Tampilkan postingan dengan label Catatan Residensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Residensi. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik

Prosesi wisuda itu mengingatkan saya akan satu hal tentang harapan kehidupan lebih baik di masa depan; betapa tidak, sembilan tahun yang lalu, saya adalah bagian calon mahasiswa yang terlunta-lunta dan paling kebal ditolak kampus berkali-kali dan pada akhirnya, setelah pertarungan berdarah-darah menuntut hak saya sebagai anak bangsa, kampus menerima saya sebagai mahasiswa. 

Pengalaman itu begitu menancap kuat dalam memori perjalanan saya memperjuangkan pendidikan; sebab, empat tahun yang lalu, saya pernah tidak percaya lagi akan hari yang baru suatu hari nanti dan sempat putus asa bahkan tidak percaya lagi pada rahmat Tuhan! (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus). 

***

Pada Mei 2016, setelah tamat sekolah menengah, saya mengajukan niat baik kepada keluarga bahwa saya hendak belajar di kampus tetapi keluarga tidak menjawab. Hanya hening yang saya pahami dalam sorot kebijakannya. Hanya angan-angan dan andai-andai yang saya jalani kemudian hari. (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Pendidikan). 

Saya mengerti biaya masuk kampus terlampau mahal bagi keluarga kami; tetapi saya pikir, masih ada jalan yang bisa saya tempuh: jalur beasiswa. Begitu saya katakan kepada keluarga. Tetapi keluarga tetap bergeming, terutama Ibu; dan tetap saya tidak diperbolehkan atau lebih tepatnya tidak diizinkan belajar di kampus.

Langkah yang bisa saya tempuh setelah keluarga tidak mengizinkan untuk belajar hal-hal baru ialah pindah pesantren, pikir saya waktu itu.

Pada akhir November 2017, setelah saya kembali mengajukan niat baik kepada keluarga, saya pindah pesantren. Meskipun pada awalnya keluarga sempat tidak mengizinkan tetapi saya coba meyakinkan bahwa saya merantau untuk belajar sebagai bekal kehidupan saya dan keluarga kelak lebih baik.

Pada akhirnya keluarga mengerti maksud baik saya dan membolehkan saya pindah pesantren di Banyumanik, Semarang.

Pada Februari 2018, setelah khatam menghafal, saya kembali berencana belajar di kampus. Di luar Jawa itulah tempat belajar tujuan saya. Tetapi, setelah sampai di sana, saya kembali gagal kuliah. Kampus yang dijanjikan oleh sanak famili adalah hanya kebohongan semata. Saya kesal dan marah kepada siapa pun sebab waktu emas saya telah terbuang cukup panjang oleh orang-orang yang menghambat pendidikan saya.

Pada 02 Januari 2019, setelah berdamai dengan badai kehidupan, saya kembali masuk pesantren. Itu karena jalan masa depan sudah mentok. Bagi saya, pesantren bagaikan cahaya yang menerangi jalan gelap masa depan santri yang memiliki harapan besar. Di tempat pesantren ini kisah dimulai dan kepingan mimpi kembali saya susun sebaik mungkin. Di pesantren ini kisah proses belajar di kampus bermula.

***

Setiap hendak berangkat kampus saya harus menunggu angkutan umum dan pulang berjalan kaki dari kampus ke pesantren yang jaraknya cukup jauh. Tujuan saya berjalan kaki pulang kampus  berolahraga sore hari dan meminimalisir pengeluaran keuangan.

Tentu saja, karena kelamaan menunggu angkutan umum, terkadang saya telat masuk kuliah dan tak jarang oleh bapak dosen sering diingatkan supaya saya jangan telat melulu. Beruntung pada pertengahan semester tiga serangan covid meringankan beban berangkat kuliah dan memaksa kami belajar online. Itu artinya juga meringankan perjalanan kaki saya yang pegal-pegal kalau pulang kuliah di trotoar jalan.

Saya punya kesan mendalam selama belajar di kampus dan pesantren; ada banyak orang-orang baik yang mengelilingi saya selama proses belajar.

Ialah Kak Miftah dan Mbak Hani yang pernah mengantar saya ke pesantren Semarang dan Jember turut serta membantu proses biaya pendaftaran dan hutang biaya UKT semester awal kampus. Ialah Mas Diki yang sering membantu dan memberi pinjaman motor dan laptop ketika saya membutuhkan untuk belajar menulis dan keperluan lain.

Kepada Mas Diki saya punya kesan cerita mendalam.

Pada suatu waktu sekitar pukul setengah sebelas malam, ketika saya pulang mengikuti rekruitmen anggota komunitas kampus dan berjalan kaki dari kampus ke pinggiran jalan raya, dan angkutan umum sudah tidak ada lagi yang muncul tengah malam Mas Diki datang dari arah belakang dan kaget mengetahui saya terhuyung-huyung kelelahan.

"Loh, kok jalan kaki sampean," kata Mas Diki. "Kenapa nggak minta dijemput anak pondok, Mas."

"Hape saya mati sejak tadi," kata saya. "Mulai tadi jalan sambil nunggu lien lewat tapi nggak muncul-muncul, Mas."

Ia kemudian membonceng saya dan rasa letih saya kemudian terobati ketika sampai di pesantren. Itu bersamaan informasi grup whatsapp yang mengabarkan bahwa nama saya masuk bagian penerima beasiswa bidikmisi. Seketika itu saya bersimpuh sujud dan menangis sebab beban pikiran saya selama semester awal ialah bagaimana membiayai kuliah setelah jadi mahasiswa. Dan tidak mungkin saya meminta biaya kuliah ke orangtua sebab itu janji saya dahulu sewaktu meminta izin kuliah bahwa saya tidak akan memberatkan keuangan keluarga.

Karena itu saya jualan buku dan belajar menulis di media massa untuk bertahan dari gempuran kebutuhan kehidupan mahasiswa.

***

Pada akhir bulan 2021 badai kehidupan memaksa saya boyong dari pesantren sebab Ibu sakit dan saya tidak bisa lagi berangkat kuliah dari pesantren. Serangan covid dan penyakit Ibu memaksa saya harus boyong dari pesantren. Rasanya hantaman badai itu datang bertubi-tubi dan memaksa saya segera mengambil keputusan.

Saya bersyukur keuangan pada waktu kepulangan dari pesantren itu stabil: sisa laba penjualan buku, honor mengajar di sekolah dasar, les privat mengaji anak tentara, dan menulis di media massa cukup untuk mengobati Ibu dari penyakit diabetesnya. Meskipun setelah lima bulan berikutnya, Bapak ikut sakit dan saya kembali di koyak-koyak kebingungan dan kesedihan.

Kini saya merindukan momen belajar di tempat itu. Karena itu saya menulis catatan cerita ini. Kepada kawan-kawan kelas saya punya kesan cerita belajar bersama.


Imam yang sering menemani saya lalu lalang menikmati kesendirian dan curhatan berbagai hal nasib kehidupan. Fina si koordinator kelas yang baik dan cantik tetapi juga kadang menjengkelkan kalau sedang mood rusak. Mufid dan Isbad yang sopan dan baik dan pernah mengantarkan saya pulang kampus karena tidak punya motor dan uang. Sigit yang rajin belajar setelah berkenalan buku-buku bagus dan suka mengajak ngopi untuk mendiskusikan pemikiran para cendekiawan. Kasia yang sempat kesal kepada saya. Viella adalah teman senasib ketika perjalanan pulang kampus di dalam angkutan umum. Dikna yang menjengkelkan dan pernah menjotos perut saya hingga hampir kehabisan nafas tidak mungkin saya lupakan kecuali ia meminta maaf dan memaafkan saya yang sempat membuat ia jengkel karena menampilkan foto masa sekolah menengahnya.

Dan juga kawan-kawan lain: Ada Elsa, Rizki, Rifqian, Isnia, Musa, Miftah, Nisa, Ica, Kholifah, dan Yuni yang sebentar lagi jadi calon Bu Nyai. Ada Fenti, Wilda, Izzul, Masrur, Diah, Alif, Bahul, Dewi, dan Fajrul yang tampaknya kini makin bertenaga. Ada Vandi, Mohamed, Puy, Fita, Erlin, Jorna, Nadia, Ifa, Salwa, Nabil, Riko, Balqis, Roni, Novita, dan Salsa yang semuanya orang-orang baik yang pernah saya kenal.


