Tampilkan postingan dengan label Arsip. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arsip. Tampilkan semua postingan
Kamis, 23 Maret 2023 0 Komentar

Urgensi Khutbah Jum'at tentang Kontrak-Radikalisme dan Terorisme


Upaya pemberangusan bersama virus radikalisme dan terorisme, salah satunya, adalah bagaimana sekiranya materi khotbah Jum’at bermuatan lebih strategis dalam memperingati bahaya penyakit ajakan sesat tersebut. Yang dimaksud virus radikalisme dan terorisme di sini adalah kelompok-kelompok yang mengajarkan serta mengajak kepada masyarakat untuk berideologi dengan mereka; dengan mempertentangkan nilai-nilai ajaran agama versus prinsip-prinsip ideologi Pancasila dan berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Khotbah Jum’at merupakan langkah strategis karena tiap-tiap Muslim wajib melaksanakan salat Jum’at. Otomatis tiap Muslim, baik yang awam maupun yang berpendidikan, akan mendengar serta menyimak apa yang dikhotbahkan oleh khatib.

Tentu saja, cara ini jauh lebih bisa dimengerti dan lebih efektif menukik ke jantung setiap Muslim manakala pada suatu keadaan tertentu, masyarakat awam dihadapkan pada suatu tawaran oleh kelompok berbahaya tersebut yang dapat menyebabkan mereka bergabung dan berkelompok dengan visi misi an sich mereka.

Hal ini bisa dimengerti mengapa virus radikalisme dan terorisme sangat penting diantisipasi melalui khotbah Jum’at. Sebab tidak semua masyarakat Muslim, khususnya kalangan awam, mengerti tentang bahayanya penyebaran aliran berbahaya tersebut.

Orang awam tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme dan betapa begitu berbahayanya bagi kehidupan mereka. Orang awam jauh lebih penting memikirkan bagaimana menyambung perut untuk menopang hidup; lebih-lebih masyarakat awam yang masuk kelas sosial rendah secara ekonomi maupun pendidikan.

Tak menutup kemungkinan, orang-orang awam yang tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme, bisa bebas begitu saja dari persebaran virus aliran berbahaya tersebut. Justru potensial manakala perut orang awam tak lagi bisa berkompromi manakala pikiran telah buntu akan mencari jalan pintas lain dengan bergabung di suatu komunitas yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Sebut saja kelompok yang dimaksud adalah kelompok radikal-teroris tersebut. Orang akan berpikir instan manakala dihadapkan pada suatu keadaan tertentu; keterdesakan kebutuhan yang menuntut mereka untuk bertindak sesuai kebutuhannya. Dan hal tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh kelompok radikal-teroris.

Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin orang awam akan tergiur oleh tawaran strategis kelompok radikal-teroris tersebut untuk bergabung dan bergaul dengan mereka. Berapa banyak orang awam serta orang miskin tersesat karena keterdesakan kebutuhan ekonomi dan pengetahuan tentang bahaya radikal-teroris tersebut. Mereka merasa lebih terjamin kehidupannya dengan bergabung bersama kelompok mereka, meskipun sebetulnya hal tersebut siasat saja.

Jelas hal tersebut potensial sekali menjadi goncangan keimanan dan keselamatan hidupnya. Oleh karena itu, khatib Jum’at memiliki peranan strateginya untuk mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-terorisme. Artinya harus ada materi khotbah Jum’at persuasif untuk memahami bahaya kelompok tersebut. Ini urgen.

Masjid NU-Muhammadiyah Sebuah Langkah Awal

Untuk memulai bisa melalui kedua masjid organisasi terbesar ini. Seperti kita ketahui bersama bahwa kedua organisasi tersebut di Indonesia sangat besar kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai ajaran agama.

Maka masjid-masjid yang berafiliasi dan yang bergaya corak kultur dua organisasi besar tersebut, menjadi langkah awal yang sangat tepat dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-teroris tersebut.

Misalnya, setiap khatib Jum’at sebelum menjalankan jadwal giliran berkhotbahnya, dua organisasi besar tersebut menginstruksikan kepada masjid-masjid dengan menyiapkan materi-materi dasar tentang apa itu gerakan radikalisme-terorisme, bagaimana persebarannya di tengah masyarakat, dan apa saja tujuan serta bahayanya gerakan tersebut dan sebagainya.

