Tampilkan postingan dengan label Surat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surat. Tampilkan semua postingan
Minggu, 27 Agustus 2023 0 Komentar

Surat untuk Kawan-kawan KKN


Ada sebuah lagu hits yang selalu mengingatkan saya akan suatu hal: kenangan masa-masa KKN. Liriknya menarik dan menyentuh perasaan kami:

"Berharap suatu saat nanti...
Kau dan aku kan bertemu lagi...
Seperti yang kau ucapkan...
Sebelum kau tinggalkan aku"

Sampai pada lirik ini biasanya saya teringat kawan-kawan dan 'berharap suatu saat nanti' kami berjumpa kembali seperti janjinya dulu sebelum kami sama-sama kembali ke rumah masing-masing. Tapi sampai saat ini kami belum juga bersua.

Mungkin sebagian mereka lupa atau sengaja melupakan hal itu; tetapi saya yakin dan meyakini bahwa sesungguhnya mereka memiliki perasaan dan harapan yang sama: ingin berjumpa tetapi masing-masing dari kami sukar menyiapkan waktu senggang sekadar sehari atau setengah hari saja.

Terlepas lupa atau sengaja melupakan, karena itu saya menulis; menulis surat ini untuk mereka; untuk menyentuh kesadarannya; siapa tahu dibaca dan ditepati janjinya untuk kembali bersua. Ya, nggak? Hem.

Terlepas sibuk atau memiliki kesibukan lain, sesungguhnya terletak pada prioritas waktu kami masing-masing dan sekiranya prioritas bersua itu dibutuhkan, saya yakin dan meyakini barang sehari atau setengah hari saja bisa kok dilaksanakan.

Nah, kini pilihan kami adalah menempatkan prioritas waktu tersebut; sungguh kami sama-sama ingin bersua; mungkin dengan saya menulis surat ini; barang tiga atau lima kawan saja akan menyanggupi usulan ini; saya berharap demikian terlaksana.

Sesungguhnya bukan lirik itu saja yang membuat saya selalu teringat pada mereka, jikalau bukan kebaikan-kebaikan mereka; juga keusilan-keusilannya serta ha hi hinya.

Satu hal yang mungkin akan jadi catatan cerita kita pada suatu hari nanti, setelah kami sama-sama memiliki wilayah kehidupan sendiri dan memiliki anak cucu yang mungil-mungil, adalah saat nanti kami bisa menceritakan kepingan-kepingan kenangan banyak hal tentang masa kuliah dahulu kala.

Oleh karena itu, cerita-cerita kebaikan itu yang akan jadi saksi bahwa kami pernah hidup di dunia yang sementara ini. Ini surat untuk mereka, moga-moga jadi catatan kenangan kita.

***
Dear kawan-kawan KKN,

Kepada siapapun yang sempat atau sedang membaca catatan kenangan ini, aku ingin menulis banyak hal tentang kebaikan kalian dan moga-moga kalian mengingatnya.

Di Bukit Geopark

Di bukit itu kita pernah menyaksikan keindahan alam sebelum melangkah lebih jauh perjalanan selama empat puluh hari ke depan. Ya, kita hanya sekadar bermain-main dan berkenalan dengan alam; dengan perasaan senang nan bahagia. Kita tertawa dan terpesona keindahan dunia, di bukit geopark itu.

Kita melukis alam dalam benak kita entah sampai kapan lukisan alam itu akan tetap menempel lekat dalam ingatan, yang kelak jadi kenangan.

Pak Sadi mendampingi kita seperti layaknya anak sendiri. Ia rela menghabiskan waktu untuk kita yang baru pertama kali melihat alam; o, maksudnya alam di bukit geopark itu.

Kita bersemangat dan bergembira atas kebaikan-kebaikannya. Mungkin kita lupa mengucap terima kasih kepadanya tetapi kita pun tak lupa mengingat kontribusi kebaikannya. Kita hanya butuh sejenak waktu agar tetap mengingat kebaikannya; dengan menuliskan dan memikirkan kebaikan-kebaikannya.

Kedinginan Akut

Masihkah kalian ingat saat bapak perangkat desa itu mengajak kita untuk turut-serta gotong royong memangkas rerumputan di sekitar jalan menuju kawah Ijen bersamaan turunnya rintik-rintik hujan membuat kita semua kedinginan akut sehingga beberapa di antara kita satu sama lain menyalahkan dan menanyakan mengapa tidak memakai jaket sebelum perjalanan itu berlangsung?

