Tampilkan postingan dengan label Intuisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intuisi. Tampilkan semua postingan
Jumat, 10 Mei 2024 0 Komentar

Apa Tujuan Kita Saling Mencintai dalam Ikatan Pernikahan?

Saya kok tiba-tiba gatal ingin membahas tujuan pernikahan dan kaitan menafsir puisi masyhur Eyang Sapardi ini ya.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Barangkali kita perlu duduk sejenak untuk memikirkan ulang tujuan sebuah pernikahan. (Khususnya yang belum menikah atau boleh juga yang sudah menikah karena tersesat di tengah jalan misalnya). Sebab kadangkala kita lupa apa tujuan pengambilan keputusan dalam institusi pernikahan. Seolah-olah tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan ialah kebahagiaan. Begitukah tepatnya?

***
Sebagian pembaca menangkap puisi itu ala kadarnya: cinta bertepuk sebelah tangan atau cinta yang tak direstui atau nada tafsir serupa lainnya. Padahal maknanya, menurut tinjauan analisis saya sebagai penggemar puisi bagus, tidak sesederhana itu.

Mari coba kita bedah kemungkinan lain makna mendalam puisi masyhur itu.

Saya menangkap makna puisi ini sebentuk pembuktian cinta sejati, sebentuk pembuktian cinta ilaihi dua insan, sebagai suatu ungkapan "yang tak sempat diucapkan" Kasih (K: besar) yang telah, atau pasti, sampai pada maut, pada akhir kehidupannya.

Dalam ketidakmampuan mengungkapkan isi hatinya itulah Kasih mengibaratkan perasaan kekasih yang, atau akan, ditinggalkannya seperti kayu yang menyerahkan diri kepada api; seperti awan kepada hujan. Karena itu, katanya, "aku ingin mencintaimu dengan sederhana" saja, meskipun tidak sesederhana itu pada kenyataannya.

Seolah-olah Kasih yang telah, atau akan, meninggal itu ingin mengatakan demikian. Coba perhatikan pada bait pertama.

"kayu kepada api yang menjadikannya abu"

Kamu berkobar tanpa aku. Kamu harus tetap hidup meski tanpa aku. Begitulah kayu kepada api. Kayu yang tampak kokoh akan menjadi abu tak kala kamu semakin berkobar dilahap api kesedihan. Semakin berkobarnya kamu, semakin aku tiada.

Kemudian semakin terang maknanya pada bait berikutnya.

"awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"

Kamu deras tanpa aku. Kamu harus tetap bahagia meski hidup tanpa aku. Begitulah awan kepada hujan. Awan yang tampak kelabu akan semakin deras tak kala kamu menangis dikoyak hujan kesedihan. Semakin menangis kamu, semakin aku deras. Begitupun kamu sayang. Seolah-olah begitu, aih.

Lalu apa tujuan kita saling mencintai dalam ikatan sebuah pernikahan jika pada ujung ceritanya perpisahan?

Secara spontan kebanyakan orang akan menjawab adalah kebahagiaan. Bagi saya bukan. Tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan bukan kebahagiaan, melainkan mempersiapkan pasangan satu sama lain untuk mampu berdiri tegak bertahan hidup meski kelak akan berpisah. Berpisah dimaksud hanya sekadar perpisahan secara jasmani, sementara secara rohani pada hakikatnya kita tidak pernah berpisah; sebab kerajaan kita bukan di dunia, melainkan di akhirat. 

Puisi Eyang Sapardi ingin mengungkapkan makna cinta yang tersirat semacam itu. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ..." Meski kita tahu mencintai tidak sesederhana itu. 

Bukankah setelah kepergian Kasih yang kita cintai itu akan tetap melekat abadi dalam kenangan hati dan pikiran? Bukankah begitu keimanan kita dalam perjanjian agung bersama Allah di hadapan bapak penghulu itu?[]

Sabtu, 31 Desember 2022 0 Komentar

Refleksi Tahun Baru Biasa Saja

: sekadar catatan skripsi selanjutnya

Dear Fathur,

Kini telah memasuki pergantian tahun yang dianggap banyak orang tahun baru. Tapi, sepakatkah tahun itu bagimu benar-benar baru? Tampaknya kamu tidak begitu peduli terhadap anggapan bahwa tahun itu benar-benar baru. Sebab kamu tidak begitu menaruh perhatian setiap pergantian tahun. Kamu mungkin akan dianggap bodoh jika tidak punya anggapan sama tentang tahun baru seperti kebanyakan orang dan mungkin orang akan menganggap kamu kolot jika tidak merayakan tahun baru dengan gegap gempita seperti hari ini. 

