Kamis, 16 Desember 2021 0 Komentar

5 Alasan Mengapa Saya Nggak Makan Ikan Laut maupun Ikan Sungai

Sebagaimana telah saya tulis di bionarasi profil bahwa saya pemuda yang nggak makan ikan laut maupun ikan sungai. Tentu menulis demikian bukanlah-tanpa-alasan bukanlah-tanpa-sejarah—(jika itu layak disebut sejarah). Saya menulis demikian ada alasan mendasar yang perlu saya klarifikasi pada siapa pun yang telah membacanya agar tidak jadi boomerang dalam pikirannya! 

Sebab sebagian kawan, yang agak menjengkelkan, yang suka ngeledek—karena saya nggak pernah mau makan ikan (laut maupun sungai) ketika acara bakaran plus makan-makan biasanya—suka kaget! Padahal dengan jelas saya katakan padanya bahwa saya ini alergi makan ikan. titik!

Entahlah … harus bagaimana lagi cara saya menjelaskan padanya dan, kali ini, daripada ngotot ngeladeni orang nggak jelas, saya lebih baik menuliskan alasan “mengapa saya nggak makan ikan” sebagai bentuk klarifikasi. Ya … saya ingin mengklarifikasi alasan saya mengapa nggak makan ikan.

Baiklah … untuk memulai klarifikasi ini izinkan saya mengutip kata-kata Gus Dur yang populer itu, “Sampaikan kebenaran walaupun lucu!”. Dengan menyampaikan kebenaran walaupun lucu tidaklah merusak esensi kebenaran itu sendiri. Dan itu tidak dosa, bukan? Titik. Tak usah dibantah lagi! Dan inilah 5 alasan mengapa saya nggak makan ikan.

#1. sejak kecil sudah tidak bisa makan ikan 

Sewaktu kecil … saya sering dibawa sepupu saudara perempuan, lebih tepat-lebih kerennya tante, dan kalau sudah bersamanya: Saya sering diberi makan dirumahnya dan, karena masih kecil, saya tidak tahu menahu makanan apa yang ia suguhi pada mulut saya. Dan ternyata lauk pauknya ikan laut! 

Seusai makan kemudian saya menyadari bahwa apa yang saya makan rasanya tidak berkenan masuk ke perut—seketika perut saya sakit beberapa menit kemudian. Muntahlah saya. Dan beberapa hari setelahnya saya jatuh sakit akibat makan ikan.

Dari sejarah singkat itulah tiap saya dibawa oleh siapa pun—khususnya para tetangga yang suka nyejeli makanan ke mulut tanpa izin orang tua—ibu selalu mengingatkan bahwa saya tidak boleh diberi lauk pauk berupa ikan laut maupun ikan sungai sebab anaknya alergi, katanya.

Oleh karena pengalaman itu bikin saya sakit perut dan terkadang sampai jatuh sakit berhari-hari, maka menghindari lauk pauk berupa ikan tidaklah cemen, dan hal itu lebih baik sekaligus alasan mendasarnya, adalah menjaga kesehatan. Dan alasan kedua inilah lebih tepatnya. Bahwa  …

#2. menjaga kesehatan jauh lebih utama

Iya … sebab itulah saya tidak makan ikan laut maupun ikan sungai sampai hari ini … bukanlah-tanpa-alasan-bukanlah-tanpa-sebab saya tidak bisa menghormati sang tuan rumah atau kawan-kawan yang gemar bakar-bakaran ikan laut ketika ajakan menggembirakan itu tidak mudah saya tolak sebenarnya. Namun karena alasan itulah kadang saya suka alasan nggak nyambung menerima ajakan mereka dan memohon maaf padanya. 

Tetapi … tetap saja beberapa di antara mereka responnya kurang respek.

Maka, saya lebih memilih menjaga kesehatan karena itu jauh lebih utama daripada sakit … ya, kan? Dan alasan saya ini … saya kira masuk akal dan bisa diterima oleh semua orang—jika manusia yang bersangkutan berkenan menerima perbedaan dan bisa menghormati.