Semua saling menghantam kesalahan entah kepada siapa entah bagaimana kejadiannya.

Empat lelaki mengatakan ini salah Sisil! Ia pun membalas ini salah Mey! Ia pun tak mau kalah membalas santai dengan mengatakan ini salah kita semua! Ups. Kelar persoalan . . .

Undangan Salawatan

Kalau saja mengingat undangan salawatan Pak Ustad itu kita tak lupa nama Faiz yang jadi sasaran niatannya; o, moga-moga si Faiz berdamai dengan diri sendiri setelah ini dan, tentu saja, memaafkannya.

Bukan untuk diingat, bukan pula untuk dibenci, dan bukan pula untuk didiami, melainkan dijadikan pelajaran, eh. Barangkali kita jadi refleksi diri; jangan-jangan kita memang layak mendapat pelajaran apa saja, termasuk orang yang terkadang memaksa ingin dicinta, tapi lupa mencinta, maksudnya adalah sebelum mencinta orang, keabsahan mencinta adalah diri kita sendiri, sebelum mencinta orang lain. Ah, lupakanlah!

Dan surat ini pun dihadirkan dan ditulis, salah satu tujuannya, adalah untuk merefleksikan ulang bahwa kita saling mencintai diri sendiri, dalam arti memantulkan cahaya ilahi dalam diri kita ini.

Kepada siapapun, surat ini aku kirim dengan perasaan maha cinta, karena ia adalah hakikat pertemanan seutuhnya. Demikian.

Rabu, 26 Juli 2023 0 Komentar

Keputusan yang Baik


Sebetulnya, jika aku boleh jujur, aku tidak perlu kecewa (dan memang tidak ada gunanya juga untuk kecewa) setelah tahu, dengan permintaan yang aku ajukan padanya, bahwa keputusan yang ia ambil, ternyata tidak seperti awal kali ia katakan padaku: menikah. Tetapi, bagaimana pun dan harus aku akui, jika aku boleh jujur, bahwa aku sedikit kecewa (untuk tidak mengatakan sangat kecewa). Namun aku tidak ingin berlarut-larut dalam kekecewaan itu; sebab itu tidak berarti sama sekali. 

Sebelum ia mengambil keputusan itu kami mulanya beberapa minggu sempat jeda komunikasi untuk sama-sama fokus pada apa yang sedang menjadi prioritas kegiatan kami masing-masing dan oleh karena itu, ada rentang waktu menyisakan berpikir dan berdialog dengan diri masing-masing sebelum keputusan itu aku dengar. 

Aku fokus pada apa yang aku kerjakan. Yaitu mengerjakan skripsi (sekaligus bekerja apa saja jika ada lowongan untuk menabung pundi-pundi rupiah untuk melamarnya dan bekerja lain sebagai penulis lepas untuk tambahan pemasukan). Begitu pun ia fokus pada apa yang ia kerjakan. Yaitu ... entah mengapa aku tidak mau mengatakan apa pekerjaannya (karena itu kurang baik jika dikatakan di sini dan lebih baik aku kiranya tidak mau mengatakannya, dan pada intinya, ia punya karir lebih menjanjikan daripada aku, tentu saja). 

Namun, entah karena alasan apa, berpikir dan berdialog dengan diri sendiri itu ternyata melahirkan keputusan yang dilematis mungkin. Ia sempat bingung harus mengatakan apa dan aku pun bingung harus menunggu jawaban apa (yang sebenarnya aku sudah memutuskan setelah aku dan keluarga siap untuk melamarnya; tetapi itu kandas kemudian hari). 

Pada satu sisi mulanya ia ingin menikah dan pada sisi yang lain, pada waktu sebelum kami kenal lebih dekat dan belum begitu yakin, aku yang belum begitu siap menikah, dengan alasan ekonomi belum siap. 

Setelah kemudian hari aku punya keyakinan untuk membersamainya, aku bekerja untuk menyiapkan kebutuhan ekonomi itu; setidaknya dana untuk melamarnya. Tetapi, rupanya aku salah sasaran. Orang yang aku perjuangkan ternyata berubah haluan (entah karena apa dan oleh sebab apa; aku tak ingin memaksa ia untuk mengatakan apa alasannya). Yang jelas aku tetap berbaik sangka padanya, perkara karena aku belum mapan secara ekonomi dan karir; itu hal lain (meskipun tidak menutup kemungkinan ini ada keterkaitan pertimbangan). 

