Kini aku harus jujur padamu, kawan, bahwa pada saat kita "membentuk lingkaran pertemanan" kau tampak mementingkan dirimu sendiri tanpa memikirkan diriku yang juga membutuhkanmu. Biar aku jelaskan lebih lanjut kawan:
Saat kau punya setumpuk masalah kau luapkan seluruh masalahmu kepadaku dan aku mendengarnya dengan khidmat karena aku tahu bahwa masalahmu adalah masalahku. Tetapi apakah kau pernah merasa, kawan, bahwa aku pun memiliki masalah yang sama dan kau tak acuh terhadap itu atau bahkan kau rapat menutup telinga. Seolah hanya masalahmu saja berhak mendapat porsi penyelesaian.
Kasus percintaan, misalnya. Kau bercerita kepadaku bahwa kekasihmu saat ini 'selingkuh' dan ia meninggalkanmu dan kau tak menerima perlakuan kekasihmu yang telah mendua yang telah muak: diam-diam kau lari kepadaku meminta menemanimu yang sedang hancur dan aku pun terlibat dalam kolam kesedihanmu.
Oh, kini aku dapat menangkap arti "lingkaran pertemanan" itu: teman yang baik adalah teman yang menjadi wadah kesedihan. Tapi ... apakah pantas kau seret kawanmu dalam kesedihanmu?
Ah, tak apa, kawan, selama itu satu-dua-tiga kali kau meminta aku menemanimu. Persoalannya kau berulang kali menyeret aku dalam kesedihanmu dan kau tak mendengar fatwa terbaikku.
Oh, tidak! Fatwa itu cukup kau pikir saja. Jika cocok kau pakai dan, kalau tidak, segera kau tutup telingamu dan izinkan aku berkata. "Suruh siapa berani bercinta kalau tak sanggup menahan luka."
Kini aku harus jujur padamu, kawan, tentang dunia perkuliahan kita. Aku bukanlah tempat dewan konsultan yang tahu segala hal terkait mata kuliah yang kau tempuh. Aku hanyalah manusia biasa yang diberi (sedikit) pengetahuan untuk kejujuran dan kau tak bisa terus menerus mengeluh lalu membanting tugas(kuliah)mu kepadaku dan aku kasihan kepada orang tuamu jika aku membiarkanmu dalam kemalasan.
Maka hari ini, dengarkan aku, patut kau merenung; masalahmu bukanlah masalah orang lain. Dan jika kau libatkan masalahmu sebagai masalah orang lain, sungguh kawan yang baik bukanlah yang merepotkan, tetapi yang dapat memberi meski untung rugi tak harus jadi tolak ukur kawan sejati.
Kini aku harus jujur padamu, kawan, tentang kebutuhan harianmu. Seperti yang kau tahu, kawan, bahwa aku hanyalah sepotong mahasiswa yang kuliah bergantung pada beasiswa. Dan kau masih mengulik solidaritas sumbangan jajan kuliahmu.
Ah, sepertinya aku tak perlu perhitungkan soal ini. Tetapi kawan, saat kau tak punya finansial untuk merokok dan kau lari meminta hak untuk ketenangan harianmu; sungguh aku lebih senang membantumu jika finansial itu kau peruntukan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Semoga lain kali aku (masih) mampu membantumu, kawan.
Kini aku harus jujur padamu, kawan, dan izinkan aku bertanya mengapa di antara kita seperti "ada dinding pembatas" yang sulit di satukan. Bukankah kau sering berdendang-berdengung bahwa kita adalah keluarga? Tetapi wacana kekeluargaan itu ternyata sekelumit kau implementasikan hanya orang-orang tertentu saja - tak punya arti selain "omong kosong".
Hidup dalam fakultas organisasi atau komunitas atau prodi atau klub apapun itu istilahnya mengapa di setiap lingkaran itu mesti ada kelompok-kelompok yang, jika boleh aku sebut, mementingkan kelompoknya sendiri atau membanding-bandingkan atau bahkan meng-anak-tirik-an liyan.
Dan ketika kau membutuhkan, diam-diam, sadar atau tidak, kau seret aku dalam lingkaran pekerjaanmu dan, aku akan lapang dada jika itu dapat menyatukan kita nantinya tanpa melihat sekaligus membatas-batasi ruang kekeluargaan kita dan, mesti diingat, tak cukup kau membangga-banggakan orang-orangmu saja dan tak harus kau tutup mata jika orang yang bukan (dari) golonganmu kau persetankan mereka.
Kini aku harus jujur padamu, kawan, tanpa aku kau bukanlah segalanya dan tanpa kau aku bukanlah segalanya dan tanpa bersatu persahabatan hanyalah keakraban semu dan pertalian-keterikatan antar aku dan kau adalah makna dari "kita keluarga".
0 Komentar:
Posting Komentar