yang tak terjelaskan.

mungkin kita teringat masa 40 hari itu; telah begitu membekas pada sel-sel otak; yang menyebabkan sulit dilepas-pisahkan; yang menyebabkan mata mengalir; yang menyebabkan kini rindu tertanam—dari ribuan pertanyaan tentang arti pertemuan-perpisahan dalam kehidupan &, ah … aku benci kata perpisahan. sulit diterangkan mengapa.

izinkan aku ajukan tanya: adakah benar perpisahan itu ada?; masihkah suatu saat nanti kita dipertemukan kembali setelah panggung sandiwara ini berakhir?; setelah aku atau kau tiada di alam sini, setelah alam ku di sana?
sebelum aku atau kau sampai pada batas usia; sebelum aku atau kau telah tiada sampai pada janji menjemput kita.

dalam bayanganku kini; setelah usai dingin ini; masih ada kedinginan menggigil; adalah tentang masa depan kita (bukan dunia tempat kita singgahi ini)—masihkah kita akan dipertemukan kembali?
Sabtu, 02 Juli 2022 0 Komentar

Pertanyaan-pertanyaan Arti Pertemuan dan Perpisahan dalam Kejadian-kejadian tentang Suatu Hari Nanti (1)


Ini adalah kesunyian yang muncul kembali setelah dinginnya malam masuk melalui celah-celah jendela, melalui lubang-lubang kecil yang kerap kami alami pada malam-malam penuh syahdu bersamaan dengan suara-suara gemericik hewan; sebilah kesunyian yang akan dipecahkan oleh lelucon Mbak Faiz dan kawan-kawan lain yang melenturkan kebekuan kulit-kulit kami yang dihujam oleh dinginnya malam Kawan Ijen. 

Dan kesunyian bersamaan dinginnya malam itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan. 

Terkadang saya berpikir dan menghayal yang cukup menguras emosional tentang sebuah persaudaraan yang disatukan oleh kewajiban kami sebagai mahasiswa adalah; apakah suatu masa nanti kami akan dipertemukan kembali setelah usai menjalani KKN ini; setelah kami lulus menempuh studi ini; setelah mungkin di antara kami telah sampai pada batas usia dan mati tak lagi dapat berjumpa kembali di dunia yang fana ini? 

Terkadang saya berpikir tentang suatu masa di mana pikiran tak lagi mampu menjawab pertanyaan tentang sebuah perpisahan; apakah perpisahan itu benar-benar ada? Apakah arti dari sebuah perjumpaan dan perpisahan itu? Apakah ada jarak antara ruang waktu kita setelah kejadian di dunia ini berakhir? Ah, apakah pula makhluk akhir itu? Adakah akhir dari segala yang akhir ini? 

Ah, kenapa pikiran ini cukup liar akan pertanyaan-pertanyaan; seolah-olah menyetujui apa yang dikatakan Goenawan Mohammad itu: pikiran adalah lika-liku cerewet. 

Pikiran cerewet yang mempertanyakan suatu masa tentang arti kehidupan yang telah dirancang sedemikian sistematis oleh suatu Sang Ada dan perangkat-perangkat tubuh ini seperti digerakkan oleh-Nya. 

Misalnya, ingatan saya tiba-tiba bergelayut secara otomatis tentang kejadian-kejadian dari bangun tidur hingga menjelang tidur ini. Suatu ketika kami kedatangan tamu dari posko lain dan terjadilah suatu percakapan. 

Sabtu, 02 Juni 2022

"Siapa di sini yang dari Puger?" saya bertanya kepada para tamu itu. 

"Saya ..." ia mengacungkan tangan. 

Mata para hadirin menikam mata saya dan saya diserbu oleh celotehan kawan-kawan. 

"Tadi malam katanya mau dicarikan masa depan. Itulah loh sudah ada. Sama-sama dari Puger lagi."

"Wah, ini namanya jodoh di posko sebelah," seseorang menyambung celotehan. 

"Gas dah ...." kata yang lain. " Cocok."

Dan saya tersipu malu tingkat akut siang itu. Orang-orang senang melihat saya jadi bulan-bulanan celotehan mereka di tengah suasana keharmonisan antar sesama posko.

Pikiran saya tiba-tiba muncul kejadian-kejadian lain hari-hari sebelumnya dan setelahnya tentang kebaikan-kebaikan masyarakat desa Kalianyar ini. Suatu ketika kami ditawarkan segala macam sayur-sayuran dari hasil ladang. 

