Minggu, 14 Maret 2021

5 Alasan Mengapa Aku Memilih Ngejomblo

Sebenarnya aku tak mau menulis tema tentang jomblo ini. Apapun itu yang kadang terkesan klise patut di ulang dan di tayangkan kembali sebagai pelengkap pencerahan hidup bahwa jomblo pun memiliki cara tersendiri menepati kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah makna penantiannya.

Beberapa bulan lalu aku, dan dua kawan komunitas, pernah di tanya di sebuah forum virtual dengan nada pertanyaan yang menggemaskan: "Ketiga calon kandidat ini apakah sudah punya pacar?"
Menjawab pertanyaan ini rada-rada ngeh sebab akan di dengar oleh orang-orang yang jago bully dan terpaksa ketiga kandidat menjawab dengan jujur sebagai tradisi ilmiah katanya.

Satu kawan jawab bahwa dia baru saja putus dan satu kawan lagi jawab punya pacar tetapi pasif : pacaran tidak aktif.  (ha.ha.ha...). Dan aku jawab tidak punya pacar dan tidak minat  pacaran.

Polos? Jelas. Bahagia? Tentu saja. Merasa tak punya pacar sebuah kebanggaan? Biasa saja sebab ini sebuah pilihan.

Mungkin hamba-hamba itu akan berkata "bilang saja kalau tak laku," dan aku, cukup cekikikan saja dan tak perlu balas dan tak harus di beberkan berapa Dhiajeng yang(ehem), diam-diam, mencintai.

Namun setidaknya memilih hidup tidak punya pacar saat berstatus mahasiswa ada kebahagiaan sendiri dan, kau tahu, diam-diam orang yang punya pacar pun terkadang ingin (memilih) hidup bebas dari jeratan aturan kekasih - yang kadang-kadang katanya bikin jengkel!

Dan inilah alasan mengapa aku memilih ngejomblo.

Pertama, pacaran berpotensi memikirkan sesuatu yang aneh-aneh atau hal-hal tak penting semisal galau. Kebanyakan orang punya pacar berpikir aneh-aneh mengenai pacarnya sebab di luar sana kemungkinan-besar ada orang yang ingin meminang pacarnya dan tentu itu akan mengganggu pikiran atau bahkan galau tingkat dewa. 

Aku tak mau galau karena perempuan.
Dan hal lain tidak repot mikir minggu depan mau jalan kemana dan uangnya mana - tentu itu membutuhkan biaya. (ha.ha.ha...) Sedangkan aku lebih fokus memikirkan bagaimana hidup bisa nyaman dan mapan untuk persiapkan pernikahan nanti. Inilah makna penantian.

Kedua, aku tidak punya modal untuk membiayai anak orang. Sebagaimana di sebutkan sebelum paragraf ini bahwa orang punya pacar ternyata membutuhkan biaya; dan aku tidak punya tabungan tebal untuk membiayai  anak orang; dan daripada untuk hal-hal yang tidak jelas; mending di buat ngopi sama teman atau di buat investasi; dan akan lebih bermanfaat bila (di) sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentu itu akan menambah celengan amal baik kita kelak di (dunia) akhirat (alasan ini tipikal orang-orang religius, sesekali bolehlah jadi orang macam ini). 

Ketiga, aku tidak mau ribet. Orang yang ribet hidupnya tidak bahagia dan pacaran bagiku sebuah bentuk aktivitas yang bikin orang ribet. Aku bukan berarti pernah mengalami hal ini dan aku tahu karena orang pacaran mengatakan demikian bahwa pacaran itu bikin ribet. Maka sejak fatwa itu aku dengar dari kawan yang pernah pacaran aku tidak mau pacaran dan tidak mau ribet karena pacaran.

Mau bepergian saja harus izin, katanya. Mau pakai ini itu saja harus di atur dan harus sesuai dengan selera pasangan. Belum makan saja di tanya dan sudah makan pun masih di tanya. Mau kuliah harus di jemput dan pulang kuliah pun harus di jemput. Sungguh  pacaran bikin ribet!

Keempat, hidup lebih sejahtera. Bukan berarti orang yang punya pacar hidupnya tidak sejahtera namun kesejahteraannya semu. Alias kebahagiaannya bersifat sementara dan palsu karena di atur oleh pacar dan tidak bebas.

Dan kebahagiaanku lebih leluasa dan bersifat bebas. Mengapa? Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau: chattingan sama semua teman, yang perempuan, misalnya. Itu tidak jarang mungkin dilakukan orang yang punya pacar - kecuali, dalam bahasa mereka, dia sang buaya - sebab kalau ketahuan bisa mati kutu dia.

Dan tentu aku bisa banyak curhat pada teman dekat itu: tentang siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling kesepian dan siapa yang paling beruntung di antara kita dan, kau tahu, kami bisa sama-sama tertawa, layaknya orang punya pacar namun hanya sebatas teman tidak lebih, dan saling memberi support.

Selain itu aku lebih leluasa dan bebas bercengkrama siang malam bersama kawan-kawan komunitas maupun organisasi: ngopi bareng, olahraga, tukar pikiran, diskusi serius, semisal, siapa nanti yang paling duluan nikah dan, hal-hal lain yang tak bisa di paparkan semua di sini.

Dan selanjutnya aku kehabisan ide menulis alasan mengapa aku memilih hidup menyendiri atau bahasa lain: ngejomblo. Jika kau sama seperti aku, jomblo, mungkin bisa menambahkan alasan itu di kolom komentar. 

Sebenarnya ada satu alasan lagi yang belum  aku tulis di sini dan aku gugup menuliskannya. Sebab sampai kini pun aku menunggu alasan dia: mengapa dia memilih menyendiri sepertiku. Baiklah ... inilah alasannya, klik.

4 Komentar:

Resume dan Nalisis Makalah Sejarah Dinasti Umayyah mengatakan...

Alasan kedua sangat menarik

Azwa Kamar mengatakan...

Salam dari Kuala Lumpur

Azwa Kamar mengatakan...

Salam Hello

Fathur Roziqin mengatakan...

Hehehe. Makasih, Mas.

 
;