Tampilkan postingan dengan label Ekspresi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekspresi. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus

Malam itu, tepat usai tahun baru, pada 02 Januari 2019, adalah awal kedatangan saya pindah pesantren ke Kaliwates Jember. Ialah setiap hari bagi santri baru adalah hari-hari yang baru.

Tapi sesuatu disebut baru apalagi santri mampu dan dapat terus tumbuh beradaptasi dengan harapan dan impian yang mengitari lingkungan kehidupan sekitarnya. Itu sesuatu yang rumit dan butuh adaptasi panjang mengikuti alur kehidupan.

Tapi apapun tantangannya sebagai santri baru memaksa dirinya harus beradaptasi dan sebisa mungkin mengerti keadaan atau peluang kesempatan belajar. Dengan peluang kesempatan itulah ia dapat tumbuh dan terus belajar memperbaharui diri yang baru dari diri yang pernah layu.

***

Setelah setengah tahun berada di pesantren pikiran kembali melayang-layang terkait keputusan melanjutkan kuliah. Harapan itu tak pernah surut bergulat dengan peristiwa tiap hari ketika santri lewat depan kamar saat saya berdiam diri di kamar sendirian melamun tentang pendidikan masa depan. Suatu impian masa depan yang tak pernah gampang ditaklukkan. Begitu bisikan hati dan pikiran berkecamuk kacau setelah melewati penolakan kampus berkali-kali saat saya coba mendaftar kuliah.

Anda tahu, ditolak kampus berkali-kali ketika itu jauh lebih menyakitkan ketimbang ditolak perempuan mengajak pacaran. Itu pengalaman paling berpengaruh besar dalam perjalanan saya selanjutnya, dan bagaimana saya menyikapi persoalan kehidupan mendatang yang mungkin akan jauh lebih mencekam memecahkan onggokan batu besar di tengah jalan.

Saya merasa pada waktu itu seperti berada dalam kondisi terendah, berada dalam kondisi diambang putus asa, dan memang setiap orang akan mengalami fase pengalaman terendah, bukan dalam arti ia paling terendah dari sekian banyak manusia, melainkan titik terendah dalam arti melewati proses tantangan mencekam melewati persoalan kehidupan yang mungkin taruhannya ialah impian dan nyawa.

Saya pernah berada dalam kondisi diambang putus asa seperti itu. Satu pengalamannya ialah ketika memperjuangkan hak pendidikan yang sempat terlunta-lunta dan ditolak kampus berkali-kali. Kira-kira catatan proses penolakan kampus itu jika ditulis pengalamannya seperti ini alurnya.

Percobaan pertama pendaftaran kuliah.

Pada malam hari itu saya membuka website pendaftaran kampus dan ternyata dalam laman resmi tertera bahwa ijazah saya sudah kadaluwarsa. Artinya kampus hanya menerima ijazah angkatan kelulusan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan. Sementara ijazah saya tidak masuk dalam bagian ketentuan tersebut.

Akhirnya saya menghubungi pihak kampus lewat email dan dibalas oleh pihak kampus. "Maaf, kami hanya menerima angkatan mahasiswa baru sesuai ketentuan aturan". Pikiran saya langsung pening setelah sekian hari menunggu balasan email dan mendapatkan jawaban menyakitkan dan mendiskreditkan yang entah apa maksud dan fungsi aturan seperti itu.

Percobaan kedua pendaftaran kuliah.

Saya mencoba klarifikasi langsung ke pihak kampus di bagian rektorat pusat dan menanyakan hal serupa namun saya bumbui pertanyaan lain dengan perbandingan, "Mengapa kampus PTKIN lain seperti UINSA masih menerima ijazah angkatan 2016, sementara kampus di sini tidak menerima?"

Pihak kampus menjawab seenaknya. "Ya ... Mas kalau begitu daftar kampus di sana saja". Kendang telinga saya langsung pecah, mata saya bergocoh dengan raut muka monster.

Percobaan ketiga pendaftaran kuliah.

Saya menanyakan banyak hal kepada kawan para aktivis kampus bagaimana sekiranya saya bisa mendaftar kuliah, barangkali mereka bisa membantu dan mencarikan orang petinggi kampus yang bisa saya temui untuk bernegosiasi, saya ingin menyampaikan maksud baik saya untuk belajar, tetapi rupanya para kawan aktivis kampus itu tidak punya relasi ke arah situ. Akhirnya negosiasi buntu.

Percobaan keempat pendaftaran kuliah.

Kabar bahwa saya ingin melanjutkan kuliah ternyata tersebar di keluarga pesantren, tempat di mana saya bermukim diri mengajar para santri. Pengasuh pesantren jadi dosen. Akhirnya, oleh pengasuh, saya dibantu dan dicarikan jalan bagaimana supaya saya terdaftar kuliah namun tetap saja tidak bisa oleh sebab aturan yang ada katanya.

Keluarga pesantren sempat juga menawarkan saya kuliah di luar negeri tetapi saya langsung memohon maaf. "Sempat punya impian kuliah ke luar negeri, Gus. Cuma pihak keluarga tidak mengizinkan kalau terlalu jauh," curhat saya. "Dalam negeri saja saya maksa ke orangtua tetapi tetap tidak bisa. Tahun ini baru saya mengajukan lagi mau kuliah, baru diizinkan oleh Ibu".

Kabar bahwa saya ingin kuliah itu makin menyebar di kalangan guru SD tempat saya mengajar alquran pada waktu pagi. Salah satu Ustadzah Hafizah ternyata suaminya dosen syari'ah di kampus. Ia membantu saya mencarikan jalan lewat jalur salah satu dekan. Yaitu suaminya itu. Tapi tetap suaminya tidak punya otoritas wewenang mengubah aturan yang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Hafizah. Ia kemudian menawarkan kampus di tempat lain namun saya katakan keluarga setujunya kuliah di tempat kelahiran saja. Ustadzah Hafizah itu paham kondisi batin seorang Ibu dan menasehati saya agar bersabar supaya menemukan jalan keluar. Siapa tahu masih ada jalan harapan, katanya.

Anda tahu, bukan; bahwa memupuk harapan berarti harus menyiapkan diri menghadapi kekecewaan. Sejak harapan kuliah pupus di tengah jalan berkali-kali, dalam diri saya seperti ada perasaan kecewa dan putus asa, bukan saja pada diri sendiri maupun pada orang yang telah mengkhianati, melainkan juga kepada orangtua sebab sejak lama saya sudah meminta izin kuliah kepada orangtua, khususnya Ibu, namun tidak diperkenalkan oleh keluarga. Setelah saya empat tahun lulus sekolah menengah, baru kemudian orangtua mengizinkan saya kuliah.

Apa itu tidak membuang-buang waktu namanya?

Karena itu, sebetulnya saya sempat malas hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebab saya sudah telat cukup lama. Namun karena lingkungan menghidupkan impian lama, secercah harapan kuliah tak pernah lepas dalam pikiran.

Penampakan santri kuliahan saban hari mondar-mandir depan kamar saya tiap pulang kampus, menyadarkan dan membangunkan tidur panjang saya menuntut hak menempuh pendidikan perguruan tinggi.

***

Pada 29 Juli 2019 ialah tepat penutupan akhir pendaftaran kampus. Saya mendaftarkan diri setelah menemukan jalan terang lewat proses komunikasi salah satu panitia penyelenggara. (Tentang bagian ini kita cerita di lain waktu dan melihat bagaimana rezeki itu bekerja sesuai rencana yang maha kuasa). Pada proses ini banyak orang-orang baik membantu saya menyiapkan segala kebutuhan pendaftaran kampus, termasuk biaya. Saya tidak akan melupakan kontribusi orang-orang baik itu seperti tertulis dalam catatan lalu di sini.

Pada 31 Juli 2019 ialah waktu tes ujian pendaftaran kampus. Saya tidak belajar sama sekali sebab waktu terlampau singkat dan saya memilih membaca buku-buku apa saja yang akan saya pelajari di bangku kuliah nanti. Saya punya keyakinan kuat bahwa saya akan diterima sebagai mahasiswa sebab program studi yang saya ambil adalah tergolong baru dan sepi peminat. Karena itu saya yakin saja. Pasti diterima, kata teman saya. Dan benar. Pernyataan dan keyakinan kuat itu tidak meleset barang sedikit pun.

Minggu, 03 September 2023 0 Komentar

Mari Menjadi Gila


Dibanding baca buku berat-berat yang bikin kepala anda berkerut, akan jauh lebih menjanjikan kehidupan masa depan anda  dengan berselancar di media sosial, berkomentar sesuka hati anda sepedas mungkin di kolom komentar media sosial orang lain, adalah hal paling bahagia menjalani hidup di dunia ini, dengan demikian kehidupan bermasyarakat semakin berwarna dan semakin sejahtera bahkan tercerahkan orang anda. 

Tak peduli lagi berpikir, apalagi merenung, apakah waktu yang sedemikian penting dan berharga itu punya arti atau tidak, itu hal lain. Yang terpenting ialah bagaimana anda membuang-buang waktu itu sebebas-bebasnya, tanpa penyesalan dan tanpa pertimbangan; adalah bahwa kelak kehidupan di masa tua anda sudah ada yang menjanjikan itu semua. 

