Tampilkan postingan dengan label Sunyi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunyi. Tampilkan semua postingan
: untuk kawan-kawan KKN 176
sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; setelah dingin telah usai; setelah berdentumg puing-puing kerinduan; setelah gelegar tawa tak lagi terdengar; setelah obrolan receh telah lenyap, & kini kita kembali hangat pada masing-masing keadaan; namun kenangan menancap kuat dalam tempurung kepala—dari ribuan sumbringan tawa; yang tersisa hanyalah bayangan peristiwa—dari pertanyaan tentang manusia.
kepada siapa rindu ini meletup; yang mencair di tengah gurun kesendirian; yang menghasrati api pertemuan; yang diam-diam memabukkan; hening lagi sunyi malam ini; hingga mata berkaca-kata menulis puisi.
sunyi kini memabukkan; hening berlabuh terisak-isak; dari mata seperti aliran air terjun yang mengguyur muka; sesaat mengingat-teringat satu persatu satu kenangan itu; dalam puisi ini riuh rindu; ke dalam sanubari yang tak tertahankan di penghujung sunyi.
sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; hanya bayangan tentang kita kini yang tersisa; tentang suatu masa dimana kita pernah bersama; dalam suatu atap yang kini bernaung di lubuk terdalam tempurung kepala—dari peristiwa-peristiwa 40 hari di gubuk singgah sana.
dalam bayanganku pagi itu; ketika seluruh mata mengalir dan aku tidak—seraya tersenyum menyaksikan; telah ku skenario untuk tidak mencair bagian mata; karena kau tahu dan aku rasa lebih berusia dari sesiapa di antara kita; namun diam-diam aku memalingkan muka sesaat kau memeluk dan menangis pamit pulang pada ibu kos itu; seraya benar-benar aku tak kuasa menahan tangis; aku pergi berlabuh ke belantara untuk pura-pura bahwa aku masih kuat menahan luka mata; karena aku tahu & … ku coba saja senyum meski senyum terasa getir; melihat masih ada sisa mata yang mengalir; sepertia aliran air terjun yang mengguyur; gemercik kesedihan yang tak terjelaskan.
mungkin kita teringat masa 40 hari itu; telah begitu membekas pada sel-sel otak; yang menyebabkan sulit dilepas-pisahkan; yang menyebabkan mata mengalir; yang menyebabkan kini rindu tertanam—dari ribuan pertanyaan tentang arti pertemuan-perpisahan dalam kehidupan &, ah … aku benci kata perpisahan. sulit diterangkan mengapa.
izinkan aku ajukan tanya: adakah benar perpisahan itu ada?; masihkah suatu saat nanti kita dipertemukan kembali setelah panggung sandiwara ini berakhir?; setelah aku atau kau tiada di alam sini, setelah alam ku di sana?
sebelum aku atau kau sampai pada batas usia; sebelum aku atau kau telah tiada sampai pada janji menjemput kita.
dalam bayanganku kini; setelah usai dingin ini; masih ada kedinginan menggigil; adalah tentang masa depan kita (bukan dunia tempat kita singgahi ini)—masihkah kita akan dipertemukan kembali?
Setiap waktu adalah kesempatan. Ada dalam kendali setiap diri yang memanfaatkan atau menyia-nyiakan. Dalam ketakutan yang semakin akut, dari waktu ke waktu, yang saya takuti adalah seluruh kejadian yang pernah saya lalui di dunia ini akan terulang kembali.
Itu sebabnya saya tidak menginginkan hari ulang tahun, tidak pernah menginginkan atau menerima ucapan selamat ulang tahun, dari siapapun, pada hari kelahiran. Saya tidak ingin tahun sudah berlalu terulang kembali dengan seluruh kejadian-kejadiannya, dengan seluruh entah berantahnya.
Datangnya hari kelahiran, setidaknya bagi saya, adalah waktu kehilangan dan usia diingatkan, dengan kesadaran atau ketidaksabaran.
Jika saya menerima ucapan selamat atas hari kelahiran, apakah saya berada dalam kesadaran atau ketidaksadaran, serupa pedang yang sewaktu-waktu menghunus kesempatan, dan kemanusiaan manusia dipertaruhkan, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka.
Selalu ada ketakutan mendera yang tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata dan ketakutan itu memungkinkan saya mati dalam kebisingan, cemas dalam kesendirian, tak berdaya dalam kesunyian---dari ribuan pertanyaan tentang kehidupan.
Terlahir dari keluarga buruh tani, yang jauh dari tradisi orang-orang berpendidikan, tidak membuat saya gemar belajar, selalu berpandangan sempit akan suatu hal, dan selalu gamang untuk melaju lebih jauh, kerapkali menghantui masa depan pendidikan saya: apakah pendidikan yang saya tempuh hari ini mampu menjemput kesuksesan belajar pada suatu hari kelak?
Ada baiknya, untuk tidak buru-buru mengurai lebih lanjut tulisan ini, saya yakin dan memang harus yakin sebagai orang beragama; bahwa kewajiban seorang pelajar adalah belajar ... belajar ... dan belajar; sebab itu kunci keberhasilan seorang pelajar yang saya dapat dari guru ketika masih nyantri di pesantren (meskipun hingga kini boleh dikatakan saya masih santri). Dan ada baiknya pula menilik akar persoalan mengapa seorang pelajar terkadang gamang melihat masa depan pendidikannya dan bagaimana kemudian menyikapinya.
