Tampilkan postingan dengan label Resah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resah. Tampilkan semua postingan
Selasa, 12 September 2023 0 Komentar

Aku Butuh Teman Curhat

Nampaknya kini aku tak lagi bisa memendam perasaan yang, entah mengapa bisa demikian, sering menyakiti diri sendiri: sebuah perasaan murung yang sering kali aku pendam dalam-dalam jika punya masalah besar ataupun kecil (baik sama temen, sama keluarga, sama siapa pun). Nyaris aku mengalami kemurungan diri berhari-hari. Lebih-lebih dalam satu tahun terakhir ini; aku tak bisa bercerita atau tak punya temen untuk bercerita. 

Hanya dengan menulis ini sedikit banyak membantu aku keluar dari jeratan stress, frustasi bahkan depresi. Seolah-olah masalah ini tak lagi ada jalan keluar; tak ada lagi jalan yang membuatku tentram.

Bisakah aku sembuh dari lingkaran setan ini, lingkaran masalah yang aku pendam sendiri? 

Nampaknya sampai hari ini aku belum bisa bercerita kepada siapa saja; entah kepada temen, kenalan, atau orang terdekat sekali pun, bahkan kepada orangtua. Itu artinya penyakit ini belum sembuh. 

Tapi, aku tak bisa terus menerus punya karakter demikian. Aku lelah. Aku ingin sembuh dari  penyakit kemurungan ini. 

Aku mulai menelusuri, berpikir sedemikian panjang jika sedang sendiri, merenung di ruang sepi, sebenarnya ada apa dengan diriku ini? 

Aku belum menemukan jawaban pasti; mengapa aku gampang stress, frustasi, merasa tertekan akan suatu hal, dan imbasnya ialah kemurungan berhari-hari, sulit keluar menemui orang, malas berbicara entah dengan siapa. 

Aku bertanya di depan cermin; sejak kapan kau seperti itu? Aku kira sejak kecil; dimana jikalau aku punya masalah, tak seorang pun mau mendengarkan apa masalah yang aku pendem, apa yang aku butuhkan, dan apa yang aku sesali berhari-hari sehingga aku punya karakter pendiam dan sulit bercerita. 

Dulu aku punya teman dekat buat curhat, tempat bercerita segala hal yang membuat aku lega dari jeratan masalah. Namun teman yang kini aku maksud nyaris tak ada lagi kabar; tak ada lagi jejak yang bisa aku telusuri; tak ada lagi orang yang bisa aku percaya untuk bercerita banyak hal. 

Ia adalah sahabat kecil. Kini ia telah punya suami dan buah hati namun saking deketnya aku dengannya, aku bebas saja menghubungi dia kapan pun yang aku mau, asal sedang ada waktu longgar. 

Aku akan bercerita banyak hal kepadanya: tentang aku yang sekarang sedang mencari pasangan hidup; tentang aku yang sekarang dilanda kemurungan; tentang aku dan orangtua sedang tak baik-baik saja; tentang apa saja yang aku hadapi dalam menjalani kehidupan ini. 

Namun justru kini aku nyaris tak pernah mendengar lagi kabar tentangnya: sesuatu yang aku butuhkan hari ini. Ialah orang yang tepat buat aku bercerita banyak hal. 

Tapi ... siapa kah orang yang tepat buat aku bercerita banyak hal?
Jumat, 17 Februari 2023 0 Komentar

Skripsi Bagus

Untuk dapat menulis skripsi bagus, mahasiswa butuh asupan skripsi yang bagus pula. Masalahnya skripsi-skripsi yang dibaca mahasiswa minim sekali ada yang bagus. Saya menemukan satu dua skripsi bagus. Tapi itu tak cukup bagi saya menghasilkan skripsi bagus. Pun juga tesis serta disertasi. Minim sekali saya temukan tesis serta disertasi yang bagus. Setidaknya dalam pengamatan saya selama ini keluar masuk perpus. 

Saya berterima kasih jika ada skripsi atau hasil penelitian ilmiah ditulis dan diteliti dengan bagus; ia telah berjasa besar bagi keilmuan masa depan; meskipun saya sendiri tak begitu yakin terhadap pemangku kebajikan; tapi saya tetap yakin bahwa pendidikan di masa depan akan jauh lebih baik, dimulai dari diri kita sendiri sebagai penggerak perubahan, dengan menulis skripsi sebaik mungkin, bukan sekadar ala kadarnya selesai.
Jumat, 17 Juni 2022 3 Komentar

Mahasiswa yang Sentimen

Sungguh kacau dunia ini jika semua hal harus ditanggapi dengan sentimen, alih-alih adu argumen. Orang-orang yang hanya mengedepankan sentimen biasanya terlalu cetek pikirannya—sulit menalar persoalan. Seolah-olah itu kebenaran serta kebaikan.