"Mainlah ke rumah nanti malam," tawar tetangga yang baru saja bertemu di teras rumahnya. "Ada sayur-mayur buat laut, Dek. Nggak usah beli kalau di sini."

"Iya, Pak, kalau ada waktu, akan kami sempatkan main," jawab saya. "Jangan lupa siapkan kopinya." 

Ia tertawa dan menepuk-nepuk pundak saya keras-keras sambil terkekeh-kekeh. 

"Bisa aja kau, Nak!" 

Sekali lagi bapak tua itu terkekeh-kekeh senang saat saya tagih kewajibannya menghormati tamu agung yang bakal datang itu. 

Kelopak mata saya seperti meminta haknya untuk tidur bersamaan akan selesainya catatan ini yang akan dilanjutkan secara berkala. 

Sabtu, 02 Juni 202
Rabu, 04 Mei 2022 0 Komentar

Menentukan Hidup

Kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari seorang ibu yang kaya, pintar, salihah, keluarga berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya. Tetapi kita bisa memilih dan menentukan hidup, ketika suatu saat kita mulai dewasa, dengan siapa kita bersama menempuh kehidupan baru. Maka wanita salihah adalah pilihannya. 

Memilih wanita salihah melebihi dari keindahan fisik, tentu saja. Ketika suatu saat dipertemukan dengan wanita yang memiliki kepribadian cerdas serta dewasa, cara berpikirnya, seolah-olah ingin hidup membersamainya. Diam-diam saya memerhatikan. Diam-diam saya menaruh perasaan.
Minggu, 27 Maret 2022 0 Komentar

Melawan Argumen

Oleh: Fathur Roziqin

Menghabiskan waktu lama di depan laptop ternyata lebih asyik dibandingkan dengan diskusi di kelas kuliah, yang biasanya sangat monoton di kampus saya. Pada saat pertanyaan dilontarkan pada diri sendiri jelas menuntut saya harus membaca, menganalisa, membandingkan dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.

Dan terjadilah bantahan argumen yang bisa saja meruntuhkan argumen satu dengan argumen yang lain dan saya dituntut untuk membuat argumen tandingan. 

Seolah-olah sedang berdiskusi dengan orang, pada kenyataannya, sedang berdiskusi dengan diri sendiri. Seolah-olah kelas menuntut saya untuk berhenti kuliah sebab buang-buang waktu berdiskusi yang isinya penuh khotbah. 
Jumat, 25 Maret 2022 0 Komentar

Mengakui Kesalahan

Yang sulit disadari dan dilakukan umat manusia ialah kejujuran mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan. Dan kita tahu, yang lebih sulit lagi, ialah menerima permintaan maafnya. 

Tiga hal tersebut sulit bagi saya untuk jujur mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kesalahan yang sering saya lakukan berulang-ulang. Pun juga memaafkan orang yang pernah berbuat salah pada saya, ternyata saya masih sulit jujur untuk memaafkannya. 

Entah. Ketika kesadaran itu kini saya akui, pada titik ini, satu langkah upaya yang bisa saya lakukan, ialah belajar merendah serendah-rendahnya dengan mengakui sejujur-jujurnya bahwa saya ini manusia.
Senin, 28 Februari 2022 0 Komentar

Siapa Berani Bilang Kita Fana?

Yang berani bilang 
kita akan fana siapa? 
Katakan tidak ada!  
kita adalah butir-butir mutiara bak intan permata di lautan yang indah dipandang dan dikenang. 

Yang fana adalah waktu. Kita abadi, kata Pak Sapardi. 

Kita adalah tokoh cerita hidup 
dari waktu fajar ke waktu senja 
dan kita merangkai peristiwa peristiwa, 
yang kita sebut itu cerita, 
yang kita sebut itu kenangan. 

Yang berani bilang 
kita akan fana siapa? 
Katakan tidak ada! 
Dirangkainya setiap senyuman detik demi detik dan waktu menjadi saksi 
bahwa kita akan abadi. 

Yang sirna adalah waktu. Cerita kita abadi. Pun sajak-sajak kita ini.
Minggu, 20 Februari 2022 0 Komentar

Mencintai Sahabat

Untuk mengawali tulisan ini, izinkan saya mengutip kalimat pembuka cerpen, Cuma Teman, karya Raditya Dika: "Kalau ada yang bilang cewek sama cowok mustahil bisa sahabatan tanpa ada perasaan, bawa orangnya ke depanku." 

