Tembok, pikir mahasiswa yang duduk menggenggam buku sastra di dalam kelas. Jika keadaan kuliah kini membosankan, dia sering merasa bahwa dirinya adalah tembok.
Seandainya kehidupan kampus layaknya lautan, dia akan mengarungi samudra, bercumbu dengan gelombang ombak, bermain dengan ikan-ikan, dan mengendalikan perahu layar yang mungkin sewaktu-waktu akan menenggelamkan dirinya, dan dia sigap mengambil tindakan di laut lepas itu. Tapi kini dia berada dalam kampus, kehidupan yang dirasakannya sepi diskusi dua tahun terakhir ini bagaikan tembok: memberi sekat, mengejar prestise akreditasi, mengajar kecerdasan teknokratis, menghambat kreatifitas, memenjara imajinasi, dan membelenggu kemanusiaan mahasiswa.
"Aku akan pulang," pikirnya saat menginjak semester akhir di teras kampus itu mengurusi berkas-berkas, dan dia membayangkan nasib orang-orang miskin terhantar di desanya. "Aku rindu kehidupan desa," batinnya. "Aku ingin menyuapi sebutir nasi di mulut keriput Mak yang sedang terbaring sakit, membantu Bapak di ladang milik orang kaya, dan menemani adik belajar membaca yang baru masuk SD dua bulan lalu."
***
Setelah empat tahun lalu lulus, mahasiswa itu melipat jubah kesarjanaannya, membaurkan diri bersama masyarakat di kampung halamannya, dan mendialogkan ilmu dengan kehidupan.
Satu minggu berada di kampung halaman, kini dia dan bapaknya berada di tengah sawah, matahari menyetrika punggungnya, pilu keringat mengguyur sekujur tubuhnya yang kini mulai tak lagi gagah seperti dulu berada di kampus, dan dia tetap gemar membaca buku sastra; sebab buku sastra baginya adalah pelangi kehidupan itu sendiri.[]
0 Komentar:
Posting Komentar