Kamis, 24 September 2020

Jangan Merusak Mental Maba !

Melakukan kekerasan kepada mahasiswa baru (Maba) - ketika ospek maupun penerimaan anggota baru di organisasi - dengan alasan apapun, memisal menguji mental, bagi saya satu cara menjatuhkan mental mereka, bukan menguatkan mental mereka sebagai pemelajar sejati. Tentu makhluk Tuhan  yang sehat akal pikirannya tidak akan melakukan "ritual" tak ilmiah ini. Adakah bukti penelitian ilmiah soal "menguji mental" dengan cara kekerasan ini dapat melatih mental? Anda mungkin lebih tahu dalam hal ini, anda berhak membuktikan klaim serampangan ini, terkhusus para senior.

Sila buktikan atau cari sumber ilmiah yang mengatakan ritual itu bisa meningkatkan mental mahasiswa. Yang ada malah sebaliknya: bikin trauma.

Pengalaman menjadi mahasiswa baru setiap mahasiswa punya cerita berbeda-beda. Apalagi mereka yang gemar mengikuti organisasi tertentu dengan cita-cita sederhana: menjadi aktivis kampus. Namun dalam mula perjalanannya tidak semulus ajakan omongan para senior bahwa mereka akan menjadi kader terdidik yang manusiawi, melainkan mendapat jauh dari sifat manusia. Saya pernah mengalami--sewaktu mengikuti organisasi tertentu--tindakan diskriminasi oleh senior. Jujur saja, saya mendapat perlakuan jauh dari manusiawi! Bahkan satu senior menghalang saya untuk tidak melaksanakan ritual sholat! Ini sudah melampaui batas. Orang yang berbeda agama pun belum tentu sekeras ini. Sebagai orang beragama saya tentu butuh sembahyang menghadap Tuhan. 

Syahdan, saya keluar dari organisasi itu. Pikir sederhana saya: masih banyak jalan lain untuk mengembangkan diri, dan berbakti kepada negeri yang saya cintai ini. Tak melulu harus ikut organisasi. Tak melulu harus jadi mahasiswa. Tak melulu harus jadi aktivis kampun. Berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengenal ras, suku, agama bahkan sudah termasuk berbakti kepada negeri ini. Sesederhana itu! Memberi kenyamanan dan ketenteraman bagian dari berbakti kepada ibu pertiwi. Sesederhana itu! Jangan sampai status mahasiswa menjadikan anda sebagai manusia yang memiliki moralitas palsu. Sebab, menjadi akademisi tak se-receh yang dilakukan kepada sesama pemelajarnya. 

Anda yang sudah jadi aktivis kampus tapi masih berbuat onar di lingkungan masyarakat apa gunanya? Anda seorang organisatoris tapi masih gagap peka diri apa gunanya? Anda seorang intelektual tapi tak mampu menempatkan orang bawahan untuk anda junjung tinggi derajatnya apa gunanya? Anda yang senior merasa lebih intelektual daripada anak yang baru masuk dunia kampus apa gunanya? Toh belum tentu anda lebih intelektual dari pada mereka, para maba itu. 

Mereke para senior seenaknya memperlakukan kami (maba atau anggota baru) dengan cara tak berperikemanusiaan! Setelah mereka melakukan kekerasan itu dengan entengnya mereka "meminta maaf". 

Anda tahu, setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk orang yang mudah memaafkan akan dengan senang hati memaafkan perilaku bangsat mereka. Tapi tidak dengan mereka yang sulit memaafkan kesalahan orang lain malah justru sifat "pendendam" akan tertanam subur di benak kepala. Sebab, tak semua dari mereka menerima perlakuan brengsek itu!

Kasus pembunuhan di Indonesia cukup banyak. Tak perlu saya urai datanya, anda dan saya pasti tahu itu. Satu sebab mereka melakukan pembunuhan adalah karena "dendam". Ya, dendam ... bisa jadi para junior itu kelak akan membalas "perlakuan keparat" itu setelah mereka berada di luar kampus, dan kemungkinan yang akan terjadi, minimalnya, perkelahian. Penyakit dendam ini panas kalau tidak sampai terbalaskan. 

Beberapa waktu lalu saat ospek terjadi kasus kekerasan yang menimpa mahasiswa baru di media sosial yang dilakukan oleh senior. Meski kejadian itu sangat disayangkan oleh pihak kampus tak mudah bagi korban segera pulih dari traumanya. Saya tak tahu pasti kabar selanjutnya. Yang jelas itu sangat merugikan nama kampus juga korban itu sendiri. Apa dengan kejadian ini mereka para korban meningkat jiwa pemelajarnya? Tidak!

Tak ayal kejadian ini menuai sorotan para komedian ternama, Ernest Prakasa. Anda tahu bukan? Ernest Prakasa adalah komedian ternama di Indonesia. Tetapi rupanya ia tak setuju melihat rituan 'tak ilmiah' ini. Dalam satu tweetnya, "Ospek sering jadi kesempatan bagi manusia-manusia insecure nihil prestasi untuk mencicipi setitik kebanggaan hidup dengan merendahkan manusia lain." 

Tak hanya komedian super lucu itu. Seorang Psikiater Jiemi Ardian pun turut bersuara: "Jujurlah wahai kating, ospek marah-marah yang kamu buat itu bukan tentang mendidik adik tingkat. Kamu buat ospek marah-marah itu buat hiburanmu dan memuaskan egomu yang ingin terlihat hebat. Pendidikan? Bukan. Itu keegoisan dan kemalasan mencari jalan menguatkan yang lebih baik. Nggak usah bicara soal "dunia lebih berat," karena dunia bisa lebih ringan kalau saling dukung, bisa lebih indah kalau saling rangkul," Ya ... saling merangkul adalah titik menuju puncak kesuksesan sebagai manusia pemelajar. "Tapi dunia bisa jadi berat kalau orang-orang di dalamnya sibuk dengan egoisnya yang minta dikasih makan segede godzila kaya Yth Kating Pemarah."

Ya ... kekerasan bukan hanya menimbulkan kegaduhan, lebih dari itu ketenteraman diri pun terganggu plus merusak mental. Mari kita patut bertanya: bisakah kita menyiapkan generasi intelektual dengan cara lebih bermanusiawi? Bisa. Bisakah kita merubah sistem budaya pendidikan lebih humanis? Bisa. Bisakah kita membudayakan ospek dari keras menuju kritis? Bisa. Saya pikir itu cara yang lebih elegan dan tentu tidak akan melukai sesama akademisi. Cara ini akan membantu mereka lebih kritis, dan tentu akan menambah mental mereka sekaligus. 

Seperti yang kita tahu, akan ada perasaan traumatik yang sulit dihilangkan. Sebagai niat meningkatkan mental mereka tentu saja kita tidak ingin mereka tumbuh dengan kondisi mental pecundang yang inferior; yang menyimpan dendam bersama kelompok mahasiswa lain, yang membuat luka menganga sulit terobati. Kita tidak ingin hal itu terjadi, bukan? 

0 Komentar:

 
;