Namun demikian kiranya tak cukup sampai pada batas pengenalan. Bagaimana gerakan-gerakan tersebut sengaja dibentuk untuk membentur-benturkan agama dengan negara; antara negara dengan agama; dengan tujuan spesifik menjadikan negara ini menjadi negara agama.

Oleh karena itu, harus ada kolaborasi materi tentang keberagamaan dan kebangsaan; tentang perbedaan dan persamaan antar sesama warga negara; tentang hak-hak sesama sebagai manusia; tentang manusia dan kemanusiaan; tentang damai dan keselamatan, dan sebisa mungkin meminimalisir permusuhan yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik tak berkesudahan.

Oleh karena itu, materi-materi khotbah Jum’at sebisa mungkin menyisipkan dan meletakkan cinta tanah air dan kasih sayang sesama sebagai kewajiban yang harus terpaut dalam jiwa raga warga negara. Hal ini selaras dengan ajaran-ajaran Walisongo di masa lalu yang mengajarkan kepada kita bagaimana mencintai bangsa dan tanah air kita seperti sekarang ini.

Walisongo sadar dan meyakini bahwa gagasan tentang “mencintai bangsa”, “mencintai tanah air”, “hidup bersama dan menerima perbedaan” adalah cikal bakal lahirnya sebuah peradaban yang dibangun dengan kebersamaan, solidaritas, kemandirian sehingga terbentuklah negara makmur sentosa tanpa diskriminasi-intimidasi; tanpa teror; dan tanpa pertumpahan darah.

Ajaran-ajaran pada leluhur itu, saya yakin dan sangat meyakinkan, bahwa mereka meletakkan kemanusiaan di atas segala-galanya. Oleh karena itu, khotbah Jum’at harus menjadi ruh spiritual agar berdampak pada kemaslahatan sosial; dengan materi-materi yang sebisa mungkin memutus rantai persebaran virus berbahaya ajakan teror-radikal tersebut. Semoga terlaksana.

Terbit di Harakatuna.com 
Sabtu, 04 Februari 2023 0 Komentar

Fenomena Mabuk Arab di Kalangan Umat Islam

Sila baca di sini.
Rabu, 07 September 2022 0 Komentar

Masihkah Aku Manusia?

Sila baca di sini.  

Senin, 27 Juni 2022 0 Komentar

Waspada Terorisme!

Saya baru tahu kalau tulisan saya dimuat media online harakatuna. Jika anda berkenan membaca, bisa anda klik di sini.
Senin, 14 Februari 2022 0 Komentar

Membaca untuk Bersenang-senang

Apa penyebab anak Indonesia malas membaca buku? Saya kira jawabannya adalah pemahaman anak serta orang tua (mungkin juga guru, meskipun tidak semua guru dan orang tua beranggapan demikian) bahwa membaca buku identik dengan belajar. Fenomena pemahaman demikian mengakar dalam benak anak serta orang tua bahwa membaca buku ya berarti untuk belajar.
__
Selengkapnya baca di sini.
Kamis, 11 November 2021 0 Komentar

Banalitas Kejahatan atas Nama Menguji Mental

Oleh: Fathur Roziqin

Setiap orang berpotensi melakukan tindak kejahatan. Sekalipun ia orang baik, berpendidikan, normal secara akal sehat dan hati nurani, taat pada aturan, namun ia akan melakukan tindak kejahatan bilamana pikiran telah buntu, tak dapat mengkritisi suatu hal, dan kurangnya daya imajinasi. Kematian Gilang Endi Saputra, mahasiswa yang meninggal saat mengikuti kegiatan Latihan Dasar (Diklatsar) Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS Surakarta itu, adalah korban dari ketidakmampuan seseorang atau si pelaku tindak kejahatan, yang tak dapat mengkritisi suatu hal, kurangnya daya imajinasi, yang biasa mereka anggap “hal biasa” sebagai tradisi penguatan (atau menguji) mental mahasiswa militanisme senioritas-junioritas organisasi kampus. 