Dari sejarah singkat itulah ketika saya mulai dewasa dan menempuh pendidikan di pesantren saya mulai bertanya-tanya perihal hukum memakan makanan tertentu yang bagi orang tersebut itu alergi dan bisa sakit. Dan inilah alasan ketiga saya mengapa nggak makan ikan.

#3. berdasarkan kaidah hukum fiqih

Ketika saya bertanya perihal hukum memakan makanan yang dapat menyengsarakan seseorang dan berimbas pada kesehatannya, maka berdasarkan ayat ini, “Wahai manusia! Makanlah dari makanan  yang halal dan baik yang terdapat di bumi…” (Q.S Al-Baqarah, 2: 168), jelas lebih baik ditinggalkan. 

Makanan yang halal belum tentu baik untuk dikonsumsi, begitu pun sebaliknya. Adapun makanan halal namun tidak baik untuk dimakan, dengan catatan tidak baik untuk sehatan tubuh, maka haram baginya, pada kasus orang tentu seperti saya ini, misalnya—yang kalau makan ikan dipastikan akan kejangkejang …!!! Ups … Maksudnya sakit tiga hari tiga malam biasanya.

Setelah sakit itu biasanya sekujur tubuh langsung timbul bintik bintik merah—seperti orang alergi. Dan inilah alasan keempat mengapa saya menolak memakan ikan.

#4. keluar bintik bintik merah dipelbagai tubuh

Anda tahu … penyakit paling memalukan di dunia ini, salah satunya menurut saya, adalah gatal gatal! Coba anda bayangkan … betapa di tempat umum orang-orang akan melihat satu orang main gitar … tiada senar tiada pula gitar tanpa petikan … hingga berdarah-darah dan, itu pernah suatu kali saya alami! 

Di dalam kelas sekolah tingkat dasar itu saya merasa … betapa bintikan merah dipelbagai sekujur tubuh itu telah menyiksa saya sampai tak fokus belajar. Dan itu sangat memalukan! Sejak saat itu saya tidak atau ibu melarang saya memakan ikan laut dan, kabar baiknya, saya lebih gampang menerima makanan apa saja asalkan jangan ikan laut ataupun ikan sungai, ayam goreng atau ayam bakar, semisalnya. (ha.ha.ha …) Dan …

#5. alasan terakhir, dengar bau ikan saja saya biasanya langsung mau muntah

Jangankan makan … mendengar bau ikan laut (terutama) saja saya hampir muntah darah. Ceritanya … siang itu, saya dan, bapak, pergi ke salah satu proyek ikan laut—di daerah Puger Pantai—yang tempatnya kumuh dengan bau ikan. Sebelum sesampainya di terminal proyek ikan laut itu saya sudah mewanti-wanti dari jauh tutup hidung juga mulut agar tidak begitu menyerap baunya. Namun naas … bau ikan jauh lebih tajam daripada bau bangkai. 

Sesampainya di proyek ikan laut itu saya tidak lagi mampu menahan bau anyir ikan. Betapa sengatan bau ikan jauh lebih menyiksa daripada sengatan cinta … Dan saya baru menyadari pengalaman itu. Berjibun-jibun panganan perut keluar dan tak mampu saya tahan sebab bau anyir di perairan pesisir pantai itu seperti orang hendak mengeluarkan sesuatu dari perut secara paksa. Dan saya terpaksa mengeluarkan muntahan isi perut itu.

Saya kapok dan tak mau lagi pergi ke pantai kalau masih ada senyatan bau ikan (juga sengatan cemburu iri melihat dipinggir pantai biasanya banyak manusia bawa pasangan). Hem… (tanpa tanda ?).
***
Itulah 5 alasan kenapa saya tidak makan ikan laut maupun ikan sungai sampai hari ini … karena sedari kecil sudah alergi, dan, ikan laut tidak berkenan masuk ke dalam perut saya. Jadi, kalau ada orang bahkan dokter sekalipun mengatakan bahwa makan ikan laut itu memberi manfaat besar bagi pertumbuhan tubuh dan kecerdasan seseorang—itu tidak cocok bagi orang tertentu seperti saya ini. Sebab, saya pengecualian dari manfaat makan ikan laut itu. Dan saya tidak mau sakit gegara makan ikan laut dengan dalih meningkatkan kecerdasan! Ya … kalau nggak belajar… hemat saya nggak bakalan cerdas! Sebab cerdas itu dibentuk, bukan saja hanya makan ikan!
Kamis, 11 November 2021 0 Komentar