***

Sekarang aku jadi punya kesimpulan lain soal menikah ini; setelah membaca beberapa buku dan fenomena yang ada di masyarakat; juga atas dasar pengalaman ini. Bahwa nampaknya menikah atau melamar seseorang itu tidak cukup sebatas kesiapan ekonomi. Aku menyadari bahwa soal ekonomi ini amat penting (untuk tidak mengatakan paling penting); tetapi bagiku yang lebih penting adalah komitmen dan menerima kekurangan masing-masing. Kedua aspek ini, komitmen dan menerima, memang tidak mudah dan butuh kesiapan antar kedua belah pihak; dengan saling mengerti satu sama lain. 

Tetapi, jika beban ekonomi itu masih tetap bergelayut jadi tanggungjawab dominan satu kedua belah pihak, hanya calon suami saja misalnya, nampaknya impian menikah itu sulit disegerakan. Aku tetap berpandangan bahwa seorang pria atau calon suami punya kewajiban mutlak untuk menafkahi perjalanan pernikahannya tetapi hal itu bukan kewajiban mutlak sepenuhnya. Dengan kata lain, ada kewajiban mutlak bersama di dalamnya, tidak hanya satu orang terkait. Ini untuk menghindari dominasi perjalanan pernikahan siapa yang paling banyak tanggungjawabnya. 

Dengan demikian, komitmen dan menerima kekurangan masing-masing pihak sebagai proses perjalanan menikah itu lebih bisa diterima dengan lapang dada. Tak jadi soal apakah si calon suami hanya tukang kuli murahan atau si calon istri wanita karir. Bagi aku, menikah adalah tentang menerima dan komitmen perjanjian agung antar kedua belah pihak kepada Tuhan. 

Aku berterima kasih sudah mendapat keputusan yang terbaik, setidaknya masing-masing kami punya kebebasan memilih pilihan lain yang sekiranya lebih tepat. 
Minggu, 30 April 2023 0 Komentar

Ta'aruf


Entah mengapa lebaran tahun ini hati terasa berbunga-bunga. Mungkin karena sesuatu yang memungkinkan saya akan menikah, eh. Tapi bukan tahun ini, melainkan setelah mengetahui secara pasti, sedalam-dalam keluarganya, calon istri saya. Dan itu artinya kami sekarang sedang dalam masa ta'aruf (bahasa keren agamanya). 

Perkenalan saya dengan calon istri--meskipun sebenarnya saya belum bisa memastikan bahwa ia benar-benar istri saya, tetapi moga-moga dengan menggunakan istilah calon, benar-benar ia jadi istri saya--pada mulanya ketika ia membaca tulisan saya di sebuah koran lokal dan ia cari tahu siapa saya sebenarnya melalui tulisan lain dan usut punya usut terjadilah percakapan di kolom chat instagram. 

Entah mengapa katanya ia begitu ingin tahu siapa saya, eh. Maklum. Mungkin ia sedang benar-benar ingin menikah; jadi maklum kalau saya harus memaklumi gelagatnya yang terkesan selalu mengarah ke pernikahan dalam sebuah obrolan. Oleh sebab itu saya menuruti untuk kenalan lebih lanjut tentang hubungan kami pada suatu hari nanti; sebab kami memiliki kecocokan, baik dalam berpikir maupun dalam menatap masa depan. 

Pertama-pertama ia menanyakan saya mahasiswa dari kampus mana dan berlanjut ke pertanyaan-pertanyaan tak begitu penting dan ternyata pertanyaan-pertanyaan tak begitu penting itu kemudian menyusul juga ke hal-hal agak penting mengenai masa depan. 

Dan, seperti ada hembusan angin segar yang menusuk hati, kami memutuskan bertemu dan berkenalan langsung ke masing-masing keluarga besar pada lebaran kemarin tentang hiburan kami ke depan. Tapi, seperti keadaan saya yang tak memungkinkan, Ibu saya berpesan untuk tidak segera buru-buru nikah dan disarankan agar saya segera menuntaskan terlebih dahulu skripsi yang sedang saya garap. 

Kami sepakat. Meskipun sebenarnya agak kurang baik niatan mulia ditunda-tunda. Tapi demi apa yang pernah dahulu saya cita-citakan pada akhirnya kami harus sama-sama merelakan untuk bersabar. 