Kepada kawan-kawan komunitas kampus saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama.

Bersama Wahid saya sering terlibat adu pikiran dan mengakui ia pintar tetapi lemah ketika berhadapan  masalah dengan Azwar. Seorang teman yang sebetulnya bisa diajak ngopi dan berdiskusi panjang lebar kalau saja topiknya tepat pada hal lucu-lucu dan menggemaskan. Ada Bagus, Mas Ulum, dan Mas Rauf yang calon cendekiawan; serta Mas Yazid dan Mas Fian yang calon pengusaha. Ada Willy, Mbak Miftah, Mbak Windar, dan Mbak Aya dan kawan-kawan lain: Pras, Amel, Afifah, Rifqi, Mas Rohim, Mas Fauzi, dan seterusnya.

Kepada para dosen yang jadi guru dan mitra diskusi kalau saya bingung memahami suatu hal adalah keniscayaan: ada Ayah Nur Solikin, pembina komunitas intelektual (semoga beliau sehat selalu); ada Pak Anam, dosen pembimbing skripsi; ada Pak Munib, dosen inovatif dan tekun berbisnis; ada Pak Taqim, dosen detail yang hafal banyak jalan dan wilayah Nusantara; ada Pak Fawaizul Umam, dosen pengajar filsafat ilmu; dan Pak Faiz Rektor, dosen pengajar berpikir kritis-analitis di komunitas; ada Pak Fauz, dosen favorit mahasiswa baru; dan Pak Fauzan yang tak pernah henti-henti memotivasi mahasiswa selalu; ada Bu Nikmah, dosen pascasarjana yang baik hati; Pak Muhibbin, dosen pengajar paradigma ilmu; Pak Gun, dosen pengajar manajemen pendidikan; dan ada Bu Nurul, dekan yang suka bercerita pengalaman hasil penelitiannya yang unik-unik dan menantang di kelas kuliah.

Kepada kawan-kawan KKN saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama selama empat puluh satu hari di Kalianyar, Ijen, Bondowoso. Ada Faqih, Fikri, dan Rudi serta Vina, Dini dan Mita, adalah teman yang enak diajak ngobrol hal apa saja: perasaan getir memendam api cinta, putus hubungan sama pacar, masalah keluarga, dan obrolan kekacauan organisasi kampus. Ada Resa, Sisil, Faiz, Asti, Mey, Liha dan Nikita adalah teman yang kini jarang ada kabarnya. Moga-mogo mereka sehat selalu.

Dalam proses belajar ini menyadarkan saya akan satu hal: Kita lahir menjadi orang baik ketika kita mampu dan dapat terus tumbuh menjalin hubungan baik serta menjaga harta kehidupan yang telah ditanamkan Tuhan sejak belia. Harta kehidupan yang dimaksud ialah sifat adil dan jujur, penuh kasih sayang, tanggung jawab, dan cerdas menjalin hubungan baik dengan sesama ... meskipun terkadang pada suatu waktu tertentu kita saling bertikai dan kemudian menjalin hubungan kembali fitrah kita sebagai manusia.

Saya tidak tahu kapan saya akan menemukan tempat belajar dan orang-orang baik seperti mereka  yang menyenangkan lagi setelah ini. Mungkin, universitas mertua adalah jawabannya, aih. Maksud saya universitas kehidupan. Selamat berjumpa kembali di lain waktu, Kawan.

0 Komentar

Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus

Malam itu, tepat usai tahun baru, pada 02 Januari 2019, adalah awal kedatangan saya pindah pesantren ke Kaliwates Jember. Ialah setiap hari bagi santri baru adalah hari-hari yang baru.

Tapi sesuatu disebut baru apalagi santri mampu dan dapat terus tumbuh beradaptasi dengan harapan dan impian yang mengitari lingkungan kehidupan sekitarnya. Itu sesuatu yang rumit dan butuh adaptasi panjang mengikuti alur kehidupan.

Tapi apapun tantangannya sebagai santri baru memaksa dirinya harus beradaptasi dan sebisa mungkin mengerti keadaan atau peluang kesempatan belajar. Dengan peluang kesempatan itulah ia dapat tumbuh dan terus belajar memperbaharui diri yang baru dari diri yang pernah layu.

***

Setelah setengah tahun berada di pesantren pikiran kembali melayang-layang terkait keputusan melanjutkan kuliah. Harapan itu tak pernah surut bergulat dengan peristiwa tiap hari ketika santri lewat depan kamar saat saya berdiam diri di kamar sendirian melamun tentang pendidikan masa depan. Suatu impian masa depan yang tak pernah gampang ditaklukkan. Begitu bisikan hati dan pikiran berkecamuk kacau setelah melewati penolakan kampus berkali-kali saat saya coba mendaftar kuliah.

Anda tahu, ditolak kampus berkali-kali ketika itu jauh lebih menyakitkan ketimbang ditolak perempuan mengajak pacaran. Itu pengalaman paling berpengaruh besar dalam perjalanan saya selanjutnya, dan bagaimana saya menyikapi persoalan kehidupan mendatang yang mungkin akan jauh lebih mencekam memecahkan onggokan batu besar di tengah jalan.

Saya merasa pada waktu itu seperti berada dalam kondisi terendah, berada dalam kondisi diambang putus asa, dan memang setiap orang akan mengalami fase pengalaman terendah, bukan dalam arti ia paling terendah dari sekian banyak manusia, melainkan titik terendah dalam arti melewati proses tantangan mencekam melewati persoalan kehidupan yang mungkin taruhannya ialah impian dan nyawa.

Saya pernah berada dalam kondisi diambang putus asa seperti itu. Satu pengalamannya ialah ketika memperjuangkan hak pendidikan yang sempat terlunta-lunta dan ditolak kampus berkali-kali. Kira-kira catatan proses penolakan kampus itu jika ditulis pengalamannya seperti ini alurnya.

Percobaan pertama pendaftaran kuliah.

Pada malam hari itu saya membuka website pendaftaran kampus dan ternyata dalam laman resmi tertera bahwa ijazah saya sudah kadaluwarsa. Artinya kampus hanya menerima ijazah angkatan kelulusan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan. Sementara ijazah saya tidak masuk dalam bagian ketentuan tersebut.

Akhirnya saya menghubungi pihak kampus lewat email dan dibalas oleh pihak kampus. "Maaf, kami hanya menerima angkatan mahasiswa baru sesuai ketentuan aturan". Pikiran saya langsung pening setelah sekian hari menunggu balasan email dan mendapatkan jawaban menyakitkan dan mendiskreditkan yang entah apa maksud dan fungsi aturan seperti itu.

Percobaan kedua pendaftaran kuliah.

Saya mencoba klarifikasi langsung ke pihak kampus di bagian rektorat pusat dan menanyakan hal serupa namun saya bumbui pertanyaan lain dengan perbandingan, "Mengapa kampus PTKIN lain seperti UINSA masih menerima ijazah angkatan 2016, sementara kampus di sini tidak menerima?"

Pihak kampus menjawab seenaknya. "Ya ... Mas kalau begitu daftar kampus di sana saja". Kendang telinga saya langsung pecah, mata saya bergocoh dengan raut muka monster.

Percobaan ketiga pendaftaran kuliah.

Saya menanyakan banyak hal kepada kawan para aktivis kampus bagaimana sekiranya saya bisa mendaftar kuliah, barangkali mereka bisa membantu dan mencarikan orang petinggi kampus yang bisa saya temui untuk bernegosiasi, saya ingin menyampaikan maksud baik saya untuk belajar, tetapi rupanya para kawan aktivis kampus itu tidak punya relasi ke arah situ. Akhirnya negosiasi buntu.

Percobaan keempat pendaftaran kuliah.

Kabar bahwa saya ingin melanjutkan kuliah ternyata tersebar di keluarga pesantren, tempat di mana saya bermukim diri mengajar para santri. Pengasuh pesantren jadi dosen. Akhirnya, oleh pengasuh, saya dibantu dan dicarikan jalan bagaimana supaya saya terdaftar kuliah namun tetap saja tidak bisa oleh sebab aturan yang ada katanya.