Yang dalam bahasa Hanna Arent, seorang filsuf politik kelahiran (1906) Hanover, Jerman, disebut banalitas kejahatan.

Pasalnya, kematian Gilang bukanlah satu-satunya korban Diklatsar-Menwa ini. Pada 2013 pernah terjadi penganiyaan mahasiswa hingga nyawa melayang, selain penganiayaan kepada peserta Diklatsar lain tentu saja. 

Novaria Putri Yudianti, alumni Diklatsar-Menwa angkatan 2013, bercerita di twetternya, pada tahun itu, pernah terjadi kasus penganiayaan hingga nyawa melayang yang menimpa kawannya, Rochim Haritsah. Ia bercerita bagaimana kekejaman ketika mengikuti kegiatan selama tiga minggu (baca selengkapnya tweet: Novaria Putri Yudianti). Singkatnya, budaya kekerasan di organisasi Menwa ketika diklat dari tahun ke tahun di setiap angkatan itu benar-benar terjadi adanya. Dan budaya kekerasan di organisasi kampus kerap terjadi tanpa peduli apa dampak pada si korban. Biasanya pelaku ini berdalih bahwa tradisi tersebut adalah bekal untuk menguji-menguatkan mental mahasiswa! Dan bagi mereka hal itu dianggap “biasa/kewajaran”.

Mengatakan bahwa tradisi atas nama menguji mental dengan cara menganiaya junior itu seperti bentuk legitimasi untuk menghalalkan tindak kekerasan-kejahatannya. Adakah bukti ilmiah yang mengatakan bahwa melakukan tindak kekerasan-kejahatan kepada mahasiswa itu dapat meningkatkan mental mahasiswa? Saya belum mendengar para ahli psikolog mengatakan demikian bahkan bersentuhan dengan teks sekalipun tindakan ekstrim tersebut dapat dibenarkan secara keilmuan. Dan saya menunggu keabsahan informasi tersebut. 

Mari kita bertanya: bagaimana kekerasan-kejahatan itu bisa terbentuk, dalam sebuah aksi, bahkan orang-orang tampak baik-berpendidikan sekalipun? Mari kita mencoba melihat-memutar peristiwa pada 1961. 

Adolf Eichmann, seorang perwira yang patuh, tokoh peran penting dalam mengorganisir holocaust (pemusnahan massal), melarikan diri ke Argentina dengan identitas palsu, Ricardo Klement, namanya. Ia tinggal di bagian San Fernando di Buenos Aires. Ia diberi tugas mengatur-mengumpulkan data untuk mendeportasi orang-orang Yahudi di bawah naungan Jerman oleh atasannya, Letnan Jenderal Reinhard Heydrich. Ia pernah membunuh orang-orang Yahudi sekitar tiga hingga empat juta sebelum akhir perang dunia II. 

Pada 11 Mei 1960 agen intelijen Israel, Mossad, menangkap-membawanya di meja pengadilan atas tindak kejahatannya yang pernah ia lakukan pada orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Perdana Menteri Israel, Ben Gurion, mengumumkan Adolf Eichmann ditahan Israel. Ada sekitar 500 jurnalis dari seluruh dunia menuju ke Yerussalem untuk menghadiri persidangan. Satu di antara 500 jurnalis itu, Hanna Arent. Pada 11 April 1961 s.d 14 Agustus 1961 Arent melakukan penelitan bagaimana kekerasan-kejahatan yang dilakukan Adolf Eichmann dapat terbentuk.
 
Sekilas mungkin kita menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, bengis, takberperikemanusiaan karena telah melayangkan jutaan nyawa orang Yahudi. Persis anggapan kita seperti anggapan Jaksa Israel pada Eichmann pada waktu itu. Banyak orang menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, kejam, penuh dendam pada orang-orang Yahudi, begitu persepsi para Jaksa Israel. Namun hasil penelitian Arent berkata lain. Eichmann, dalam pandangan Arent, adalah orang biasa, normal secara akal, dan patuh pada aturan hukum. 