Dan kami tak tahu pasti tentang takdir  Tuhan berpihak kepada kami atau kepada orang lain. Tapi yang jelas, untuk saat ini, kami sama-sama memutuskan fokus pada apa yang telah direncanakan. Moga-moga.
Jumat, 02 September 2022 0 Komentar

Surat Kesan 40 Hari

Satu perempuan yang saya anggap bisa diajak diskusi dan enak diajak ngobrol adalah Vina. Ia satu-satunya perempuan yang bisa saya ajak tukar keluh kesah perihal problematika kampus di antara perempuan lain selama saya menempuh studi di perguruan. Memang saya baru kenal dan kenal lebih dekat setelah satu atap di tempat KKN. 

Karena momen KKN ini agak langka dan begitu membekas dalam hidup saya dan, mungkin satu-satunya pengalaman dalam hidup ini, karena itu, saya meminta kepada Vina untuk menulis hal-hal paling berkesan ketika mengenal saya selama kurun waktu 40 hari itu. 

Namun begitu, setelah saya menerima tulisan darinya, saya mendapati puji-pujian, yang sebenarnya, saya ingin Vina menulis sesuatu tentang saya yang paling bikin ia sebal; atau yang paling tidak ia sukai; atau yang paling bikin ia marah; atau sesuatu yang mungkin bikin ia jatuh cinta, misalnya. (ha.ha.ha) 

Tentu bukan hanya Vina sebenarnya, yang saya minta untuk menulis catatan kesan 40 hari itu, kawan-kawan lain juga saya minta, tetapi hingga kini saya belum menerima tulisan dari mereka, mungkin mereka lupa atau sengaja melupakan, atau entahlah. Meski begitu, saya ucapkan terima kasih kepada mereka semua sebab dari mereka saya belajar menjadi kawan, saya belajar bagaimana menjadi manusia. 

Jika kelak saya berhasil menaklukkan mimpi, sebagaimana mimpi-mimpi saya pernah saya ceritakan kepada mereka, maka itu semua tidak lain karena partisipasi mereka telah mengisi hidup saya, yang sangat berkontribusi besar terhadap glora belajar saya. 

Demikianlah surat kesan dari Vina ini. Teks tulisan tentang kesan ini saya perbaiki demi kelancaran pembaca enak membaca, tanpa mengubah subtansi tulisan. 
***
Demikianlah perkuliahan berlangsung ketika pengabdian masyarakat itu ditugaskan ... Bahwa KKN telah mengukir pengalaman baru dalam hidup saya: Kawan baru, wawasan baru, saudara baru, dan, ini agak sulit diduga, saya dipertemukan dengan orang yang saya kenal sebelumnya lantaran jual-beli buku (siapakah sosok dia; tidak begitu spesial diceritakan di awal). Dan itulah yang terjadi pada saya sewaktu menjelang KKN. 

Saat pengumuman kelompok dan penempatan daerah yang akan ditempati selama 40 hari itu adalah awal stalker saya siapa saja orang-orang yang menjadi partner selama KKN. Dan hasrat naluri kita mendambakan kawan yang satu prinsip. 

Setelah mengetahui dengan siapa saya akan bernafas dalam satu naungan tujuan KKN nanti ternyata kebanyakan orang yang tidak saya kenal sebab kebanyakan dari prodi-fakultas lain! Meski begitu tampak ada satu nama yang rupa-rupanya tidak asing dalam tikaman mata saya; sesosok nama yang tidak begitu familiar, namun begitu, saya pernah tahu sebelumnya, yang tidak tahu jauh dari dunia literasi. 

Saya memang tidak begitu akrab dengan  sosok makhluk ini. Namun dikalangan pencinta buku, mungkin banyak mengenalnya. Ia adalah penjual buku. Kawan-kawan mengenalnya Fathur Roziqin. Kawan-kawan memanggilnya Teteh, sebutan aneh yang melekat pada dirinya, seperti  adagium KKN 176 satu tujuan, yang entah apa maksudnya. 

Orang memandang Fathur kebanyakan mengenal si paling pendiam, si paling kalem bin serius, tipikal kurang asik diajak bercanda. 

Namun, benar kita tidak bisa mengukur orang dari luarnya toh memang seharusnya demikian. Orangnya tinggi, namun bukan tinggi postur badannya ya, tapi tinggi cita-citanya dan ilmunya. Maklum, jika disorot lebih dekat ia memang sedang-sedang saja; tidak terlalu tinggi; juga tidak terlalu pendek, tipikal sedang-sedang saja. 

Meski begitu ia termasuk satu-satunya cowok paling berbeda dari yang lain; entah karena kepribadiannya atau perawakannya yang tampak lebih dari kawan lain. Ketika kita merancang kegiatan dan program kerja, hal paling menonjol dari sisi makhluk absurd ini adalah selalu bersama jimatnya, yang tidak pernah dilepas dan selalu dijaga yaitu buku! 