Keluarga pesantren sempat juga menawarkan saya kuliah di luar negeri tetapi saya langsung memohon maaf. "Sempat punya impian kuliah ke luar negeri, Gus. Cuma pihak keluarga tidak mengizinkan kalau terlalu jauh," curhat saya. "Dalam negeri saja saya maksa ke orangtua tetapi tetap tidak bisa. Tahun ini baru saya mengajukan lagi mau kuliah, baru diizinkan oleh Ibu".

Kabar bahwa saya ingin kuliah itu makin menyebar di kalangan guru SD tempat saya mengajar alquran pada waktu pagi. Salah satu Ustadzah Hafizah ternyata suaminya dosen syari'ah di kampus. Ia membantu saya mencarikan jalan lewat jalur salah satu dekan. Yaitu suaminya itu. Tapi tetap suaminya tidak punya otoritas wewenang mengubah aturan yang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Hafizah. Ia kemudian menawarkan kampus di tempat lain namun saya katakan keluarga setujunya kuliah di tempat kelahiran saja. Ustadzah Hafizah itu paham kondisi batin seorang Ibu dan menasehati saya agar bersabar supaya menemukan jalan keluar. Siapa tahu masih ada jalan harapan, katanya.

Anda tahu, bukan; bahwa memupuk harapan berarti harus menyiapkan diri menghadapi kekecewaan. Sejak harapan kuliah pupus di tengah jalan berkali-kali, dalam diri saya seperti ada perasaan kecewa dan putus asa, bukan saja pada diri sendiri maupun pada orang yang telah mengkhianati, melainkan juga kepada orangtua sebab sejak lama saya sudah meminta izin kuliah kepada orangtua, khususnya Ibu, namun tidak diperkenalkan oleh keluarga. Setelah saya empat tahun lulus sekolah menengah, baru kemudian orangtua mengizinkan saya kuliah.

Apa itu tidak membuang-buang waktu namanya?

Karena itu, sebetulnya saya sempat malas hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebab saya sudah telat cukup lama. Namun karena lingkungan menghidupkan impian lama, secercah harapan kuliah tak pernah lepas dalam pikiran.

Penampakan santri kuliahan saban hari mondar-mandir depan kamar saya tiap pulang kampus, menyadarkan dan membangunkan tidur panjang saya menuntut hak menempuh pendidikan perguruan tinggi.

***

Pada 29 Juli 2019 ialah tepat penutupan akhir pendaftaran kampus. Saya mendaftarkan diri setelah menemukan jalan terang lewat proses komunikasi salah satu panitia penyelenggara. (Tentang bagian ini kita cerita di lain waktu dan melihat bagaimana rezeki itu bekerja sesuai rencana yang maha kuasa). Pada proses ini banyak orang-orang baik membantu saya menyiapkan segala kebutuhan pendaftaran kampus, termasuk biaya. Saya tidak akan melupakan kontribusi orang-orang baik itu seperti tertulis dalam catatan lalu di sini.

Pada 31 Juli 2019 ialah waktu tes ujian pendaftaran kampus. Saya tidak belajar sama sekali sebab waktu terlampau singkat dan saya memilih membaca buku-buku apa saja yang akan saya pelajari di bangku kuliah nanti. Saya punya keyakinan kuat bahwa saya akan diterima sebagai mahasiswa sebab program studi yang saya ambil adalah tergolong baru dan sepi peminat. Karena itu saya yakin saja. Pasti diterima, kata teman saya. Dan benar. Pernyataan dan keyakinan kuat itu tidak meleset barang sedikit pun.

Rabu, 05 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Hak Pendidikan

Ibu sebetulnya tidak ingin aku kuliah. Ibu lebih senang jika aku mondok saja atau mengajar atau bekerja sambil menabung pundi-pundi rupiah. Entah mengapa Ibu tidak menginginkan aku kuliah. Ibu tidak memberi alasan jelas dan masuk akal.

Tetapi, lambat laun, aku paham mengapa Ibu, lebih tepatnya, tidak mengizinkan aku kuliah: semasa sekolah menengah aku sering telat bayar tagihan (selain sering telat masuk sekolah) bahkan hampir tidak bisa ikut ujian nasional lantaran tak bisa bayar cicilan dan, oleh Ibu guru, aku dan kawan-kawan senasib, dimarahi dan dipermalukan di depan kelas, hanya karena telat bayar tagihan sekolah. Begitu teganya guru semacam itu. Dimana letak keadilan dan kebijaksaan dalam hati guru semacam itu?

Aku bersyukur pada waktu itu masih ada guru yang punya hati manusiawi dan memberi kelonggaran waktu untuk kami bisa ikut ujian nasional dan kami, para siswa-siswi miskin itu, terpaksa diluluskan.
***
Delapan bulan setelah dinyatakan lulus SMA, sekitar Mei 2016, aku sempat bilang kepada Ibu kalau aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun tidak diizinkan, akhirnya aku minta izin kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pondok saja; tetapi rupanya Ibu masih tetap bersikukuh tidak mengizinkan aku pindah, apalagi kuliah.

Aku kesal kepada Ibu. Marah. Mengutuk diri. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa anak muda lain bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sementara aku tidak bisa dan tidak diizinkan? Rerumputan dan bebatuan di sekitar tempat aku berdiam diri merenung tidak menjawab, tanaman padi hanya bergoyang-goyang kesana kemari mengikuti hembusan angin sore hari.

Aku segera sadar dan paham bahwa ada keterbatasan dalam kehidupan yang aku jalani. Itulah kenapa sewaktu sekolah aku sering telat bayar tagihan, menjanjikan akan bayar setelah punya rezeki, dan tak jarang aku meminta tenggat waktu kepada Bapak Ibu guru untuk bisa melunasi cicilan tagihan hingga bulan depan.

Tetapi keterbatasan tidak berarti bahwa aku tidak punya hak melanjutkan pendidikan bukan? Begitu aku coba berpikir positif menatap masa depan di suatu sore pada saat masih di pondok.

Selepas sekolah itu aku coba bernegosiasi kembali pada saat Ibu dan Bapak menjenguk aku di pesantren, dan aku bilang bahwa aku tidak bisa terus menerus menghafal Alquran di sini. Pesantren awal tempat aku belajar. Aku bilang sekali lagi kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pesantren lain, aku butuh sistem sosial pendukung agar aku bisa berkonsentrasi pada saat menghafal Alquran. Moga-moga ibu mengerti maksud baik aku kali ini.

Pindah dan Kembali Lagi ke Pesantren Lama Sebentar

Pada keputusannya Ibu mengerti maksud baik aku dan membolehkan aku pindah ke pesantren lain di Semarang. Akhirnya, pada Jum'at 12 Januari 2017, aku jadi berangkat ke kota lawang sewu tersebut. Itu diizinkan karena di kota sana ada teman pondok; juga karena mendapat beasiswa; dan juga karena terlanjur mendaftar jadi calon santri baru program menghafal Alquran dalam waktu satu tahun.

Pada 02 Februari 2018 ialah kepulangan aku dari tanah rantau training menghafal Alquran di Semarang itu. Aku memutuskan kembali ke pesantren semula, mengabdikan diri di sana sampai ramadan tiba. Tujuan aku kembali ke pesantren semula, selain tetap belajar dan mengabdi diri kepada ilmu dan guru, ialah membenahi apa yang belum selesai aku kerjakan, menata tugas yang diberikan kiai, dan menyerahkan perpindahan tugas kepada santri senior sebelum akhirnya aku pindah belajar ke tempat lain.

Wajah Penyesalan dan Kegagalan Kuliah

Setelah boyong dari pesantren awal, aku mengukuhkan diri kembali memperjuangkan kuliah, tetapi aku tetap gagal. Kegagalan kali ini cukup membekas dalam kehidupanku dan memupuk hati nurani aku pada satu prinsip tegas: setiap warganegara (tanpa memandang latar apa pun) punya hak yang sama dalam menempuh pendidikan, menikmati akses pendidikan bermutu hingga ke perguruan tinggi.