Kalimat pembuka di atas mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil, pada kenangan bersama seseorang, yang agak lebay sebenarnya untuk diceritakan di sini, tetapi saya kira tidak ada salahnya, sebab ini blog saya; karena itu wajar apabila saya menceritakan pengalaman saya tentang arti sebenar-benarnya perasaan, yang kadang bikin saya tersenyum sendiri. 

Orang-orang menyebut itu cinta, aih. 

Dulu saya punya temen dekat. Perempuan. Dekat sekali. Saking dekatnya, keluarga saya menganggap dia sebagai anak sendiri. Apa-apa kebutuhan hidup saya juga kebutuhan hidupnya, makan misalnya. 

Hampir sepulang bermain dan ketika perut mulai keroncongan, makan satu piring adalah tradisi kami. Dan saya tidak malu makan berdua dengannya dan begitu pun sebaliknya; sebab begitulah kebiasaan kami selama berteman bertahun-tahun sedari kecil. 

Kedekatan kami seperti saudara kandung. Persis seperti pandangan orang lain terhadap kami yang menganggap bahwa kami adalah saudara kandung. Dan jelas secara biologis kami tidak ada hubungan darah apapun dan murni hanyalah berteman biasa pada mulanya. 

Saya menganggap dia sebagai sahabat, begitu pun sebaliknya, anggapan dia terhadap saya. Karena kedekatan dan kecocokan bermain itulah keluarga kami bersepakat bahwa kami tidak boleh ada pertengkaran dikemudian hari dan satu sama lain harus saling menjaga, saling mengisi dalam banyak dimensi.

Namun kedekatan "hubungan sahabat" itu membuahkan perasaan. Anda tahu bukan, seperti apa sepasang bocah yang sedang tersengat api perasaan itu? Yeah ... begitulah benih-benih itu sempat meluluhlantahkan hubungan kami. 

Pada mulanya tiap berangkat sekolah kami naik sepeda berdua, bersama pula kawan-kawan rumah lain, yang satu gedung sekolah. Tiap pagi saya jadi supir dia untuk berangkat ke sekolah dan begitu pun sehabis pulang sekolah. Pulang pergi saya jadi supir dia. Yang jaraknya dari rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar 4 kilo. Sesekali saja dia jadi supir kalau kelihatan saya ngos-ngosan dan biasanya tidak lama, cukup beberapa kilo, selanjutnya berganti posisi saya sebagai supir. 

Di sekolah, hubungan persahabatan kami cukup terkenal lekat di mata guru dan kawan-kawan bermain. Tidak ada indikasi bahwa kami ini punya hubungan spesial. Dalam pandangan mereka, kami adalah saudara kandung. Dan fakta sesungguhnya, adalah bahwa kami sebagai teman dekat atau kata lain sahabat, bukan seperti anggapan mereka, tentu saja. 

Sebagai sahabat, satu sama lain, kadang ada perseteruan ganas dan untuk meredupkan amarah, salah satu di antara kami harus ada yang mengalah dan biasanya, saya yang mengalah sebab perempuan katanya selalu benar dan lelaki selalu salah. 

Tetapi, apapun persoalannya, kami tetap saling  mengerti dan menjaga kepercayaan sebab itulah hubungan kami cukup terkenal baik di mata orang-orang dan tidak mungkin ada hubungan nyeleneh. Namun, dalam perjalanan menjalin persahabatan  yang cukup dramatis pada satu sisi dan simetris di sini lain, adalah kejanggalan itu pasti ada, yang sulit sekali bagi kami untuk saling jujur. 

Dan, tentu saja, saya tidak mungkin. 

Saya tidak mungkin melupakan tentangnya sebab dialah yang mengajari saya tentang arti cinta sesungguhnya; begitu pun sebaliknya, dia terhadap saya. Yang pernah saling memberi perhatian, ketulusan, dan kepercayaan bahwa kami harus merawat perasaan sesungguhnya dan persahabatan sesungguhnya. 

Hingga hari ini kami masih berhubungan erat meski satu di antara kami sudah berkeluarga dan punya kebahagiaan lain bersama anak dan suami. Meski demikian, tentang curhatan masa kecil ini, tidak perlu pula anda bertanya, apakah saya masih menaruh perasaan?