Perkara berarti atau tidak bagi sesama umat manusia? Itu perkara lain. Hari ini adalah hari paling istimewa untuk anda bermain-bermain, berselancar di banyak tempat sebebas mungkin, entah di instagram, tiktok, twitter, facebook, dst. 

Selanjutnya ... 

Di tengah krisis intelektual hari ini, berita-berita yang kian membodohi anda jauh lebih berarti bagi keberlangsungan anda. Santapan berita-berita itu tak perlu lagi anda verifikasi, apakah benar atau tidak, itu soal lain; apakah bermanfaat atau tidak, itu juga soal lain; apakah artis itu sedang memanfaatkan media massa sebagai metamorfosis tetek bengek dramanya adalah konsumsi paling laku dan paling maknyus bagi anda dan masa depan kehidupan anda. 

Jika artis dan para kroninya hari ini hidup kaya raya, sembari pamer harta, bahkan menuhankannya, seolah-olah hidup adalah harta itu sendiri, ialah hal itu menunjukkan kontribusi terbaik anda bagi kehidupan mereka. 

Anda tak perlu khawatir jika suatu saat nanti anda jatuh miskin, baik secara moral maupun intelektual. Artis adalah jalan satu-satunya tempat anda berlabuh. Anda bisa meminta fatwa atau nasehat pada mereka, barangkali mereka dapat membantu kehidupan anda. 

Mungkin, artis teman akrab baik anda itu, adalah orang-orang yang paling berhutang budi luhur atas jasa-jasa anda terdahulu, sebagai fans, sebagai orang penting. Mungkin, artis itulah orang pertama yang bakal menolong anda. Dan barangkali juga dapat  menyelamatkan kehidupan anda selanjutnya. Karena mereka punya hutang budi luhur bagi anda. 

Oleh karena itu, anda tak perlu lagi baca buku berat-berat, belajar dan mengarungi lautan ilmu, sudah tak penting lagi bagi anda, sebab kehidupan anda sudah ada yang menjanjikan; siapa yang menjanjikan itu semua? 

Ya ... Anda sudah tahu dan paham betul jawabannya: instagram, facebook, tiktok, artis, mungkin juga opa-opa, dst. 
Senin, 20 Februari 2023 0 Komentar

Perihal Skripsi


Peralihan zona nyaman menuju zona tantangan seperti halnya memilih ‘iya’ atau ‘tidak’ untuk melanjutkan hidup. Perumpamaan lebih tegasnya ketika kita lapar pilihan kita hanya dua. Makan atau tidak makan. Tak ada pilihan yang ketiga. Pilihan kita bekerja bagaimana menghasilkan uang agar bisa makan atau tidak bekerja, tidak makan (kecuali kalau tetangga kita berbelas kasih tiap hari).

Kita merasa aman ketika punya uang dan, dengan uang itu, bisa beli makanan. Tapi ketika uang tak lagi kita punya, barulah wilayah zona tantang memberi pilihan: apakah ‘iya’ akan bekerja atau ‘tidak’ akan bekerja.

Perumpamaan di atas saya ingin menariknya ke perumpamaan mengerjakan skripsi; atau suatu hal yang memungkinkan kita memilih sesuatu hal atas pilihan hidup; tapi fokus tulisan ini problem skripsi, dan bisa diumpamakan pula dengan perjalanan hidup. 

Mahasiswa memutuskan kuliah; itu berarti ia menanggung tugas menyelesaikan kuliah dengan syarat mengerjakan skripsi. Tanpa syarat ini, mahasiswa tak layak disebut lulus kuliah, kecuali kebijakan kampus mengeluarkan ketentuan lain sebagai pengganti syarat kelulusan tersebut, misalnya mahasiswa yang rajin menulis-nan-publikasi jurnal, bisa diluluskan tanpa syarat skripsi.

Pada umumnya, skripsi adalah syarat mahasiswa dikatakan selesai menempuh studi formalnya. Namun dalam menempuh studi kehidupan, ia takkan pernah selesai, mahasiswa akan terus berproses menjadi manusia, sebagaimana paparan nanti, dengan aneka ragam varian masalah kehidupan. 

Sebagian mahasiswa memilih tidak memenuhi syarat kelulusan tersebut. Saya kira tidak masalah, selama siap atas konsekuensinya. Sebab itu sebuah pilihan. Sebagian mahasiswa lain sebaliknya, memilih dan mengerjakan syarat tersebut. 

Di antara kedua pilihan tersebut adalah mengerjakan atau tidak mengerjakan syarat kelulusan. Dan, ohya, pada konteks pembicaraan ini diluar joki skripsi, sebab hanya mahasiswa tertentu sekarang bisa lulus tanpa mengerjakan skripsi; mahasiswa ini memilih joki tugas kampus; bahkan fenomena terbaru sekelas calon guru besar diduga terlibat kasus nirmoral ini. Sungguh ironis! 

Problem Membaca-Menulis

Saya sering mendapat pesan WhatsApp dari mahasiswa—baik mahasiswa lama, mahasiswa baru dan mahasiswa seangkatan—sejak semester empat; atau lebih tepatnya sejak saya mulai dikenal bisa menulis (meskipun sebenarnya tulisan saya tak begitu bagus, tapi menururt persepsi mereka bagus, menurut saya biasa saja). Pesan itu bentuk keluh kesah mereka perihal tugas kampus dan biasanya paling banyak tugas skripsi.  

Setelah pengaduan keluh kesah itu selesai, selain diskusi adu mulut tentu saja, giliran saya menanggapi. Saya balik bertanya dimana letak kesulitannya. Jawaban pada umumnya kesulitan mereka dalam menulis; dan saya katakan bahwa kunci menulis adalah membaca sebanyak-banyaknya, mengamati, mencermati dann meneliti bagaimana teks itu ditulis.

Tapi kebanyakan mereka tidak suka membaca apalagi meneliti dan menulis. Nahas. Saya katakan ‘itulah masalahnya’. Selama masalah pertama belum diatasi tidak mungkin mengatasi masalah berikutnya (baca: problem menulis). Jika masalah pertama selesai teratasi; maka kasus berikutnya terletak pada kebiasaan menulis. 

Saya tahu bahwa mereka belum terbiasa menulis dan karena itu, saya menyarankan agar latihan menulis setiap hari. Namun saran itu terkadang masih kurang efektif dan biasanya mereka balik menjawab “tapi kan” dan bla bla lainnya. 

Sebenarnya tidak ada jawaban “tapi kan” atau "bla bla lainnya" setelah mahasiswa tahu mana letak masalahnya. Dan kita patut sadar tentang masalah kebiasaan tersebut. Caranya bagaimana membentuk kebiasaan tersebut adalah mengubah cara berpikir kita tentang kebiasaan kita hari ini: mulai membaca banyak dan menulis banyak. 

Jika mahasiswa sudah terbiasa menulis (juga membaca) namun belum sepenuhnya bisa mengatasi masalah yang dihadapinya, satu hal yang harus diingat, ini saran saya, adalah waktu. Ya waktu. Persoalan mahasiswa sekarang adalah “ketidaktahanan” menjalani proses dan menikmati proses belajar; lebih-lebih penelitian.
 
Pada titik kulminasi proses ini saya tidak mau menjawab panjang lebar masalah mereka; sebab hal itu terletak pada daya tahan dirinya sendiri, dan saya tidak punya kewajiban penuh menjawab semua problem mereka; toh mahasiswa pasti punya kesadaran bahwa kuliah adalah proses belajar pembentukan karakter diri secara mandiri dan itu berada dalam kesabaran ia sebagai peneliti; sebagai pembelajar.

Menghadapi Hidup

Oleh karena itu, mengapa tulisan ini mengupas topik skripsi/tugas kampus (atau tugas hidup?), saya ingin mengatakan bahwa penemuan/keberhasilan terhebat di dunia ini, setidaknya pada setiap ukuran pribadi mahasiswa, adalah manusia sadar bahwa sebelumnya mereka mengira tidak akan mampu melakukan suatu hal dan setelah menjalani proses suatu hal tersebut (baca: tantangan), manusia sadar bahwa setiap kita mampu menaklukan tantangan dan memiliki kemampuan dalam melewati tantangan yang penuh ombak berduri itu. 

Saya kira setiap mahasiswa perlu mencoba tantangan dan menaklukan tantangan sebelum tantangan berikutnya akan tiba; akan kita hadapi, dan kita tahu cara bersikap pada tantangan tersebut yang tentu kita sudah terlatih dan terbiasa menghadapi tantangan besar bahkan tantangan menghadapi masa depan itu sendiri. 

Pada konteks ini kita harus—atau mungkin (?)—sepakat bahwa badai kehidupan tidak akan pernah usai;  sebab, setidaknya menurut saya, selama kita masih hidup, badai pasti (!) belum pasti berlalu, meskipun banyak orang mengatakan badai pasti berlalu.

Saya kira, selama kita masih hidup, badai arti kecil maupun besar tetap saja akan tiba; akan kita hadapi, seperti tantangan skripsi yang perlu dan penting kita hadapi dengan sikap, selain bersabar dan berproses menikmati belajar, menerima dan menjalaninya dengan kepala positif. 

