Minggu, 23 Mei 2021

Bagaimana Perasaan Ibu Saat Itu?

Eksesif awal kali pertama masuk pesantren menyebabkan anak lupa bahwa ada hati yang berkecamuk tak kuasa; yang tak bisa dijelaskan perihal berpisah dengan keluarga; dan anak tak mungkin tahu bagaimana sesungguhnya perasaan seorang Ibu ketika akan di tinggal anaknya belajar di pesantren. 

Hampir semua wali santri, Ibu, ketika memasrahkan anak masuk pesantren tak kuasa menahan letupan air mata. Saya tahu itu semenjak menjadi pengurus pesantren. Dan saya teringat, akan selalu teringat, dalam ingatan yang cukup tajam bahwa Ibu saya dulu pernah merasakan apa yang dirasakan Ibu wali santri: Ibu menjatuhkan air mata saat menitipkan anaknya ke dunia baru yang bernama pesantren. 

Memutuskan belajar di pesantren satu keputusan yang sedari kecil saya impikan, semenjak lulus madrasah ibtidaiyah. Dan baru terwujud masuk pesantren pada kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Mengingat saya hanya seorang anak buruh tani, saya tak cukup hanya meminta (hendak mondok) belajar di pesantren. 

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu saya bekerja, dengan menjadi tukang pembuat tasbih, dan sebagai tambahan biaya, saya mengikuti arisan tiap minggu, yang di dalamnya ada Institusi Yasinan dan berbagai doa azimat lainnya.

Lambat laun rezeki mulai terkumpul dan Ibu memberi tahu bahwa tabungan hanya cukup buat pendaftaran. Saya yakin belajar di pesantren akan segera terwujud. Itu cita-cita yang tak bisa dilupakan hingga hari ini. 

Dengan harapan tinggi, saya dan keluarga, berdoa dalam tiap obrolan ringan; dan harapan satu satunya, kala itu, mendapat jatah turunnya nama Ibu dalam arisan yang, tentu saja, uang hasil arisan itu cukup untuk pemberangkatan saya masuk pesantren, sekaligus keperluan lainnya. Dan harapan itu terwujud sebelum akhir tahun 2011.

Tepat pada Sore, Ahad, 28 November keluarga, dan guru sekaligus paman, mengantarkan saya ke pesantren. Dan perasaan senang akan belajar di pesantren membuat saya lupa bahwa di balik layar kebahagiaan itu Ibu menangis saat saat di mana saya akan tidur di kotak kamar yang ukurannya 3x4 cm. yang kemungkinan akan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, kecuali liburan, saya tak lagi di rumah. 

Kini atau bahkan nanti, air mata itu tak mungkin dapat dijelaskan atau bahkan dirasakan, sampai saya nanti menjadi orang tua, saya tak pernah mungkin tahu: bagaimana perasaan Ibu saat itu.

Jika ada cinta yang paling murni nan suci, maka cinta itu hanyalah ada dalam hati seorang yang bernama Ibu. 

Jika ada air mata yang paling syahdu pilu, maka air mata itu menetes, saya melihat, pada saat itu
***
Baca selanjutnya:

2 Komentar:

Azwa Kamar mengatakan...

Ziarah sini

Fathur Roziqin mengatakan...

Ziarah di mana, Bro.

 
;