Ia dianggap si kutu buku. Dan memang terlihat dari sosoknya dalam bertutur kata dan tampak dewasa sekali perawakannya mencerminkan orang yang berpengalaman dan intelektual. Dengan bahasa ilmiahnya, tak jarang apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang baru. Kawan-kawan KKN kadangkala sampai kebingungan memahami alur pembicaraannya, yang terkesan agak sulit. 

Meski begitu, sebagaimana dugaan awal, yang kurang asyik diajak becanda, ternyata juga bisa humoris dan bisa menyesuaikan ritme pembahasan ala lelucon sejawatnya. 

Selain itu, ia rupanya tidak hanya muncul sebagai orang yang dikenal pintar, paling dewasa diantara yang lain, ataupun yang paling berbeda dari kawan yang lain. Ia rupanya rela menjadi bahan ledekan kawan-kawan.

Suatu ketika ia pernah digosipkan dengan satu cewek posko dan cewek dari posko lain. Hal semacam ini memang sekadar hiburan, namun bagi saya itu bisa membawa implikasi keceriaan dan kegembiraan bahan yang bisa menghidupkan suasana di antara kami. 

Ya begitu saja pengenalan saya pada kawan yang satu ini; yang sangat terkenal dengan kelebihan dan karismanya. Ia adalah Teh Fathur. 
***
O, sebenarnya, surat kesan ini, ingin saya tanggapi langsung. Tetapi karena tulisan ini agak terkesan panjang. Saya memutuskan untuk mengakhirinya. Dan jika memungkinkan, akan saya tulis-teruskan secara berkala pada topik lain, dengan senang Kawan. 
Jumat, 01 April 2022 0 Komentar

Pola Pendidikan Keluarga

Terlahir dari keluarga buruh tani, yang jauh dari  tradisi orang-orang berpendidikan, tidak membuat saya gemar belajar, selalu berpandangan sempit akan suatu hal, dan selalu gamang untuk melaju lebih jauh, kerapkali menghantui masa depan pendidikan saya: apakah pendidikan yang saya tempuh hari ini mampu menjemput kesuksesan belajar pada suatu hari kelak? 

Ada baiknya, untuk tidak buru-buru mengurai lebih lanjut tulisan ini, saya yakin dan memang harus yakin sebagai orang beragama; bahwa kewajiban seorang pelajar adalah belajar ... belajar ... dan belajar; sebab itu kunci keberhasilan seorang pelajar yang saya dapat dari guru ketika masih nyantri di pesantren (meskipun hingga kini boleh dikatakan saya masih santri). Dan ada baiknya pula menilik akar persoalan mengapa seorang pelajar terkadang gamang melihat masa depan pendidikannya dan bagaimana kemudian menyikapinya. 

Pola asuh anak yang benar dan baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga, adalah berperan penting dalam menentukan keberhasilan orangtua menyiapkan masa depan pendidikan anaknya. Orangtua yang tidak menguasai pentingnya pendidikan parenting keluarga, akan memperlambat proses belajar sang anak, akan membuat darah tinggi sesaat setelah sang anak menginjak masa remaja-dewasa---jika kesalahan pola asuh mengakar. 

Bisa jadi anak nakal adalah produk kesalahan dari pola asuh keluarga yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar belajar ada pola asuh dan pendidikan yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar membaca buku adalah kurangnya buku-buku bagus dilingkungan rumah, tidak serta merta kemalasan anak sepenuhnya. Kita mungkin sepakat bahwa lingkungan pula turut berpengaruh. 

Sebagaimana pengalaman saya semasa kecil dan temuan saya ketika bertemu orangtua yang memperlakukan anaknya secara tidak tepat (untuk tidak mengatakan tidak benar): Ialah orang tua menginginkan anaknya berkata jujur, orangtua menginginkan anaknya gemar membaca; sedangkan pada waktu-waktu tertentu, orang tua kerapkali berkata tidak jujur; orangtua bahkan (sebagian) melarang jika anaknya lebih suka membaca buku-buku cerita. 

Padahal fakta menunjukkan bahwa buku-buku cerita dapat memperkaya imajinasi dan menumbuhkan rasa empati tinggi serta kecerdasan sang anak. Kata Albert Einstein: "Jika anda menginginkan anak-anak yang cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika anda menginginkan anak-anak lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng".