Arent tidak menemukan tanda-tanda pada diri Eichmann bahwa ia melakukan tindak kejahatan atas kemauannya sendiri. Sebagai perwira militer yang taat, patuh terhadap aturan militer, maka ia wajib patuh aturan militer. Dan sikap patuh dalam dunia militer, bagi Eichmann, adalah keharusan, bukan kejahatan. Artinya kepatuhan seorang Eichmann adalah sesuatu yang wajar dalam dunia militer. Karena, sekali lagi, kepatuhan adalah bentuk kesetiaan pada negara. Ia merasa tidak bersalah atas kelakuan kejamnya. Bahkan ia bersikukuh keras dan tak pelak ia bahkan menentang-membela diri di pengadilan itu. 

Menurut Arent, Eichmann sama sekali tidak sadar atas sikap patuhnya pada atasannya mengakibatkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Inilah dalam bahasa Hanna Arent disebut banalitas kejahatan. Suata kejahatan bertumpu mulanya pada ketaatan aturan hukum tanpa disertai pikiran kritis dan tumpulnya rasionalitas dihadapan aturan. Sehingga ia tak sadar bahwa aturan tersebut membahayakan nyawa orang lain (baca: tugas dari Letnan Jenderal Reinhard Heydrich).

Istilah banalitas sendiri, secara etimologis, berarti menganggap biasa atau kewajaran, kewajaran menjalankan sebuah perintah. Banalitas kejahatan terbentuk ketika seseorang atau pelaku tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, rasionalitas tunduk pada aturan (perintah). Pandangan Arent terhadap Eichmann bahwa ia bukanlah sosok yang bodoh, kejam, melainkan ia orang yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, menilai sebuah perintah, dan kurangnya daya imajinasi. Akibat ketidakberpikiran menelaah sebuah perintah itulah Eichmann pun bertindak brutal hingga nyawa jutaan orang Yahudi pun melayang di tangannya, rasio tunduk pada aturan. Kedua, akibat kurangnya imajinasi, hati nurani Eichmann sebagai manusia pun pudar.  

Jika kita mengaitkan-mengkontekstualisasikan kasus kematian Gilang dengan peristiwa pada 1961 (baca: holocaust) ada keselarasan, di mana, pada masa itu, bunuh-membunuh adalah “hal biasa/kewajaran” seorang perwira militer dalam menjalankan tugasnya untuk membersihkan kota, membasmi kehadiran orang-orang Yahudi, yang mulai beroperasi 20 Agustus 1938. Dengan meminjam pemikiran Hanna Arent, apa yang terjadi di Diklatsar-Menwa merupakan bentuk tradisi dari tahun ke tahun yang mereka anggap sebuah “kewajaran/hal biasa” atas dasar menguji-menguatkan mental mahasiswa sebagai kultur Diklatsar-Menwa. Siapa yang mewariskan tradisi brutal itu kalau bukan senior terdahulunya? Kejahatan yang dilakukan oleh kedua tersangka mungkin didorong atas kepatuhannya dan nalurinya terhadap otoritas tempat (si pelaku banalitas kejahatan) itu bernaung di organisasi Menwa. Dan tanpa ia disadari (kedua tersangka panitia) telah merenggut nyawa orang lain. 

Titip penting yang ingin saya sampaikan adalah ketika kekerasan di anggap hal “biasa/kewajaran” oleh suatu golongan dan mereka anggap hal itu bentuk keharusan-kepatuhan dari tradisi—maupun senior (yang membuat aturan tak selaras dengan sisi kemanusiaan)—itulah kebobrokan-ketidakberpikiran menelaah dampak apa yang bakal terjadi. Dan opini ini adalah upaya saya meminjam pemikiran Hanna Arent dalam menjelaskan situasi kejahatan yang kerap kali berseliweran di dunia organisasi kampus atas alasan pembentukan mental mahasiswa dengan cara-cara tak manusiawi. Lahu al-fatihah untuk Alm. Gilang Endi Saputra…
___
Pertama dimuat koran Radar Jember (Kamis, 11/11/2021)
Jumat, 22 Oktober 2021 0 Komentar

Menyuarakan Wakaf Sebagai Lifestyle

Tulisan ini sekitar tiga-empat bulan lalu, saya baru melanjutkan sebab problem kehidupan makin menampar saya beberapa bulan lalu itu. Sila baca di sini.
Kamis, 07 Oktober 2021 0 Komentar

Jadilah Senior yang Berhati Luhur!