Ceritanya ada "orang dalam" menawarkan aku kuliah dengan jaminan beasiswa di suatu daerah luar Jawa; syaratnya aku harus sambil bantu mengajar di yayasan miliknya. Keluarga mengizinkan. Itu berarti aku diperkenankan kuliah di luar Jawa. Sesuatu mustahil sebetulnya, mengingat keluarga sebelumnya tidak setuju jika aku kuliah terlalu jauh. Tetapi bagaimana pun aku harus tetap kuliah.

Lagi-lagi aku berpikir positif dan mungkin ini jalan terbaik yang harus aku tempuh, kendati perjalanan cukup jauh.

Sebelum keberangkatan aku menanyakan apakah di daerah kampus sana ada program studi yang aku minati; dan pihak sana menjawab ada. Oleh karena katanya ada, sebelum keberangkatan aku menyiapkan segala berkas administrasi pendaftaran kuliah, melunasi tanggungan ijazah sekolah dan kebutuhan lainnya. Berangkatlah aku ke daerah yang dituju, tetapi sesampainya di sana aku mendapat kebohongan janji. Alih-alih mendapat beasiswa, kekesalan dalam dada setiap hari menyala-nyala.

Itu terbukti saat aku berada di sana selama tiga bulan. Dan paham betul karakter "orang dalam" yang membawa aku sampai ke sana. Ah ... aku tak mau mengungkit masa lalu kelam tersebut. Aku muak mengingat perlakuannya terhadap guru-guru lain yang sebagian haknya tak diberi, padahal guru itu begitu berjasa dan berbakti sepenuh hati mengajar anak didik yang dititipkannya. Namun kebaikan guru terkadang banyak dimanfaatkan. Karena itu aku pulang dan kembali ke kampung halaman.

Di satu pihak aku menyesal sebab waktu emas aku terbuang begitu saja, di pihak lain aku bahagia sebab aku bisa keluar dari lingkungan penjara. Waktu itu aku hanya bisa berdoa. Moga-moga Tuhan menggantikan sesuatu yang paling berharga dan mengabulkan permintaan doa hambanya.

Dan doa-doa itu betul-betul terkabul bahwa aku mendapat sesuatu yang lebih berharga. Aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang selama ini aku impikan, kendati perjalanan awal itu cukup terjal seperti melewati onggokan batu besar menghadang pengguna jalan. Dan aku memecahkan onggokan batu besar itu di tengah perjalanan, kendati aku sempat putus asa karena mustahil bisa melewati tantangan itu semua.

Kembali ke Pesantren Lagi: Secercah Harapan Kuliah

Aku akan menceritakan semua perjalanan memecahkan onggokan batu besar itu. Karena itu simak baik-baik, ya.

Itu sejak kakak dan istrinya menawarkan aku untuk bantu mengajar Alquran lagi di suatu pesantren daerah Kaliwates, Jember. Aku berkenan dan keluarga mengizinkan. Akhirnya aku meniatkan diri dalam kebaikan, tidak hanya bantu mengajar sebetulnya, tetapi lebih kepada belajar kembali menjadi santri. Itu artinya aku ingin menjadi santri baru dan belajar hal-hal baru lagi. 

Aku merasa bahwa pesantren ini seperti jalan terang kesempatan meraih harapan. Awalnya, pada saat keberangkatan dan sampai di pesantren tempat aku akan mengajar santri, perasaan antara lima puluh persen akan betah dan lima puluh persen tidak akan betah menyelimuti diri. Namun sejak masuk kamar yang disediakan pengurus pondok itu aku langsung seratus persen betah; sebab, dalam ruangan berukuran tiga kali lima meter itu, kamar itu disesaki buku-buku bermutu.

"Kalau ustad suka baca buku, silakan buku-buku itu boleh dibaca sepuasnya," kata pengurus yang menemani aku malam itu.

Aku senang sekali atas tawarannya dan bertanya kepada pengurus itu; punya siapa buku-buku bagus sebanyak itu, dan pengurus bilang bahwa buku-buku itu milik adiknya Gus; yang waktu itu masih kuliah pada program studi sejarah di Jember. Ia juga bilang bahwa kebanyakan santri di sini masih sekolah madrasah aliyah dan sebagian lain masih kuliah di IAIN Jember.

Anda tahu, perasaan aku yang awalnya kendor mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena sudah empat tahun sejak aku lulus sekolah ketika  itu juga membuncah kembali; semangat itu berkoar-koar setiap kali melihat sebagian santri kuliahan lewat depan kamarku, dan aku bertanya habis dari mana,  kata mereka baru datang kuliah.

Lagi-lagi aku ingin kuliah. Aku ingin hak aku sebagai warganegara, sebagai sesama anak bangsa terpenuhi; sebab pendidikan adalah hak semua anak bangsa, entah bagaimana caranya aku akan menuntut hak itu bahwa aku harus kuliah tahun ini! (Tentang kelanjutan cerita ini baca: Memoar Kuliah(2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik). 

Kamis, 19 Januari 2023 0 Komentar

Desa Jampit, Guest House Belanda, dan Melihat Surga Lebih Dekat


Akhir bulan Juli tahun lalu, 2022, saya—dan kawan-kawan KKN—berkesempatan berkunjung ke salah satu Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bonbowoso. Sebuah desa wisata yang boleh kita sebut lain sebagai desa surga. 

Awalnya kami nggak ada niatan pasti hendak jalan-jalan ke desa Jampit tersebut. Meskipun sebelumnya kami sudah tahu bahwa di desa Jampit, tak kalah erotis dibanding desa tempat kami bernaung, Kalianyar. Maka tertariklah kami main-main ke sana, sekadar berlibur.

Sekadar menerima ajakan perangkat desa untuk mengambil sesuatu di desa lain, maksudnya di kantor desa Jampit itu, dan diajaklah kami ke desa Jampit itu yang keindahannya bukan kepalang. 


Tapi tak hanya keindahan yang kami rasakan, borok-borok perjalanan pun kami “lewati”—untuk tidak mengatakan “rasakan!”, kata Pak Sopir waktu itu, sekaligus kedinginan akut, padahal waktu perjalanan siang; tepatnya menuju waktu zuhur.

Singkatnya, Pak Perangkat Desa sekaligus sopir pada waktu itu membawa kami dan ingin memberi pelajaran agak penting: sesekali merasakan hidup di desa terpencil dam terpinggir.

Di awal perjalanan, yang melewati desa Sempol, kami biasa-biasa saja ketika naik Mobil Triton GLX, yang mulai masuk perbatasan antara desa Sempol dan desa Jampit, yang dikelilingi kebon kopi, jarak sekitar satu kilo dari tempat tinggal kami, mulailah kami kapok dan bertanya kepada bapak sopir apakah nggak ada jalan pintas, Pak.

“Ada. Tapi jauh lebih ekstrim. Nantilah pulangnya kalian rasakan sendiri,” katanya.
 
Kami menggerutu, ingin rasanya mengumpat, dan mengajak balik pulang, tapi tak ada pilihan selain melanjutkan perjalanan, sebab tinggal setengah jam lagi, katanya Pak Sopir.

Di babak pertengahan jalanan itu, bukan main tersiksanya kami. Jalanan penuh borok-borok itu sepertinya memang disiapkan bagi pengguna jalan yang sabar nan ikhlas. Bebatuan berukuran besar hampir menutupi jalanan, belum lagi debu-debu beterbangan sesaat kami, dan pengguna jalan lain, berseberangan arah.

Dapatlah kami sabun abu gratisan pada suatu siang; pada jam memasuki salat zuhur itu.

Kami sempat ngoceh di belakang mobil dan bertanya-tanya apakah warga desa Jampit punya puskesmas untuk menampung orang mau melahirkan; dan bagaimana jika pemerintah setempat tidak menyiapkan keperluan mendesak tersebut?

“Ya itu, Dek. Sudah sejak lama kami pikirkan , tapi hingga hari ini belum ada kebijkan dari pemerintah untuk mendirikan niatan mulia itu,”kata Pak Sopir, kala itu. 

“Lalu solusinya bagaimana, Pak?” lanjut kami bertanya.