Banalitas Kejahatan atas Nama Menguji Mental

Oleh: Fathur Roziqin

Setiap orang berpotensi melakukan tindak kejahatan. Sekalipun ia orang baik, berpendidikan, normal secara akal sehat dan hati nurani, taat pada aturan, namun ia akan melakukan tindak kejahatan bilamana pikiran telah buntu, tak dapat mengkritisi suatu hal, dan kurangnya daya imajinasi. Kematian Gilang Endi Saputra, mahasiswa yang meninggal saat mengikuti kegiatan Latihan Dasar (Diklatsar) Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS Surakarta itu, adalah korban dari ketidakmampuan seseorang atau si pelaku tindak kejahatan, yang tak dapat mengkritisi suatu hal, kurangnya daya imajinasi, yang biasa mereka anggap “hal biasa” sebagai tradisi penguatan (atau menguji) mental mahasiswa militanisme senioritas-junioritas organisasi kampus. 

Yang dalam bahasa Hanna Arent, seorang filsuf politik kelahiran (1906) Hanover, Jerman, disebut banalitas kejahatan.

Pasalnya, kematian Gilang bukanlah satu-satunya korban Diklatsar-Menwa ini. Pada 2013 pernah terjadi penganiyaan mahasiswa hingga nyawa melayang, selain penganiayaan kepada peserta Diklatsar lain tentu saja. 

Novaria Putri Yudianti, alumni Diklatsar-Menwa angkatan 2013, bercerita di twetternya, pada tahun itu, pernah terjadi kasus penganiayaan hingga nyawa melayang yang menimpa kawannya, Rochim Haritsah. Ia bercerita bagaimana kekejaman ketika mengikuti kegiatan selama tiga minggu (baca selengkapnya tweet: Novaria Putri Yudianti). Singkatnya, budaya kekerasan di organisasi Menwa ketika diklat dari tahun ke tahun di setiap angkatan itu benar-benar terjadi adanya. Dan budaya kekerasan di organisasi kampus kerap terjadi tanpa peduli apa dampak pada si korban. Biasanya pelaku ini berdalih bahwa tradisi tersebut adalah bekal untuk menguji-menguatkan mental mahasiswa! Dan bagi mereka hal itu dianggap “biasa/kewajaran”.

Mengatakan bahwa tradisi atas nama menguji mental dengan cara menganiaya junior itu seperti bentuk legitimasi untuk menghalalkan tindak kekerasan-kejahatannya. Adakah bukti ilmiah yang mengatakan bahwa melakukan tindak kekerasan-kejahatan kepada mahasiswa itu dapat meningkatkan mental mahasiswa? Saya belum mendengar para ahli psikolog mengatakan demikian bahkan bersentuhan dengan teks sekalipun tindakan ekstrim tersebut dapat dibenarkan secara keilmuan. Dan saya menunggu keabsahan informasi tersebut. 

Mari kita bertanya: bagaimana kekerasan-kejahatan itu bisa terbentuk, dalam sebuah aksi, bahkan orang-orang tampak baik-berpendidikan sekalipun? Mari kita mencoba melihat-memutar peristiwa pada 1961. 

Adolf Eichmann, seorang perwira yang patuh, tokoh peran penting dalam mengorganisir holocaust (pemusnahan massal), melarikan diri ke Argentina dengan identitas palsu, Ricardo Klement, namanya. Ia tinggal di bagian San Fernando di Buenos Aires. Ia diberi tugas mengatur-mengumpulkan data untuk mendeportasi orang-orang Yahudi di bawah naungan Jerman oleh atasannya, Letnan Jenderal Reinhard Heydrich. Ia pernah membunuh orang-orang Yahudi sekitar tiga hingga empat juta sebelum akhir perang dunia II. 