Dan saya membetulkan kalimat pembuka cerpen di atas, atas kejujuran masa kecil dulu. Untuk menjawab pertanyaan di atas jelaslah bahwa saya pun memiliki kebahagiaan yang sama sebab itulah saya menulis tentangnya
Minggu, 01 Agustus 2021 0 Komentar

Gila Intelektual

Persepsi beberapa orang menganggap aku seorang intelektual: Dengan aku gila melahap kertas kertas semesta (buku), menulis menghasilkan banyak karya, berdiskusi penuh retorika adidaya. Aku seorang intelektual, kata mereka.

Tetapi pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Memajang buku-buku di ruangan hanya untuk  pameran, bukan untuk bacaan, bukan pula kepekaan menyelesaikan problem kebodohan.

Buku-buku itu hanyalah pemenuhan hiasan rumah semata; tidaklah peka menyalurkan kepada orang-orang yang pula membutuhkannya. Buku-buku itu tidaklah lebih sekadar kertas kertas biasa. Untuk menunjukkan inilah Aku Manusia Paling Berkualitas, setumpuk buku pemenuhan kesombongan semata.

Pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Menulis suatu hal "untuk menarik orang" mengakui bahwa Aku Yang Paling Aku, Yang Paling Intelektual. Menulis suatu hal untuk memancing orang untuk menjadi aku. Dan orang-orang akan terperangkap dalam nafsu; sehingga aku dapat memenuhi hasrat nafsu birahiku dan mengajaknya untuk bercumbu.

Kata "bercumbu" ini begini, maksudnya: Aku mampu menulis kata-kata memikat dan menghasilkan kalimat-kalimat menjerat pembaca. Dengan kelihaian aku menciptakan sebuah kata-kata dapat mengajak pembaca menjadi aku. Menjadi bagian kebutuhan seksual-ku, dengan cara halus mengajaknya untuk berkolaborasi. Pada titik demikian, perempuan maupun laki-laki, telah aku taklukkan; dan dengan mudahnya aku meminta sesuatu darinya.

Tetapi pada kenyataannya aku memang bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Yang kalau berbicara atau beretorika seolah-olah telah banyak membaca padahal cuti membaca kata-kata. Beretorika seolah-olah bernutrisi padahal hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Bukankah sibuk berambisi dengan eksistensi bukanlah ciri manusia sejati?

Pada kenyataannya aku hanyalah seorang yang berambisi dengan eksistensi sehingga lupa diri. Bahwa aku pada ketidaksadarannya sibuk memenuhi kepentingan diri. Kepentingan mencari popularitas sehingga lupa mana yang berkapasitas dan mana pula yang berkualitas. Hingga lupa pula menjadi manusia. Menjadi manusia yang seharusnya menjadi manusia. Kini sebut saja aku manusia biasa, tidak lebih daripadanya.

Sabtu, 31 Juli 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Pada sunyi aku lantang 
menerjang karang, 
menerjang ombak, 
menerjang arus, 
Pada-Mu Maha Kudus

Di kesunyian, 
aku menari-nari 
pada malam menjerat
pada hati yang pekat
Pada-Mu Maha Dahsyat

Di kesunyian, 
aku menerpa seorang diri
buih-buih sesal kian gentar
atas dosa-dosa kian menjalar

Sekuntum doa
melangit-langit dan harap
'ku pada sunyi menjadi saksi
atas pertaubatan ini, ini puisi menjadi saksi, 
kepada Yang Maha Suci
Selasa, 27 Juli 2021 0 Komentar

Kontemplasi, Bullying dan Prestasi

Kebiasaan berkontemplasi di sudut ruang sunyi menyadarkan saya satu hal: Sebagai manusia biasa saya mempunyai kekurangan, kekurangan yang saya miliki ialah lemahnya kinerja otak. Lebih jelasnya akan saya ceritakan mulai d(ar)i titik mana kebiasaan menyendiri atau berkontemplasi itu bermula. 

Sebermula kebiasaan berkontemplasi itu saya rasakan semenjak masih bocah. Kira-kira ketika saya belajar pada ibu, tentang pelajaran sekolah.

Ketika itu ibu menemani saya belajar tentang pelajaran sekolah yang bagi saya sulit. Ibu, dengan keterbatasan pengetahuan cara mendidik anak belajar yang baik, tidak sabar mendidik saya dan memaksanya dengan cepat menangkap pelajaran; sedangkan saya, bocah yang lemah kinerja otaknya, tak mampu menangkap pelajaran dengan baik. 