Secara pasti kamu tampak menghiraukan pemaknaan tahun baru menurut kebanyakan orang itu bukan. Hebat. Kamu memang harus berbeda dari kebanyakan orang sebab kamu diciptakan oleh tuhan tidak untuk selalu sama dengan orang lain. Kamu harus menciptakan pemaknaan sendiri apa itu tahun baru. 

Misalnya, kamu memahami tahun baru sebagai hari pengingat saja bahwa kamu harus belajar untuk mengoreksi, dalam segala hal,  secermat dan sebaik mungkin hari-hari yang telah berlalu sekiranya masa depanmu lebih cerah dan tidak melulu itu-itu saja. Artinya, setiap pekan bahkan setiap hari kamu harus dan dituntut oleh dirimu sendiri untuk memberi makna hari itu sendiri tanpa harus terikat pergantian tahun yang setiap tahun pasti itu bakal terjadi. 

Oleh karena itu, meskipun pemaknaan tahun baru ini mungkin agak culun menurut orang lain, tapi kamu harus berpemahaman demikian, dan, jangan lupa, kamu harus merevisi pemahaman ini jika suatu saat nanti kamu menemukan pemaknaan tahun baru yang lebih segar.
*
Sejak dua minggu ini, tampaknya kamu banyak malas-malasan dibanding bulan-bulan lalu sebelum kamu melaksanakan seminar proposal. Kamu tampak begitu santai dan banyak menyia-nyiakan waktu begitu saja dan larut dalam permainan media sosial hingga lupa waktu belajar. Padahal sebelumnya kamu tampak begitu gigih mengerjakan tugas kuliah hingga berjam-jam menatap laptop dan menelaah pelbagai buku agar kamu bisa mengikuti ujian proposal akhir semester lalu. 

Namun hari ini kamu membuat kebiasaan yang begitu mencemaskan masa depanmu. Kamu harus ingat kawan pesan Benjamin Franklin pernah menulis bahwa kita mungkin bisa menunda, tapi waktu tidak mungkin menunggu. 

Saat ini kamu telah melaksanakan seminar proposan meskipun hasil proposalmu tampak begitu hancur—dan sepertinya kamu terlampau bersemangat menulis di bagian latar bekakang hingga lupa bahwa latar belakang yang kamu tulis sebenarnya tidak begitu penting—setidaknya menurut penguji itu. 

Apa yang kamu tulis ternyata tidak sesuai ekspektasi dosen penguji, baik dalam aspek aturan penulisan karya tulis ilmiah, catatatan kaki yang, boleh dikatakan, hancur semua, hingga metode penelitianmu yang menabrak aturan pada umumnya.

Tapi kamu harus bersyukur dan berterimakasih karena telah dikoreksi dengan teliti oleh dosen pembimbing dan pengujimu. Dengan begitu kamu tahu letak kesalahan dan kebodohanmu dan tahu apa yang harus kamu lakukan saat ini untuk memperbaiki semua itu.

Sebagai kembaranmu, aku tahu kamu menjadikan sejarah sebagai latar bekakang; bukan interpretasi sebagai latar bekang—yang seharusnya memang demikian saran dosen pengujimu itu—jika kamu menulis proposal, Kontekstualisasi Zakat: Studi Reinterpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Q.S At-At-Taubah [09]: 60. Namun kamu lupa atau (mungkin) pura-pura lupa menjelaskan interpretasi penelitianmu itu dalam latar belakang. 

Kamu memakai sejarah sebagai latar belakang dengan alasan, yang pada saat ujian kamu lupa untuk mengutarakan maksudnya, untuk membatasi pembahasan yang nantinya memakan banyak halaman. Tetapi tidak mengapa jika kamu mengikuti saran dosen pengujimu itu sebab memang saran itu layak kamu pertimbangkan ulang—seperti semula kamu berencana demikian. Dan ingat! kamu tidak bisa merasa paling pintar dan menutup diri dalam hal ini sebab kamu masih bau kencur dalam penelitian pustaka. 