Pada 11 Mei 1960 agen intelijen Israel, Mossad, menangkap-membawanya di meja pengadilan atas tindak kejahatannya yang pernah ia lakukan pada orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Perdana Menteri Israel, Ben Gurion, mengumumkan Adolf Eichmann ditahan Israel. Ada sekitar 500 jurnalis dari seluruh dunia menuju ke Yerussalem untuk menghadiri persidangan. Satu di antara 500 jurnalis itu, Hanna Arent. Pada 11 April 1961 s.d 14 Agustus 1961 Arent melakukan penelitan bagaimana kekerasan-kejahatan yang dilakukan Adolf Eichmann dapat terbentuk.
 
Sekilas mungkin kita menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, bengis, takberperikemanusiaan karena telah melayangkan jutaan nyawa orang Yahudi. Persis anggapan kita seperti anggapan Jaksa Israel pada Eichmann pada waktu itu. Banyak orang menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, kejam, penuh dendam pada orang-orang Yahudi, begitu persepsi para Jaksa Israel. Namun hasil penelitian Arent berkata lain. Eichmann, dalam pandangan Arent, adalah orang biasa, normal secara akal, dan patuh pada aturan hukum. 

Arent tidak menemukan tanda-tanda pada diri Eichmann bahwa ia melakukan tindak kejahatan atas kemauannya sendiri. Sebagai perwira militer yang taat, patuh terhadap aturan militer, maka ia wajib patuh aturan militer. Dan sikap patuh dalam dunia militer, bagi Eichmann, adalah keharusan, bukan kejahatan. Artinya kepatuhan seorang Eichmann adalah sesuatu yang wajar dalam dunia militer. Karena, sekali lagi, kepatuhan adalah bentuk kesetiaan pada negara. Ia merasa tidak bersalah atas kelakuan kejamnya. Bahkan ia bersikukuh keras dan tak pelak ia bahkan menentang-membela diri di pengadilan itu. 

Menurut Arent, Eichmann sama sekali tidak sadar atas sikap patuhnya pada atasannya mengakibatkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Inilah dalam bahasa Hanna Arent disebut banalitas kejahatan. Suata kejahatan bertumpu mulanya pada ketaatan aturan hukum tanpa disertai pikiran kritis dan tumpulnya rasionalitas dihadapan aturan. Sehingga ia tak sadar bahwa aturan tersebut membahayakan nyawa orang lain (baca: tugas dari Letnan Jenderal Reinhard Heydrich).

Istilah banalitas sendiri, secara etimologis, berarti menganggap biasa atau kewajaran, kewajaran menjalankan sebuah perintah. Banalitas kejahatan terbentuk ketika seseorang atau pelaku tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, rasionalitas tunduk pada aturan (perintah). Pandangan Arent terhadap Eichmann bahwa ia bukanlah sosok yang bodoh, kejam, melainkan ia orang yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, menilai sebuah perintah, dan kurangnya daya imajinasi. Akibat ketidakberpikiran menelaah sebuah perintah itulah Eichmann pun bertindak brutal hingga nyawa jutaan orang Yahudi pun melayang di tangannya, rasio tunduk pada aturan. Kedua, akibat kurangnya imajinasi, hati nurani Eichmann sebagai manusia pun pudar.  

Jika kita mengaitkan-mengkontekstualisasikan kasus kematian Gilang dengan peristiwa pada 1961 (baca: holocaust) ada keselarasan, di mana, pada masa itu, bunuh-membunuh adalah “hal biasa/kewajaran” seorang perwira militer dalam menjalankan tugasnya untuk membersihkan kota, membasmi kehadiran orang-orang Yahudi, yang mulai beroperasi 20 Agustus 1938. Dengan meminjam pemikiran Hanna Arent, apa yang terjadi di Diklatsar-Menwa merupakan bentuk tradisi dari tahun ke tahun yang mereka anggap sebuah “kewajaran/hal biasa” atas dasar menguji-menguatkan mental mahasiswa sebagai kultur Diklatsar-Menwa. Siapa yang mewariskan tradisi brutal itu kalau bukan senior terdahulunya? Kejahatan yang dilakukan oleh kedua tersangka mungkin didorong atas kepatuhannya dan nalurinya terhadap otoritas tempat (si pelaku banalitas kejahatan) itu bernaung di organisasi Menwa. Dan tanpa ia disadari (kedua tersangka panitia) telah merenggut nyawa orang lain. 