Karena ketidaksabaran ibu dalam mendidik, keterbatasan pengetahuan mendidik anak belajar, akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata—yang sengaja tidak saya tulis—tidak elok dan saya menjawab, dengan raut muka polos, berdasarkan pengakuan Ibu ketika saya sudah remaja: “Biar kelak, dengan sendirinya, saya bisa belajar dengan baik, Buk, tanpa harus ibu memaksa saya untuk bisa hari ini. Saya bisa belajar sendiri.”

Semenjak itu ibu tidak pernah lagi menemani saya belajar membaca, mengerjakan tugas sekolah, menemani saya menghafal surat-surat pendek alquran. Saya menangis keras keras dalam hati di ruang pojok rumah dan tidak mau bertemu orang sekitar, murung berhari-hari, tidak mau belajar pada siapapun, dan hampir saya trauma belajar karena merasa, pada saat itu, belajar bagi saya membosankan, tidak menyenangkan, bikin saya menangis, tidak membuat saya bahagia. 

Saya kehilangan semangat belajar. Itulah pikiran seorang bocah yang masih kelas 6 sekolah dasar, yang tidak tahu membaca, mengaji alquran, berhitung, tidak tahu pentingnya belajar. 
Tidak sedikit kawan sebaya mengejek saya karena tidak bisa apa yang mereka bisa. Seolah pencapaian yang mereka miliki, akan bertahan seiring berjalannya waktu tanpa usaha merawatnya dengan baik, dengan tidak menjadi manusia sombong.

Saya murung berhari-hari dan kecamuk tanya pada diri sendiri tak habis henti: Mengapa saya tidak bisa seperti apa yang mereka bisa?

Saya berusaha keras bagaimana agar mencapai apa yang mereka bisa: membaca buku, membaca alqur'an dengan baik, berbicara tanpa malu di depan kelas, bersosial sebagaimana layaknya manusia, dan hal apapun berkaitan dengan kekurangan saya, terkhusus lemahnya menangkap pelajaran.
 
Dan saya bersyukur segara sadar apa kekurangan yang saya miliki, tanpa malu saya akui bahwa saya memiliki kekurangan pada bagian kinerja otak. Bahwa tidak semua di antara manusia harus bisa pada waktu yang bersamaan, termasuk dalam hal pencapaian prestasi. Hanya soal waktu siapa yang paling berhak menentukan kompetisi, eh. Tetapi saya tidak suka berkompetisi, saya tidak suka kejuaraan semu. Sebab saya meyakini tiap manusia mempunyai prestasi. Tinggal bagaimana ia menggali potensi yang ada pada dirinya. 

Saya berkeyakinan, pada saat itu maupun saat ini, bahwa saya memiliki potensi yang mungkin tidak dimiliki orang lain, dalam hal ini semangat belajar memperbaiki keadaan diri penuh kekurangan. Maka untuk mencapai hal itu lebih baik fokuslah pada apa yang mesti saya perbaiki dan berusaha keras tanpa lupa berdoa. Tanpa kesadaran itu, mungkin saya menjadi manusia sampah, menjadi manusia haus pujian semata, manusia yang berambisi dengan eksistensi hingga lupa diri.

Bukankah manusia akan lelah berambisi dengan eksistensi?

Dewasa ini saya memetik pelajaran penting, yang pernah menjadi korban bullying, yang menjadi korban salah didik-mendidik, bahwa pencapaian seseorang tidak bisa kita ukur berdasarkan zaman di mana mereka sedang berproses belajar. Sebab manusia diciptakan memang untuk belajar. Pencapaian itu bisa kita ukur seberapa kebermanfaatannya kontribusi kita untuk orang lain. Itulah, bagi saya, prestasi yang paling berarti hidup di dunia ini.

Sekali lagi ... tanpa kesadaran itu--perihal ketidaksempurnaan dan pencapaian--kita akan sibuk mencari popularitas diri tanpa menyadari satu sebutan berarti: Kualitas. Definisi "kualitas" yang saya maksud, adalah menjadi manusia luhur, menjadi manusia yang tidak gampang menyepelekan liyan. 

Kini ibu lebih bijak dalam mengatur pendidikan anaknya. Ia lebih mawar diri tanpa mengikuti egoisasi diri. Tentu kesadaran demikian mengantarkan kita menjadi manusia berprestasi, meski tanpa menjunjung tinggi medali emas. 
Minggu, 25 Juli 2021 0 Komentar

Memoar Ingatan

Ada sepasang kekasih duduk berdua di tepi danau, yang satu duduk agak ke kanan, yang satu duduk agak ke kiriKeduanya diam membisu meski semilir angin mempersilahkan untuk menyatakan sesuatu tetapi keduanya malu-malu. Kau saja dulu, katanya. 