Tapi bagaimana menjalani masalah dengan kepala positif? Nah, kini badainya terletak pada cara berpikir kita; bukan pada masalah itu sendiri. Bukankah cara berpikir kita menentukan cara bertindak kita terhadap problem yang sedang kita hadapi, yang terkadang bringas nan pula bijak? 

Saya kira selama manusia masih hidup di dunia akan tetap menghadapi ujian, meskipun porsi ujiannya beraneka ragam, ada yang kecil, ada yang besar atau setengah ringan saja. Sementara tantangan hidup (baca: studi kehidupan) jelas tidak seperti ujian/tugas/skripsi kampus tersebut, melainkan kita justru ditantang menghadapi masalah kehidupan tanpa jadwal; tanpa menjelang waktu; tanpa aba-aba. 

Artinya, pilihan kita tetap pada dua poros ini: “iya” atau “tidak” menghadapi tantangan tersebut. Tapi, tak selamanya hidup ini harus selalu menantang melawan ombak berduri itu bukan? 

Adakalanya kita perlu berkontemplasi sejenak sekaligus menertawakan perjalanan hidup; perjalanan kuliah kita yang kadang asem, kecut, asin, manis, tawar bahkan pahit? 
Sabtu, 31 Desember 2022 0 Komentar

Refleksi Tahun Baru Biasa Saja

: sekadar catatan skripsi selanjutnya

Dear Fathur,

Kini telah memasuki pergantian tahun yang dianggap banyak orang tahun baru. Tapi, sepakatkah tahun itu bagimu benar-benar baru? Tampaknya kamu tidak begitu peduli terhadap anggapan bahwa tahun itu benar-benar baru. Sebab kamu tidak begitu menaruh perhatian setiap pergantian tahun. Kamu mungkin akan dianggap bodoh jika tidak punya anggapan sama tentang tahun baru seperti kebanyakan orang dan mungkin orang akan menganggap kamu kolot jika tidak merayakan tahun baru dengan gegap gempita seperti hari ini. 

Secara pasti kamu tampak menghiraukan pemaknaan tahun baru menurut kebanyakan orang itu bukan. Hebat. Kamu memang harus berbeda dari kebanyakan orang sebab kamu diciptakan oleh tuhan tidak untuk selalu sama dengan orang lain. Kamu harus menciptakan pemaknaan sendiri apa itu tahun baru. 

Misalnya, kamu memahami tahun baru sebagai hari pengingat saja bahwa kamu harus belajar untuk mengoreksi, dalam segala hal,  secermat dan sebaik mungkin hari-hari yang telah berlalu sekiranya masa depanmu lebih cerah dan tidak melulu itu-itu saja. Artinya, setiap pekan bahkan setiap hari kamu harus dan dituntut oleh dirimu sendiri untuk memberi makna hari itu sendiri tanpa harus terikat pergantian tahun yang setiap tahun pasti itu bakal terjadi. 

Oleh karena itu, meskipun pemaknaan tahun baru ini mungkin agak culun menurut orang lain, tapi kamu harus berpemahaman demikian, dan, jangan lupa, kamu harus merevisi pemahaman ini jika suatu saat nanti kamu menemukan pemaknaan tahun baru yang lebih segar.
*
Sejak dua minggu ini, tampaknya kamu banyak malas-malasan dibanding bulan-bulan lalu sebelum kamu melaksanakan seminar proposal. Kamu tampak begitu santai dan banyak menyia-nyiakan waktu begitu saja dan larut dalam permainan media sosial hingga lupa waktu belajar. Padahal sebelumnya kamu tampak begitu gigih mengerjakan tugas kuliah hingga berjam-jam menatap laptop dan menelaah pelbagai buku agar kamu bisa mengikuti ujian proposal akhir semester lalu. 

Namun hari ini kamu membuat kebiasaan yang begitu mencemaskan masa depanmu. Kamu harus ingat kawan pesan Benjamin Franklin pernah menulis bahwa kita mungkin bisa menunda, tapi waktu tidak mungkin menunggu. 

Saat ini kamu telah melaksanakan seminar proposan meskipun hasil proposalmu tampak begitu hancur—dan sepertinya kamu terlampau bersemangat menulis di bagian latar bekakang hingga lupa bahwa latar belakang yang kamu tulis sebenarnya tidak begitu penting—setidaknya menurut penguji itu. 

Apa yang kamu tulis ternyata tidak sesuai ekspektasi dosen penguji, baik dalam aspek aturan penulisan karya tulis ilmiah, catatatan kaki yang, boleh dikatakan, hancur semua, hingga metode penelitianmu yang menabrak aturan pada umumnya.

Tapi kamu harus bersyukur dan berterimakasih karena telah dikoreksi dengan teliti oleh dosen pembimbing dan pengujimu. Dengan begitu kamu tahu letak kesalahan dan kebodohanmu dan tahu apa yang harus kamu lakukan saat ini untuk memperbaiki semua itu.

Sebagai kembaranmu, aku tahu kamu menjadikan sejarah sebagai latar bekakang; bukan interpretasi sebagai latar bekang—yang seharusnya memang demikian saran dosen pengujimu itu—jika kamu menulis proposal, Kontekstualisasi Zakat: Studi Reinterpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Q.S At-At-Taubah [09]: 60. Namun kamu lupa atau (mungkin) pura-pura lupa menjelaskan interpretasi penelitianmu itu dalam latar belakang. 

Kamu memakai sejarah sebagai latar belakang dengan alasan, yang pada saat ujian kamu lupa untuk mengutarakan maksudnya, untuk membatasi pembahasan yang nantinya memakan banyak halaman. Tetapi tidak mengapa jika kamu mengikuti saran dosen pengujimu itu sebab memang saran itu layak kamu pertimbangkan ulang—seperti semula kamu berencana demikian. Dan ingat! kamu tidak bisa merasa paling pintar dan menutup diri dalam hal ini sebab kamu masih bau kencur dalam penelitian pustaka. 

Dengan alasan itu, kamu tampak begitu bergairah memaparkan banyak hal tentang sejarah bagaimana zakat pada zaman Nabi Muhammad kala itu dan lupa bahwa seharusnya kamu memaparkan nanti pada subbab hasil penelitian. Tapi, aku kira kamu cukup berhasil, yang sebenarnya itu penelitian berat menurut kebanyakan kawan fakultasmu, setidakanya kamu mampu menyelesaikan proposal sampai detik akhir semester tujuh ini. 

*
Tampaknya saat ini kamu membuang banyak waktu luang hingga kamu leha-leha akhir-akhir ini.  Padahal sudah waktunya kamu melanjutkan proposalmu yang terbengkalai dua minggu ini. Jangan banyak alasan kamu tidak bisa menulis atau alasan apalah, sementara dalam kepalamu sebenarnya sudah penuh apa yang bakal kamu tulis.

Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah melawan rasa kemalasam dan keculasan dirimu sendiri bahwa kamu bakal menyelesaikan dalam waktu dekat, sebenarnya perasaan demikina adalah omong kosong ilusi malasmu. Itu alibi saja. Itu alasan yang dibuat-buat oleh dirimu sendiri dan tidak mau menulis cepat-cepat yang sebenarnya itu jauh lebih efisien.  

Maka, sejak aku menemanimu malam ini, mendengar keluh cemasmu saat ini, kamu harus menulis secepat-cepat mungkin tanpa harus merasa terintervensi oleh aturan-aturan kaku kampus agar tidak mengantarkanmu dalam kemustahilan merampungkan skripsi secara bagus.

Bukankah masih ada waku lain bagimu untuk menyelesaikan pekerjaan mengedit setelah menulis awal rampung. Kamu tidak bisa menulis sambil banyak mengedit bagian-bagian yang sebenarnya bisa kamu benahi pada akhir nanti. Maka, menulislah secepat mungkin dan buang perasaan yang dapat menyensor dirimu ketika menulis.

Jika minggu-minggu lalu kamu banyak melunagkan waktu yang tidak penting—dan memang kamu menganggap kemarin waktu tidak penting—maka hari ini kamu harus bergerak dan berubah untuk tidak menjadi fathur seperti tahun yang sudah lalu. 

Artinya, dalam menyambut tahun baru ini, kamu perlu persiapan mental untuk memperbaiki kualitas harianmu lebih baik lagi agar tidak sekadar mengulang tahun yang sudah berlalu.  

Jika kamu masih terus berada pada seperti tahun lalu dan tidak ada perubahan mulai hari ini, kamu hidup mandek alias stagnan. Sebab pada dasarnya kamu sedang berhenti di jalan kehidupan dan tidak berkembang lebih baik. 

Dan, mulai hari ini, kamu harus banyak melihat waktu kosong sehingga bisa kamu manfaatkan dengan kegiatan positif dan gunakanlah waktu sebaik dan semaksimal mungkin, sebab jika kamu terus-menerus berada dalam kemalasan dan terjerumus pada kekosongan waktu—seperti itulah kelak cerminan masa depanmu.
Minggu, 08 Mei 2022 1 Komentar

Waspadalah!

Pada sore hari di sebuah kafe, dengan duduk santai sambil menikmati sajian kopi, kami mengobrol hal-hal receh-receh seputar kebisingan kampus dan beberapa menit kemudian topik obrolan mengarah pada pengalaman masing-masing dan ia ingin mengatakan sesuatu, dengan arah narasi satu hal, seolah-olah, bahwa dirinya sering dimanfaatkan oleh manusia-manusia berkepentingan. 