Titip penting yang ingin saya sampaikan adalah ketika kekerasan di anggap hal “biasa/kewajaran” oleh suatu golongan dan mereka anggap hal itu bentuk keharusan-kepatuhan dari tradisi—maupun senior (yang membuat aturan tak selaras dengan sisi kemanusiaan)—itulah kebobrokan-ketidakberpikiran menelaah dampak apa yang bakal terjadi. Dan opini ini adalah upaya saya meminjam pemikiran Hanna Arent dalam menjelaskan situasi kejahatan yang kerap kali berseliweran di dunia organisasi kampus atas alasan pembentukan mental mahasiswa dengan cara-cara tak manusiawi. Lahu al-fatihah untuk Alm. Gilang Endi Saputra…
___
Pertama dimuat koran Radar Jember (Kamis, 11/11/2021)
Jumat, 22 Oktober 2021 0 Komentar

Menyuarakan Wakaf Sebagai Lifestyle

Tulisan ini sekitar tiga-empat bulan lalu, saya baru melanjutkan sebab problem kehidupan makin menampar saya beberapa bulan lalu itu. Sila baca di sini.
Minggu, 10 Oktober 2021 0 Komentar

Penyakit Kikuk

Satu kali saya mendapat mandat di pos pertama pada safari intelektual di acara komunitas kampus. Safari intelektual merupakan permainan sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada anggota baru komunitas Intellectual Movement Community (IMC). 

Dan saya tidak sendiri, melainkan bersama seorang perempuan yang,... 

Saya tahu bahwa ia perempuan pendiam, sebagaimana saya lelaki pendiam. Dan saya tidak biasa bicara sama perempuan pendiam, saya lebih gampang bicara sama perempuan cerewet. Ia pendiam, saya pendiam. 

"Matilah aku,..." batin saya. 

Apa yang terjadi? Suasana itu kikuk!

Di tepi sungai itu hanya terdengar aliran air yang hantam menghantam bebatuan dan hembusan angin sore yang sejuk dan kanak-kanak yang bermain riang gembira penuh canda dan pesona semesta alam yang bikin saya tidak segera melarikan diri bersamanya: membuat saya bodoh seketika! 

Betapa saya kehilangan nalar berpikir bagaimana saya ingin mengajak ia bicara dan saya tidak bisa mengajak ia bicara perihal entah berantah. Dan ia pun demikian sebaliknya. Saya termenung dengan hp yang saya pegang dan ia termenung dengan hp yang ia pegang.

Hening. Tak ada percakapan apapun. 

Dan saya tidak bisa mengajak ia bercakap-cakap sebagaimana biasanya orang bercakap-cakap secara komunikatif antar pihak. 

Saya kehabisan topik pembicaraan! 

"Tadi malam, siapa aja perempuannya yang datang?" Ia bertanya. 

Saya menjawab bahwa panitia yang datang perempuannya hanya tiga orang: Afifah, Windar, dan Endang. Dan berlanjutlah perbincangan satu dua kata dimulai. Dan ketika basa-basi itu usai: peserta safari intelektual itu datang dan mulailah suasana itu lebih segar lebih hangat. 

Tetapi, usai satu dua kelompok anggota itu pergi menuju ke pos berikutnya saya tetap kehabisan topik perbincangan! Lagi dan lagi. 

Pengalaman demikian tidaklah satu dua kali melainkan berulang kali setiap saya dipertemukan dengan teman yang karakternya sama dengan saya. Dan biasanya saya lebih percaya diri mengajukan topik pembicaraan dengannya melalui kumpul bersama dan terjadilah perbincangan hangat antara saya dan dengannya. 

Saya jadi berpikir: bagaimana kalau  pendamping hidup saya nanti memiliki karakter yang sama, berkarakter pendiam-cuek? 

Satu hal mungkin menjadi pembelajaran adalah dengan mengenali perbedaan dan persamaan karakter yang dapat menuntun saya nanti lebih percaya diri dan begitupun perempuan yang saya nikahi tersebut. Moga-moga saja. 

