Pengalaman yang kita serap dan masuk ke alam pikiran dan perasaan menjadi produk tindakan-tindakan kita dalam menanggapi suatu hal (baca: problem kehidupan) atas dua fungsi tersebut. Apabila satu di antara keduanya tidak berfungsi, maka yang akan terjadi adalah emosi. Benar atau tidaknya penyataan ini hanya berdasar pada pengalaman pribadi, namun saya ingin membubuhinya dengan teori neo-psikoanalisis Alfred Adler.
Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. Mungkin kita pernah memiliki cerita dan pengalaman yang sama. Mari kita saling belajar dan berproses menjadi manusia bersama-sama …
Sekadar berbagi cerita. Sejak kecil oleh kedua orangtua saya dididik kasar. Lebih-lebih ibu. Namun pada waktu-waktu tenang dan bahagia orangtua mendidik saya dengan kasih sayang dan orang lain pun saya perlakukan dengan kasih sayang (implikasi dari didikan orangtua tersebut). Maka tidak heran kemudian terkadang saya melakukan tindakan-tindakan kasar bahkan kepada orang lain. Pun sebaliknya: Perlakukan saya terhadap orangtua dan orang lain dengan kasih sayang—meskipun sangat minim sekali.
Sekali waktu, pernah saya tak mau mengikuti perintah orangtua. Saya menolak dan memberontak karena tidak ingin mengaji al-Qur’an. Alasan saya—dan ini tidak dimengerti orangtua pada waktu itu; terutama ibu—bahwa saya mendapat diskriminasi oleh kawan bahkan saudara sendiri karena saya tidak lancar mengaji.
Alasan lain mengapa saya menolak dan tidak mau mengaji adalah di tempat mengaji pun saya sering mendapat perlakukan kurang enak oleh guru. Oleh guru ngaji telinga saya sering dijewer dan saya menangis dan kesakitan lantaran tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Saya malu dan tidak ingin mengaji al-Qur’an lagi.
Lalu kini saya membayangkan dan mencoba merefleksikan ulang atas pengalaman-pengalaman masa kecil itu ke dalam kondisi kehidupan saya saat ini. Bahwa terkadang saya merasa rendah diri dihadapan orang lain. Kerendahan diri ini yang membuat saya emosional untuk mencapai kemampuan orang lain; jika orang lain memperlakukan saya semena-mena.
Bahwa terkadang saya kehilangan nalar sehat dan perasaan manakala bertindak kasar pada suatu waktu tertentu—baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Saya kehilangan kontrol emosional ketika fungsi perasaan dan pikiran sehat itu tidak bisa dikendalikan pada waktu bersamaan.
Tak heran apabila pada suatu ketika saya pernah diperlakukan oleh kawan sendiri dengan tidak “tidak semestinya”, saya marah besar dan emosi saya meluap-luap hingga kehilangan kontrol emosional; bahkan kepada orang lain yang sebelumnya tidak berseteru dengan saya. Tindakan saya seperti percikan api yang bisa melahap dan membakar benda apapun.
Meskipun emosi saya belum sampai pada tahap memaki-memaki dan menjambak rambutnya dan menjotos mukanya, hanya adu mulut saja, saya merasa bahwa ada yang salah dengan tindakan saya setelah perseteruan itu reda.
Saya merasakan mestinya pada waktu itu tidak seharusnya saya terlampau bertindak kasar kepada kawan saya itu. Tapi tindakan saya sudah terlampau berlebihan menanggapi suatu hal tersebut. Saya menyesal dan mengoreksi apa yang telah terjadi pada diri saya hingga menjadi serigala bagi orang lain.
Saya sadar dan menyadari bahwa saya kehilangan satu atau dua fungsi ini: Akal sehat dan perasaan kasih sayang kepada orang lain dalam mencerna permasalahan yang terjadi.
Apa yang saya lakukan adalah bahwa saya terlampau mengedepankan satu di antara kedua fungsi tersebut dan melupakan kedua fungsi tersebut—yang semestinya dikelola secara seimbang namun karena ketidakmampuan mengolah dua fungsi tersebut—sehingga yang keluar hanyalah emosi berlebihan dan tidak terkontrol atas dua peranan ini: akal sehat dan perasaan.
