Malam itu, tepat usai tahun baru, pada 02 Januari 2019, adalah awal kedatangan saya pindah pesantren ke Kaliwates Jember. Ialah setiap hari bagi santri baru adalah hari-hari yang baru.
Tapi sesuatu disebut baru apalagi santri mampu dan dapat terus tumbuh beradaptasi dengan harapan dan impian yang mengitari lingkungan kehidupan sekitarnya. Itu sesuatu yang rumit dan butuh adaptasi panjang mengikuti alur kehidupan.
Tapi apapun tantangannya sebagai santri baru memaksa dirinya harus beradaptasi dan sebisa mungkin mengerti keadaan atau peluang kesempatan belajar. Dengan peluang kesempatan itulah ia dapat tumbuh dan terus belajar memperbaharui diri yang baru dari diri yang pernah layu.
***
Setelah setengah tahun berada di pesantren pikiran kembali melayang-layang terkait keputusan melanjutkan kuliah. Harapan itu tak pernah surut bergulat dengan peristiwa tiap hari ketika santri lewat depan kamar saat saya berdiam diri di kamar sendirian melamun tentang pendidikan masa depan. Suatu impian masa depan yang tak pernah gampang ditaklukkan. Begitu bisikan hati dan pikiran berkecamuk kacau setelah melewati penolakan kampus berkali-kali saat saya coba mendaftar kuliah.
Anda tahu, ditolak kampus berkali-kali ketika itu jauh lebih menyakitkan ketimbang ditolak perempuan mengajak pacaran. Itu pengalaman paling berpengaruh besar dalam perjalanan saya selanjutnya, dan bagaimana saya menyikapi persoalan kehidupan mendatang yang mungkin akan jauh lebih mencekam memecahkan onggokan batu besar di tengah jalan.
Saya merasa pada waktu itu seperti berada dalam kondisi terendah, berada dalam kondisi diambang putus asa, dan memang setiap orang akan mengalami fase pengalaman terendah, bukan dalam arti ia paling terendah dari sekian banyak manusia, melainkan titik terendah dalam arti melewati proses tantangan mencekam melewati persoalan kehidupan yang mungkin taruhannya ialah impian dan nyawa.
Saya pernah berada dalam kondisi diambang putus asa seperti itu. Satu pengalamannya ialah ketika memperjuangkan hak pendidikan yang sempat terlunta-lunta dan ditolak kampus berkali-kali. Kira-kira catatan proses penolakan kampus itu jika ditulis pengalamannya seperti ini alurnya.
Percobaan pertama pendaftaran kuliah.
Pada malam hari itu saya membuka website pendaftaran kampus dan ternyata dalam laman resmi tertera bahwa ijazah saya sudah kadaluwarsa. Artinya kampus hanya menerima ijazah angkatan kelulusan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan. Sementara ijazah saya tidak masuk dalam bagian ketentuan tersebut.
Akhirnya saya menghubungi pihak kampus lewat email dan dibalas oleh pihak kampus. "Maaf, kami hanya menerima angkatan mahasiswa baru sesuai ketentuan aturan". Pikiran saya langsung pening setelah sekian hari menunggu balasan email dan mendapatkan jawaban menyakitkan dan mendiskreditkan yang entah apa maksud dan fungsi aturan seperti itu.
Percobaan kedua pendaftaran kuliah.
Saya mencoba klarifikasi langsung ke pihak kampus di bagian rektorat pusat dan menanyakan hal serupa namun saya bumbui pertanyaan lain dengan perbandingan, "Mengapa kampus PTKIN lain seperti UINSA masih menerima ijazah angkatan 2016, sementara kampus di sini tidak menerima?"
Pihak kampus menjawab seenaknya. "Ya ... Mas kalau begitu daftar kampus di sana saja". Kendang telinga saya langsung pecah, mata saya bergocoh dengan raut muka monster.
Percobaan ketiga pendaftaran kuliah.
Saya menanyakan banyak hal kepada kawan para aktivis kampus bagaimana sekiranya saya bisa mendaftar kuliah, barangkali mereka bisa membantu dan mencarikan orang petinggi kampus yang bisa saya temui untuk bernegosiasi, saya ingin menyampaikan maksud baik saya untuk belajar, tetapi rupanya para kawan aktivis kampus itu tidak punya relasi ke arah situ. Akhirnya negosiasi buntu.