"Saya kalo mau minta bayaran dari jurnal yang saya tulis itu, Qin," ia meyakinkan pembicaranya dan saya tahu bahwa ia tidak mungkin berbohong sebab saya kenal dekat, "saya kaya raya, Qin. Tapi ya ..." ia beri jeda kata-katanya, seolah-olah ada sekat kata dalam tenggorokannya. 

Tampak saya melihat ada kekesalan dan kejengkelan di wajahnya ketika kata-kata "tapi ya ..." itu ia tahan, seolah-olah ia ingin memberontak konsep patuh, pada orang-orang yang dianggap guru, yang tidak patut ditiru. 

Ia membuka pikiran saya untuk berpikir realistis pada apa yang kita kerjakan dan saya setuju dengan nasihatnya itu. "Idealis bukan berarti harus menolak upah menulis, Qin." katanya. 

Saya tersenyum seraya menyetujui. "Betul, Mas. Kadang prinsip idealis oleh segelintir mahasiswa dikira harus menolak segala bentuk materi," jawab saya. "Sepertinya mereka punya kekuatan lebih untuk bertahan hidup meski tanpa uang."

Dan ia cekikikan, lalu kemudian menyeruput kopi yang agak mulai kedinginan. 

Saya memahami pengalaman getirnya, karena saya juga pernah mengalami hal serupa, meski bentuk rupa kepentingan itu berbeda. Ia kemudian berterus terang bahwa dilingkungan sekitarnya, banyak orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya; memanfaatkan keahliannya menulis; dengan rupa dan gelagat sama; yang suatu hari jika ada kebutuhan mendesah mereka datang dengan raut muka polos dan semacamnya, berbagai variannya.

Mereka pasang muka polos dan melobi segala cara untuk mendapatkan bantuan dengan tujuan persoalan tugas kampus selesai (dibalik kepolosannya ternyata ada maksud terselubung yang ingin meminta bantuan dan setelah urusan itu selesai, persetan mulai).

Tipikal manusia semacam di atas mungkin banyak dan tidak melulu urusan satu hal dan waspadalah keberadaannya. Sebab keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dan konsekuensinya, jika terlanjur masuk ke dalam dunianya: waktu habis oleh kepentingan-kepentingannya, yang sama sekali bukan tanggung jawab kita. 

Sesungguhnya ia tidak pernah menolak jika ada orang yang kesulitan menyelesaikan persoalannya dan meminta bantuannya; jika satu dua tiga kali mereka datang, tentu saja. Tetapi jika urusan bantu-membantu itu berulang-ulang kali dan pekerjaan itu memungkinkan mampu diselesaikan sendiri, kenapa harus merepotkan orang? 

"Kan bisa dipelajari sendiri," katanya. "Bisa dikerjakan sendiri."

Saya mengelaborasi obralan itu dengan realita yang terjadi di kalangan mahasiswa, yang belakangan---oh, jika saya tidak salah baca alamat---sulit gemar membaca. 

"Itulah pentingnya belajar menulis, Qin. Kita dituntut membaca sekaligus menulis," sanggahnya. "Kalau pun belajar menulis bukan untuk jadi penulis. Minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah."

Dan sekali lagi saya setuju. 

Kesulitan mereka menyelesaikan problem kepentingannya---yaitu tugas-tugas kampus itu---adalah minimnya semangat mereka membaca dan menulis. Saya setuju bahwa kalau pun tidak ada niatan untuk menjadi penulis, minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan tulis-menulis. 

Dan tugas-tugas kampus, sialnya, tidak seperti pekerjaan sawah yang berkaitan dengan cangkul, dan kawanannya, sebagaimana kita tahu bahwa, tugas kampus selalu bertali-temali dengan urusan membaca-menulis, kecuali masuk kampus pertanian. 

Dan obrolan sore itu kami tutup dengan misi yang sama: kita harus lebih berhati-hati kedepannya. Manusia-manusia berkepentingan masih berkeliaran di sekeliling kita dan kita harus rela menjaga jarak agar mereka tahu menempatkan diri bahwa dirinya juga mampu menyelesaikan problem ke-diri-annya.
Senin, 10 Januari 2022 0 Komentar

Main Tiktok yang Mboh


Seperti lepas tanggungan hutang tugas kuliah! Para Mbakyu menelanjangi kami dengan main tiktok. Padahal ... pada kenyataan sebaliknya: Sedang pening mengurus administrasi pendaftaran PPL. Tapi hutang tugas tersebut dijalani dengan bijak, main tiktok misalnya. 

Sungguh jauh dari tatanan jubah akademis, tapi ... saya kira mampu juga terobati penyakit pening kepala siang itu, setelah melihat penampakan Imam di layar HAPE yang jadi bahan referensi untuk menertawakan kebisingan hidup di dunia ini, untuk tertawa lepas. 

Apa keseruan main tiktok itu sengaja direncanakan atau dibuat untuk dagelan memperingati hari ulang tahun salah satu Mbakyu yang sedang berbahagia-bersenyum-merah-merona itu? Jelas tidak! Meskipun berkemungkinan yang bersangkutan telah merencanakan untuk menyambut hari kelahirannya, dengan bersedekah kue kue mantap itu? 

Entah ... Saya tak menemukan jawab. 

Pertemuan siang itu jelas tidak direncanakan, melainkan direncanakan oleh pendaftaran PPL itu sendiri. Oleh karena kini studi semester tua semakin mendekat, untuk bertarung dengan masalah tugas, juga praktikum dan lain sebagainya, ialah kesempatan bagi kami untuk tertawa terbahak-bahak dengan kekonyolan mahasiswa yang Mboh itu. 

Tidak ada istilah sungkan untuk saling menertawakan satu sama lain, menunjukkan kita lepas dan mengalir mengerjakan tugas kuliah yang makin hari makin nggak jelas mau dibawa kemana setelah menempuh studi ini berakhir. Satu dengan lainnya, ialah bercengkrama untuk membahas hal-hal remeh temeh bagaimana nanti di tempat PPL dan apa yang harus dikerjakan adalah menjadi boomerang dalam kepala mahasiswa yang Mboh itu. 

Ya ... kami minim stok waktu ngoceh bersama selama kuliah, setelah semester 3  pandemi menghantam dunia. Minim sekali ada percakapan hulu hilir di antara kami, untuk diskusi seperti apa menatap masa depan nanti dalam peningkatan dunia intelektual prodi. 

Entah ... perjalanan menempuh studi itu berjalan seperti air yang Mboh hendak mengalir kemana entah kemana, mengingat problem administrasi yang tak kunjung usai sewaktu pengajuan, mengingat apa telah dipelajari di ruang perkuliahan ada manfaatnya atau sebaliknya, jauh dari prediksi kuliah idealis. 

Ya ... sederhananya, aktifitas main tiktok tidak-lain tidak-bukan ialah untuk melepaskan kepenatan mengerjakan tugas berjibun-jiun yang bikin kepala pening dan administrasi pendaftaran PPL yang Mboh itu kepala semakin migren.

Adapun menyangkut pendidikan selanjutnya dan seumur hidup kita adalah sepertinya kita sendiko dawoh pada apa yang Paulo Freire ini katakan: "Pendidikan tidak menjadikan kita menjadi masyarakat terdidik, tapi yang disebut masyarakat terdidik adalah kesadaran kita bahwa kita ini belum finish belajarnya. Dan rasa belum ini yang menjadikan kita manusia terdidik".

Dan siapa Mbakyu yang sedang ulang tahun itu, para tiktokers ingin mengucapkan, "Moga-moga Mbakyu diberikan kesehatan serta dilancarkan impiannya."
Minggu, 09 Januari 2022 0 Komentar

Seputar Menulis

Kini kita memasuki tahun baru. Itu artinya, kita akan memasuki kehidupan baru. Dan menggelar kehidupan baru adalah tergantung bagaimana kita menjalaninya, apakah kita akan mengulangi tahun yang sudah lalu atau akan melakukan pembenahan kekurangan-kesalahan darinya. 

Dengan kata lain, hasrat untuk membenahi kesalahan dalam menjalani kehidupan, adalah sebuah proses belajar; sedangkan berhenti belajar dari kesalahan adalah kegagalan menjadi pembelajar. 

Seringkali saya merencanakan sesuatu tetapi sulit sekali merealisasikannya. Entah sekat apa yang telah menutupi saya untuk bertindak, hingga saya gagal dan larut dalam kemalasan. Rencana menulis sederhana, misalnya. Dalam satu tahun saya harus giat dan lebih konsisten menulis di blog ini, itu rencana tahun 2021 lalu, tetapi masih sulit menerapkannya. Mungkin saya perlu mengoreksi kembali apa yang salah dalam perencanaan saya. Maka ... 

Simulasi yang akan saya terapkan satu tahun mendatang, di blog ini, adalah dengan menurunkan sebanyak-banyaknya waktu menulis dan lebih banyak lagi membaca sebuah referensi agar ide-ide segar itu jauh lebih gampang di ikat dan di tulis. 

Dengan berpikir demikian, yang tidak terlalu muluk-muluk dalam proses belajar menulis, saya menyusun berbagai upaya untuk mewujudkan dan merealisasikan apa yang saya pikirkan, agar lebih gampang dan lebih mudah menjalani proses rencana tersebut. 