Dan pengalaman itu seperti penyakit dalam diri saya untuk kembali belajar percakapan-cakap dengan perempuan. Penyakit kikuk saya ternyata masih mendarah daging dalam diri ini. Wah ... wah ... obat apa yang mujarab kalau bukan, belajar? 
Kamis, 07 Oktober 2021 0 Komentar

Jadilah Senior yang Berhati Luhur!

Geram melihat tingkah senonoh. Saya kembali menulis topik senior yang agak kurang sehat. Bisa Anda baca di sini. Biar lebih afdol baca juga di sini.
Sabtu, 25 September 2021 0 Komentar

Fenomena Penghafal Alquran dan Toleransi Santri

Agak telat menulis opini ini karena tak tahu emailnya Radar Jember. Syukur Pak Radar masih berkenan memuatnya. Sila baca di sini
Senin, 20 September 2021 0 Komentar

Membaca dengan Gembira

Saya sering mendapat pesan whatsapp dari sejumblah kawanan manusia. Pesan itu berkaitan dengan ketidakgemaran mereka membaca sebuah buku. Mula-mula saya berpikir bahwa mereka tidak gemar membaca adalah korban “pendidikan sekolah” yang gagal. 

Mula-mula saya ingin membalas pesan itu dengan menjawab, "kamu tidak gemar membaca itu mungkin karena imbas sekolah yang tidak mengajarkan bagaimana murid-murid gemar membaca". Tapi kalau saya jawab demikian, sepertinya itu bentuk penghakiman kepada guru yang telah amat berjasa, sedangkan saya bukanlah siapa-siapa, bukan pula hakim yang berhak memutuskan perkara salah benar. 

Okelah... 

Untuk membalas pesan itu saya mengambil nafas perlahan-lahan dan menanyakan padanya: apa kesukaan atau hobi tiap harinya. Dengan melihat kecendruan mereka dapat saya tarik jawaban sederhana: “Bacalah buku yang menurut kamu menarik. Bacalah buku komedi kalau kamu suka ngelawak. Itu sajalah cukup.” 

Beberapa kawanan manusia itu membalas pesan dengan nada ringkas, “Terima kasih”, seraya tidak melanjutkan topik pesan, dan di antara manusia lainnya melanjutkan, “Maksudnya sekiranya aku seperti manusia lain agar gembira membaca buku apapun.” Pada pesan berikutnya saya cari celah jawaban lain yang lebih simple. “Baiklah … bacalah pengalaman hidupmu!”

Kesimpulannya bahwa pada dasarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi selera bacaannya sehingga mereka memilih bahan bacaan yang mungkin tidak mereka gemari—tidak mereka sukai. Yang akan terjadi adalah ketidakpuasan pada apa yang telah dibacanya. Inilah masalahnya mereka sukar membaca dengan gembira. 

Untuk itu saya menjawab menurut selera mereka sehingga terjadi pergerakan rangsangan sekaligus membuka pintu masuk membaca buku lain—dengan bekal gemar membaca buku ringan terlebih dulu, semisal buku komedi.

Kita paham bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki alasan kuat menempatkan dirinya untuk membaca sebuah buku—membaca dunia yang kompleks. Saya memutuskan diri gemar membaca novel tidak lain tidak bukan karena saya menyukai dunia rekaan. 

Dunia rekaan membantu saya dalam melihat dunia nyata. Dunia rekaan mengantarkan saya pada dunia lain yang mungkin tidak ada—dan mungkin pula ada—di dunia nyata. Dan membaca dunia rekaan seperti bertemu pada dunia lain. Dan hal itu membuat saya tertarik bahkan membuat saya gila untuk terus membacanya, dan saya dapat menarik sebuah pelajaran penting di dalamnya— dalam dunia rekaan. 

Misalnya, dunia rekaan dalam novel, Lelaka Tua dan Laut, Ernest Hemingway membuat pembaca terus membacanya. “Ia merenungkan betapa sebagian orang ketakutan berada di tengah laut tanpa hadirnya garis daratan sejauh pandangan mata dalam sebuah perahu kecil dan mengetahui sedang berada pada bulan-bulan dengan cuaca buruk yang bisa terjadi sewaktu-waktu (hlm 57). Kita mengambil pelajaran dengan jelas—dengan kalimat padat nan singkat memikat ini.