“Di Jampit masih ada dukun beranak. Jadi harapan warga cuma dukun."

"Cuma dukun?" 

"Iya, cuma dukun."

Anda tahu—jarak desa Jampit menuju desa Sempol lumayan jauh dan memakan waktu sekitar 45 menit idealnya naik motor; dengan bebatuan yang tajam-tajam. Desa Sempol satu-satunya desa yang paling dekat dengan puskesmas. Tapi, bagaimana akan ditempuh bagi orang yang mau melahirkan, apalagi pada waktu malam? 

Kami tak tahu kelanjutan tugas pemerintah selanjutnya. Moga-moga ada perbaikan kedepannya. 

Lalu kami tetap melaju meskipun tetap agak jengkel melewati jalanan berlubang; dan setelah melewati tantangan ekstrim tersebut, yang hampir setengah jam, yang hampir menuju tujuan, masuklah kami ke gerbang Guest House dan pemukiman pertama perumahan warga. 

Kami menyaksikan keindahan surga dunia lebih dekat, bentangan alam sekitar ... dan sesekali kami meminta kepada bapak sopir untuk tidak segera melaju lebih cepat dan memotret beberapa pemandangan sekitar, dan hasilnya cukup bagus. 


dok. perjalanan

“Indahnya bukan main, Gaes,” kata Mita. “Foto, Gaes. Foto-foto, Resa.” 

Guest House 

Resa memotret beberapa kepingan pemandangan alam dan perkebunan kopi. Gerbang Guest House menunjukkan kepada kami bahwa perjalanan akan segera sampai.

Sebelum tiba ke  tujuan tersebut kami diperlihatkan banyak perkebunan kopi dan semburan awan-awan di sekitar kawasan Kawah Wurung yang terlihat sangat jelas, serta orang-orang yang sedang mengembala sapi dan kambing. 

Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai ke penginapan tempat KKN kawanan kami yang sama-sama dari UIN KHAS Jember. Mampirlah kami sebentar dan dilanjutkan main-main ke Guest House tersebut. 


Dok. hal. depan Guest House 

Guest House tersebut merupakan hasil peninggalan Belanda dan diperkirakan berdiri sejak tahun 1927. Bangunan bercorak elitis itu unik serta megah dan identik dengan gaya arsitektur Eropa, halamannya luas, bunga-bunga bermekaran di sekitar perumahan, ada kuning serta merah, ada putih serta agak berwarna oren, dan segala macam jenis bunga ada di situ.

Saya bertanya kepada kawan-kawan KKN posko lain itu apakah Guest House dibuat penginapan para wisatawan dan mereka menjawan “iya”; dan tarifnya dalam semalam, cukup orang-orang kaya mungkin yang menikmatinya.

“Sekitar 2 Juta ke ataslah, Mas,” katanya. “Fasilitas empat kamar tidur dan kamar mandi dalam. Satu kamar driver, ruang tempat untuk bersantai serta penghangat ruangan, dan juga 2 petugas.”

Kami mengobrol banyak hal dan bertukar nasip selama setengah bulan menjalani KKN di sini. Menurut cerita mereka warga sekitar menyambut hangat kedatangannya, dan cukup membantu ketika ada keperluan agak penting di ladang belakang dan sesekali mereka mengajar dan menjalankan program kerja kampus. 


Dok. Ngobrol ngalor ngidol 

Lalu saya bertanya apa kendala yang paling dirasakan di sini dan semua sepakat: “Kedinginan dan sulit sinyal, Mas,” katanya.

Maka mereka diberi wifi oleh petugas Guest House tersebut dan kebetulan penginapan mereka dekat situ dan setiap hari mereka menyaksikan surga—baik malam maupun siang. Namun ya itu tantangannya dinginnya bukan kepalang. 

“Biasanya suhunya 1 bahkan sampai 0 celcius, Mas,” katanya kepada kami. “Di Kalianyar berapa biasanya, Mas?”

“Ya paling banter 5 itulah,” kata kawan saya, perempuan.

Mungkin kami sama-sama memiliki wilayah kenyamanan dan ketidaknyamanan tersendiri, tetapi satu hal yang dapat kami petik perbincangan itu: “pengalaman eksotis”.

Sekitar satu jam lebih kami bercakap-cakap dan berbincang-bincang banyak hal tentang pengalaman selama KKN dan hari ini di antara mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing dan sebagian di antara mereka sudah menyelesaikan sempro dan sebagian lainnya belum dan kami merindukan pertemuan itu. 

Merindukan banyak hal: kawan-kawan, kedinginan, melihat surga lebih dekat, warga sekitar yang penuh keramahan, obrolan receh-receh, gelagak tawa, dan harapan ingin bertemu kembali seperti pada masa KKN itu.

Mungkin Tuhan berbaik hati pada suatu hari nanti akan mempertemukan kami kembali, pada suatu kesempatan di lain waktu.
Selasa, 05 Juli 2022 0 Komentar

Yang Merindu


Dulu sekali, sewaktu saya masih bocah, saya pernah bercita-cita menjadi guru ngaji sebab bagi saya, pada waktu itu, guru ngaji adalah orang paling mulia di mata masyarakat dan oleh karena itu, saya ingin menjadi seperti mereka, orang yang mulia. 

Seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya setelah saya usai menempuh pendidikan di pesantren, saya betul-betul mewujudkan cita-cita itu hingga saya melanglang buana ke luar Jawa. Tepat pada tahun 2018 adalah dimana pertama kali saya menjadi guru ngaji, tiga tahun yang lalu, yang telah saya ceritakan sebelumnya di sini.  

Demikianlah: saya pernah tinggal di suatu tempat yang menjadi pengalaman pahit pertama saya dalam hal mengajar. Saya diminta mengajar oleh sanak saudara setelah proses satu tahun penuh menjalani karantina belajar di pesantren Semarang. 

Sebenarnya saya tidak ingin hanya mengajar, saya juga ingin melanjutkan pendidikan di sana—sekiranya saya mendapat beasiswa. Tapi harapan saya pupus setelah saya tahu bahwa ternyata  saya hanya dimanfaatkan oleh sanak saudara yang membawa saya ke rumahnya—ke lembaganya itu, alih-alih mendapat beasiswa justru kesia-siaan semata. 

Namun kini tuhan cukup setempal mewujudkan cita-cita saya sebagai anak buruh tani yang menginginkan belajar di perguruan tinggi dan hari ini saya diberi kesempatan untuk memaksimalkan kesempatan ini—dengan cara sebisa mungkin dapat saya beri kepada masyarakat atau generasi bangsa semisal mengajar atau mendidik anak orang (sebelum mendidik anak sendiri tentu saja).

Dari luar Jawa (sengaja tidak saya sebut nama lembaga tempat saya mengajar pertama itu sebab saya tidak menginginkan atau menuliskannya di sini) saya belajar cara belajar dan setelah dari sana saya mendapat kesempatan lain belajar mengajar di tempat lain—yaitu Jember—hingga saya bisa melanjutkan di perguruan tinggi—mungkin—berkat doa anak didik saya di pesantren mistahul ulum (sudah pernah saya tulis mengenai cerita ini di sini) itu.

Dan hari ini, ketika tengah menjalani KKN, saya teringat pada anak didik saya di luar jawa itu, dan saya merindukannya. Saya rindu pada anak-anak didik saya itu ketika menangis, ketika tertawa terbahak-bahak, ketika menyebut huruf-hurur hijaiyah dengan blepotan, dan, saya rindu pada mereka ketika meminta pulang dan bilang kepada keluarganya bahwa “saya sudah bisa baca surah-surah pendek!”

Pada dasarnya mereka adalah guru kehidupan saya. Saya belajar pada mereka tentang makna kesabaran dan mereka belajar pada saya tentang pengetahuan sebab—mungkin kita pernah tahu bahwa—katanya, “semua murid; semua guru”. Anak-anak saya itu adalah guru dan saya adalah muridnya. 