Kembali pada topik "ketidakjujuran orangtua", suatu kali saya melihat seorang bocah sedang bermain di lingkungan rumahnya; yang di temani ibu serta neneknya; karena bocah tersebut terlalu jauh bermain dari lingkaran batas rumah; sang ibu dan nenek itu tidak membolehkannya dan mengatakan, sebagai teguran mungkin, bahwa disekitarnya ada ular! Padahal kenyataannya, di tempat yang dimaksud tidak ada ular. Ibu dan nenek itu telah berbohong agar bocah tersebut tidak terlalu jauh bermain dan berharap mengikuti perintahnya. 

Contoh pola asuh kebohongan-kebohongan kecil mungkin pernah kita temui di sekitar lingkungan rumah atau tempat lain, dengan konteks contoh yang berbeda. Kebohongan kecil "tidak jujur" seperti itulah membuat anak akan memperlakukan orangtua sebaliknya: berkata tidak jujur.

Silakan uji pernyataan ini dan perhatikan pengalaman kebohongan kecil pola asuh tersebut setelah anak menginjak remaja; dan saya telah membuktikannya, bahwa suatu kali orangtua saya berbohong kepala saya; dengan alasan agar saya menuruti akan perintahnya; dan saya sering berbohong kepadanya; dengan alasan tidak jauh berbeda, agar keinginan saya dipenuhi.

Tanpa disadari atau disadari sebenarnya. Bahwa saya telah berbohong atas produk kebohongan-kebohongan kecil orangtua dulu memperlakukan saya, sebagaimana pengakuan di atas. 

Sebenarnya pola asuh keluarga saya bersangkut-paut dengan minimnya tingkat pendidikan. Keluarga saya bukanlah keluarga orang berpendidikan. Ibu mengaku bahwa ibu hanya lulusan sekolah dasar; sementara bapak sekolah dasar pun tak tamat; kata bapak, dulu berhenti pada kelas 3 karena keterbatasan ekonomi. Orangtua bercerita bahwa dulu anak desa bisa sekolah menengah pertama saja dan bisa lulus itu berarti orang berkecukupan---tipikal orang-orang berada. 

Jelas orangtua saya tidak punya bekal pengetahuan cara mendidik anak yang baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga yang seharusnya ia pelajari, namun bapak ibu telah berusaha menjadi orangtua bertanggungjawab dan memberikan pola asuh semampu dan sebaik mungkin.

Terbukti saya dan, adik saya, diusahakan agar menempuh pendidikan selayak mungkin, dengan dorongan semangatnya yang tak pernah saya lupa serta dorongan kuatnya setiap kali saya sedang malas belajar. "Kalau kamu malas belajar, ingatlah orangtua saat berjemur di bawah terik matahari, gotong jagung panas-panas di sawah," katanya pada suatu hari ketika menjenguk saya di pesantren. "Usahakan jangan ikut profesi bapak. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri."

Yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari keluarga kaya raya, berpendidikan, berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya; tetapi sejatinya kita bisa memilih dan menentukan hidup, meski dengan keterbatasan yang kita miliki, bahwa kita berhak menentukan arah hidup; bahwa kita berhak memilih dengan siapa kita kelak menempuh kehidupan baru, dengan bekal pendidikan yang telah kita jalani.
 
Kedua, kita semakin sadar bahwa pola pendidikan keluarga yang baik adalah dipengaruhi oleh lingkungan serta pendidikan baik sang anak; yang kelak menentukan keberhasilan perjalanan pendidikannya; yang akan berdampak pada cara berpikir serta cara bertingkah laku sang anak (sebagaimana orientasi pendidikan pesantren) ketika kelak ia mulai tumbuh dewasa. 

Hal tersebut saya rasakan semenjak masih bocah hingga saya masuk ke pesantren, berlanjut ketika mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan banyak mengenal orang-orang sukses dan bersentuhan dengan buku-buku bagus. 

Terlepas dari kekurangan pola asuh keluarga, setelah kini saya menyadari sebagai mahasiswa, adalah bahwa penting menanamkan dan mempelajari pendidikan parenting serta belajar mengarungi arah hidup.
Kamis, 25 Februari 2021 0 Komentar

Terbaring

Kalau aku terbaring seperti ini
aku mengkhayal ada kau di sini
menemaniku

Kau suap aku
dengan bubur, 
dengan sagu, 
minuman susu

Dan aku pulih,
Diam-diam merindukanmu.

 
;