Jenis orang-orang seperti ini ternyata ada pula pada kalangan mahasiswa. Saya tentu kaget pertama kali kuliah dan hari ini—saya tidak terlalu kaget. Namun saya resah keberadaaan jenis-jenis mahasiswa semacam ini.

Dan dengan alasan itulah saya menulis catatan ini. Moga-moga tulisan ini dibaca oleh mereka dengan kepala hangat; dengan kacamata sehat; dengan pikiran terarah; dengan pikiran jernih serta terbuka.

*
Dalam sebuah kasus, apapun kasus itu akan jauh lebih terarah dan menguntungkan kedua belah pihak, yang harus dilihat adalah inti persoalan, bukan hal lainnya. Jika satu persoalan kemudian dipelintirkan sedemikian rupa sehingga memicu polemik kekaburan suatu percakapan, alamat salah satu pihak akan dirugikan dan diuntungkan oleh pihak lain, yang oleh karena hanya teman dekat. 

Dan parahnya, yang diuntungkan adalah yang menggunakan kata-kata sentimen, sungguh terlaknat mahasiswa semacam itu.

Alih-alih mendukung proses belajar seseorang—ia menjadi penghalang karena sifat buruknya yang agak sinis melihat orang lain rajin, berani berpendapat, dan mau mengajukan ketidakberkenaannya akan suatu hal, dengan sinisme tingkat akut.

Mungkin kasus tersebut bisa saya paparkan sebagai berikut.

Misalnya, kalau saya mengatakan bahwa ketidaksiapan bukanlah alasan tepat bagi mahasiswa untuk tidak presentasi adalah sesuatu yang kacau dan potensial merugikan banyak pihak. Itu klaim yang saya ajukan untuk memprotes mahasiswa yang suka menunda-nunda tanggung jawab presentasi—yang itu berimpas merugikan banyak pihak (kecuali menunda-nunda pekerjaan untuk diri sendiri; tidak masalah). 

Betapa pun banyaknya waktu yang diberikan; seorang yang suka menunda-nunda akan selalu—dan kemungkinan besar akan beralasan kembali bahwa dirinya tidak siap. Itu jantung persoalan yang saya protes; bukan hari tertentu (ingat! bukan hari tertentu). 

Saya mengajukan hari tertentu—yaitu Jum’at—karena hari setelahnya, Sabtu, saya ada acara dan tentu saja itu sekadar pendapat, dan bentuk pengajuan diri sebagai kelompok yang berhak presentasi. Tapi anehnya, pikiran cetek dan sentimen justru tak mampu menangkap jantung persoalan yang saya gugat, alih-alih, justru hal tersebut  dianggap bentuk protes. 

Hey … mana pikiran sehat anda?

Alih-alih memahami secara keseluruhan klaim, protes jantung persoalan, pendapat, dan penawaran kami untuk presentasi hari tertentu, adalah justru nada sentimen yang mengedepankan cibiran dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” dan nada-nada serupa lainnya, bentuk ketidakmampuan menalar persoalan dengan baik, alih-alih memahami secara keseluruhan. 

Alih-alih menanggapi dengan kepala hangat; malah justru mengklaim bahwa “kelompok kami tidak siap”. Apa bukti kalau kelompok kami tidak siap? 

Oih, anda mengatakan “kami tidak siap” lantaran salah satu orang dari kami mengatakan demikian bukanlah klaim yang mendukung dan menguatkan klaim-klaim serampangan-sentimen anda tersebut (saya kira pembuktian hanya satu orang tidak cukup; yang sebenarnya harus melibatkan banyak pihak yang dimintai keterangan). Jelas itu sentimen yang bernada merendahkan. 

Tapi sayang—mahasiswa yang cetek pikirannya selalu menganggap bahwa itu sebuah kebenaran dan kebaikan untuk melegalkan klaim-klaim serampangan untuk menjatuhkan mitra lawan bicara.

Sebenarnya saya malas meladeni mahasiswa yang pemahaman serta pembicarannya selalu mengedepankan sentimen. Tetapi jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi pertemanan. Saya katakan demikian karena cibiran atau sentimen atau sinis itu potensial menjatuhkan semangat seseorang belajar—alih-alih mendukung keberhasilan teman.

