1. Ri:, Ayah dan Ibu Tirinya
Aku tulis Ri:, begini aku menulis nama singkatan namanya. Paduan huruf "R", dan "i", lalu di akhiri tanda ":", adalah nama yang sampai kini terukir elok dalam diary kehidupan aku semenjak bersahabat dengannya.
Ri:, adalah seorang perempuan tangguh dan pemberani. Ia anak yang cerdas. Anak yang memiliki banyak prestasi. Selain berprestasi, Ri: perempuan yang memiliki suara merdu. Bila ia menyanyi - yang sedih akan bahagia; yang luka akan sembuh; yang benci akan jatuh cinta; yang pendiam akan menyapanya; yang nakal akan tunduk padanya.
Kemerduan suaranya di warisi ibunya. Tentu. Selain bakat bernyanyi. Ri: juga jago bertilawah al-Qur'an. Aku (lebih dari) senang melihatnya - baik ketika ngaji maupun bernyanyi. Aku di buat pangling ketika ia menyanyikan lagu M2M ini:
Well I Wonder could it be
When I awas dreaming 'bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy call me blind
To still be suffering is stupit after all of this time
Did I lose my love to someone better
And does she love you like I do
I do you know I really really do
Jika aku mendengar ini lagu. Pasti aku selalu mengingatnya Ri: ketika bernyanyi di depanku. Tentu tak pernah aku meminta ia bernyanyi untukku. Tidak! Aku tak memintanya. Ia secara sukarela menghiburku di kala jalin-jemalin kehidupan masa kanak-kanak tak lagi asyik. Lagu itu selalu di ulang-ulangnya saban saat kami berdua. Lagu ini kenangan yang di ajarkan oleh Pak Junaidi yang sekarang jadi dosen di perguruan tinggi tempat aku saat ini belajar. Ah, merindukannya seperti kurma yang tak beraroma namun memberi gizi bumbu-bumbu cinta. "Well I Wonder could it be", Apakah ini yang di namakan cinta seorang sahabat?
Sungguh aku malu menulis tentang perasaan ini ...
Masih mengenai sketsa biografi Ri:. Sang ibu meninggal ketika ia beranjak merangkak. Ia tak sempat melihat sang ibu secara langsung - hanya sebatang foto. Ia lebih mirip ibunya ketimbang ayahnya - ia bercerita kepadaku. "Aku sungguh merindukan ibu... Ayah tak baik lagi padaku," Air matanya membasahi wajahnya, "Ayah lebih memilih Ibu yang saban hari memukuli aku sampai badanku memar-memerah," ia berkisah sedih kepadaku. Aku menimpa sedih mendengar ia bercerita. Sesekali ia kadang bercerita sedih juga kepada orang tuaku, dan aku mendahului mendengar ceritanya sebelum orang lain, termasuk keluargaku.
Ri: sangat dekat dengan keluargaku. Saban waktu bila ia bertengkar dengan ibu tirinya, ia pasti lari mencari kehangatan dalam keluargaku. Aku dan ibu menampung ia seperti saudara sendiri. Ia bahkan terus terang pada ibu:"aku menemukan kehangatan bila berada di rumah ini."
"Aku sering tak mendapat lauk-pauk. Aku sangat lapar sekali waktu itu. Sedang ayah dan ibu enak-enakan makan berdua bak seperti kemanten anyar di dapur," Wajahnya merenguk kesedihan. Aku memerhatikan dengan seksama, sedang ibu turut mendengar haru.
"Bila aku nanti kaya. Akan aku tinggalkan mereka sebagaimana mereka meninggalkan aku. Bila nanti ajal menjemput ibu tak bakal aku kirim fatihah untuknya. Bila nanti aku bersuami seorang pun tak bakal aku tinggal bersamanya lagi. Biar sudah! Biar Ayah berdua sama ibu," Serontak nada suara meninggi, "Aku lebih baik tinggal sama suami saja! Sakit hati rasanya di pungkiri. Di anak tirikan!" ia menangis di depan aku dan ibu serta ayahku, sedang adik kecilku bermain di pinggirnya. Ruang tamu rumah yang sempit mencengkram tangis pilu. Sesekali air matanya membasahi wajahnya yang manis. Senyuman manis yang biasa sungkingkan di depanku tak lagi terlihat menawan. Yang ada setangkas haru menerkam.
"Sejelek apapun perlakuan ayah dan ibu tirimu Ri:, kau tetap hormat padanya. Sebagaimana anak perempuan semestinya. Tak baik melawan orang tua. Kalau kau nanti lapar mainlah kesini. Makan di sini. Anggap saja kami keluarga keduamu, Ri." tanggap ibu padanya.
Siang tengah bolong itu ia menangis. Menangis... menangis tersedu-sedu... Sesekali aku curi-curi pandang melihat ia menangis. Tak tahan. Ingin sekali mengusap air matanya. Belum waktunya aku merasakan gejolak cinta kepada seorang perempuan yang sering menemani hari-hariku; bersamanya saban sekolah, mengayun sepeda berangkat sekolah di pagi yang cerah, makan satu piring berdua, main musik, cerita cinta, dan hal-hal lain yang menyenangkan-menggembirakan.
"Ri:... makan dulu sana di dapur. Tapi nggak ada menu spesial hari ini... Laeeppp" Ibuku menyuruhnya ia makan. Tanpa sungkan-sungkan ia mengajakku makan bersamanya; satu piring bersama. Untuk menolak - kali ini aku tunda - meski sebenarnya di waktu dhuha tadi aku habis satu piring.
"Besok jangan sampek telat lagi, Ur. Masak..., setiap di jemput masih dandan terus... "
"Enjeh, doro." Aku menurut. Sedang ia sibuk melahap butiran nasi tanpa sisa. Aku mengusaikan terlebih dulu makan, sedang ia melanjutkan.
"Besok ada PR nggak, Ri:?" tanyaku padanya.
"Tidak ada. Santai saja... toh kalau pun ada PR kau tak kan ngerjakan, kan... " Ia mengerti kalau ada PR pasti segera ia salurkan hasil kerja cerdasnya krpadaku - tanpa sepengetahuan ibu, tentu.
"Tak tinggal ke sawah dulu Ri:...." ibu pamit. Sementara rumah tinggal aku dan Ri: serta adik kecilkku.
"Kau tak ke sawah, Ur. Kok nggak bantu ibunya..." tanyanya. Dengan pasang muka biasa.
"Aku di suruh jaga adik. Kalau aku ikut ibu ke sawah. Lalu kau pulang. Lah, terus... adik sama siapa?" Jelasku sembari tiduran nonton TV.
Beberapa menit kemudian ia selesai bersih-bersih dapur, mulai dari kotoran piring, meja yang agak berlumut, teras dapur sedikit kotor. Semua bersih karenanya. Tanpa ibu suruh ia membersihkan dapur yang sepertinya masih terlihat bersih.
Perempuan tangkas. Begitu setiap kali aku melihat aktivitas Ri: di rumahku. "Aku pulang dulu, Ur, kan sudah kenyang. Besok aku kesini lagi. Mau makan. SMS ya.. nanti malam."
"Ya." jawabku. Sedikit cuek.
"Emmuuuuuch... Emuuuch."
Ri: cium kedua pipi kanan-kiri adik. Sedang aku tidak, satu pipi pun tidak!
0 Komentar:
Posting Komentar