Pertama, saya harus merombak kembali kerangka waktu menulis. Jika tahun lalu saya terlalu muluk-muluk dalam merencanakan waktu menulis 3 jam dalam sehari semalam, maka, dengan banyaknya waktu itu, saya kadang gagal konsisten menulis; itu berarti ada yang salah dengan cara saya menyusun perencanaan waktu. 

Maka, saya harus menurunkan waktu menulis 30 menit untuk waktu pagi dan 30 menit waktu malam. Dengan demikian, 1 jam untuk menulis sehari semalam, saya dapat mengukur waktu dimana saya harus menulis dan kapan pula saya harus membaca buku, karena ... sebagaimana kita tahu, menulis-membaca adalah dua aktifitas yang tidak bisa dipisahkan, seperti aku dan kamu, yeah... 

Kedua, prinsip apa yang telah ditetapkan harus selaras dengan perencanaan dan eksekusi diri. Tahun lalu ... jika saya melanggar aturan, dengan entengnya saya semakin berleha-leha. Tak terpikir sadar bahwa kemalasan tersebut harus dilawan dan dibunuh! Seringkali saya suka melanggar aturan yang telah dibuat. Maka ... untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran tersebut, saya harus menghukum diri sendiri jika terbukti melanggar! 

Hukuman paling pantas adalah menjauh dari makhluk bernama HAPE! Sebab makhluk itulah yang kadang bikin jari jemari ini malas menulis. 

Dengan demikian, hal-hal sederhana yang dianggap sepele kadang merasuki ke dalam aktifitas lain yang potensial keteteran dan sulit mengeksekusi perencanaan yang telah ditetapkan. 

Jikapun saya masih kesulitan menerapkan dan mengeksekusi perencanaan sederhana di atas, sepertinya saya harus mengamati dan merenungi kembali; sebenarnya, siapa diri ini. Jangan-jangan hanya pintar berwacana tetapi sulit mengeksekusi rencana. 

Dan sepertinya saya harus patuh pada apa yang dikatakan Mbak Virginia Woolf ini: "Tidak perlu terburu-buru. Tidak perlu bersinar. Tidak perlu menjadi siapa pun, kecuali diri sendiri".
Kamis, 16 Desember 2021 0 Komentar

5 Alasan Mengapa Saya Nggak Makan Ikan Laut maupun Ikan Sungai

Sebagaimana telah saya tulis di bionarasi profil bahwa saya pemuda yang nggak makan ikan laut maupun ikan sungai. Tentu menulis demikian bukanlah-tanpa-alasan bukanlah-tanpa-sejarah—(jika itu layak disebut sejarah). Saya menulis demikian ada alasan mendasar yang perlu saya klarifikasi pada siapa pun yang telah membacanya agar tidak jadi boomerang dalam pikirannya! 

Sebab sebagian kawan, yang agak menjengkelkan, yang suka ngeledek—karena saya nggak pernah mau makan ikan (laut maupun sungai) ketika acara bakaran plus makan-makan biasanya—suka kaget! Padahal dengan jelas saya katakan padanya bahwa saya ini alergi makan ikan. titik!

Entahlah … harus bagaimana lagi cara saya menjelaskan padanya dan, kali ini, daripada ngotot ngeladeni orang nggak jelas, saya lebih baik menuliskan alasan “mengapa saya nggak makan ikan” sebagai bentuk klarifikasi. Ya … saya ingin mengklarifikasi alasan saya mengapa nggak makan ikan.

Baiklah … untuk memulai klarifikasi ini izinkan saya mengutip kata-kata Gus Dur yang populer itu, “Sampaikan kebenaran walaupun lucu!”. Dengan menyampaikan kebenaran walaupun lucu tidaklah merusak esensi kebenaran itu sendiri. Dan itu tidak dosa, bukan? Titik. Tak usah dibantah lagi! Dan inilah 5 alasan mengapa saya nggak makan ikan.

#1. sejak kecil sudah tidak bisa makan ikan 

Sewaktu kecil … saya sering dibawa sepupu saudara perempuan, lebih tepat-lebih kerennya tante, dan kalau sudah bersamanya: Saya sering diberi makan dirumahnya dan, karena masih kecil, saya tidak tahu menahu makanan apa yang ia suguhi pada mulut saya. Dan ternyata lauk pauknya ikan laut! 

Seusai makan kemudian saya menyadari bahwa apa yang saya makan rasanya tidak berkenan masuk ke perut—seketika perut saya sakit beberapa menit kemudian. Muntahlah saya. Dan beberapa hari setelahnya saya jatuh sakit akibat makan ikan.

Dari sejarah singkat itulah tiap saya dibawa oleh siapa pun—khususnya para tetangga yang suka nyejeli makanan ke mulut tanpa izin orang tua—ibu selalu mengingatkan bahwa saya tidak boleh diberi lauk pauk berupa ikan laut maupun ikan sungai sebab anaknya alergi, katanya.

Oleh karena pengalaman itu bikin saya sakit perut dan terkadang sampai jatuh sakit berhari-hari, maka menghindari lauk pauk berupa ikan tidaklah cemen, dan hal itu lebih baik sekaligus alasan mendasarnya, adalah menjaga kesehatan. Dan alasan kedua inilah lebih tepatnya. Bahwa  …

#2. menjaga kesehatan jauh lebih utama

Iya … sebab itulah saya tidak makan ikan laut maupun ikan sungai sampai hari ini … bukanlah-tanpa-alasan-bukanlah-tanpa-sebab saya tidak bisa menghormati sang tuan rumah atau kawan-kawan yang gemar bakar-bakaran ikan laut ketika ajakan menggembirakan itu tidak mudah saya tolak sebenarnya. Namun karena alasan itulah kadang saya suka alasan nggak nyambung menerima ajakan mereka dan memohon maaf padanya. 

Tetapi … tetap saja beberapa di antara mereka responnya kurang respek.

Maka, saya lebih memilih menjaga kesehatan karena itu jauh lebih utama daripada sakit … ya, kan? Dan alasan saya ini … saya kira masuk akal dan bisa diterima oleh semua orang—jika manusia yang bersangkutan berkenan menerima perbedaan dan bisa menghormati.

Dari sejarah singkat itulah ketika saya mulai dewasa dan menempuh pendidikan di pesantren saya mulai bertanya-tanya perihal hukum memakan makanan tertentu yang bagi orang tersebut itu alergi dan bisa sakit. Dan inilah alasan ketiga saya mengapa nggak makan ikan.

#3. berdasarkan kaidah hukum fiqih

Ketika saya bertanya perihal hukum memakan makanan yang dapat menyengsarakan seseorang dan berimbas pada kesehatannya, maka berdasarkan ayat ini, “Wahai manusia! Makanlah dari makanan  yang halal dan baik yang terdapat di bumi…” (Q.S Al-Baqarah, 2: 168), jelas lebih baik ditinggalkan. 

Makanan yang halal belum tentu baik untuk dikonsumsi, begitu pun sebaliknya. Adapun makanan halal namun tidak baik untuk dimakan, dengan catatan tidak baik untuk sehatan tubuh, maka haram baginya, pada kasus orang tentu seperti saya ini, misalnya—yang kalau makan ikan dipastikan akan kejangkejang …!!! Ups … Maksudnya sakit tiga hari tiga malam biasanya.

Setelah sakit itu biasanya sekujur tubuh langsung timbul bintik bintik merah—seperti orang alergi. Dan inilah alasan keempat mengapa saya menolak memakan ikan.

#4. keluar bintik bintik merah dipelbagai tubuh

Anda tahu … penyakit paling memalukan di dunia ini, salah satunya menurut saya, adalah gatal gatal! Coba anda bayangkan … betapa di tempat umum orang-orang akan melihat satu orang main gitar … tiada senar tiada pula gitar tanpa petikan … hingga berdarah-darah dan, itu pernah suatu kali saya alami! 

Di dalam kelas sekolah tingkat dasar itu saya merasa … betapa bintikan merah dipelbagai sekujur tubuh itu telah menyiksa saya sampai tak fokus belajar. Dan itu sangat memalukan! Sejak saat itu saya tidak atau ibu melarang saya memakan ikan laut dan, kabar baiknya, saya lebih gampang menerima makanan apa saja asalkan jangan ikan laut ataupun ikan sungai, ayam goreng atau ayam bakar, semisalnya. (ha.ha.ha …) Dan …

#5. alasan terakhir, dengar bau ikan saja saya biasanya langsung mau muntah

Jangankan makan … mendengar bau ikan laut (terutama) saja saya hampir muntah darah. Ceritanya … siang itu, saya dan, bapak, pergi ke salah satu proyek ikan laut—di daerah Puger Pantai—yang tempatnya kumuh dengan bau ikan. Sebelum sesampainya di terminal proyek ikan laut itu saya sudah mewanti-wanti dari jauh tutup hidung juga mulut agar tidak begitu menyerap baunya. Namun naas … bau ikan jauh lebih tajam daripada bau bangkai. 