Dengan alasan itu, kamu tampak begitu bergairah memaparkan banyak hal tentang sejarah bagaimana zakat pada zaman Nabi Muhammad kala itu dan lupa bahwa seharusnya kamu memaparkan nanti pada subbab hasil penelitian. Tapi, aku kira kamu cukup berhasil, yang sebenarnya itu penelitian berat menurut kebanyakan kawan fakultasmu, setidakanya kamu mampu menyelesaikan proposal sampai detik akhir semester tujuh ini. 

*
Tampaknya saat ini kamu membuang banyak waktu luang hingga kamu leha-leha akhir-akhir ini.  Padahal sudah waktunya kamu melanjutkan proposalmu yang terbengkalai dua minggu ini. Jangan banyak alasan kamu tidak bisa menulis atau alasan apalah, sementara dalam kepalamu sebenarnya sudah penuh apa yang bakal kamu tulis.

Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah melawan rasa kemalasam dan keculasan dirimu sendiri bahwa kamu bakal menyelesaikan dalam waktu dekat, sebenarnya perasaan demikina adalah omong kosong ilusi malasmu. Itu alibi saja. Itu alasan yang dibuat-buat oleh dirimu sendiri dan tidak mau menulis cepat-cepat yang sebenarnya itu jauh lebih efisien.  

Maka, sejak aku menemanimu malam ini, mendengar keluh cemasmu saat ini, kamu harus menulis secepat-cepat mungkin tanpa harus merasa terintervensi oleh aturan-aturan kaku kampus agar tidak mengantarkanmu dalam kemustahilan merampungkan skripsi secara bagus.

Bukankah masih ada waku lain bagimu untuk menyelesaikan pekerjaan mengedit setelah menulis awal rampung. Kamu tidak bisa menulis sambil banyak mengedit bagian-bagian yang sebenarnya bisa kamu benahi pada akhir nanti. Maka, menulislah secepat mungkin dan buang perasaan yang dapat menyensor dirimu ketika menulis.

Jika minggu-minggu lalu kamu banyak melunagkan waktu yang tidak penting—dan memang kamu menganggap kemarin waktu tidak penting—maka hari ini kamu harus bergerak dan berubah untuk tidak menjadi fathur seperti tahun yang sudah lalu. 

Artinya, dalam menyambut tahun baru ini, kamu perlu persiapan mental untuk memperbaiki kualitas harianmu lebih baik lagi agar tidak sekadar mengulang tahun yang sudah berlalu.  

Jika kamu masih terus berada pada seperti tahun lalu dan tidak ada perubahan mulai hari ini, kamu hidup mandek alias stagnan. Sebab pada dasarnya kamu sedang berhenti di jalan kehidupan dan tidak berkembang lebih baik. 

Dan, mulai hari ini, kamu harus banyak melihat waktu kosong sehingga bisa kamu manfaatkan dengan kegiatan positif dan gunakanlah waktu sebaik dan semaksimal mungkin, sebab jika kamu terus-menerus berada dalam kemalasan dan terjerumus pada kekosongan waktu—seperti itulah kelak cerminan masa depanmu.
Jumat, 04 Februari 2022 0 Komentar

Sial

Ini adalah perasaan paling sial yang pernah singgah, racun yang tak tercium oleh waktu, digerogoti oleh peristiwa-peristiwa memilukan, yang tiap hari melangkah ke sebuah arah, namun tak tentu menemukan tempat berteduh di gubuk kebahagiaan.

Persinggahan itu tak menemukan makna tepat hingga hujan arang itu membakar diri, yang menyambar-nyambar ke segala vital, yang lebur menjadi debu. 
Rabu, 15 September 2021 0 Komentar

Fiksi

Fiksi tidak bicara tentang cinta, rindu, kangen, sedih, atau bahagia. Fiksi bertutur, dalam sebuah teks, tentang bagaimana orang-orang tersengat penyakit cinta, kangen, sedih, bahagia, rindu, dan sebagainya. Dan fiksi hidup. 

Dengan cara demikian, cerita-cerita fiksi tak mungkin terkesan klise. Bisakah kita bercerita cinta tanpa harus menggunakan kata cinta? Sangat bisa. Bisakah kita curhat soal rindu tanpa menggunakan kata rindu? Sangat bisa.