Percobaan keempat pendaftaran kuliah.
Kabar bahwa saya ingin melanjutkan kuliah ternyata tersebar di keluarga pesantren, tempat di mana saya bermukim diri mengajar para santri. Pengasuh pesantren jadi dosen. Akhirnya, oleh pengasuh, saya dibantu dan dicarikan jalan bagaimana supaya saya terdaftar kuliah namun tetap saja tidak bisa oleh sebab aturan yang ada katanya.
Keluarga pesantren sempat juga menawarkan saya kuliah di luar negeri tetapi saya langsung memohon maaf. "Sempat punya impian kuliah ke luar negeri, Gus. Cuma pihak keluarga tidak mengizinkan kalau terlalu jauh," curhat saya. "Dalam negeri saja saya maksa ke orangtua tetapi tetap tidak bisa. Tahun ini baru saya mengajukan lagi mau kuliah, baru diizinkan oleh Ibu".
Kabar bahwa saya ingin kuliah itu makin menyebar di kalangan guru SD tempat saya mengajar alquran pada waktu pagi. Salah satu Ustadzah Hafizah ternyata suaminya dosen syari'ah di kampus. Ia membantu saya mencarikan jalan lewat jalur salah satu dekan. Yaitu suaminya itu. Tapi tetap suaminya tidak punya otoritas wewenang mengubah aturan yang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Hafizah. Ia kemudian menawarkan kampus di tempat lain namun saya katakan keluarga setujunya kuliah di tempat kelahiran saja. Ustadzah Hafizah itu paham kondisi batin seorang Ibu dan menasehati saya agar bersabar supaya menemukan jalan keluar. Siapa tahu masih ada jalan harapan, katanya.
Anda tahu, bukan; bahwa memupuk harapan berarti harus menyiapkan diri menghadapi kekecewaan. Sejak harapan kuliah pupus di tengah jalan berkali-kali, dalam diri saya seperti ada perasaan kecewa dan putus asa, bukan saja pada diri sendiri maupun pada orang yang telah mengkhianati, melainkan juga kepada orangtua sebab sejak lama saya sudah meminta izin kuliah kepada orangtua, khususnya Ibu, namun tidak diperkenalkan oleh keluarga. Setelah saya empat tahun lulus sekolah menengah, baru kemudian orangtua mengizinkan saya kuliah.
Apa itu tidak membuang-buang waktu namanya?
Karena itu, sebetulnya saya sempat malas hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebab saya sudah telat cukup lama. Namun karena lingkungan menghidupkan impian lama, secercah harapan kuliah tak pernah lepas dalam pikiran.
Penampakan santri kuliahan saban hari mondar-mandir depan kamar saya tiap pulang kampus, menyadarkan dan membangunkan tidur panjang saya menuntut hak menempuh pendidikan perguruan tinggi.
***
Pada 29 Juli 2019 ialah tepat penutupan akhir pendaftaran kampus. Saya mendaftarkan diri setelah menemukan jalan terang lewat proses komunikasi salah satu panitia penyelenggara. (Tentang bagian ini kita cerita di lain waktu dan melihat bagaimana rezeki itu bekerja sesuai rencana yang maha kuasa). Pada proses ini banyak orang-orang baik membantu saya menyiapkan segala kebutuhan pendaftaran kampus, termasuk biaya. Saya tidak akan melupakan kontribusi orang-orang baik itu seperti tertulis dalam catatan lalu di sini.
Pada 31 Juli 2019 ialah waktu tes ujian pendaftaran kampus. Saya tidak belajar sama sekali sebab waktu terlampau singkat dan saya memilih membaca buku-buku apa saja yang akan saya pelajari di bangku kuliah nanti. Saya punya keyakinan kuat bahwa saya akan diterima sebagai mahasiswa sebab program studi yang saya ambil adalah tergolong baru dan sepi peminat. Karena itu saya yakin saja. Pasti diterima, kata teman saya. Dan benar. Pernyataan dan keyakinan kuat itu tidak meleset barang sedikit pun.
0 Komentar:
Posting Komentar