Subuh pertama adalah pelajaran musim dingin: Saya bangkit dari tempat tidur malam itu dengan kedinginan yang tak ketulungan, hawa dingin masuk melalui lubang-lubang kecil atap rumah, melalui celah-celah jendela, berhasil menembus empat helai kain yang membalut tubuh kurus keriput saya.
Beberapa kawan- kawan masih terlelap tidur; sementara satu dua tiga di antara sudah bangun dan pergi menuju kamar mandi dan setelah selesai menunaikan hajat lalu keluar dengan tubuh gemetar seperti orang tersengat tegangan listrik dan saya membayangkan kalau saya akan seperti mereka sebentar lagi, dengan tubuh gemetar setelah bersentuhan dengan air masjid.
Saya memilih menunaikan hajat buang air ke masjid dan sekalian sembahyang di sana dan setelah bersentuhan dengan air itu kulit-kulit tipis ini seperti kaget dan saya pun mengambil wudu cukup satu kali basuhan dan segeralah mengikuti gerakan imam, jangan bertanya saya khusuk maksimal.
Usai sembahyang saya melanjutkan kebiasaan mengaji dan kali ini saya tidak sendiri, melainkan mengaji bersama jamaah sembahyang subuh dan sekali saya disodorkan mikrofon menunjukkan sudah waktunya giliran saya mengaji dan setelah selesai empat halaman mushaf saya sodorkan lagi mikrofon itu dan kemudian saya selesaikan setengah juz lebih lima halaman itu mengakhiri bacaan dan memutuskan untuk melanjutkan sore nanti.
Dan saya berjalan kaki menuju penginapan KKN sendirian...
Ibu-ibu bakda subuh itu berjalan berdampingan dengan masing-masing memakai sepatu bot; dengan kepanjangan seperti kereta kencana menuju ke tempat kerja kebun atau ke ladang dan kedua tangannya mendekap erat-erat pada tiap-tiap perut dan perbincangannya yang mengeluarkan asap seperti orang baru saja merokok adalah pelajaran subuh pertama di musim dingin wilayah Ijen.
Sesekali pandangan bola mata, saya arahkan pada gunung-gunung yang menjulang tinggi itu yang tubuhnya diselimuti asap-asap; saya membayangkan dari kejauhan; dari masjid tempat saya sembahyang subuh; akan terlihat api biru kawah Ijen menyala-nyala; seolah-olah saya baru saja sampai di sana menikmati panorama indahnya surga Ijen yang terkenal di seluruh penghujung dunia itu.
Tetapi alih-alih saya berada di sana; musim dingin adalah rintangan menjalani pelajaran empat puluh hari di sini ialah kemelut dingin yang harus saya lawan dan harus saya pilih untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang mematikan ini.
Menjelang mentari sebentar lagi akan muncul, tubuh-tubuh kami siap-siap bergelut dengan kedinginan hingga fajar kembali datang.
0 Komentar:
Posting Komentar