Ibu sebetulnya tidak ingin aku kuliah. Ibu lebih senang jika aku mondok saja atau mengajar atau bekerja sambil menabung pundi-pundi rupiah. Entah mengapa Ibu tidak menginginkan aku kuliah. Ibu tidak memberi alasan jelas dan masuk akal.
Tetapi, lambat laun, aku paham mengapa Ibu, lebih tepatnya, tidak mengizinkan aku kuliah: semasa sekolah menengah aku sering telat bayar tagihan (selain sering telat masuk sekolah) bahkan hampir tidak bisa ikut ujian nasional lantaran tak bisa bayar cicilan dan, oleh Ibu guru, aku dan kawan-kawan senasib, dimarahi dan dipermalukan di depan kelas, hanya karena telat bayar tagihan sekolah. Begitu teganya guru semacam itu. Dimana letak keadilan dan kebijaksaan dalam hati guru semacam itu?
Aku bersyukur pada waktu itu masih ada guru yang punya hati manusiawi dan memberi kelonggaran waktu untuk kami bisa ikut ujian nasional dan kami, para siswa-siswi miskin itu, terpaksa diluluskan.
***
Delapan bulan setelah dinyatakan lulus SMA, sekitar Mei 2016, aku sempat bilang kepada Ibu kalau aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun tidak diizinkan, akhirnya aku minta izin kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pondok saja; tetapi rupanya Ibu masih tetap bersikukuh tidak mengizinkan aku pindah, apalagi kuliah.
Aku kesal kepada Ibu. Marah. Mengutuk diri. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa anak muda lain bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sementara aku tidak bisa dan tidak diizinkan? Rerumputan dan bebatuan di sekitar tempat aku berdiam diri merenung tidak menjawab, tanaman padi hanya bergoyang-goyang kesana kemari mengikuti hembusan angin sore hari.
Aku segera sadar dan paham bahwa ada keterbatasan dalam kehidupan yang aku jalani. Itulah kenapa sewaktu sekolah aku sering telat bayar tagihan, menjanjikan akan bayar setelah punya rezeki, dan tak jarang aku meminta tenggat waktu kepada Bapak Ibu guru untuk bisa melunasi cicilan tagihan hingga bulan depan.
Tetapi keterbatasan tidak berarti bahwa aku tidak punya hak melanjutkan pendidikan bukan? Begitu aku coba berpikir positif menatap masa depan di suatu sore pada saat masih di pondok.
Selepas sekolah itu aku coba bernegosiasi kembali pada saat Ibu dan Bapak menjenguk aku di pesantren, dan aku bilang bahwa aku tidak bisa terus menerus menghafal Alquran di sini. Pesantren awal tempat aku belajar. Aku bilang sekali lagi kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pesantren lain, aku butuh sistem sosial pendukung agar aku bisa berkonsentrasi pada saat menghafal Alquran. Moga-moga ibu mengerti maksud baik aku kali ini.
Pindah dan Kembali Lagi ke Pesantren Lama Sebentar
Pada keputusannya Ibu mengerti maksud baik aku dan membolehkan aku pindah ke pesantren lain di Semarang. Akhirnya, pada Jum'at 12 Januari 2017, aku jadi berangkat ke kota lawang sewu tersebut. Itu diizinkan karena di kota sana ada teman pondok; juga karena mendapat beasiswa; dan juga karena terlanjur mendaftar jadi calon santri baru program menghafal Alquran dalam waktu satu tahun.
Pada 02 Februari 2018 ialah kepulangan aku dari tanah rantau training menghafal Alquran di Semarang itu. Aku memutuskan kembali ke pesantren semula, mengabdikan diri di sana sampai ramadan tiba. Tujuan aku kembali ke pesantren semula, selain tetap belajar dan mengabdi diri kepada ilmu dan guru, ialah membenahi apa yang belum selesai aku kerjakan, menata tugas yang diberikan kiai, dan menyerahkan perpindahan tugas kepada santri senior sebelum akhirnya aku pindah belajar ke tempat lain.
Wajah Penyesalan dan Kegagalan Kuliah
Setelah boyong dari pesantren awal, aku mengukuhkan diri kembali memperjuangkan kuliah, tetapi aku tetap gagal. Kegagalan kali ini cukup membekas dalam kehidupanku dan memupuk hati nurani aku pada satu prinsip tegas: setiap warganegara (tanpa memandang latar apa pun) punya hak yang sama dalam menempuh pendidikan, menikmati akses pendidikan bermutu hingga ke perguruan tinggi.
Ceritanya ada "orang dalam" menawarkan aku kuliah dengan jaminan beasiswa di suatu daerah luar Jawa; syaratnya aku harus sambil bantu mengajar di yayasan miliknya. Keluarga mengizinkan. Itu berarti aku diperkenankan kuliah di luar Jawa. Sesuatu mustahil sebetulnya, mengingat keluarga sebelumnya tidak setuju jika aku kuliah terlalu jauh. Tetapi bagaimana pun aku harus tetap kuliah.