Geram melihat tingkah senonoh. Saya kembali menulis topik senior yang agak kurang sehat. Bisa Anda baca di sini. Biar lebih afdol baca juga di sini.
Sabtu, 25 September 2021 0 Komentar

Fenomena Penghafal Alquran dan Toleransi Santri

Agak telat menulis opini ini karena tak tahu emailnya Radar Jember. Syukur Pak Radar masih berkenan memuatnya. Sila baca di sini
Senin, 20 September 2021 0 Komentar

Membaca dengan Gembira

Saya sering mendapat pesan whatsapp dari sejumblah kawanan manusia. Pesan itu berkaitan dengan ketidakgemaran mereka membaca sebuah buku. Mula-mula saya berpikir bahwa mereka tidak gemar membaca adalah korban “pendidikan sekolah” yang gagal. 

Mula-mula saya ingin membalas pesan itu dengan menjawab, "kamu tidak gemar membaca itu mungkin karena imbas sekolah yang tidak mengajarkan bagaimana murid-murid gemar membaca". Tapi kalau saya jawab demikian, sepertinya itu bentuk penghakiman kepada guru yang telah amat berjasa, sedangkan saya bukanlah siapa-siapa, bukan pula hakim yang berhak memutuskan perkara salah benar. 

Okelah... 

Untuk membalas pesan itu saya mengambil nafas perlahan-lahan dan menanyakan padanya: apa kesukaan atau hobi tiap harinya. Dengan melihat kecendruan mereka dapat saya tarik jawaban sederhana: “Bacalah buku yang menurut kamu menarik. Bacalah buku komedi kalau kamu suka ngelawak. Itu sajalah cukup.” 

Beberapa kawanan manusia itu membalas pesan dengan nada ringkas, “Terima kasih”, seraya tidak melanjutkan topik pesan, dan di antara manusia lainnya melanjutkan, “Maksudnya sekiranya aku seperti manusia lain agar gembira membaca buku apapun.” Pada pesan berikutnya saya cari celah jawaban lain yang lebih simple. “Baiklah … bacalah pengalaman hidupmu!”

Kesimpulannya bahwa pada dasarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi selera bacaannya sehingga mereka memilih bahan bacaan yang mungkin tidak mereka gemari—tidak mereka sukai. Yang akan terjadi adalah ketidakpuasan pada apa yang telah dibacanya. Inilah masalahnya mereka sukar membaca dengan gembira. 

Untuk itu saya menjawab menurut selera mereka sehingga terjadi pergerakan rangsangan sekaligus membuka pintu masuk membaca buku lain—dengan bekal gemar membaca buku ringan terlebih dulu, semisal buku komedi.

Kita paham bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki alasan kuat menempatkan dirinya untuk membaca sebuah buku—membaca dunia yang kompleks. Saya memutuskan diri gemar membaca novel tidak lain tidak bukan karena saya menyukai dunia rekaan. 

Dunia rekaan membantu saya dalam melihat dunia nyata. Dunia rekaan mengantarkan saya pada dunia lain yang mungkin tidak ada—dan mungkin pula ada—di dunia nyata. Dan membaca dunia rekaan seperti bertemu pada dunia lain. Dan hal itu membuat saya tertarik bahkan membuat saya gila untuk terus membacanya, dan saya dapat menarik sebuah pelajaran penting di dalamnya— dalam dunia rekaan. 

Misalnya, dunia rekaan dalam novel, Lelaka Tua dan Laut, Ernest Hemingway membuat pembaca terus membacanya. “Ia merenungkan betapa sebagian orang ketakutan berada di tengah laut tanpa hadirnya garis daratan sejauh pandangan mata dalam sebuah perahu kecil dan mengetahui sedang berada pada bulan-bulan dengan cuaca buruk yang bisa terjadi sewaktu-waktu (hlm 57). Kita mengambil pelajaran dengan jelas—dengan kalimat padat nan singkat memikat ini.