Dan catatan ini seperti guru yang merindu pada anak didiknya—jangan lagi dicari apa tujuannya. 
Sabtu, 02 Juli 2022 0 Komentar

Pertanyaan-pertanyaan Arti Pertemuan dan Perpisahan dalam Kejadian-kejadian tentang Suatu Hari Nanti (1)


Ini adalah kesunyian yang muncul kembali setelah dinginnya malam masuk melalui celah-celah jendela, melalui lubang-lubang kecil yang kerap kami alami pada malam-malam penuh syahdu bersamaan dengan suara-suara gemericik hewan; sebilah kesunyian yang akan dipecahkan oleh lelucon Mbak Faiz dan kawan-kawan lain yang melenturkan kebekuan kulit-kulit kami yang dihujam oleh dinginnya malam Kawan Ijen. 

Dan kesunyian bersamaan dinginnya malam itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan. 

Terkadang saya berpikir dan menghayal yang cukup menguras emosional tentang sebuah persaudaraan yang disatukan oleh kewajiban kami sebagai mahasiswa adalah; apakah suatu masa nanti kami akan dipertemukan kembali setelah usai menjalani KKN ini; setelah kami lulus menempuh studi ini; setelah mungkin di antara kami telah sampai pada batas usia dan mati tak lagi dapat berjumpa kembali di dunia yang fana ini? 

Terkadang saya berpikir tentang suatu masa di mana pikiran tak lagi mampu menjawab pertanyaan tentang sebuah perpisahan; apakah perpisahan itu benar-benar ada? Apakah arti dari sebuah perjumpaan dan perpisahan itu? Apakah ada jarak antara ruang waktu kita setelah kejadian di dunia ini berakhir? Ah, apakah pula makhluk akhir itu? Adakah akhir dari segala yang akhir ini? 

Ah, kenapa pikiran ini cukup liar akan pertanyaan-pertanyaan; seolah-olah menyetujui apa yang dikatakan Goenawan Mohammad itu: pikiran adalah lika-liku cerewet. 

Pikiran cerewet yang mempertanyakan suatu masa tentang arti kehidupan yang telah dirancang sedemikian sistematis oleh suatu Sang Ada dan perangkat-perangkat tubuh ini seperti digerakkan oleh-Nya. 

Misalnya, ingatan saya tiba-tiba bergelayut secara otomatis tentang kejadian-kejadian dari bangun tidur hingga menjelang tidur ini. Suatu ketika kami kedatangan tamu dari posko lain dan terjadilah suatu percakapan. 

Sabtu, 02 Juni 2022

"Siapa di sini yang dari Puger?" saya bertanya kepada para tamu itu. 

"Saya ..." ia mengacungkan tangan. 

Mata para hadirin menikam mata saya dan saya diserbu oleh celotehan kawan-kawan. 

"Tadi malam katanya mau dicarikan masa depan. Itulah loh sudah ada. Sama-sama dari Puger lagi."

"Wah, ini namanya jodoh di posko sebelah," seseorang menyambung celotehan. 

"Gas dah ...." kata yang lain. " Cocok."

Dan saya tersipu malu tingkat akut siang itu. Orang-orang senang melihat saya jadi bulan-bulanan celotehan mereka di tengah suasana keharmonisan antar sesama posko.

Pikiran saya tiba-tiba muncul kejadian-kejadian lain hari-hari sebelumnya dan setelahnya tentang kebaikan-kebaikan masyarakat desa Kalianyar ini. Suatu ketika kami ditawarkan segala macam sayur-sayuran dari hasil ladang. 

"Mainlah ke rumah nanti malam," tawar tetangga yang baru saja bertemu di teras rumahnya. "Ada sayur-mayur buat laut, Dek. Nggak usah beli kalau di sini."

"Iya, Pak, kalau ada waktu, akan kami sempatkan main," jawab saya. "Jangan lupa siapkan kopinya." 

Ia tertawa dan menepuk-nepuk pundak saya keras-keras sambil terkekeh-kekeh. 

"Bisa aja kau, Nak!" 

Sekali lagi bapak tua itu terkekeh-kekeh senang saat saya tagih kewajibannya menghormati tamu agung yang bakal datang itu. 

Kelopak mata saya seperti meminta haknya untuk tidur bersamaan akan selesainya catatan ini yang akan dilanjutkan secara berkala. 

Sabtu, 02 Juni 202
Jumat, 01 Juli 2022 0 Komentar

Diabadikan Kenangan


Dan waktu kerja bakti sosial dimulai: dari lokasi penginapan menuju ke spot wisata Kalipait; sebelum sampai ke sana, kami memotong rerumputan yang berkeliaran di jalan raya menuju Kawah Ijen; tapi untuk sampai di sana … kami harus memeluk dingin sekalipun senang melihat pemandangan elok di sekitar lingkungan kerja yang hendak kami pangkas rerumputannya—sekalipun harus menggigil dan, … sialnya: kami hanya memakai kaos seragam KKN!

“Tahu gitu aku pakek jaket tadi,” gerutu Mbakyu. 

“Rasakan!” kata saya.

Dari ujung mata ke ujung alam gunung-gunung itu berbusa kabut dan ternyata itu bukan kabut.

“Kayaknya di atas gerimis.” kata Pak Pengarah itu.

“Ini kayak embun yang turun, ya …” sambung Mbakyu.

“Bukan.” 

“Ya … ini embun siang!” sambung yang lain.

Ah, baru kali ini saya tahu ada embun siang—yang ada dan yang saya tahu hanyalah embun pagi. Atau embun fajar atau embun subuh.

“Embun pagi bersahaja …” Pak Kasum itu tiba-tiba bernyanyi. “Itu lagu siapa?” 

Saya pikir keras-keras dan mencari memori lagu tahun 2000-an dan ingatakan saya cukup baik.

“Letto, Pak! Embun pagi …” jawab saya. 

“Betul. Kau cukup baik mengingat lagu kenangan.”

“Kenangan harus diabadikan dalam ingatan sekalipun sedingin Ijen, Pak.”

Ia cekikikan dan kawanan lain hanya bisa melongos sirik, eh.

“Bentar lagi kita sampai.” Ia beri kabar gembira setelah 30 menit memangkas arca-arca rumput yang berkeliaran ke jalan. “Disana nanti ada spot Kalipait.”

“Kenapa dinamakan Kalipait, Pak?” saya bertanya penasaran.

“Karena air kalinya pait.”

“Tidak sepait kenangan kan, Pak?”

“Tentu saja, Nak!”

Kerja bakti sosial terbalaskan setelah 40 menit menebang kayu-kayu yang berkelindan di jalanan dan meskipun harus menempuh jarak kurang lebih 4 kilo menuju spot wisata alam itu—rasa lelah kami hilang. Dan Kalipait menjadi destina kenangan yang ke-3 dan beria-gembiralah kita. 

Air itu mengalir dari ketinggian dengan tenang dan gemerciknya seperti alunan alarm perairan yang memancarkan musik-musik kecil tapi halus didengar. Sementara bebaturan itu terlihat mengkilat seperti baru saja dipoles minyak permata yang memancarkan cahaya yang menambah eksotis mata untuk segera menanjakkan kaki di atasnya dan berdiam diri dan berswafoto tentu saja.

“Kau dulu.” Kata saya pada Faqih. “Nanti gantian teh.”

Ia bergaya yang tak tahu gaya macam apa dan setelah tiga kali klik—giliran  saya, dan kawan-kawan dari mobil lain datang dan bergabung menikmati alam.

“Kau pasang potrek terbaik, teh.” kata saya.

“Belum terasa.” ujar saya ketika ia mengklik tombol kamera.

“Belum terasa.” saya ulang lagi.

Dan kawan-kawan lain berhamburan mencicipi bagian alam; sementara perangkat desa yang menemani kami ini—hanya menyaksikan ulah tingkah kami yang tak ketulungan kemaruhnya.

“Jangan sampai pikiranmu khilaf mengabadikan kenangan ini, Thur!” kata salah satu kawan.

Saya mengiyakan dan tak lupa mendoakan: moga-moga tulisan ini abadi dalam ingatan menjadi kenangan.
Kamis, 30 Juni 2022 0 Komentar

Yang Menawan Mas Alan; Serupa Air Terjun Gentongan


Rabu, 29 Juni 2022

Pak Kasum mengajak kami ke gubuk singgah, yang kira-kira terletak tiga ratus meter dari tempat penginapan, tampak sangat antusias sekali ketika kami bertanya-tanya tentang aset-aset desa Kalianyar, Ijen, Bondowoso. 