Empat puluh lima menit berlalu reranting pohon bersiul-siul seperti semacam intruksi, dedaun gugur ditimpa angin melambai-lambai menari-nari. Lihat itu daun, kata si perempuan. Bertanda apakah ia jatuh?

Ia tak menjawab. Sekadar senyum memalingkan pandangan ke arah kiri dan kembali memandang ke arah kanan. Di danau itu mereka saling melempar satu dua tiga batu hingga genangan air beria-ria ke atas ke samping ... ke kiri ke kanan, seperti kembang air mancur pada kedua jiwa yang mujur. Kau kalah, kata si perempuan. 

Hujan mulai mengguyur danau. Kita berteduh di bukit itu, sambutnya. Dengan payung daun pisang berdua; tak ada orang sekitar melihatnya, hanya seekor burung berteduh di pucuk ranting;
dunia seperti milik mereka berduabibir bersilat satu kali dua, memadu kasih dalam senja. 

Apa yang lebih indah dari senja, ia bertanya. Yang lebih indah dari senja adalah ketika engkau dan aku berpisah sementara waktu dan kita saling merinduTetapi akankah kita menerima itu? Tidak, bukanTetapi pada akhirnya kita akan berpisah sementara waktu, pada akhirnya kita kembali bertemu, pada suatu hari nanti semesta akan menjadi saksi atas kisah kita ini, di danau janjiKita paham, bukan, bahwa yang paling indah dalam hidup ini adalah kenangan, karena ia adalah ingatan. 
Senin, 24 Mei 2021 0 Komentar

Upaya Menggapai Mimpi: Mahasiswa Baru, Penerima Beasiswa Bidikmisi, Kader Intellectual Movement Community (IMC)

Pergantian tahun merupakan pelajaran merenungi diri dan membuka kembali lembaran yang pernah saya tulis di PETA IMPIAN dua ribu delapan belas tiga tahun lalu adalah: dua ribu sembilan belas saya harus kuliah!

Tepat pada 2 Januari 2019, dua tahun lalu, saya menghirup udara segar di sekitar kecamatan Kaliwates kota Jember. Malam itu kedua kalinya saya berniat belajar dan mengajar untuk mengabdi di sebuah pesantren—yang sebelumnya mengabdi diri di Lampung—dengan keterpaksaan: sesungguhnya saya hendak belajar di tempat lain yang jauh lebih asyik.

Setelah perjamuan di dhalem pengasuh ada momen yang sulit di lukiskan kata-kata saat Eman berkata: “Yang sabar dalam mendidik anak orang ya, Nak. Siapa sangka di tempat ini kau menemukan jalan meraih impianmu.” Mata tiba-tiba mendung dan seketika itu gerimis. 

Memang kata-kata Emak selalu mengundang motivasi belajar di satu sisi dan di sisi lain sempat menghancurkan impian saya dan kekhawatiran berlebihan Emak itulah saya kecewa lantaran tidak bisa melanjutkan studi ke luar negeri maupun di negeri sendiri. Dan saya paham mengapa Emak empat tahun lalu (saat lulus SMA 2016) tidak mengizinkan saya menempuh pendidikan di kampus dan desakan Emak, mau tidak mau, saya mengikuti perintahnya: masuk di dunia pesantren lagi dan lagi.

Belajar di pesantren merupakan alternatif terakhir bagi saya untuk tetap mengisi ke kosongan waktu dan saya pikir daripada berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan mendukung potensi diri lebih baik berjalan sembari membaca peluang.

Saya percaya bahwa keberhasilan dan kegagalan setiap orang berada pada jalannya masing-masing dan saya belajar mencari peluang dari setiap masing-masing jalan. Satu jalan yang saya tempuh adalah keberanian diri mencari relasi dan peluang.

Entah berapa ribu orang telah saya repotkan mengenai pendaftaran masuk kampus. Tawaran kuliah di luar negeri Oleh Gus dan orang-orang penting tidak bisa dibendung. Jika saya ambil kesempatan itu maka besar kemungkinan saya berhadapan lagi dengan kebijakan kedua orang tua dan peluang restu kecewa jauh lebih dominan sebab kedua orang tua bukanlah orang yang, bisa dikatakan, awan dalam dunia pendidikan. 

