Sabtu, 02 Juli 2022

Pertanyaan-pertanyaan Arti Pertemuan dan Perpisahan dalam Kejadian-kejadian tentang Suatu Hari Nanti (1)


Ini adalah kesunyian yang muncul kembali setelah dinginnya malam masuk melalui celah-celah jendela, melalui lubang-lubang kecil yang kerap kami alami pada malam-malam penuh syahdu bersamaan dengan suara-suara gemericik hewan; sebilah kesunyian yang akan dipecahkan oleh lelucon Mbak Faiz dan kawan-kawan lain yang melenturkan kebekuan kulit-kulit kami yang dihujam oleh dinginnya malam Kawan Ijen. 

Dan kesunyian bersamaan dinginnya malam itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan. 

Terkadang saya berpikir dan menghayal yang cukup menguras emosional tentang sebuah persaudaraan yang disatukan oleh kewajiban kami sebagai mahasiswa adalah; apakah suatu masa nanti kami akan dipertemukan kembali setelah usai menjalani KKN ini; setelah kami lulus menempuh studi ini; setelah mungkin di antara kami telah sampai pada batas usia dan mati tak lagi dapat berjumpa kembali di dunia yang fana ini? 

Terkadang saya berpikir tentang suatu masa di mana pikiran tak lagi mampu menjawab pertanyaan tentang sebuah perpisahan; apakah perpisahan itu benar-benar ada? Apakah arti dari sebuah perjumpaan dan perpisahan itu? Apakah ada jarak antara ruang waktu kita setelah kejadian di dunia ini berakhir? Ah, apakah pula makhluk akhir itu? Adakah akhir dari segala yang akhir ini? 

Ah, kenapa pikiran ini cukup liar akan pertanyaan-pertanyaan; seolah-olah menyetujui apa yang dikatakan Goenawan Mohammad itu: pikiran adalah lika-liku cerewet. 

Pikiran cerewet yang mempertanyakan suatu masa tentang arti kehidupan yang telah dirancang sedemikian sistematis oleh suatu Sang Ada dan perangkat-perangkat tubuh ini seperti digerakkan oleh-Nya. 

Misalnya, ingatan saya tiba-tiba bergelayut secara otomatis tentang kejadian-kejadian dari bangun tidur hingga menjelang tidur ini. Suatu ketika kami kedatangan tamu dari posko lain dan terjadilah suatu percakapan. 

Sabtu, 02 Juni 2022

"Siapa di sini yang dari Puger?" saya bertanya kepada para tamu itu. 

"Saya ..." ia mengacungkan tangan. 

Mata para hadirin menikam mata saya dan saya diserbu oleh celotehan kawan-kawan. 

"Tadi malam katanya mau dicarikan masa depan. Itulah loh sudah ada. Sama-sama dari Puger lagi."

"Wah, ini namanya jodoh di posko sebelah," seseorang menyambung celotehan. 

"Gas dah ...." kata yang lain. " Cocok."

Dan saya tersipu malu tingkat akut siang itu. Orang-orang senang melihat saya jadi bulan-bulanan celotehan mereka di tengah suasana keharmonisan antar sesama posko.

Pikiran saya tiba-tiba muncul kejadian-kejadian lain hari-hari sebelumnya dan setelahnya tentang kebaikan-kebaikan masyarakat desa Kalianyar ini. Suatu ketika kami ditawarkan segala macam sayur-sayuran dari hasil ladang. 

"Mainlah ke rumah nanti malam," tawar tetangga yang baru saja bertemu di teras rumahnya. "Ada sayur-mayur buat laut, Dek. Nggak usah beli kalau di sini."

"Iya, Pak, kalau ada waktu, akan kami sempatkan main," jawab saya. "Jangan lupa siapkan kopinya." 

Ia tertawa dan menepuk-nepuk pundak saya keras-keras sambil terkekeh-kekeh. 

"Bisa aja kau, Nak!" 

Sekali lagi bapak tua itu terkekeh-kekeh senang saat saya tagih kewajibannya menghormati tamu agung yang bakal datang itu. 

Kelopak mata saya seperti meminta haknya untuk tidur bersamaan akan selesainya catatan ini yang akan dilanjutkan secara berkala. 

Sabtu, 02 Juni 202

0 Komentar:

 
;