Bagaimana cara? Caranya: belajarlah membuat detail kehidupan. 
Rabu, 04 Agustus 2021 0 Komentar

Di Kota Ini

Di kota ini, 
tak ada orang tahu
tentang seorang kakek nenek
saban hari perut tak terisi nasi
Ia berobat tabah, menghadapi wabah

Si kaya pura-pura
tak sadar akan murka, 
dunia seolah milik mereka

Di kota ini, 
ada seorang politikus
yang lebih rakus daripada tikus
uang kertas jadi identitas
Seperti kapas, bicaranya melayang-layang
sok sok'an bicara keadilan

Adakah di Kota Anda
manusia semacam mereka? 

Di kota ini, 
virus menjadi-jadi 
politisi sibuk makan sendiri 
bicara beras, hak rakyat dirampas

Di kota ini, 
kami butuh sesuap nasehat
bukan penjahat, bukan pula pesulap 
yang selalu mencuri uang rakyat

Di kota ini, 
Adakah keadilan 
yang dinanti-nanti? 

Adakah secangkir kopi 
untuk pagi hari nanti?
Sabtu, 31 Juli 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Pada sunyi aku lantang 
menerjang karang, 
menerjang ombak, 
menerjang arus, 
Pada-Mu Maha Kudus

Di kesunyian, 
aku menari-nari 
pada malam menjerat
pada hati yang pekat
Pada-Mu Maha Dahsyat

Di kesunyian, 
aku menerpa seorang diri
buih-buih sesal kian gentar
atas dosa-dosa kian menjalar

Sekuntum doa
melangit-langit dan harap
'ku pada sunyi menjadi saksi
atas pertaubatan ini, ini puisi menjadi saksi, 
kepada Yang Maha Suci
Kamis, 15 April 2021 0 Komentar

Bersemedi di Gua Luka

Aku memutuskan untuk menjauh bukan berarti membencinya. Tetapi karena aku melindungi diri dari luka. 

Aku memutuskan untuk diam bukan berarti ingkar perhatian. Tetapi karena cinta kian mendalam mengajak untuk berkata jangan. Karena engkau terlalu suci untuk aku nodai. 

Aku memutuskan untuk tertawa dalam kerumunan. Untuk menunjukkan inilah aku di mata kawan bahwa aku lebih baik sendirian meskipun dalam kesakitan. Dan kini aku memutuskan untuk bersemedi di gua luka. 
Sabtu, 13 Maret 2021 1 Komentar

Antara Aku dan Kamu: Siapa Yang Paling Rindu?

Antara aku dan hujan: siapa yang paling deras? 
Antara aku dan api: siapa yang paling membara? 
Antara aku dan kunyit: siapa yang paling getir? 
Antara aku dan merah: siapa yang paling berdarah? 
Antara aku dan bumi: siapa yang paling subur? 
Antara aku dan dedaunan: siapa yang paling gugur? 
Antara aku dan angin: siapa yang paling tak terlihat? 
Antara aku dan ranting: siapa yang paling kering? 
Antara aku dan padang pasir: siapa yang paling gersang? 
Antara aku dan kamu: siapa yang paling rindu? 
Jumat, 12 Maret 2021 0 Komentar

Andai Kau Tahu, Aku

Tentang aku 
yang merindumu 
sepanjang waktu

Pada waktu aku berharap
suatu saat tabir cinta akan tersingkap
tentang aku, yang mencintaimu
dalam kesunyian, dalam jeritan

Puisi ini jeritan 'ku
yang tak mampu
meredam api rindu

Di kesunyian, 
api menyala-nyala
Tak dapat 'ku duga 
cinta membuatku gila

Andai kau tahu, 
Diam-diam aku mencintaimu. 
Minggu, 07 Maret 2021 0 Komentar

Bapak Rindu, Nak

Ibu tak pernah bilang kalau Bapak merindukan 'ku, Ibu bilang bahwa Bapak hanya menanyakan bagaimana kabarku. 'Alhamdulillah baik-baik saja, Bu.' jawabku di telepon seluler. 'Ku pikir itu hal biasa. Sama halnya Ibu sering menanyakan kabarku. Tak ada tanda-tanda bahwa Bapak merindukanku. 

Aku tak tahu bagaimana perasaan Bapak sebenarnya. Yang aku tahu tentang Bapak bahwa ia manusia paling kuat, dalam segala hal. 

Bapak tak pernah bilang "aku merindukanmu, Nak," tak pernah, sekali pun, tak pernah. Jika ada manusia paling kuat di dunia ini--dalam hal rindu--aku berani mengatakan Bapak paling kuat. Tak ada yang lain. 