Mencibir mitra lawan bicara dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” seperti merendahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya melakukan apa yang dikatakannya. Padahal setiap orang telah diberi waktu dalam 24 jam untuk bisa rajin, pintar, cerdas, dalam mengejarkan sesuatu dengan tepat waktu. 

Namun karena dirinya bersifat sebaliknya adalah justru sifat sinis melihat orang lain pintar, rajin, cerdas, dalam mengerjakan sesuatu, terbentuklah sifat sentimental tersebut. Saya jengkel kepada seseorang yang merasa rendah diri semacam ini. Karena itu saya melawan diri seolah-olah ingin mengetuk tempurung kepalanya yang agak sulit dibuka mata pikirannnya itu.

Dan kembali lagi ...

Sungguh basi “ketidaksiapan” dijadikan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Alih-alih memberikan alasan masuk akal “mengapa tidak siap” justru malah mengeluarkan kata-kata sentimen pada orang yang mau menggugat perihal ketidaksiapannya. 

Sebenarnya tidak begitu masalah jika kita merasa tidak siap pada satu kondisi yang tidak memungkinkan untuk menampilkan hasil kerja dengan baik. Namun yang patut dicatat adalah ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen. Saya ulangi kembali: ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen!

Saya rasa, merasa tidak siap adalah satu bentuk kejujuran. Namun bentuk kejujuran itu rusak bilamana kata-kata dibalut dengan sinisme, serta, kata-kata sentimen tidak layak dipakai oleh kalangan yang merasa seorang pembelajar.

Tapi, lagi-lagi, saya rasa, bentuk protes karena ketidaksiapan untuk presentasi adalah sah-sah saja dan patut saya gugat sebab itu kepentingan banyak orang. Terlalu banyak waktu hangus lantaran keberadaan orang-orang yang selalu merasa tidak siap dan itu merugikan banyak pihak dan itu bukan satu dua kali beralasan demikian, bukan? 

Maksudnya adalah mahasiswa yang beralasan “tidak siap” pada dasarnya peralihan dari kemalasan yang ia ciptakkan sendiri.

Lagi, mungkin dalam pikiran mereka saya beralasan karena “ada acara pada hari sabtu” itu tidak tepat dan sebab itulah mereka mengutuk saya sebagai mahasiswa supersibuk dan sebagainya. Ini persoalan prioritas, Kawan. Jika saya beralasan demikian pada hari kuliah mungkin boleh anda mengutuk saya dan menyarankan agar saya memilih prioritas mana yang tepat bagi saya. 

Tetapi, sekali lagi, anda tidak punya kuasa mengutuk orang pada hari diluar hari kuliah. Kenapa anda mempersoalkan hanya karena saya ada acara dan menfokuskan diri untuk melawan mitra bicara anda dengan nada-nada sentimen seolah-olah itu sebuah bentuk kebenaran dan kebaikan?

Lain waktu saya tidak akan menanggapi kata-kata yang bernada sentimen. Lebih baik saya menanggapi nada-nada argumen. Kata-kata sentimen  biasanya hanya akan berujung pada kebencian; sementara kata-kata argumen mengetuk tempurung kepala yang cetek dan biasanya akan melahirkan kejernihan pikiran. Selalu mewanti-wanti diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata sentimen adalah upaya diri untuk tidak membenci. 

Sentimen dan argumen adalah dua hal yang kontradiktif. Oleh karena itu, keduanya tidak mungkin berhubungan romantis, dan karena itu pula, saya harus lebih berhati-hati menanggapi suatu hal yang hanya berujung permusuhan. Caranya adalah dengan tidak menanggapi itu tadi. Namun kadang saya perlu menanggapi jika hal tersebut merugikan diri di hadapan banyak orang.

Dari watak serta sifat mereka (baca: sinisme, sentimen) dapat saya simpulkan: Sesungguhnya, tanpa ia sadari, orang berlagak merendah diri adalah orang yang merasa paling diri dan paling benar sendiri. Sayang, mereka tidak sadar akan hal itu dan mereka sematkanlah kata-kata itu pada mitra lawan bicaranya, eh. Maaf.
Minggu, 08 Mei 2022 1 Komentar

Waspadalah!

