Rabu, 26 Juli 2023

Keputusan yang Baik


Sebetulnya, jika aku boleh jujur, aku tidak perlu kecewa (dan memang tidak ada gunanya juga untuk kecewa) setelah tahu, dengan permintaan yang aku ajukan padanya, bahwa keputusan yang ia ambil, ternyata tidak seperti awal kali ia katakan padaku: menikah. Tetapi, bagaimana pun dan harus aku akui, jika aku boleh jujur, bahwa aku sedikit kecewa (untuk tidak mengatakan sangat kecewa). Namun aku tidak ingin berlarut-larut dalam kekecewaan itu; sebab itu tidak berarti sama sekali. 

Sebelum ia mengambil keputusan itu kami mulanya beberapa minggu sempat jeda komunikasi untuk sama-sama fokus pada apa yang sedang menjadi prioritas kegiatan kami masing-masing dan oleh karena itu, ada rentang waktu menyisakan berpikir dan berdialog dengan diri masing-masing sebelum keputusan itu aku dengar. 

Aku fokus pada apa yang aku kerjakan. Yaitu mengerjakan skripsi (sekaligus bekerja apa saja jika ada lowongan untuk menabung pundi-pundi rupiah untuk melamarnya dan bekerja lain sebagai penulis lepas untuk tambahan pemasukan). Begitu pun ia fokus pada apa yang ia kerjakan. Yaitu ... entah mengapa aku tidak mau mengatakan apa pekerjaannya (karena itu kurang baik jika dikatakan di sini dan lebih baik aku kiranya tidak mau mengatakannya, dan pada intinya, ia punya karir lebih menjanjikan daripada aku, tentu saja). 

Namun, entah karena alasan apa, berpikir dan berdialog dengan diri sendiri itu ternyata melahirkan keputusan yang dilematis mungkin. Ia sempat bingung harus mengatakan apa dan aku pun bingung harus menunggu jawaban apa (yang sebenarnya aku sudah memutuskan setelah aku dan keluarga siap untuk melamarnya; tetapi itu kandas kemudian hari). 

Pada satu sisi mulanya ia ingin menikah dan pada sisi yang lain, pada waktu sebelum kami kenal lebih dekat dan belum begitu yakin, aku yang belum begitu siap menikah, dengan alasan ekonomi belum siap. 

Setelah kemudian hari aku punya keyakinan untuk membersamainya, aku bekerja untuk menyiapkan kebutuhan ekonomi itu; setidaknya dana untuk melamarnya. Tetapi, rupanya aku salah sasaran. Orang yang aku perjuangkan ternyata berubah haluan (entah karena apa dan oleh sebab apa; aku tak ingin memaksa ia untuk mengatakan apa alasannya). Yang jelas aku tetap berbaik sangka padanya, perkara karena aku belum mapan secara ekonomi dan karir; itu hal lain (meskipun tidak menutup kemungkinan ini ada keterkaitan pertimbangan). 

***

Sekarang aku jadi punya kesimpulan lain soal menikah ini; setelah membaca beberapa buku dan fenomena yang ada di masyarakat; juga atas dasar pengalaman ini. Bahwa nampaknya menikah atau melamar seseorang itu tidak cukup sebatas kesiapan ekonomi. Aku menyadari bahwa soal ekonomi ini amat penting (untuk tidak mengatakan paling penting); tetapi bagiku yang lebih penting adalah komitmen dan menerima kekurangan masing-masing. Kedua aspek ini, komitmen dan menerima, memang tidak mudah dan butuh kesiapan antar kedua belah pihak; dengan saling mengerti satu sama lain. 

Tetapi, jika beban ekonomi itu masih tetap bergelayut jadi tanggungjawab dominan satu kedua belah pihak, hanya calon suami saja misalnya, nampaknya impian menikah itu sulit disegerakan. Aku tetap berpandangan bahwa seorang pria atau calon suami punya kewajiban mutlak untuk menafkahi perjalanan pernikahannya tetapi hal itu bukan kewajiban mutlak sepenuhnya. Dengan kata lain, ada kewajiban mutlak bersama di dalamnya, tidak hanya satu orang terkait. Ini untuk menghindari dominasi perjalanan pernikahan siapa yang paling banyak tanggungjawabnya. 

Dengan demikian, komitmen dan menerima kekurangan masing-masing pihak sebagai proses perjalanan menikah itu lebih bisa diterima dengan lapang dada. Tak jadi soal apakah si calon suami hanya tukang kuli murahan atau si calon istri wanita karir. Bagi aku, menikah adalah tentang menerima dan komitmen perjanjian agung antar kedua belah pihak kepada Tuhan. 

Aku berterima kasih sudah mendapat keputusan yang terbaik, setidaknya masing-masing kami punya kebebasan memilih pilihan lain yang sekiranya lebih tepat. 

0 Komentar:

 
;