Ibu? 

Ibu tak kuat dalam satu hal. Ibu terus terang bahwa ia merindukanku ketika aku jauh dalam penglihatannya. Bahkan Ibu menangis. Ia tak mampu menahan kerinduan pada anaknya. 

Sampai kini aku tak mampu menafsirkan perasaan Bapak: Apakah ia merindukanku? Atau ia pura-pura kuat saja? 

Ah, aku ingin tahu isi hati Bapak. Agar tahu bagaimana perasaannya. Diam-diam pada long-long malam aku berdoa pada Tuhan meminta dibukakan tabir hati Bapak. Tiba-tiba aku terlelap tidur dan Bapak hadir dalam mimpi: Ia memelukku, erat sekali. 

25, Februari Jember.
0 Komentar

Yang Paling Mencintai

Yang paling mencintai di dunia yang fana ini adalah orang yang melahirkan kita, Ibu. 

Kita bisa membayangkannya sebagai malaikat: tanpa pamrih, meski letih. Kita lupa berterima kasih

Kita bisa membayangkannya sebagai guru kehidupan: mengajari kita bangun dari jatuh, mengajari kita melihat apa yang tersingkap, mengajari kita tersenyum dikala sakit, mengajari kita bahagia ketika duka, mengajari kita bersyukur dikala kufur, mengajari kita segalanya, tentang cinta. 

Aku tak mampu melukis jasa-jasa ibu 
Dalam sajak-sajak tentang Ibu
Aku pilu, tersedu-sedu. 

23, Februari Jember
Jumat, 05 Maret 2021 0 Komentar

Kini Aku harus Jujur

Kini aku harus jujur padamu, kawan, bahwa pada saat kita "membentuk lingkaran pertemanan" kau tampak mementingkan dirimu sendiri tanpa memikirkan diriku yang juga membutuhkanmu. Biar aku jelaskan lebih lanjut kawan:

Saat kau punya setumpuk masalah kau luapkan seluruh masalahmu kepadaku dan aku mendengarnya dengan khidmat karena aku tahu bahwa masalahmu adalah masalahku. Tetapi apakah kau pernah merasa, kawan, bahwa aku pun memiliki masalah yang sama dan kau tak acuh terhadap itu atau bahkan kau rapat menutup telinga. Seolah hanya masalahmu saja berhak mendapat porsi penyelesaian. 

Kasus percintaan, misalnya. Kau bercerita kepadaku bahwa kekasihmu saat ini 'selingkuh' dan ia meninggalkanmu dan kau tak menerima perlakuan kekasihmu yang telah mendua yang telah muak: diam-diam kau lari kepadaku meminta menemanimu yang sedang hancur dan aku pun terlibat dalam kolam kesedihanmu. 

Oh, kini aku dapat menangkap arti "lingkaran pertemanan" itu: teman yang baik adalah teman yang menjadi wadah kesedihan. Tapi ... apakah pantas kau seret kawanmu dalam kesedihanmu? 

Ah, tak apa, kawan, selama itu satu-dua-tiga kali kau meminta aku menemanimu. Persoalannya kau berulang kali menyeret aku dalam kesedihanmu dan kau tak mendengar fatwa terbaikku. 

Oh, tidak! Fatwa itu cukup kau pikir saja. Jika cocok kau pakai dan, kalau tidak, segera kau tutup telingamu dan izinkan aku berkata. "Suruh siapa berani bercinta kalau tak sanggup menahan luka."

Kini aku harus jujur padamu, kawan, tentang dunia perkuliahan kita. Aku bukanlah tempat dewan konsultan yang tahu segala hal terkait mata kuliah yang kau tempuh. Aku hanyalah manusia biasa yang diberi (sedikit) pengetahuan untuk kejujuran dan kau tak bisa terus menerus mengeluh lalu membanting tugas(kuliah)mu kepadaku dan aku kasihan kepada orang tuamu jika aku membiarkanmu dalam kemalasan. 

Maka hari ini, dengarkan aku, patut kau merenung; masalahmu bukanlah masalah orang lain. Dan jika kau libatkan masalahmu sebagai masalah orang lain, sungguh kawan yang baik bukanlah yang merepotkan, tetapi yang dapat memberi meski untung rugi tak harus jadi tolak ukur kawan sejati. 

