Buku-buku yang dulu
telah membikin saya trauma sampai hari pun saya buang jauh-jauh. Kini rasanya
saya lebih leluasa membaca apapun yang bikin kreativitas saya meningkat...
Kerap kali saya
bertanya pada diri sendiri dengan nada putus harapan sebab saya telah menemukan
jawabannya: bolehkah saya memilih pelajaran di sekolah - juga di kampus
barangkali - berdasarkan buku-buku yang saya gemari saja agar saya belajar
riang gembira tanpa keterpaksaan membaca buku-buku yang membosankan itu.
Tak jarang saban saat
saya tak mengikuti apa dan bagaimana belajar saya di institusi formal. Saya tak
berpikir bagaimana saya harus bersaing dengan mereka yang rajin mematuhi
kehendak kurikulum formal itu—apalagi mematuhi kehendak senior yang sebagian
dari mereka cuti intelektual. Belum saatnya saya harus patuh padanya. Pada saat
yang sama saya memilih sekolah plus ngampus di kehidupan.
Sebab, itulah sekolah yang menurut saya benar-benar sekaloh.
Jika ujian di institusi
manapun soal diberikan dengan warning terlebih dulu, baru
ujian dilaksanakan. Akan tetapi, di institusi kehidupan ujian diberikan secara
mendadak dan tak ada jadwal yang mengiringinya, barulah "pelajaran"
di dapatkan setelah mengalami getah-getir pahit-manis kehidupan. Inilah ilmu di
dapat, bukan sekadar mengetahui ilmu belaka. Bagaimana Anda dan saya
menghadapi jika itu terjadi seketika?
Saya teringat ketika
masa sekolah dulu yang saban pelajaran berlangsung saya beserta kawan-kawan
yang terkenal bandel curi-curi waktu luang untuk pergi bermain menikmati
kehidupan di luar, dan terkadang saya mengajak mereka pergi ke perpus yang sepi
penghuninya.
Meski saya tinggal di
pesantren, kehidupan saya tak seperti santri pada umumnya. Waktu sekolah adalah
waktu di mana saya harus pergi meninggalkan pesantren dan bangku sekolah. Waktu
dimana saya harus melakukan hal-hal sebebas mungkin, entah itu pergi ke sawah
(sekolah memang dekat sawah), ke kanting, dan kemana pun kami berkelana yang
penting menemukan titik dimana saya mendapat pelajaran.
Pernah suatu ketika
salah seorang guru yang sangat baik pada saya memberi pinjaman buku
Ensiklopedia (dari A hingga Z) dengan ketebalan buku cukup berat mengantongi
tas saya - untuk saya baca waktu pelajaran berlangsung tetapi saya diberi
kesempatan membaca leluasa di perpus yang jarang dibuka itu - sedang waktu
pelajaran tidak saya ikuti. Dari hasil bacaan buku yang memukau dan berbobot
itu sampai hari ini saya ingat dengan baik. Yang jelas tidak seperti buku-buku
pelajaran pada umumnya, yang hanya ingat sebatas beberapa hari saja.
Dari pengalam membaca
buku bebas ini saya menemukan titik dimana diri ini harus saya perjuangkan
untuk hidup lebih baik lagi. Berdasarkan bacaan sejarah yang saya baca di buku
Ensiklopedi itu, dan buku-buku yang lain (biasanya buku pengembangan diri).
Saya sekarang baru mengerti terutama apa yang dikatakan oleh Benny Arna situ,
“Keistimewaan Membaca-tanpa-kecemasan adalah mendapatkan gagagan baru yang
tidak ada sangkut-pautnya dengan bahan bacaan itu.” Dari
membaca-tanpa-kesemasan pada saat itu saya berjumpa dengan: diri sendiri,
kehidupan orang lain (termasuk penulis), dan Tuhan itu sendiri.
Hari ini saya sudah
menemukan cara belajar lain—belajar selain membaca karya orang adalah belajar
membaca karya sendiri. Dengan kata lain, belajar berkarya sembari belajar
mencinta belajar. Inilah salah satu alasan terbesar saya belajar untuk terus
belajar: dengan berkarya. Tentu menulis adalah keharusan melebihi dari
keniscayaan.
0 Komentar:
Posting Komentar