Pergantian tahun merupakan pelajaran merenungi diri dan membuka kembali lembaran yang pernah saya tulis di PETA IMPIAN dua ribu delapan belas tiga tahun lalu adalah: dua ribu sembilan belas saya harus kuliah!
Tepat pada 2 Januari 2019, dua tahun lalu, saya menghirup udara segar di sekitar kecamatan Kaliwates kota Jember. Malam itu kedua kalinya saya berniat belajar dan mengajar untuk mengabdi di sebuah pesantren—yang sebelumnya mengabdi diri di Lampung—dengan keterpaksaan: sesungguhnya saya hendak belajar di tempat lain yang jauh lebih asyik.
Setelah perjamuan di dhalem pengasuh ada momen yang sulit di lukiskan kata-kata saat Eman berkata: “Yang sabar dalam mendidik anak orang ya, Nak. Siapa sangka di tempat ini kau menemukan jalan meraih impianmu.” Mata tiba-tiba mendung dan seketika itu gerimis.
Memang kata-kata Emak selalu mengundang motivasi belajar di satu sisi dan di sisi lain sempat menghancurkan impian saya dan kekhawatiran berlebihan Emak itulah saya kecewa lantaran tidak bisa melanjutkan studi ke luar negeri maupun di negeri sendiri. Dan saya paham mengapa Emak empat tahun lalu (saat lulus SMA 2016) tidak mengizinkan saya menempuh pendidikan di kampus dan desakan Emak, mau tidak mau, saya mengikuti perintahnya: masuk di dunia pesantren lagi dan lagi.
Belajar di pesantren merupakan alternatif terakhir bagi saya untuk tetap mengisi ke kosongan waktu dan saya pikir daripada berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan mendukung potensi diri lebih baik berjalan sembari membaca peluang.
Saya percaya bahwa keberhasilan dan kegagalan setiap orang berada pada jalannya masing-masing dan saya belajar mencari peluang dari setiap masing-masing jalan. Satu jalan yang saya tempuh adalah keberanian diri mencari relasi dan peluang.
Entah berapa ribu orang telah saya repotkan mengenai pendaftaran masuk kampus. Tawaran kuliah di luar negeri Oleh Gus dan orang-orang penting tidak bisa dibendung. Jika saya ambil kesempatan itu maka besar kemungkinan saya berhadapan lagi dengan kebijakan kedua orang tua dan peluang restu kecewa jauh lebih dominan sebab kedua orang tua bukanlah orang yang, bisa dikatakan, awan dalam dunia pendidikan.
Pertimbangan besar orang tua jika saya kuliah di luar negeri maupun di negeri sendiri adalah biaya kuliah yang mahal!
“Kau boleh kuliah asalkan dapat beasiswa. Emak dan Bapak hanya mampu membiayaimu pendaftaran saja dan selebihnya kau berusaha cari biaya hidup sendiri di kampus.” Katanya.
“Enjeh, asalkan Bapak dan Ibu merestui kulo kuliah. Kulo akan berusaha cari beasiswa. Dan kulo mohon restu agar dimudahkan pendaftaran kuliah di IAIN Jember.”
Puluhan dosen saya temui untuk registrasi pendaftaran dan menanyakan bagaimana agar saya bisa mengikuti seleksi pendaftaran mahasiswa baru. Bukan karena saya tidak bisa mendaftarkan diri sendiri lewat jalur online. Bukan pula saya awam dunia internet. Bukan! Saya gagal melakukan pendaftaran kuliah karena ijazah SMA saya sudah kadaluarsa!
Dan saya kecewa beribu-ribu kecewa pada diri sendiri maupun kepada kedua orang tua mengapa baru tahun ini saya di restui untuk bisa kuliah. Penolakan IAIN Jember telah bikin hidup saya seketika jadi ORANG KAFIR karena telah putus asa dari rahmat Tuhan yang Maha Baik. Saya KAFIR telah mendustakan nikmat yang begitu banyak Tuhan berikan kepada saya—bukan kafir dalam pengertian akidah, tentu saja.
***
Seiring berjalannya waktu saya sakit sekitar setengah bulan dan saya pulang dari pesantran untuk sementara waktu dan kesempatan kuliah tahun ini saya pastikan gagal lagi karena pendaftaran Gelombang Mandiri telah di tutup.
Entah mengapa Tuhan izinkan diri saya sehat kembali meskipun saya masih ada rasa kecewa kepada orang tua dan orang tua menyuruh segera saya kembali ke pesantran—dengan cara halus orang tua mengusir saya jika kelamaan di rumah—dan saya menolak, tetapi pada akhirnya, saya kembali lagi ke persantren berkat bujukan paman.
Saya ingat: betapa waktu itu saya termasuk golongan anak durhaka kepada orang tua karena telah berani membantah dan membikin Emak menangis dan sewaktu saya pamit kembali ke pesantren, saya cium kedua telapak tangannya dan memohon maaf atas perilaku bangsat anak yang tak tahu diri ini.
Lagi-lagi Emak berkata. “Siapa sangka di pesantran itu kau menemukan jalan meraih impianmu.” Ia menangis tersedu-sedu. Satu dua tiga hari saya mulai sadar bahwa orang tua adalah segala-galanya untuk meraih impian hidup saya kelak.
Di pesantran saya tidak diam begitu saja. Bapak Babun selaku rektor IAIN jember itu saya datangi rumahnya berkali-kali, namun, apalah daya Tuhan mengajari saya tentang kesabaran dan kata-kata Pak Rektor itu telah bikin saya kembali putuh asa dari rahmat Tuhan. “ Di sini bukan tempat pendaftran kuliah. Kalau mau daftar kuliah di kampus besok hari Senin.” Ujarnya tanpa mempersilahkan saya masuk sebagai tamu Agung. Saya kira Pak Rektor perlu ngaji kitab Ta’lim al-Muta’allim.