Sesampainya di proyek ikan laut itu saya tidak lagi mampu menahan bau anyir ikan. Betapa sengatan bau ikan jauh lebih menyiksa daripada sengatan cinta … Dan saya baru menyadari pengalaman itu. Berjibun-jibun panganan perut keluar dan tak mampu saya tahan sebab bau anyir di perairan pesisir pantai itu seperti orang hendak mengeluarkan sesuatu dari perut secara paksa. Dan saya terpaksa mengeluarkan muntahan isi perut itu.

Saya kapok dan tak mau lagi pergi ke pantai kalau masih ada senyatan bau ikan (juga sengatan cemburu iri melihat dipinggir pantai biasanya banyak manusia bawa pasangan). Hem… (tanpa tanda ?).
***
Itulah 5 alasan kenapa saya tidak makan ikan laut maupun ikan sungai sampai hari ini … karena sedari kecil sudah alergi, dan, ikan laut tidak berkenan masuk ke dalam perut saya. Jadi, kalau ada orang bahkan dokter sekalipun mengatakan bahwa makan ikan laut itu memberi manfaat besar bagi pertumbuhan tubuh dan kecerdasan seseorang—itu tidak cocok bagi orang tertentu seperti saya ini. Sebab, saya pengecualian dari manfaat makan ikan laut itu. Dan saya tidak mau sakit gegara makan ikan laut dengan dalih meningkatkan kecerdasan! Ya … kalau nggak belajar… hemat saya nggak bakalan cerdas! Sebab cerdas itu dibentuk, bukan saja hanya makan ikan!
Minggu, 10 Oktober 2021 0 Komentar

Penyakit Kikuk

Satu kali saya mendapat mandat di pos pertama pada safari intelektual di acara komunitas kampus. Safari intelektual merupakan permainan sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada anggota baru komunitas Intellectual Movement Community (IMC). 

Dan saya tidak sendiri, melainkan bersama seorang perempuan yang,... 

Saya tahu bahwa ia perempuan pendiam, sebagaimana saya lelaki pendiam. Dan saya tidak biasa bicara sama perempuan pendiam, saya lebih gampang bicara sama perempuan cerewet. Ia pendiam, saya pendiam. 

"Matilah aku,..." batin saya. 

Apa yang terjadi? Suasana itu kikuk!

Di tepi sungai itu hanya terdengar aliran air yang hantam menghantam bebatuan dan hembusan angin sore yang sejuk dan kanak-kanak yang bermain riang gembira penuh canda dan pesona semesta alam yang bikin saya tidak segera melarikan diri bersamanya: membuat saya bodoh seketika! 

Betapa saya kehilangan nalar berpikir bagaimana saya ingin mengajak ia bicara dan saya tidak bisa mengajak ia bicara perihal entah berantah. Dan ia pun demikian sebaliknya. Saya termenung dengan hp yang saya pegang dan ia termenung dengan hp yang ia pegang.

Hening. Tak ada percakapan apapun. 

Dan saya tidak bisa mengajak ia bercakap-cakap sebagaimana biasanya orang bercakap-cakap secara komunikatif antar pihak. 

Saya kehabisan topik pembicaraan! 

"Tadi malam, siapa aja perempuannya yang datang?" Ia bertanya. 

Saya menjawab bahwa panitia yang datang perempuannya hanya tiga orang: Afifah, Windar, dan Endang. Dan berlanjutlah perbincangan satu dua kata dimulai. Dan ketika basa-basi itu usai: peserta safari intelektual itu datang dan mulailah suasana itu lebih segar lebih hangat. 

Tetapi, usai satu dua kelompok anggota itu pergi menuju ke pos berikutnya saya tetap kehabisan topik perbincangan! Lagi dan lagi. 

Pengalaman demikian tidaklah satu dua kali melainkan berulang kali setiap saya dipertemukan dengan teman yang karakternya sama dengan saya. Dan biasanya saya lebih percaya diri mengajukan topik pembicaraan dengannya melalui kumpul bersama dan terjadilah perbincangan hangat antara saya dan dengannya. 

Saya jadi berpikir: bagaimana kalau  pendamping hidup saya nanti memiliki karakter yang sama, berkarakter pendiam-cuek? 

Satu hal mungkin menjadi pembelajaran adalah dengan mengenali perbedaan dan persamaan karakter yang dapat menuntun saya nanti lebih percaya diri dan begitupun perempuan yang saya nikahi tersebut. Moga-moga saja. 

Dan pengalaman itu seperti penyakit dalam diri saya untuk kembali belajar percakapan-cakap dengan perempuan. Penyakit kikuk saya ternyata masih mendarah daging dalam diri ini. Wah ... wah ... obat apa yang mujarab kalau bukan, belajar? 
Minggu, 19 September 2021 0 Komentar

Alegori Kangen



Jika kita terlampau lama jauh dengan seseorang maka hasrat kangen biasanya akan muncul, dengan sendirinya, pada detik waktu. Kangen secara tak sadar—maupun di sadari—akan tetap dan akan selalu menghasrati pertemuan. 

Saya rasa setiap manusia yang hidup di dunia ini menghasrati “pertemuan”, jika di antara manusia itu terlampau lama jauh tak berjumpa. Kata pertemuan sendiri, adalah kata lain  “kembali”, kembali “berjumpa”, saya dan kamu. 

Baiklah, kalau begitu, lalu mari kita lanjutkan—kohesif kata kangen—dengan konteks yang sama pada kata kunci: jarak. 

Saya kadang berpikir dari mana datangya kangen kalau bukan dari jarak yang menyirat. Dan pada saat yang sama, saya mempertanyakan jarak yang menyiratkan kita: Adakah jarak antara saya dan kamu? Saya rasa jarak antara saya dan kamu itu, “tidak ada.” Ingat! “tidak ada”. 

Kalau benar antara saya dan kamu itu ketiadaannya menyiratkan jarak, lalu di mana letaknya “jarak”, antara saya dan kamu, kalau saya dan kamu saling merindu, kalau saya dan kamu, selalu ingin bertemu, selalu ingin berjumpa?

Tetapi bukankah pertemuan-perjumpaan antara saya dan kamu akan menyisihkan perpisahan? Lalu, setelah perpisahan itu akan terbentang kembali yang namanya jarak. Kemudian jarak melahirkan kembali kangen dan hasrat ingin bertemu terus menerus candu, lalu begitu seterusnya, dan seterusnya.

Oke, baiklah. Para konteks diluar ruang dan waktu, antara saya dan kamu, jauh maupun dekat, sepertinya kita melebur jadi satu, satu jiwa, yaitu kita. Boleh jadi, kata Alm. Sapardi Djoko Damono, “jarak boleh jadi tidak boleh diukur”.

Saya rasa teori “perpisahan” itu keberadaannya memang benar “tidak ada”. Kata perpisahan disematkan untuk “menunda” pertemuan, bukan menyiratkan jarak antara saya dan kamu. Itu lebih tepatnya. Dan saya tidak percaya hal itu, teori perpisahan, bahwa kita akan berpisah. 

Saya tidak percaya bahwa kita akan berpisah. Sebab kerajaan kita bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Bukankah begitu kalam Tuhan dalam Firman-Nya?

Dengan kata lain, saya, menulis catatan ini, dalam rangka kangen. Begitulah kiranya kata-kata paling pas untuk diucapkan secara terang, pada catatan ini. Singkat kata, pertemuan saya dan kamu, yang lampau, hari ini, maupun yang esok, adalah silsilah perjumpaan kita menuju surga.

Eh, tahu nggak, kepada siapa saya kangen—tidak perlu tanda (?)—kalau bukan kepada seseorang itu? Ya … pada seseorang itu, loh. 
Rabu, 15 September 2021 0 Komentar

Fiksi

Fiksi tidak bicara tentang cinta, rindu, kangen, sedih, atau bahagia. Fiksi bertutur, dalam sebuah teks, tentang bagaimana orang-orang tersengat penyakit cinta, kangen, sedih, bahagia, rindu, dan sebagainya. Dan fiksi hidup. 

Dengan cara demikian, cerita-cerita fiksi tak mungkin terkesan klise. Bisakah kita bercerita cinta tanpa harus menggunakan kata cinta? Sangat bisa. Bisakah kita curhat soal rindu tanpa menggunakan kata rindu? Sangat bisa.

Bagaimana cara? Caranya: belajarlah membuat detail kehidupan. 
Selasa, 17 Agustus 2021 0 Komentar

Senyum Menjelma Puisi

Senyummu menjelma puisi
kau datang dini hari saat mata terlelap
saat dingin menerkam, kau hadir dalam mimpi
dalam bayangan ini, kau seorang diri
menari-nari
Rabu, 04 Agustus 2021 0 Komentar

Di Kota Ini

Di kota ini, 
tak ada orang tahu
tentang seorang kakek nenek
saban hari perut tak terisi nasi
Ia berobat tabah, menghadapi wabah

Si kaya pura-pura
tak sadar akan murka, 
dunia seolah milik mereka

Di kota ini, 
ada seorang politikus
yang lebih rakus daripada tikus
uang kertas jadi identitas
Seperti kapas, bicaranya melayang-layang
sok sok'an bicara keadilan

Adakah di Kota Anda
manusia semacam mereka? 