Pertimbangan besar orang tua jika saya kuliah di luar negeri maupun di negeri sendiri adalah biaya kuliah yang mahal!
“Kau boleh kuliah asalkan dapat beasiswa. Emak dan Bapak hanya mampu membiayaimu pendaftaran saja dan selebihnya kau berusaha cari biaya hidup sendiri di kampus.” Katanya. 
“Enjeh, asalkan Bapak dan Ibu merestui kulo kuliah. Kulo akan berusaha cari beasiswa. Dan kulo mohon restu agar dimudahkan pendaftaran kuliah di IAIN Jember.”

Puluhan dosen saya temui untuk registrasi pendaftaran dan menanyakan bagaimana agar saya bisa mengikuti seleksi pendaftaran mahasiswa baru. Bukan karena saya tidak bisa mendaftarkan diri sendiri lewat jalur online. Bukan pula saya awam dunia internet. Bukan! Saya gagal melakukan pendaftaran kuliah karena ijazah SMA saya sudah kadaluarsa! 

Dan saya kecewa beribu-ribu kecewa pada diri sendiri maupun kepada kedua orang tua mengapa baru tahun ini saya di restui untuk bisa kuliah. Penolakan IAIN Jember telah bikin hidup saya seketika jadi ORANG KAFIR karena telah putus asa dari rahmat Tuhan yang Maha Baik. Saya KAFIR telah mendustakan nikmat yang begitu banyak Tuhan berikan kepada saya—bukan kafir dalam pengertian akidah, tentu saja. 
***
Seiring berjalannya waktu saya sakit sekitar setengah bulan dan saya pulang dari pesantran untuk sementara waktu dan kesempatan kuliah tahun ini saya pastikan gagal lagi karena pendaftaran Gelombang  Mandiri telah di tutup. 

Entah mengapa Tuhan izinkan diri saya sehat kembali meskipun saya masih ada rasa kecewa kepada orang tua dan orang tua menyuruh segera saya kembali ke pesantran—dengan cara halus orang tua mengusir saya jika kelamaan di rumah—dan saya menolak, tetapi pada akhirnya, saya  kembali lagi ke persantren berkat bujukan paman. 

Saya ingat: betapa waktu itu saya termasuk golongan anak durhaka kepada orang tua karena telah berani membantah dan membikin Emak menangis dan sewaktu saya pamit kembali ke pesantren, saya cium kedua telapak tangannya dan memohon maaf atas perilaku bangsat anak yang tak tahu diri ini.

Lagi-lagi Emak berkata. “Siapa sangka di pesantran itu kau menemukan jalan meraih impianmu.” Ia menangis tersedu-sedu. Satu dua tiga hari saya mulai sadar bahwa orang tua adalah segala-galanya untuk meraih impian hidup saya kelak. 

Di pesantran saya tidak diam begitu saja. Bapak Babun selaku rektor IAIN jember itu saya datangi rumahnya berkali-kali, namun, apalah daya Tuhan mengajari saya tentang kesabaran dan kata-kata Pak Rektor itu telah bikin saya kembali putuh asa dari rahmat Tuhan. “ Di sini bukan tempat pendaftran kuliah. Kalau mau daftar kuliah di kampus besok hari Senin.” Ujarnya tanpa mempersilahkan saya masuk sebagai tamu Agung. Saya kira Pak Rektor perlu ngaji kitab Ta’lim al-Muta’allim.
 
Entah mengapa beberapa hari kepulangan saya dari rumah Pak Rektor itu. Saya berselancar mencari informasi di internet mengenai pendaftaran mahasiswa baru di seluruh kampus PTKIN, dan ternyata, IAIN jember kembali membuka pendaftaran Mandiri Gelombang Kedua: akhirnya saya dipersilahkan untuk melakukan registrasi pendaftaran oleh admin—yang saya hubungi contact person yang tertera dan beberapa hari seteleh mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru saya dinyatakan lulus seleksi dan berhak melakukan pendaftaran ulang dan seketika itu saya diterima menjadi mahasiswa baru di kampus IAIN Jember yang pernah bikin hidup saya jadi pemuda KAFIR.
***
Jauh hari sebelum masuk dunia kampus saya banyak bertanya kepada puluhan mahasiswa tentang dunia akademik dan pembelajaran di kampus, katanya asyik, dan peluang mendapat Dhi’Ajeng jauh lebih mudah dibandingkan mendapat gelar sarjana. 