Inilah mungkin yang dimaksud oleh Alfred Adler apa yang disebut kepribadian superior. Adalah sebuah kepribadian untuk menciptakan kekuatan diri yang mengharapkan kemampuan dan kemapanan serta kesuksesan yang sama; tujuannya adalah untuk menutupi kerendahan diri dihadapan orang lain tadi.
Cerita lain sebaliknya. Pada suatu waktu saya mengobrol dengan kawan (bukan kawan yang dimaksud cerita awal). Disadari atau tidak bahwa ternyata obrolan receh saya menyinggung perasaan mitra lawan bicara dan membuat kawan itu kehilangan nalar sehat dalam mencerna maksud dan tujuan saya mengucapkan kalimat-kalimat itu yang saya semburkan ke telinganya.
Dia emosi. Dia mengumpat. Amarahnya meluap-luap persis seperti luapan emosi yang saya ceritakan di awal. Kedua kasus cerita itu mungkin saling kehilangan dua fungsi ini: Pikiran sehat dan perasaan jernih.
Padahal maksud saya tidak seperti apa yang dipersepsi oleh pikiran dan perasaan kawan saya tersebut. Maksud saya adalah begini … dan mitra lawan bicara saya menanggapi begitu …
Tetapi ya sudahlah nasi telah jadi bubur.
Kesimpulan dua cerita pengalaman ini adalah saya cenderung menyalahkan orang jika orang lain memperlakukan saya “tidak semestinya”. Pun sebaliknya: Perlakuan saya kepada orang lain yang “tidak semestinya” pasti pula menyalahkan.
Mungkin ini adalah cara pandang kepribadian seseorang memandang sebuah kehidupan yang menjadi gaya hidupnya. Seseorang cenderung menyalahkan orang lain; sementara kesalahan diri sendiri luput koreksi dari dirinya sendiri.
Konon—menurut cerita banyak orang—perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding pikiran. Sementara lelaki sebaliknya: lebih mengedepankan pikiran dibanding perasaan. Benar atau tidak menurut anggapan ini, kiranya perlu telaah ulang agar tidak sesat pikir dan menyesatkan pikiran orang lain.
Terlepas penyataan di atas (maksudnya anggapan kontradiktif tentang perasaan lelaki dan perempuan) pada kasus cerita pertama dan kedua atas pengalaman saya di atas bisa dibaca bahwa terkadang antara perasaan dan pikiran sehat lelaki dan perempuan memiliki pengelolaan emosi yang nyaris sulit diprediksi kapan perasaan harus dikedepankan dan kapan pula pikiran sehat diutamakan.
Kedua kasus itu mengindikasikan bahwa kedua fungsi itu harus sejalan secara bersamaan manakala kita dipertemukan pada sebuah kasus yang membuat diri kita nyaris kehilangan kontrol emosi. Kasus demikian hampir melibatkan banyak orang. Namun bagi orang yang paham mengolah fungsi perasaan dan pikiran ini membuat orang tersebut bijak dalam menanggapi suatu hal yang mengusik emosionalnya.
Sejak saya menyadari bahwa ada kekurangan dalam diri saya— juga orang lain tentu saja—dalam mengontrol emosional, pada saat itulah kesadaran belajar mengolah emosi adalah sebuah proses keniscayaan. Dan saya bisa menerima berbagai macam jenis manusia di planet bumi ini. Kreatifitas cara pandang demikianlah yang menuntun seseorang bergerak dari sebelumnya bringas kemudian menyadari sebuah kesalahan diri yang pernah dilakukannya; sehingga kita lebih optimistis menatap masa depan lebih baik lagi.
Pertama-tama saya harus sadar dan menyadari bahwa ada kekurangan pada setiap diri seseorang—baik saya maupun orang lain–dan keistimewaan tersembunyi yang menuntun seseorang tersebut berperilaku sesuai minat sosial.
Dengan cara itu saya—dan kita semua—belajar dan saling mempelajari kekurangan dan kelebihan kita masing-masing dan bagaimana menerima perbedaan sikap pada setiap kita yang sedang berproses menjadi manusia seutuhnya.
Memang demikianlah karakter manusia bahwa pada dasarnya proses menjadi manusia itulah paling sulit dalam hidup ini. Namun kita tak pernah lupa bukan, kalau kita hidup untuk terus saling belajar dari kesalahan-kesalahan?
0 Komentar:
Posting Komentar