Di kota ini, 
virus menjadi-jadi 
politisi sibuk makan sendiri 
bicara beras, hak rakyat dirampas

Di kota ini, 
kami butuh sesuap nasehat
bukan penjahat, bukan pula pesulap 
yang selalu mencuri uang rakyat

Di kota ini, 
Adakah keadilan 
yang dinanti-nanti? 

Adakah secangkir kopi 
untuk pagi hari nanti?
Minggu, 01 Agustus 2021 0 Komentar

Gila Intelektual

Persepsi beberapa orang menganggap aku seorang intelektual: Dengan aku gila melahap kertas kertas semesta (buku), menulis menghasilkan banyak karya, berdiskusi penuh retorika adidaya. Aku seorang intelektual, kata mereka.

Tetapi pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Memajang buku-buku di ruangan hanya untuk  pameran, bukan untuk bacaan, bukan pula kepekaan menyelesaikan problem kebodohan.

Buku-buku itu hanyalah pemenuhan hiasan rumah semata; tidaklah peka menyalurkan kepada orang-orang yang pula membutuhkannya. Buku-buku itu tidaklah lebih sekadar kertas kertas biasa. Untuk menunjukkan inilah Aku Manusia Paling Berkualitas, setumpuk buku pemenuhan kesombongan semata.

Pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Menulis suatu hal "untuk menarik orang" mengakui bahwa Aku Yang Paling Aku, Yang Paling Intelektual. Menulis suatu hal untuk memancing orang untuk menjadi aku. Dan orang-orang akan terperangkap dalam nafsu; sehingga aku dapat memenuhi hasrat nafsu birahiku dan mengajaknya untuk bercumbu.

Kata "bercumbu" ini begini, maksudnya: Aku mampu menulis kata-kata memikat dan menghasilkan kalimat-kalimat menjerat pembaca. Dengan kelihaian aku menciptakan sebuah kata-kata dapat mengajak pembaca menjadi aku. Menjadi bagian kebutuhan seksual-ku, dengan cara halus mengajaknya untuk berkolaborasi. Pada titik demikian, perempuan maupun laki-laki, telah aku taklukkan; dan dengan mudahnya aku meminta sesuatu darinya.

Tetapi pada kenyataannya aku memang bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Yang kalau berbicara atau beretorika seolah-olah telah banyak membaca padahal cuti membaca kata-kata. Beretorika seolah-olah bernutrisi padahal hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Bukankah sibuk berambisi dengan eksistensi bukanlah ciri manusia sejati?

Pada kenyataannya aku hanyalah seorang yang berambisi dengan eksistensi sehingga lupa diri. Bahwa aku pada ketidaksadarannya sibuk memenuhi kepentingan diri. Kepentingan mencari popularitas sehingga lupa mana yang berkapasitas dan mana pula yang berkualitas. Hingga lupa pula menjadi manusia. Menjadi manusia yang seharusnya menjadi manusia. Kini sebut saja aku manusia biasa, tidak lebih daripadanya.

Kamis, 03 Juni 2021 0 Komentar

Cerita Kita

banyak aku membaca buku cerita, tetapi buku cerita itu kalah dengan cerita kita

"

Minggu, 23 Mei 2021 2 Komentar

Bagaimana Perasaan Ibu Saat Itu?

Eksesif awal kali pertama masuk pesantren menyebabkan anak lupa bahwa ada hati yang berkecamuk tak kuasa; yang tak bisa dijelaskan perihal berpisah dengan keluarga; dan anak tak mungkin tahu bagaimana sesungguhnya perasaan seorang Ibu ketika akan di tinggal anaknya belajar di pesantren. 

Hampir semua wali santri, Ibu, ketika memasrahkan anak masuk pesantren tak kuasa menahan letupan air mata. Saya tahu itu semenjak menjadi pengurus pesantren. Dan saya teringat, akan selalu teringat, dalam ingatan yang cukup tajam bahwa Ibu saya dulu pernah merasakan apa yang dirasakan Ibu wali santri: Ibu menjatuhkan air mata saat menitipkan anaknya ke dunia baru yang bernama pesantren. 

Memutuskan belajar di pesantren satu keputusan yang sedari kecil saya impikan, semenjak lulus madrasah ibtidaiyah. Dan baru terwujud masuk pesantren pada kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Mengingat saya hanya seorang anak buruh tani, saya tak cukup hanya meminta (hendak mondok) belajar di pesantren. 

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu saya bekerja, dengan menjadi tukang pembuat tasbih, dan sebagai tambahan biaya, saya mengikuti arisan tiap minggu, yang di dalamnya ada Institusi Yasinan dan berbagai doa azimat lainnya.

Lambat laun rezeki mulai terkumpul dan Ibu memberi tahu bahwa tabungan hanya cukup buat pendaftaran. Saya yakin belajar di pesantren akan segera terwujud. Itu cita-cita yang tak bisa dilupakan hingga hari ini. 

Dengan harapan tinggi, saya dan keluarga, berdoa dalam tiap obrolan ringan; dan harapan satu satunya, kala itu, mendapat jatah turunnya nama Ibu dalam arisan yang, tentu saja, uang hasil arisan itu cukup untuk pemberangkatan saya masuk pesantren, sekaligus keperluan lainnya. Dan harapan itu terwujud sebelum akhir tahun 2011.

Tepat pada Sore, Ahad, 28 November keluarga, dan guru sekaligus paman, mengantarkan saya ke pesantren. Dan perasaan senang akan belajar di pesantren membuat saya lupa bahwa di balik layar kebahagiaan itu Ibu menangis saat saat di mana saya akan tidur di kotak kamar yang ukurannya 3x4 cm. yang kemungkinan akan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, kecuali liburan, saya tak lagi di rumah. 

Kini atau bahkan nanti, air mata itu tak mungkin dapat dijelaskan atau bahkan dirasakan, sampai saya nanti menjadi orang tua, saya tak pernah mungkin tahu: bagaimana perasaan Ibu saat itu.

Jika ada cinta yang paling murni nan suci, maka cinta itu hanyalah ada dalam hati seorang yang bernama Ibu. 

Jika ada air mata yang paling syahdu pilu, maka air mata itu menetes, saya melihat, pada saat itu
***
Baca selanjutnya:
Rabu, 12 Mei 2021 0 Komentar

Kembali Menciptakan Kebiasaan Baik

Ramadhan bulan melatih diri dalam segala bentuk aktivitas: melatih diri berbuat baik maupun meminimalisir berbuat buruk. Saya, selama bulan Ramadhan ini, berusaha mengembalikan dan menciptakan kembali, rutinitas tahun lalu yang sempat tertata dengan baik, rutinitas membaca alquran 5 Juz dalam sehari, kecuali Jum'at, 30 Juz dalam sepekan. 

Rutinitas itu sebenarnya telah saya tanam semenjak menceburkan diri menghafal alquran. Namun rutinitas itu kembali kacau setelah saya boyong dari pesantren khusus menghafal alquran. Setidaknya, atau biasanya, saya di pesantren, kala itu, mewajibkan diri setiap hari rutin membaca alquran kurang lebih atau lebih dari 8 Juz. Itu karena kewajiban saya sebagai santri.

Pasalnya mewajibkan diri, dengan tekanan aturan pesantren, tidak membuat saya konsisten terhadap kebiasaan membaca quran setelah keluar dari pesantren. Ini berarti, dalam hal membaca alquran, saya gagal menjadi generasi yang gemar membaca alquran. 

Nah, bulan Ramadhan adalah miniatur memperbaiki diri dan mengembalikan diri berlatih menciptakan sesuatu yang dulu atau akan kita lakukan sebelas bulan ke depan untuk tetap mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang pernah kita kerjakan selama bulan Ramadhan. 

Jika Anda orang yang gemar membaca buku, misalnya, selama Ramadhan, maka di luar Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan bacaan buku Anda. Jika Anda orang yang gemar bersedekah, di bulan Ramadhan, maka di luar bulan Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan sedekah Anda, sebagaimana kebiasaan  Anda membaca buku, sebagai bukti bahwa Anda telah berhasil membiasakan, mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain, Ramadhan-kan di luar bulan Ramadhan. 

Kini sampai pada momen di mana kita bersenang-senang--setelah 30 hari menjalani karantina diri dan melatih ke-diri-an kita sebagai manusia. Tepat pada 1 Syawal 1442 kita merayakan kemenangan melawan diri sendiri, sebab, pertarungan paling dahsyat adalah pertarungan melawan diri sendiri, bukan yang lain. 

Oya, jika Anda pembaca setia blog saya ini. Jika ada kata paling pas dan pantas saya tulis di akhir penutup, tidak lain dan tidak bukan, adalah permintaan maaf saya selaku manusia yang penuh kekurangan. Akhir kalam, Selamat Menunaikan Ibadah Lebaran.[]
***
Baca selanjutnya:
Kamis, 06 Mei 2021 1 Komentar

Honor Ngaji Saya di Korupsi Pejabat

Di suatu ruang kantor SD, tiga tahun lalu, saya pernah mendapat 'undangan jadi qori' pada acara pengajian di Pemerintahan Daerah (Pemda) Lampung. Sebelum hari H acara surat undangan saya terima dari salah seorang pejabat pemerintah dan sekaligus amplop honor pengisian acara. Tidak terlalu banyak honor yang saya terima: dugaan hati, saya akan menerima honor sebesar 500 ribu. 