Dengan kata lain, mencari pacar di kampus jauh lebih mudah, Boi, daripada mencari buku referensi untuk penulisan skripsi sebagai syarat gelar kesarjanaan kita!

Setelah mengenal dalam dunia kampus satu di antara puluhan mahasiswa/i yang pernah saya tanyakan mengenai organisasi dan komunitas yang bergerak dibidang kepenulisan dan mau mengajari bagaimana menulis jurnal yang baik katanya: Intellectual Movement Community (IMC). 

Tentu saja saya tidak langsung percaya begitu saja tanpa ada pembuktian jawaban mereka dan seketika itu saya jadi stalker: mengintip kegiatan komunitas Intellectual Movement Community (IMC) melalui Instagramnya dan karena saya cukup banyak menemukan ke-cocok-an di komunitas IMC. Pada 10 November 2019 saya melakukan pendaftaran sekaligus pengumpulan persyaratan sebagai anggota baru dan pada 20  November saya dan beberapa calon anggota lain melakukan interview.

Masih segar dalam ingatan pada malam setelah interview entah berapa kilo meter saya menempuh jalan kaki menuju pesantren untuk pulang—dari kampus ke Kaliwates Pondok Pesantren Miftahul Ulum.
 
Menunggu angkotan kota tak kunjung datang dan karena terlalu larut malam saya memutuskan berjalan kaki sembari menikmati alunan bising pada malam hari di mana saya merasakan bahwa hidup memang tak melulu soal bahagia itu sederhana dan nasihat “jangan lupa bahagia” sepertinya harus mempertimbangkan keadaan saya alami malam itu dan mari kita katakan “kebahagian akan dirasakan oleh orang-orang yang menerima terpaan cobaan dan mampu melaluinya dengan kesabaran; dan kekesalan akan dirasakan oleh orang-orang yang, meski cukup klise, tidak mau bersyukur.” Kekesalan itu ada karena saya gagal merawat kebahagian menikmati proses yang berliku-liku. 

Usai menikmati bising malam di trotoar jalanan dan sesampai di asrama pesantren saya buka smartphone bagian fitur yang lazim, WhatsApp, saya mendapati banyak pesan masuk, terutama grup, dan saya buka kali pertama grup WhatsApp Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa 2019), dan kawan-kawan banyak mengucap kata-kata klise. “Selamat Fathur Roziqin diterima sebagai penerima beasiswa bidikmisi 2019 dan bla bla bla…” seketika itu saya sujud syukur puluhan menit dan saya kegirangan bukan main malam hari yang melelahkan itu: betapa karunia Tuhan sangat indah sekali. 

Setelah menjalani kehidupan berbulan-bulan penuh kerumitan terkait pendaftaran masuk kampus, akhir cerita, Tuhan memberi hadiah lain kepada saya dengan menguji hambanya menjadi KAFIR dulu. Oh… betapa rendahnya iman saya waktu itu. 

Pada kesadaran yang mencuat saya belajar tentang banyak hal—tentang kesabaran, keikhlasan menerima, menjalani perjuangan, dan ketulusan berbakti kepada orang tua maupun segenap lapisan masyarakat—baik ketika masuk dunia kampus maupun dunia komunitas yang bernama Intellectual Movement Community (IMC). 

Beberapa minggu setelah interview saya, tentu saja, menunggu akhir keputusan juri dan panitia Open Recruitment Kader Baru dan saya dinyatakan resmi sebagai kader baru di Intellectual Movement Community (IMC) angkatan ke-5 pada akhir November 2019 bertepatan semester perdana sebagai mahasiswa baru. 

Betapa melelahkan saat-saat dimana saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru, penerima beasiswa bidikmisi, dan sampai penerimaan anggkota baru kader Intellectual Movement Community (IMC). Lagi lagi saya belajar satu hal: kesabaran.  Dan hal lainnya, tentang rahasia doa orang tua. Ya… rahasia doa kedua orang tua itu adalah senjata bagi saya, bagi Anda, bagi kita semua.

Tentang PETA IMPIAN dua ribu sembilan belas: menjadi mahasiswa, mahasiswa penerima beasiswa, mahasiswa yang belajar menulis (di komunitas IMC)—kini tercapai sesuai harapan. Semoga tahun ke tahun upaya menggapai impian menjadi kenyataan. Amin.
***
Baca selanjutnya:
 
;