Pola asuh anak yang benar dan baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga, adalah berperan penting dalam menentukan keberhasilan orangtua menyiapkan masa depan pendidikan anaknya. Orangtua yang tidak menguasai pentingnya pendidikan parenting keluarga, akan memperlambat proses belajar sang anak, akan membuat darah tinggi sesaat setelah sang anak menginjak masa remaja-dewasa---jika kesalahan pola asuh mengakar.
Bisa jadi anak nakal adalah produk kesalahan dari pola asuh keluarga yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar belajar ada pola asuh dan pendidikan yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar membaca buku adalah kurangnya buku-buku bagus dilingkungan rumah, tidak serta merta kemalasan anak sepenuhnya. Kita mungkin sepakat bahwa lingkungan pula turut berpengaruh.
Sebagaimana pengalaman saya semasa kecil dan temuan saya ketika bertemu orangtua yang memperlakukan anaknya secara tidak tepat (untuk tidak mengatakan tidak benar): Ialah orang tua menginginkan anaknya berkata jujur, orangtua menginginkan anaknya gemar membaca; sedangkan pada waktu-waktu tertentu, orang tua kerapkali berkata tidak jujur; orangtua bahkan (sebagian) melarang jika anaknya lebih suka membaca buku-buku cerita.
Padahal fakta menunjukkan bahwa buku-buku cerita dapat memperkaya imajinasi dan menumbuhkan rasa empati tinggi serta kecerdasan sang anak. Kata Albert Einstein: "Jika anda menginginkan anak-anak yang cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika anda menginginkan anak-anak lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng".
Kembali pada topik "ketidakjujuran orangtua", suatu kali saya melihat seorang bocah sedang bermain di lingkungan rumahnya; yang di temani ibu serta neneknya; karena bocah tersebut terlalu jauh bermain dari lingkaran batas rumah; sang ibu dan nenek itu tidak membolehkannya dan mengatakan, sebagai teguran mungkin, bahwa disekitarnya ada ular! Padahal kenyataannya, di tempat yang dimaksud tidak ada ular. Ibu dan nenek itu telah berbohong agar bocah tersebut tidak terlalu jauh bermain dan berharap mengikuti perintahnya.
Contoh pola asuh kebohongan-kebohongan kecil mungkin pernah kita temui di sekitar lingkungan rumah atau tempat lain, dengan konteks contoh yang berbeda. Kebohongan kecil "tidak jujur" seperti itulah membuat anak akan memperlakukan orangtua sebaliknya: berkata tidak jujur.
Silakan uji pernyataan ini dan perhatikan pengalaman kebohongan kecil pola asuh tersebut setelah anak menginjak remaja; dan saya telah membuktikannya, bahwa suatu kali orangtua saya berbohong kepala saya; dengan alasan agar saya menuruti akan perintahnya; dan saya sering berbohong kepadanya; dengan alasan tidak jauh berbeda, agar keinginan saya dipenuhi.
Tanpa disadari atau disadari sebenarnya. Bahwa saya telah berbohong atas produk kebohongan-kebohongan kecil orangtua dulu memperlakukan saya, sebagaimana pengakuan di atas.
Sebenarnya pola asuh keluarga saya bersangkut-paut dengan minimnya tingkat pendidikan. Keluarga saya bukanlah keluarga orang berpendidikan. Ibu mengaku bahwa ibu hanya lulusan sekolah dasar; sementara bapak sekolah dasar pun tak tamat; kata bapak, dulu berhenti pada kelas 3 karena keterbatasan ekonomi. Orangtua bercerita bahwa dulu anak desa bisa sekolah menengah pertama saja dan bisa lulus itu berarti orang berkecukupan---tipikal orang-orang berada.
Jelas orangtua saya tidak punya bekal pengetahuan cara mendidik anak yang baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga yang seharusnya ia pelajari, namun bapak ibu telah berusaha menjadi orangtua bertanggungjawab dan memberikan pola asuh semampu dan sebaik mungkin.
Terbukti saya dan, adik saya, diusahakan agar menempuh pendidikan selayak mungkin, dengan dorongan semangatnya yang tak pernah saya lupa serta dorongan kuatnya setiap kali saya sedang malas belajar. "Kalau kamu malas belajar, ingatlah orangtua saat berjemur di bawah terik matahari, gotong jagung panas-panas di sawah," katanya pada suatu hari ketika menjenguk saya di pesantren. "Usahakan jangan ikut profesi bapak. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri."
Yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari keluarga kaya raya, berpendidikan, berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya; tetapi sejatinya kita bisa memilih dan menentukan hidup, meski dengan keterbatasan yang kita miliki, bahwa kita berhak menentukan arah hidup; bahwa kita berhak memilih dengan siapa kita kelak menempuh kehidupan baru, dengan bekal pendidikan yang telah kita jalani.
Kedua, kita semakin sadar bahwa pola pendidikan keluarga yang baik adalah dipengaruhi oleh lingkungan serta pendidikan baik sang anak; yang kelak menentukan keberhasilan perjalanan pendidikannya; yang akan berdampak pada cara berpikir serta cara bertingkah laku sang anak (sebagaimana orientasi pendidikan pesantren) ketika kelak ia mulai tumbuh dewasa.
Hal tersebut saya rasakan semenjak masih bocah hingga saya masuk ke pesantren, berlanjut ketika mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan banyak mengenal orang-orang sukses dan bersentuhan dengan buku-buku bagus.
Terlepas dari kekurangan pola asuh keluarga, setelah kini saya menyadari sebagai mahasiswa, adalah bahwa penting menanamkan dan mempelajari pendidikan parenting serta belajar mengarungi arah hidup.
Langganan:
Postingan (Atom)