Sial. Honor yang saya terima di ruangan itu sekitar 250 ribu. Tetapi saya bersyukur masih diberi, cukuplah untuk bekal menyambung perut selama sebulan. 

Sebenarnya honor yang saya terima sebesar 350 ribu jika Pak Pejabat tidak memberikan sebagian honor saya kepada dua guru tugas: Yang keduanya masing-masing mendapat 50 ribu. Sisa honor yang saya terima, setelah dipotong, jadi 250 ribu. 

Saya bersyukur Pak Pejabat berlaku adil kepada kami bertiga. Meski secara hak honor 350 ribu itu sebenarnya milik saya dan saya menyetujui permintaannya dan dengan sah saya meng-iya-kan untuk mengisi acara esok lusa.  

Setelah perbincangan sore itu usai, dua kawan saya, guru tugas itu, tampak gembira sebab keduanya punya uang pemasukan untuk keperluan pribadi setidaknya satu minggu kedepan. Mengingat keduanya jarang sekali mendapat honor dari atasan. Dan saya, selain mendapat honor, mendapat pujian "selamat" dari beberapa guru SD dan dari dua kawan itu juga, dua guru tugas, karena mendapat suatu kehormatan di undang oleh pejabat negara! Waw sekali kata mereka. 

Dan tepat hari acara tiba, saya di jemput dengan mobil  Xpander, yang sopirnya kawan saya sendiri, seorang guru tugas, dan di dalam mobil itu saya dan kawan sopir ini banyak bercakap-cakap bagaimana perjalanan saya menghafal alquran dan kesiapan saya nanti melantunkan ayat-ayat suci. 

Saya bersyukur setelah dia mendengar perjalanan saya menghafal alquran kini dia menghafal alquran. Jadi saya tidak sia-sia dan berhasil memprovokasi dia untuk juga menghafal alquran sebab katanya, sedari dulu ingin menghafal alquran tetapi sulit mencari kawan yang mau sharing perjalanannya menghafal alquran. Sebab itu dia banyak mempertimbangkan keputusan ketika suatu saat nanti keputusan mulia itu dia ambil. 

Walhasil sesampainya di ruang pengajian, Masjid, saya oleh petugas di arahkan dan di persilahkan duduk di paling depan, dekat mihrab, bersama Pak Ustadz yang kebagian ceramah di depan aparatur negara! 

Selang beberapa menit setelah duduk saya melihat pemandangan yang tidak biasa: Orang-orang Lampung menatap penuh tanya; siapa gerangan di depan panggung yang berkacamata dan ber-jaz pesantren? 

Pembawa acara membuka acara dengan canda dan memperkenalkan nama saya di depan aparatur negara itu bahwa saya berasal dari Jawa dan salah satu saudara Kyai si Fulan. 

Dan usai lelucon itu, salah seorang petugas lain, menghampiri saya untuk bertanda tangan: sehelai lembar kertas bertuliskan, "Honor Pengisi Acara." Kurang lebih maksud tulisan di lembaran kertas itu jika saya tidak lupa. 

Saya coba baca sejenak isi lembaran itu dan isinya, dugaan awal saya benar! Saya mendapat honor 500 ribu rupiah! 

Petugas itu memerhatikan gerak-gerik saya karena, mungkin, terlalu lama bertanda tangan. "Sebagian honor Bapak kami potong pajak administrasi," Ujarnya. Saya senyum dan menyodorkan raut muka biasa saja dan menjawab, "Iya." 

Kepala saya berkalung pertanyaan: Apa benar honor ngaji saya di korupsi pejabat?[]
*** 
Baca selengkapnya
Minggu, 14 Maret 2021 4 Komentar

5 Alasan Mengapa Aku Memilih Ngejomblo

Sebenarnya aku tak mau menulis tema tentang jomblo ini. Apapun itu yang kadang terkesan klise patut di ulang dan di tayangkan kembali sebagai pelengkap pencerahan hidup bahwa jomblo pun memiliki cara tersendiri menepati kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah makna penantiannya.

Beberapa bulan lalu aku, dan dua kawan komunitas, pernah di tanya di sebuah forum virtual dengan nada pertanyaan yang menggemaskan: "Ketiga calon kandidat ini apakah sudah punya pacar?"
Menjawab pertanyaan ini rada-rada ngeh sebab akan di dengar oleh orang-orang yang jago bully dan terpaksa ketiga kandidat menjawab dengan jujur sebagai tradisi ilmiah katanya.

Satu kawan jawab bahwa dia baru saja putus dan satu kawan lagi jawab punya pacar tetapi pasif : pacaran tidak aktif.  (ha.ha.ha...). Dan aku jawab tidak punya pacar dan tidak minat  pacaran.

Polos? Jelas. Bahagia? Tentu saja. Merasa tak punya pacar sebuah kebanggaan? Biasa saja sebab ini sebuah pilihan.

Mungkin hamba-hamba itu akan berkata "bilang saja kalau tak laku," dan aku, cukup cekikikan saja dan tak perlu balas dan tak harus di beberkan berapa Dhiajeng yang(ehem), diam-diam, mencintai.

Namun setidaknya memilih hidup tidak punya pacar saat berstatus mahasiswa ada kebahagiaan sendiri dan, kau tahu, diam-diam orang yang punya pacar pun terkadang ingin (memilih) hidup bebas dari jeratan aturan kekasih - yang kadang-kadang katanya bikin jengkel!

Dan inilah alasan mengapa aku memilih ngejomblo.

Pertama, pacaran berpotensi memikirkan sesuatu yang aneh-aneh atau hal-hal tak penting semisal galau. Kebanyakan orang punya pacar berpikir aneh-aneh mengenai pacarnya sebab di luar sana kemungkinan-besar ada orang yang ingin meminang pacarnya dan tentu itu akan mengganggu pikiran atau bahkan galau tingkat dewa. 

Aku tak mau galau karena perempuan.
Dan hal lain tidak repot mikir minggu depan mau jalan kemana dan uangnya mana - tentu itu membutuhkan biaya. (ha.ha.ha...) Sedangkan aku lebih fokus memikirkan bagaimana hidup bisa nyaman dan mapan untuk persiapkan pernikahan nanti. Inilah makna penantian.

Kedua, aku tidak punya modal untuk membiayai anak orang. Sebagaimana di sebutkan sebelum paragraf ini bahwa orang punya pacar ternyata membutuhkan biaya; dan aku tidak punya tabungan tebal untuk membiayai  anak orang; dan daripada untuk hal-hal yang tidak jelas; mending di buat ngopi sama teman atau di buat investasi; dan akan lebih bermanfaat bila (di) sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentu itu akan menambah celengan amal baik kita kelak di (dunia) akhirat (alasan ini tipikal orang-orang religius, sesekali bolehlah jadi orang macam ini). 

Ketiga, aku tidak mau ribet. Orang yang ribet hidupnya tidak bahagia dan pacaran bagiku sebuah bentuk aktivitas yang bikin orang ribet. Aku bukan berarti pernah mengalami hal ini dan aku tahu karena orang pacaran mengatakan demikian bahwa pacaran itu bikin ribet. Maka sejak fatwa itu aku dengar dari kawan yang pernah pacaran aku tidak mau pacaran dan tidak mau ribet karena pacaran.

Mau bepergian saja harus izin, katanya. Mau pakai ini itu saja harus di atur dan harus sesuai dengan selera pasangan. Belum makan saja di tanya dan sudah makan pun masih di tanya. Mau kuliah harus di jemput dan pulang kuliah pun harus di jemput. Sungguh  pacaran bikin ribet!

Keempat, hidup lebih sejahtera. Bukan berarti orang yang punya pacar hidupnya tidak sejahtera namun kesejahteraannya semu. Alias kebahagiaannya bersifat sementara dan palsu karena di atur oleh pacar dan tidak bebas.

Dan kebahagiaanku lebih leluasa dan bersifat bebas. Mengapa? Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau: chattingan sama semua teman, yang perempuan, misalnya. Itu tidak jarang mungkin dilakukan orang yang punya pacar - kecuali, dalam bahasa mereka, dia sang buaya - sebab kalau ketahuan bisa mati kutu dia.

Dan tentu aku bisa banyak curhat pada teman dekat itu: tentang siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling kesepian dan siapa yang paling beruntung di antara kita dan, kau tahu, kami bisa sama-sama tertawa, layaknya orang punya pacar namun hanya sebatas teman tidak lebih, dan saling memberi support.

Selain itu aku lebih leluasa dan bebas bercengkrama siang malam bersama kawan-kawan komunitas maupun organisasi: ngopi bareng, olahraga, tukar pikiran, diskusi serius, semisal, siapa nanti yang paling duluan nikah dan, hal-hal lain yang tak bisa di paparkan semua di sini.

Dan selanjutnya aku kehabisan ide menulis alasan mengapa aku memilih hidup menyendiri atau bahasa lain: ngejomblo. Jika kau sama seperti aku, jomblo, mungkin bisa menambahkan alasan itu di kolom komentar. 

Sebenarnya ada satu alasan lagi yang belum  aku tulis di sini dan aku gugup menuliskannya. Sebab sampai kini pun aku menunggu alasan dia: mengapa dia memilih menyendiri sepertiku. Baiklah ... inilah alasannya, klik.
 
;