Entah mengapa beberapa hari kepulangan saya dari rumah Pak Rektor itu. Saya berselancar mencari informasi di internet mengenai pendaftaran mahasiswa baru di seluruh kampus PTKIN, dan ternyata, IAIN jember kembali membuka pendaftaran Mandiri Gelombang Kedua: akhirnya saya dipersilahkan untuk melakukan registrasi pendaftaran oleh admin—yang saya hubungi contact person yang tertera dan beberapa hari seteleh mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru saya dinyatakan lulus seleksi dan berhak melakukan pendaftaran ulang dan seketika itu saya diterima menjadi mahasiswa baru di kampus IAIN Jember yang pernah bikin hidup saya jadi pemuda KAFIR.
***
Jauh hari sebelum masuk dunia kampus saya banyak bertanya kepada puluhan mahasiswa tentang dunia akademik dan pembelajaran di kampus, katanya asyik, dan peluang mendapat Dhi’Ajeng jauh lebih mudah dibandingkan mendapat gelar sarjana.
Dengan kata lain, mencari pacar di kampus jauh lebih mudah, Boi, daripada mencari buku referensi untuk penulisan skripsi sebagai syarat gelar kesarjanaan kita!
Setelah mengenal dalam dunia kampus satu di antara puluhan mahasiswa/i yang pernah saya tanyakan mengenai organisasi dan komunitas yang bergerak dibidang kepenulisan dan mau mengajari bagaimana menulis jurnal yang baik katanya: Intellectual Movement Community (IMC).
Tentu saja saya tidak langsung percaya begitu saja tanpa ada pembuktian jawaban mereka dan seketika itu saya jadi stalker: mengintip kegiatan komunitas Intellectual Movement Community (IMC) melalui Instagramnya dan karena saya cukup banyak menemukan ke-cocok-an di komunitas IMC. Pada 10 November 2019 saya melakukan pendaftaran sekaligus pengumpulan persyaratan sebagai anggota baru dan pada 20 November saya dan beberapa calon anggota lain melakukan interview.
Masih segar dalam ingatan pada malam setelah interview entah berapa kilo meter saya menempuh jalan kaki menuju pesantren untuk pulang—dari kampus ke Kaliwates Pondok Pesantren Miftahul Ulum.
Menunggu angkotan kota tak kunjung datang dan karena terlalu larut malam saya memutuskan berjalan kaki sembari menikmati alunan bising pada malam hari di mana saya merasakan bahwa hidup memang tak melulu soal bahagia itu sederhana dan nasihat “jangan lupa bahagia” sepertinya harus mempertimbangkan keadaan saya alami malam itu dan mari kita katakan “kebahagian akan dirasakan oleh orang-orang yang menerima terpaan cobaan dan mampu melaluinya dengan kesabaran; dan kekesalan akan dirasakan oleh orang-orang yang, meski cukup klise, tidak mau bersyukur.” Kekesalan itu ada karena saya gagal merawat kebahagian menikmati proses yang berliku-liku.
Usai menikmati bising malam di trotoar jalanan dan sesampai di asrama pesantren saya buka smartphone bagian fitur yang lazim, WhatsApp, saya mendapati banyak pesan masuk, terutama grup, dan saya buka kali pertama grup WhatsApp Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa 2019), dan kawan-kawan banyak mengucap kata-kata klise. “Selamat Fathur Roziqin diterima sebagai penerima beasiswa bidikmisi 2019 dan bla bla bla…” seketika itu saya sujud syukur puluhan menit dan saya kegirangan bukan main malam hari yang melelahkan itu: betapa karunia Tuhan sangat indah sekali.
Setelah menjalani kehidupan berbulan-bulan penuh kerumitan terkait pendaftaran masuk kampus, akhir cerita, Tuhan memberi hadiah lain kepada saya dengan menguji hambanya menjadi KAFIR dulu. Oh… betapa rendahnya iman saya waktu itu.
Pada kesadaran yang mencuat saya belajar tentang banyak hal—tentang kesabaran, keikhlasan menerima, menjalani perjuangan, dan ketulusan berbakti kepada orang tua maupun segenap lapisan masyarakat—baik ketika masuk dunia kampus maupun dunia komunitas yang bernama Intellectual Movement Community (IMC).
Beberapa minggu setelah interview saya, tentu saja, menunggu akhir keputusan juri dan panitia Open Recruitment Kader Baru dan saya dinyatakan resmi sebagai kader baru di Intellectual Movement Community (IMC) angkatan ke-5 pada akhir November 2019 bertepatan semester perdana sebagai mahasiswa baru.
Betapa melelahkan saat-saat dimana saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru, penerima beasiswa bidikmisi, dan sampai penerimaan anggkota baru kader Intellectual Movement Community (IMC). Lagi lagi saya belajar satu hal: kesabaran. Dan hal lainnya, tentang rahasia doa orang tua. Ya… rahasia doa kedua orang tua itu adalah senjata bagi saya, bagi Anda, bagi kita semua.
Tentang PETA IMPIAN dua ribu sembilan belas: menjadi mahasiswa, mahasiswa penerima beasiswa, mahasiswa yang belajar menulis (di komunitas IMC)—kini tercapai sesuai harapan. Semoga tahun ke tahun upaya menggapai impian menjadi kenyataan. Amin.
***
Baca selanjutnya:
0 Komentar:
Posting Komentar