Pada sore hari di sebuah kafe, dengan duduk santai sambil menikmati sajian kopi, kami mengobrol hal-hal receh-receh seputar kebisingan kampus dan beberapa menit kemudian topik obrolan mengarah pada pengalaman masing-masing dan ia ingin mengatakan sesuatu, dengan arah narasi satu hal, seolah-olah, bahwa dirinya sering dimanfaatkan oleh manusia-manusia berkepentingan. 

"Saya kalo mau minta bayaran dari jurnal yang saya tulis itu, Qin," ia meyakinkan pembicaranya dan saya tahu bahwa ia tidak mungkin berbohong sebab saya kenal dekat, "saya kaya raya, Qin. Tapi ya ..." ia beri jeda kata-katanya, seolah-olah ada sekat kata dalam tenggorokannya. 

Tampak saya melihat ada kekesalan dan kejengkelan di wajahnya ketika kata-kata "tapi ya ..." itu ia tahan, seolah-olah ia ingin memberontak konsep patuh, pada orang-orang yang dianggap guru, yang tidak patut ditiru. 

Ia membuka pikiran saya untuk berpikir realistis pada apa yang kita kerjakan dan saya setuju dengan nasihatnya itu. "Idealis bukan berarti harus menolak upah menulis, Qin." katanya. 

Saya tersenyum seraya menyetujui. "Betul, Mas. Kadang prinsip idealis oleh segelintir mahasiswa dikira harus menolak segala bentuk materi," jawab saya. "Sepertinya mereka punya kekuatan lebih untuk bertahan hidup meski tanpa uang."

Dan ia cekikikan, lalu kemudian menyeruput kopi yang agak mulai kedinginan. 

Saya memahami pengalaman getirnya, karena saya juga pernah mengalami hal serupa, meski bentuk rupa kepentingan itu berbeda. Ia kemudian berterus terang bahwa dilingkungan sekitarnya, banyak orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya; memanfaatkan keahliannya menulis; dengan rupa dan gelagat sama; yang suatu hari jika ada kebutuhan mendesah mereka datang dengan raut muka polos dan semacamnya, berbagai variannya.

Mereka pasang muka polos dan melobi segala cara untuk mendapatkan bantuan dengan tujuan persoalan tugas kampus selesai (dibalik kepolosannya ternyata ada maksud terselubung yang ingin meminta bantuan dan setelah urusan itu selesai, persetan mulai).

Tipikal manusia semacam di atas mungkin banyak dan tidak melulu urusan satu hal dan waspadalah keberadaannya. Sebab keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dan konsekuensinya, jika terlanjur masuk ke dalam dunianya: waktu habis oleh kepentingan-kepentingannya, yang sama sekali bukan tanggung jawab kita. 

Sesungguhnya ia tidak pernah menolak jika ada orang yang kesulitan menyelesaikan persoalannya dan meminta bantuannya; jika satu dua tiga kali mereka datang, tentu saja. Tetapi jika urusan bantu-membantu itu berulang-ulang kali dan pekerjaan itu memungkinkan mampu diselesaikan sendiri, kenapa harus merepotkan orang? 

"Kan bisa dipelajari sendiri," katanya. "Bisa dikerjakan sendiri."

Saya mengelaborasi obralan itu dengan realita yang terjadi di kalangan mahasiswa, yang belakangan---oh, jika saya tidak salah baca alamat---sulit gemar membaca. 

"Itulah pentingnya belajar menulis, Qin. Kita dituntut membaca sekaligus menulis," sanggahnya. "Kalau pun belajar menulis bukan untuk jadi penulis. Minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah."

Dan sekali lagi saya setuju. 

Kesulitan mereka menyelesaikan problem kepentingannya---yaitu tugas-tugas kampus itu---adalah minimnya semangat mereka membaca dan menulis. Saya setuju bahwa kalau pun tidak ada niatan untuk menjadi penulis, minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan tulis-menulis. 

Dan tugas-tugas kampus, sialnya, tidak seperti pekerjaan sawah yang berkaitan dengan cangkul, dan kawanannya, sebagaimana kita tahu bahwa, tugas kampus selalu bertali-temali dengan urusan membaca-menulis, kecuali masuk kampus pertanian. 

Dan obrolan sore itu kami tutup dengan misi yang sama: kita harus lebih berhati-hati kedepannya. Manusia-manusia berkepentingan masih berkeliaran di sekeliling kita dan kita harus rela menjaga jarak agar mereka tahu menempatkan diri bahwa dirinya juga mampu menyelesaikan problem ke-diri-annya.
 
;