Kini aku harus jujur padamu, kawan, tentang kebutuhan harianmu. Seperti yang kau tahu, kawan, bahwa aku hanyalah sepotong mahasiswa yang kuliah bergantung pada beasiswa. Dan kau masih  mengulik solidaritas sumbangan jajan kuliahmu. 

Ah, sepertinya aku tak perlu perhitungkan soal ini. Tetapi kawan, saat kau tak punya finansial untuk merokok dan kau lari meminta hak untuk ketenangan harianmu; sungguh aku lebih senang membantumu jika finansial itu kau peruntukan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Semoga lain kali aku (masih) mampu membantumu, kawan. 

Kini aku harus jujur padamu, kawan, dan izinkan aku bertanya mengapa di antara kita seperti "ada dinding pembatas" yang sulit di satukan. Bukankah kau sering berdendang-berdengung bahwa kita adalah keluarga? Tetapi wacana kekeluargaan itu ternyata sekelumit kau implementasikan hanya orang-orang tertentu saja - tak punya arti selain "omong kosong".

Hidup dalam fakultas organisasi atau komunitas atau prodi atau klub apapun itu istilahnya mengapa di setiap lingkaran itu mesti ada kelompok-kelompok yang, jika boleh aku sebut, mementingkan kelompoknya sendiri atau membanding-bandingkan atau bahkan meng-anak-tirik-an liyan. 

Dan ketika kau membutuhkan, diam-diam,  sadar atau tidak, kau seret aku dalam lingkaran pekerjaanmu dan, aku akan lapang dada jika itu dapat menyatukan kita nantinya tanpa melihat sekaligus membatas-batasi ruang kekeluargaan kita dan, mesti diingat, tak cukup kau membangga-banggakan orang-orangmu saja dan tak harus kau tutup mata jika orang yang bukan (dari) golonganmu kau persetankan mereka. 

Kini aku harus jujur padamu, kawan, tanpa aku kau bukanlah segalanya dan tanpa kau aku bukanlah segalanya dan tanpa bersatu persahabatan hanyalah keakraban semu dan pertalian-keterikatan antar aku dan kau adalah makna dari "kita keluarga".
Kamis, 25 Februari 2021 0 Komentar

Apa yang kau rasakan?

Sebenarnya apa yang terjadi di antara kita:
Ketika aku menatapmu dan kau menatapku, malu-malu, apa yang kau rasakan?

Atau ketika aku dan kau beradu Aa'  melahirkan gugup gempita,
dan kau senyum manis sila,
dan aku pun salah tingkah, apa yang aku rasakan?

Aku tak tahu dan kau pun tak tahu: ritme cinta kah ini?

Mungkin ritme itu membuahkan aku menjadi kau dan kau menjadi aku,  menjadi kita.

0 Komentar

Terbaring

Kalau aku terbaring seperti ini
aku mengkhayal ada kau di sini
menemaniku

Kau suap aku
dengan bubur, 
dengan sagu, 
minuman susu

Dan aku pulih,
Diam-diam merindukanmu.

Kamis, 14 Januari 2021 0 Komentar

Hari

Kita sering mendengar semboyan "hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin". 

Di masa kecil, saya membantah pernyataan ini dengan egois. " Emang hari ini hari apa?" Pikir kala itu. 

Tentang membanding-bandingkan "hari", semestinya kita melihat dunia tak melulu soal menjadi lebih baik setiap hari, tapi kita perlu mengatur atau memastikan tak ada yang tertinggal. 

Dengan begitu, kacamata kita melihat "rumput tetangga selalu lebih hijau", dengan kacamata positif. Dengan tetap mengedepankan fokus.

Jumat, 11 Desember 2020 0 Komentar

Merindukan Bocah Kembar Yatim Piatu


Kedua bocah kembar itu meringis dan memanjakan diri saban pagi ketika bertemu sang guru ngajinya di waktu pagi untuk meminta sesuatu yaitu uang saku. Kedua bocah itu ingin sekali mendapat uang dari kedua orang tuanya. Namun sayang, kesempatan mendapat uang saban pagi tidak pernah mereka dapatkan, sebab keduanya merupakan bocah yatim piatu. 

"Pak Ustadz, minta uangnya?"

Sang guru senyum padanya, dan tidak berkata apapun atau semisal janji, hanya sebatas senyum manis ia berikan saban kali di mintai uang saku oleh kedua muridnya itu. 