"Ada sekitar delapan spot wisata, Mas, yang kita miliki: Kawan Ijen, Kawah Wurung, Air Terjun Belawan, Air Terjun Busa, Niagara Mini, Pemandian Air Panas, Lava Basaltis, Air Terjun Gentongan," jawabnya. 

Yang saya tahu hanyalah Kawah Ijen—sebelum saya datang ke desa Kalianyar ini. 

Dan saya baru tahu bahwa spot wisata di sini tidak hanya gunung yang menyemburkan api biru itu, melainkan ada banyak sekali spot-spot wisata; rasanya ingin sekali saya kunjungi satu persatu untuk memetakan aset-aset yang bisa kami tulis-abadikan, dan betapa aduhainya jika saya dapat merekam keindahan Surga Ijen itu ke dalam kata-kata. 

Tetapi waktu empat puluh hari adalah sangat terbatas dan saya pikir langkah paling efektif untuk mengabadikan momen-momen ini sedikit atau banyak akan saya tulis apa yang saya lakukan; apa yang saya rasa; apa yang saya cium; apa yang saya tatap tajam-tajam di momen itu. Dan ... 

Saya tiba-tiba teringat sesuatu, semester dua dulu, bahwa saya pernah mencatat sesuatu di peta impian lima tahun ke depan; bahwa saya pernah bermimpi menaklukkan kawah Ijen! 

Ya, saya baru ingat sekarang: Saya pernah menulis peta impian dan salah satunya adalah Kawah Ijen.

Saya menulis peta impian itu ketika berada di pesantren dan kini catatan itu mungkin bangkainya masih ada dan sudah saya pindahkan ke buku catatan harian dan kini saya benar-benar bukan saja menaklukkan Ijen melainkan saya memeluk kawasan Ijen beserta dinginnya. Apakah ini yang namanya takdir? 

Ah, saya tak mampu menjawab teka-teki misteri ini, dan tiba-tiba Pak Kasum memutus lamunan saya di tengah hamparan bukit geopark. 

"Mari, sore nanti kita lanjutkan ke Ijen Geopark, kita bisa ngopi-ngopi gratis di sana, dan besok kita lanjutkan ke spot wisata lain.” pungkasnya. 

Kamis, 20 Juni 2022

“Jangan panggil saya Bapak,” katanya malu-malu.

“Lalu saya harus panggil apa?” potong Liha.

Kawan-kawan pada cekikikan mendengar celoteh Liha. Dan kami tidak sabar menunggu jawaban Pak Kasum paling muda ini—yang rupa-rupa usianya tidak jauh berbeda dengan kami yang rerata berumur 22 tahun.

“Panggil nama saja,” ia jawab menundukkkan kepala, menunjukkan mati kutu dihadapan kami. “Panggil saja Alan.”

“Mas Alan?” sahut kawan.

“Ohya … Mas Alan. Gitu ya …”

“Hemm … Mas Alan.”

Saya diam memerhatikan. Faqih yang ada disamping saya cekikikan tak ketulungan.

Mas Alan manusia tangguh—setidaknya bagi saya. Dihadapan para Mbakyu, Mas Alan dengan cerdik serta tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang aset-aset desa. Empat belas orang dihadapannya tidak membuat ia lari dari pertanyaan yang agaknya seperti mendapat pertanyaan ujian sidang skirpsi.

“Saya hanya lulus SMK Mas/Mbak. Jadi maklum kalau saya bicara sama mahasiswa, kayak kalian ini, agak blepotan.”

Saya sedikit canggung mau menanggapi; agar suasana obrolan lebih segar dan tidak ada kata sungkan; Mas Alan tiba-tiba menyihir kami, “Saya masih belajar, Mas.”

Suatu sikap yang sampai pada taraf tawaduk. 

Kami mendengar dengan khidmat dan mencatat apa yang dikatanya: dari sejarah mengapa ia tiba-tiba diangkat menjadi kepala dusun watu capil, tentang keseharian pemuda di sini yang seumurannya, dan keunikan desa kalianyar ini yang memiliki delapan spot wisata itu.

“Yang satu ada dibelakang rumah, Mas.” katanya antusias.

“Dibelakang rumah?” pikir saya agak sedikit bingung.

Dan benar … kami ditunjukkan spot air terjun gantungan itu dari belakang rumah. 
“Untuk lebih jelasnya, seperti kita harus kesana,” pinta kawan. 

Kemudian kami diajak ke tempat langsung dan menyaksikan pemandangan yang memanjakan mata dan, ah …. alam luas itu terlihat di sana: gunung-gunung yang menjulang tinggi, pohon-pohon biru yang sesekali melambai-lambai, burung-burung yang menari-nari dari kejauhan, pesawat numpang lewat yang tiba-tiba saja ikut menggambar pemandangan alam, air ria yang memancur secara tiba-tiba, awan-awan yang seakan berada di atas kepala. 

“Saya ingin berlama-lama di sini …” kata saya pada satu kawan yang baru saja mengabadikan pengalaman ini.

“Cukup elegan,” ujar saya. “Terima Kasih. Anda cukup berpengalaman jadi fotografer.”

Dari kejauhan kawan-kawan mengajak Mas Alan berswafoto dan kini ia tampak lebih segar—tampak lebih menawan serupa air terjun gantungan.
Selasa, 28 Juni 2022 0 Komentar

Pelajaran Musim Dingin KKN: Subuh itu; Kawah Ijen itu; Api Biru itu...


Subuh pertama adalah pelajaran musim dingin: Saya bangkit dari tempat tidur malam itu dengan kedinginan yang tak ketulungan, hawa dingin masuk melalui lubang-lubang kecil atap rumah, melalui celah-celah jendela, berhasil menembus empat helai kain yang membalut tubuh kurus keriput saya. 

Beberapa kawan- kawan masih terlelap tidur; sementara satu dua tiga di antara sudah bangun dan pergi menuju kamar mandi dan setelah selesai menunaikan hajat lalu keluar dengan tubuh gemetar seperti orang tersengat tegangan listrik dan saya membayangkan kalau saya akan seperti mereka sebentar lagi, dengan tubuh gemetar setelah bersentuhan dengan air masjid. 

Saya memilih menunaikan hajat buang air ke masjid dan sekalian sembahyang di sana dan setelah bersentuhan dengan air itu kulit-kulit tipis ini seperti kaget dan saya pun mengambil wudu cukup satu kali basuhan dan segeralah mengikuti gerakan imam, jangan bertanya saya khusuk maksimal. 

Usai sembahyang saya melanjutkan kebiasaan mengaji dan kali ini saya tidak sendiri, melainkan mengaji bersama jamaah sembahyang subuh dan sekali saya disodorkan mikrofon menunjukkan sudah waktunya giliran saya mengaji dan setelah selesai empat halaman mushaf saya sodorkan lagi mikrofon itu dan kemudian saya selesaikan setengah juz lebih lima halaman itu mengakhiri bacaan dan memutuskan untuk melanjutkan sore nanti.

Dan saya berjalan kaki menuju penginapan KKN sendirian...

Ibu-ibu bakda subuh itu berjalan berdampingan dengan masing-masing memakai sepatu bot; dengan kepanjangan seperti kereta kencana menuju ke tempat kerja kebun atau ke ladang dan kedua tangannya mendekap erat-erat pada tiap-tiap perut dan perbincangannya yang mengeluarkan asap seperti orang baru saja merokok adalah pelajaran subuh pertama di musim dingin wilayah Ijen. 

Sesekali pandangan bola mata, saya arahkan pada gunung-gunung yang menjulang tinggi itu yang tubuhnya diselimuti asap-asap; saya membayangkan dari kejauhan; dari masjid tempat saya sembahyang subuh; akan terlihat api biru kawah Ijen menyala-nyala; seolah-olah saya baru saja sampai di sana menikmati panorama indahnya surga Ijen yang terkenal di seluruh penghujung dunia itu. 

Tetapi alih-alih saya berada di sana; musim dingin adalah rintangan menjalani pelajaran empat puluh hari di sini ialah kemelut dingin yang harus saya lawan dan harus saya pilih untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang mematikan ini. 

