Kamis, 17 September 2020

Sekolah Bikin Saya Trauma!

Sumber Ilustrasi : Googleimage.com

Jika Tuhan perkenankan saya menjadi bocah berseragam yang saban hari Senin hingga Sabtu berada di bangku sekolah, maka ingin sekali saya membaca buku-buku pelajaran yang diberikan guru kepada saya. Tetapi apakah iya ... saya dapat menikmati pelajaran dengan riang gembira - dengan setumpuk buku-buku (Paket + LKS) yang diberikan - yang bagi saya tak mampu meningkatkan kapasitas saya dalam berpikir? Apakah iya ... buku-buku itu membikin saya gemar membaca dan cinta belajar? Apakah iya ... buku-buku itu akan merubah saya dalam cara berpikir? Apakah bisa ... pendidikan di gedung sekolah yang begitu jumawa itu dapat memberi jalan kehidupan saya nanti? Sebab, sekolah telah membikin saya trauma belajar yang tak dapat menghilangkan masalah yang saya alami. Belajar sungguh sangat membosankan! Apakah Anda mengalama apa yang saya rasakan?

Buku-buku yang dulu telah membikin saya trauma sampai hari pun saya buang jauh-jauh. Kini rasanya saya lebih leluasa membaca apapun yang bikin kreativitas saya meningkat...

Kerap kali saya bertanya pada diri sendiri dengan nada putus harapan sebab saya telah menemukan jawabannya: bolehkah saya memilih pelajaran di sekolah - juga di kampus barangkali - berdasarkan buku-buku yang saya gemari saja agar saya belajar riang gembira tanpa keterpaksaan membaca buku-buku yang membosankan itu.

Tak jarang saban saat saya tak mengikuti apa dan bagaimana belajar saya di institusi formal. Saya tak berpikir bagaimana saya harus bersaing dengan mereka yang rajin mematuhi kehendak kurikulum formal itu—apalagi mematuhi kehendak senior yang sebagian dari mereka cuti intelektual. Belum saatnya saya harus patuh padanya. Pada saat yang sama saya memilih sekolah plus ngampus di kehidupan. Sebab, itulah sekolah yang menurut saya benar-benar sekaloh.

Jika ujian di institusi manapun soal diberikan dengan warning terlebih dulu, baru ujian dilaksanakan. Akan tetapi, di institusi kehidupan ujian diberikan secara mendadak dan tak ada jadwal yang mengiringinya, barulah "pelajaran" di dapatkan setelah mengalami getah-getir pahit-manis kehidupan. Inilah ilmu di dapat, bukan sekadar mengetahui ilmu belaka. Bagaimana Anda dan saya menghadapi jika itu terjadi seketika?

Saya teringat ketika masa sekolah dulu yang saban pelajaran berlangsung saya beserta kawan-kawan yang terkenal bandel curi-curi waktu luang untuk pergi bermain menikmati kehidupan di luar, dan terkadang saya mengajak mereka pergi ke perpus yang sepi penghuninya. 

Meski saya tinggal di pesantren, kehidupan saya tak seperti santri pada umumnya. Waktu sekolah adalah waktu di mana saya harus pergi meninggalkan pesantren dan bangku sekolah. Waktu dimana saya harus melakukan hal-hal sebebas mungkin, entah itu pergi ke sawah (sekolah memang dekat sawah), ke kanting, dan kemana pun kami berkelana yang penting menemukan titik dimana saya mendapat pelajaran. 

Pernah suatu ketika salah seorang guru yang sangat baik pada saya memberi pinjaman buku Ensiklopedia (dari A hingga Z) dengan ketebalan buku cukup berat mengantongi tas saya - untuk saya baca waktu pelajaran berlangsung tetapi saya diberi kesempatan membaca leluasa di perpus yang jarang dibuka itu - sedang waktu pelajaran tidak saya ikuti. Dari hasil bacaan buku yang memukau dan berbobot itu sampai hari ini saya ingat dengan baik. Yang jelas tidak seperti buku-buku pelajaran pada umumnya, yang hanya ingat sebatas beberapa hari saja.

Dari pengalam membaca buku bebas ini saya menemukan titik dimana diri ini harus saya perjuangkan untuk hidup lebih baik lagi. Berdasarkan bacaan sejarah yang saya baca di buku Ensiklopedi itu, dan buku-buku yang lain (biasanya buku pengembangan diri). Saya sekarang baru mengerti terutama apa yang dikatakan oleh Benny Arna situ, “Keistimewaan Membaca-tanpa-kecemasan adalah mendapatkan gagagan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan bahan bacaan itu.” Dari membaca-tanpa-kesemasan pada saat itu saya berjumpa dengan: diri sendiri, kehidupan orang lain (termasuk penulis), dan Tuhan itu sendiri.

Hari ini saya sudah menemukan cara belajar lain—belajar selain membaca karya orang adalah belajar membaca karya sendiri. Dengan kata lain, belajar berkarya sembari belajar mencinta belajar. Inilah salah satu alasan terbesar saya belajar untuk terus belajar: dengan berkarya. Tentu menulis adalah keharusan melebihi dari keniscayaan.

Tetapi, bagaimana menulis yang baik dan indah di baca? 

Blog ini adalah ladang saya berlatih sekeras mungkin. Entah sampai kapan saya akan menghasilkan tulisan yang baik nan indah. Intinya, blog ini yang akan menjadi kehidupan sekolah menulis saya, tentunya. 

0 Komentar:

 
;