Pada waktu yang sama dengan hari yang berbeda, sang guru meminta keduanya untuk membacakan Surah pendek yang menurutnya hafal. Di bacakanlah Surah al-Nasal-Nas,  dengan lantang nan mantap keduanya membaca. Kemudian sang guru memberikan uang kepada keduanya dengan nominal tidak seberapa: hanya dua ribu rupiah perbocah. 

"Terima kasih Ustadz" Jawabnya polos saat menerima uang dari sang guru. 

Lalu, dibeberkannya satu kertas itu ke langit, dan menanyakan pada uang itu. "Aslikah uang ini?" Tanyanya pada kertas itu, "Tentu saja, Kaka" Jawab sang adik kandung meyakinkan bahwa uang yang di berikan gurunya itu asli, bukan palsu. 

Riang gembira keduanya hingga melonjat-lonjat seperti baru kali pertama mendapat uang. Sang guru terharu. Baru kali ini ia menemukan murid segembira itu selama ia mengajar dua tahun dalam pengadiannya.

Namun kini ia tidak lagi melihat bahkan mendengar kabar keberadaan keduanya pun tidak. Keduanya hilang tanpa informasi jelas. Kini sang guru merindukan muridnya. Rindu... sangat rindu, mendengar suaranya yang merdu.
Rabu, 09 Desember 2020 0 Komentar

Sendiri

Bersama nyanyian sunyi
dalam hening aku sendiri
tanpamu kasih
hening kembali
nyanyian cinta ini
tanpa arti

Memetik makna sunyi
di balik awan pagi
langit kembali merintih
melihat hati kembali letih
tanpamu kasih
aku sendiri, masih sendiri
menunggumu yang suci. 
Senin, 07 Desember 2020 0 Komentar

Cinta


Cinta ada, pernah ada, akan ada dalam hati ini, tempatnya lain, waktunya berbeda. Cinta ada, dalam lubuk hati ini, sangat dalam, ia menjerit-jerit. Cinta ada, di kejauhan sana, di malam hari doa melangit. Cinta ada, dalam doa sepertiga malam, doa melangit-langit.

Tetapi aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya, sebab, ia adalah rasa yang tersirat dalam hati ini. Sementara hati adalah urusan ilahi. Manusia normal, pernah merasakan cinta. Cinta hadir yang telah lalu. Cinta yang kini, mempersiapkan suatu saat nanti. 

Cinta ada..., selalu ada..., aku masih... menunggumu yang di sana... yang manja. Cinta yang tersembunyi, saat ini, kepadamu yang suci. 
Senin, 30 November 2020 0 Komentar

Bunga Mawar Putih


Di mataku, ia tampak seperti kedua aktor perempuan kecil dalam sinetron My Heart. Seperti Rahel dan Luna. Aku menganggap ia Rahel di satu sudut pandang, seperti Luna di sudut pandang lain. Entah... perasaanku membara api cinta saat membersamainya. 

Di mataku, ia laksana taman menentramkan mata memandang. Saat aku gunda gulana, di taman Armania itu, ia datang menyapaku dan meminta mencarikan sepucuk bunga mawar putih untuknya.

"Dapatkah kau beri aku bunga mawar putih, wahai Farel?" Pintanya. 

"Tentu saja, Luna."

Aku bersegera melangkahkan kaki mencarikan sepucuk bunga mawar putih di sekitar area taman untuknya. Dapat aku rasa, betapa beruntungnya aku berdua membersamainya. 

"Ini dia, sepucuk bunga mawar putih pesananmu."

Mataku melirik pada bunga mawar putih itu, lalu membandingkan tangannya dengan bunga mawar putih yang aku berikan. aku senang..., senang sekali, mendapati bunga itu secara cepat, tak kurang lebih 2 menit saja. 

Antara tangan dan mawar sama-sama memberi aliran darah menusuk bagian hati terdalam. 

"Dak..., dik...., duk...., "

Aku sedapat mungkin bertingkah biasa. Yang sebenarnya, dalam hati tersimpan aramo bunga mawar berupa perasaan. Perasaan mendekatinya merekah ke sekitar muara taman. 

"Terima kasih Farel."

Senin, 16 November 2020 0 Komentar

Syukur

Bersyukur pada hal yang luar biasa sudah biasa. Tetapi bersyukur pada hal yang sederhana baru lebih luar biasa. Begitu... 

~Khutbah jomblo
 
;