Menjelang mentari sebentar lagi akan muncul, tubuh-tubuh kami siap-siap bergelut dengan kedinginan hingga fajar kembali datang.
0 Komentar

Menuju Ijen: Sebuah Pengantar KKN

Dan tubuh kurus saya seperti berada dalam kulkas ketika sampai jalan menuju kawah Ijen, google maps menunjukkan bahwa perjalanan kurang lebih lima puluh lima menit lagi untuk sampai ke tempat lokasi KKN, balai desa Kalianyar.

Orang-orang pada lalu lalang dan dapat saya duga bahwa mereka sedang mencari sesuap nasi di alam liar dan sebagian lagi ke kebun dan sebagian lainnya entah kemana.

Dalam perjalanan itu bola mata saya hanya menyaksikan pohon-pohon aren menjulang tinggi serta gunung-gunung bertubuh seksi memanjakan mata penuh ketakjuban; tidak ada kicauan burung-burung di alam liar sana; hanya kedinginan menyelimuti tubuh kecil ini.

Dan empat puluh menit telah berlalu dan saya belum sampai tujuan dan kecamuk pikiran semakin liar menari-nari apakah saya tersesat dalam hujan penuh rimbunan pepohonan ini? Segera saya pangkas pikiran cemas itu; tetapi tidak saya pungkiri saya semakin cemas.

Dalam kecemasan akut itu, saya seperti tokoh Kafka dalam novel Dunia Kafka Haruki Murakami yang lari dari rumah menghindari kutukan sang ayah dan pergi menuju suatu tempat tetapi ia tidak tahu harus pergi entah ke mana, hanya petunjuk naluri ia turuti.

Saya tatap jam tangan menunjukkan lebih jam tujuh pagi; sementara acara pembukaan penerimaan KKN kurang lima menit lagi dan saya masih dalam perjalanan, saya baru ingat bahan bakar motor tinggal sedikit dan saya memutuskan untuk mengisi bensin di pinggir jalan dan saya bertanya kepada Ibu penjual bensin apakah desa Kalianyar masih jauh?

"Masih jauh, Mas," ujarnya.

Pikiran saya masih berkecamuk cemas, apakah KKN ini lebih menantang daripada KKN di Desa Penari itu?

Kecemasan semakin menjadi-jadi mengingat saya hanya seorang diri; tanpa teman; tanpa kawan; tanpa ayang tentu saja.

***
Dua hari sebelum pelepasan KKN tubuh ini terasa lemas seperti orang kurang makan empat hari; mungkin penyakit lemas itu akibat memikirkan pekerjaan belum tuntas: ujian akhir semester belum saya ikuti hingga hari ini, menulis blog pribadi belum saya isi,  rencana menulis Call for Papers ke Jakarta bersama Bu Dosen masih tahap riset, dan sebagainya.

Akhirnya saya memutuskan cek kesehatan ke klinik terdekat rumah dan hasil tes menunjukkan tensi darah saya hanya 90 dan entahlah mungkin karena tiga hari yang lalu saya lupa makan pagi hingga siang.

"Mulai kapan terasa lemas, Mas," tanya Pak Perawat.

"Sekitar tiga hari yang lalu," jawab saya.

Pak Perawat juga memastikan kepada saya untuk selalu minum teh manis serta sate kambing dan saya pikir sepertinya saya kekurangan gizi.

"Betul, sampean kurang gizi, Mas," ujarnya.

Segera saya pulang dan memastikan kepada Ibu untuk membuatkan saya teh manis dan makan sebentar sedikit untuk keperluan minum obat yang diberikan Pak Perawat.

***
Tepat pada sekitar jam tujuh lewat tiga puluh menit jam tangan saya menunjukkan bahwa tempat lokasi yang saya tuju tinggal tiga menit lagi dan tiba-tiba saja salah satu kawan menelepon.

"Sudah sampai di mana?" tanyanya.

Saya jawab sebenar lagi sampai dan jangan menelepon dulu sebab baterai smartphone saya tinggal sedikit lagi dan akhirnya, saya datang tepat pada waktunya; sementara pikiran saya masih cemas akan empat puluh hari tinggal di desa seperti musim salju ini.

Jumat, 04 Februari 2022 0 Komentar

Sakit

Serial sebelumnya, bisa baca di sini.

H+4 Kamis 27, Januari 2022

Yang paling saya khawatir adalah sakit dan kehabisan uang. Dua kepingan harta yang sangat penting dalam menjalani hidup.

Orang kaya punya setumpuk uang serta aset cukup melimpah, tetapi bila jatuh sakit, uang dan aset tidaklah berarti, dan bisa pula habis karenanya. Orang miskin sering kehabisan uang, tetapi selama mereka punya kesehatan yang cukup dan mampu untuk bekerja, saya kira mereka masih ada kesempatan untuk bertahan hidup, dan tentu saja kesempatan berbahagia.

Tetapi … bagaimana dengan orang miskin yang tak punya uang dan kesehatan mereka bermasalah? Saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa menangis. Saya pernah merasakan pengalaman tersebut (untuk tahu lebih lanjut mengenai pengalaman ini, bisa dengar di tulisan saya di sini karena berbentuk podcast) tahun lalu—pada masa krisis pandemi.

Saya tidak sepakat dengan orang kaya yang kerap mempersempit cara pandang hidup yang mengatakan, “Lebih baik jadi orang miskin daripada kaya tapi sakit-sakitan.” Well, tidak semua orang miskin itu memiliki stok kesehatan lebih! Banyak pula di antara mereka jatuh sakit karena memikirkan uang untuk menopang hidup. Jadi … mengapa tidak menjadi orang kaya yang kesehatannnya terjaga.

Tentu saja … mengapa tidak jadi orang kaya yang dapat berbagi sesamanya, tipikal orang kaya yang sulit dilakukan. 

Sakit menjadi momok menakutkan yang dapat merambat pada segala aktifitas yang sudah tersusun dengan sempurna dan ketika jatuh sakit, seperti tidak punya tenaga untuk bergerak; hidup seperti kian tak berarti; hidup bisa merepotkan orang lain; dan sakit pula merampas kebahagiaan.

Sedikit orang berbahagia karena sakit; mungkin orang-orang pilihan Tuhan saja yang dapat menjalani sakit dengan kegembiraan; dengan banyak waktu untuk berdialog dengan Tuhannya.

Ketika saya—di tempat PPL—jatuh sakit, remuklah badan saya tidak dapat bergerak; terbengkalaulah segala jadwal aktifitas yang tersusun dengan rapi; dan saya hanya mampu menulis catatan ini—sebagai obat untuk menepis sedih—;hanya mampu mengaji quran—saya tidak bisa meninggalkan aktifitas ini bagaimanapun keadaan fisik—;hanya mampu membaca buku; dan saya kehilangan waktu membantu kawan-kawan lain yang tengah sibut melakukan kewajiban.

Dan saya mungkin merepotkan mereka—karena sakit ini. 

Maka catatan ini pula menyadarkan saya pada kelemahan diri dan perlu saya meminta maaf pada kawan-kawan; dan moga-moga mereka memaafkan saya dan moga-moga saya segera pulih dari tidur panjang melelahkan ini.

Saya tidak mungkin dapat melupakan kebaikan-kebaikan mereka; tidak mungkin melupakan kepedulian mereka terhadap saya; tidak mungkin melupakan perhatian mereka selama saya sakit; tidak mungkin melupakan Mbak Pink ketika menyodorkan obat dan minuman siang itu; tidak mungkin saya melupakan kebaikan-kebaikan itu; maka kalau saja nanti saya sukses—moga-moga saja—tak-lain-dan-tak-bukan adalah karena ada peran mereka dalam kehidupan saya.

Saya ingin mencatat kebaikan-kebaikan itu agar saya tidak lupa diri. Ya … agar saya tidak lupa kalau nanti saya sukses bahwa ada peran mereka dalam kehidupan saya. Dan saya kini lupa cara menangis berkat menulis catatan ini—yang biasanya kalau sakit suka menangis khawatir banyak hal. Khawatir hidup merepotkan banyak orang.

 
;