Lagi-lagi aku berpikir positif dan mungkin ini jalan terbaik yang harus aku tempuh, kendati perjalanan cukup jauh.
Sebelum keberangkatan aku menanyakan apakah di daerah kampus sana ada program studi yang aku minati; dan pihak sana menjawab ada. Oleh karena katanya ada, sebelum keberangkatan aku menyiapkan segala berkas administrasi pendaftaran kuliah, melunasi tanggungan ijazah sekolah dan kebutuhan lainnya. Berangkatlah aku ke daerah yang dituju, tetapi sesampainya di sana aku mendapat kebohongan janji. Alih-alih mendapat beasiswa, kekesalan dalam dada setiap hari menyala-nyala.
Itu terbukti saat aku berada di sana selama tiga bulan. Dan paham betul karakter "orang dalam" yang membawa aku sampai ke sana. Ah ... aku tak mau mengungkit masa lalu kelam tersebut. Aku muak mengingat perlakuannya terhadap guru-guru lain yang sebagian haknya tak diberi, padahal guru itu begitu berjasa dan berbakti sepenuh hati mengajar anak didik yang dititipkannya. Namun kebaikan guru terkadang banyak dimanfaatkan. Karena itu aku pulang dan kembali ke kampung halaman.
Di satu pihak aku menyesal sebab waktu emas aku terbuang begitu saja, di pihak lain aku bahagia sebab aku bisa keluar dari lingkungan penjara. Waktu itu aku hanya bisa berdoa. Moga-moga Tuhan menggantikan sesuatu yang paling berharga dan mengabulkan permintaan doa hambanya.
Dan doa-doa itu betul-betul terkabul bahwa aku mendapat sesuatu yang lebih berharga. Aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang selama ini aku impikan, kendati perjalanan awal itu cukup terjal seperti melewati onggokan batu besar menghadang pengguna jalan. Dan aku memecahkan onggokan batu besar itu di tengah perjalanan, kendati aku sempat putus asa karena mustahil bisa melewati tantangan itu semua.
Kembali ke Pesantren Lagi: Secercah Harapan Kuliah
Aku akan menceritakan semua perjalanan memecahkan onggokan batu besar itu. Karena itu simak baik-baik, ya.
Itu sejak kakak dan istrinya menawarkan aku untuk bantu mengajar Alquran lagi di suatu pesantren daerah Kaliwates, Jember. Aku berkenan dan keluarga mengizinkan. Akhirnya aku meniatkan diri dalam kebaikan, tidak hanya bantu mengajar sebetulnya, tetapi lebih kepada belajar kembali menjadi santri. Itu artinya aku ingin menjadi santri baru dan belajar hal-hal baru lagi.
Aku merasa bahwa pesantren ini seperti jalan terang kesempatan meraih harapan. Awalnya, pada saat keberangkatan dan sampai di pesantren tempat aku akan mengajar santri, perasaan antara lima puluh persen akan betah dan lima puluh persen tidak akan betah menyelimuti diri. Namun sejak masuk kamar yang disediakan pengurus pondok itu aku langsung seratus persen betah; sebab, dalam ruangan berukuran tiga kali lima meter itu, kamar itu disesaki buku-buku bermutu.
"Kalau ustad suka baca buku, silakan buku-buku itu boleh dibaca sepuasnya," kata pengurus yang menemani aku malam itu.
Aku senang sekali atas tawarannya dan bertanya kepada pengurus itu; punya siapa buku-buku bagus sebanyak itu, dan pengurus bilang bahwa buku-buku itu milik adiknya Gus; yang waktu itu masih kuliah pada program studi sejarah di Jember. Ia juga bilang bahwa kebanyakan santri di sini masih sekolah madrasah aliyah dan sebagian lain masih kuliah di IAIN Jember.
Anda tahu, perasaan aku yang awalnya kendor mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena sudah empat tahun sejak aku lulus sekolah ketika itu juga membuncah kembali; semangat itu berkoar-koar setiap kali melihat sebagian santri kuliahan lewat depan kamarku, dan aku bertanya habis dari mana, kata mereka baru datang kuliah.
Lagi-lagi aku ingin kuliah. Aku ingin hak aku sebagai warganegara, sebagai sesama anak bangsa terpenuhi; sebab pendidikan adalah hak semua anak bangsa, entah bagaimana caranya aku akan menuntut hak itu bahwa aku harus kuliah tahun ini! (Tentang kelanjutan cerita ini baca: Memoar Kuliah(2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik).
0 Komentar:
Posting Komentar