Pada dasarnya kita tidak berhak menuntut orang lain dan meyakinkannya untuk memandang dunia dengan cara kita. Yang mungkin dapat kita lakukan hari ini adalah dengan menuntun mereka melihat dunia kecendrungannnya, apa yang mereka gemari. 

Setiap dari kita memiliki selera dan kecendrungan bacaan yang perlu dicari formulasinya. Yang dapat kita lakukan hari ini adalah dengan memulai mencari dan membentuk kebiasaan membaca sebagai karakter manusia pembelajar tanpa harus menyamakan selera bacaan kita dengan orang lain.

Pada akhirnnya membaca dengan gembira adalah sebuah kebutuhan nutrisi otak manusia untuk melihat berbagai sudut pandang dunia dengan cara kita masing-masing. Tanpa membaca kecendrungan selera bacaan, sepertinya kita kehilangan cara pandang sehat menilai dan menjawab sebuah permasalahan hidup.

Sebagaimana sarannya, membaca buku komedi akan memberikan jawaban persoalan hidup kita dengan banyak tertawa dan riang gembira. (ha.ha.ha). 
____
Dimuat Kapito.id 20 September 2021
Kamis, 09 September 2021 0 Komentar

Wakaf, Peran Milenial, dan Blockchain

Opini ini sebenarnya satu tahun lalu, namun saya lupa tidak melanjutkan tulisan ini. Syukur saya ingat kembali sewaktu ada kesempatan membuka laptop. Ternyata rancangan yang pernah saya tulis satu tahun lalu masih relevan dengan semarak wakaf hari ini. Sila baca di sini
Jumat, 13 Agustus 2021 0 Komentar

Berkisah: Penawar Gelisah

Tulisan saya kini rilis di podcast Menjadi Manusia dan disuarakan oleh Bas.Boi, pada segmen Berkisah. Bagi kalian yang suka dengerin podcast di spotify bisa dengerin di sana, podcast Menjadi Manusia. 

Kalau boleh jujur: Tulisan ini saya buat dalam keadaan gelisah campur cemas. Mungkin kegelisahan dan kecemasan itu bukan hanya saya yang mengalami, mungkin juga anda. 

Maka saya mencoba berbagi kisah kepada Teman Manusia (sebutan komunitas Menjadi Manusia) agar lebih tegar lagi dalam menjalani kehidupan bahwa kita tidak sendiri, kita sama-sama berjuang dalam ketidakpastian hidup dalam ketidakpastian kapan covid-19 ini berakhir. 

Selamat menikmati tulisan isi hati saya ini. Selamat mendengarkan, Berkisah: Penawaran Gelisah
Kamis, 12 Agustus 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Kali ini puisi saya di muat Tugu Jatim. Saya menulis puisi ini terinspirasi tokoh Rara dalam novel, Sunyi Adalah Minuman Keras, Sapardi Djoko Damono, yang sesal akan dunia makin bising. Sila di nikmati puisinya, Pada Sunyi
Minggu, 01 Agustus 2021 0 Komentar

Andai Kau Tahu, Aku

Pada 26, Juli 2021 lalu saya kembali mengirim puisi saya ke media Menjadi Manusia. Media ini bagi saya unik dan menarik. Saya tertarik mengirim puisi kepadanya. Pada satu kali coba saya kirim puisi terbaik saya syukur dimuat. Puisi ini sangat personal sekali, untuk tidak mengatakan puitis. Sila baca puisi ini, Andai Kau Tahu, Aku

Saya berharap kepada orang yang saya maksud dalam puisi ini sadar. Bahwa saya seperti apa yang ada dalam makna puisi ini. (hem.hem.hem). 
0 Komentar

Yang Paling Mencintai

Beberapa minggu lalu saya mengirim puisi ke media tugujatim.id. Saya punya ide setiap tulisan yang dimuat oleh media cetak maupun online akan saya arsip di blog ini. Sebagai cara memudahkan suatu saat nanti bila saya membutuhkan membacanya lagi. Sejelek apapun tulisan akan berkesan bila itu ditulis oleh saya pribadi. Ini adalah puisi pertama saya yang pernah dimuat oleh media tugujatim.id Yang Paling Mencintai. 
 
;