Pada dasarnya kita tidak berhak menuntut orang lain dan meyakinkannya untuk memandang dunia dengan cara kita. Yang mungkin dapat kita lakukan hari ini adalah dengan menuntun mereka melihat dunia kecendrungannnya, apa yang mereka gemari. 

Setiap dari kita memiliki selera dan kecendrungan bacaan yang perlu dicari formulasinya. Yang dapat kita lakukan hari ini adalah dengan memulai mencari dan membentuk kebiasaan membaca sebagai karakter manusia pembelajar tanpa harus menyamakan selera bacaan kita dengan orang lain.

Pada akhirnnya membaca dengan gembira adalah sebuah kebutuhan nutrisi otak manusia untuk melihat berbagai sudut pandang dunia dengan cara kita masing-masing. Tanpa membaca kecendrungan selera bacaan, sepertinya kita kehilangan cara pandang sehat menilai dan menjawab sebuah permasalahan hidup.

Sebagaimana sarannya, membaca buku komedi akan memberikan jawaban persoalan hidup kita dengan banyak tertawa dan riang gembira. (ha.ha.ha). 
____
Dimuat Kapito.id 20 September 2021
Minggu, 19 September 2021 0 Komentar

Alegori Kangen



Jika kita terlampau lama jauh dengan seseorang maka hasrat kangen biasanya akan muncul, dengan sendirinya, pada detik waktu. Kangen secara tak sadar—maupun di sadari—akan tetap dan akan selalu menghasrati pertemuan. 

Saya rasa setiap manusia yang hidup di dunia ini menghasrati “pertemuan”, jika di antara manusia itu terlampau lama jauh tak berjumpa. Kata pertemuan sendiri, adalah kata lain  “kembali”, kembali “berjumpa”, saya dan kamu. 

Baiklah, kalau begitu, lalu mari kita lanjutkan—kohesif kata kangen—dengan konteks yang sama pada kata kunci: jarak. 

Saya kadang berpikir dari mana datangya kangen kalau bukan dari jarak yang menyirat. Dan pada saat yang sama, saya mempertanyakan jarak yang menyiratkan kita: Adakah jarak antara saya dan kamu? Saya rasa jarak antara saya dan kamu itu, “tidak ada.” Ingat! “tidak ada”. 

Kalau benar antara saya dan kamu itu ketiadaannya menyiratkan jarak, lalu di mana letaknya “jarak”, antara saya dan kamu, kalau saya dan kamu saling merindu, kalau saya dan kamu, selalu ingin bertemu, selalu ingin berjumpa?

Tetapi bukankah pertemuan-perjumpaan antara saya dan kamu akan menyisihkan perpisahan? Lalu, setelah perpisahan itu akan terbentang kembali yang namanya jarak. Kemudian jarak melahirkan kembali kangen dan hasrat ingin bertemu terus menerus candu, lalu begitu seterusnya, dan seterusnya.

Oke, baiklah. Para konteks diluar ruang dan waktu, antara saya dan kamu, jauh maupun dekat, sepertinya kita melebur jadi satu, satu jiwa, yaitu kita. Boleh jadi, kata Alm. Sapardi Djoko Damono, “jarak boleh jadi tidak boleh diukur”.

Saya rasa teori “perpisahan” itu keberadaannya memang benar “tidak ada”. Kata perpisahan disematkan untuk “menunda” pertemuan, bukan menyiratkan jarak antara saya dan kamu. Itu lebih tepatnya. Dan saya tidak percaya hal itu, teori perpisahan, bahwa kita akan berpisah. 

Saya tidak percaya bahwa kita akan berpisah. Sebab kerajaan kita bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Bukankah begitu kalam Tuhan dalam Firman-Nya?

Dengan kata lain, saya, menulis catatan ini, dalam rangka kangen. Begitulah kiranya kata-kata paling pas untuk diucapkan secara terang, pada catatan ini. Singkat kata, pertemuan saya dan kamu, yang lampau, hari ini, maupun yang esok, adalah silsilah perjumpaan kita menuju surga.

Eh, tahu nggak, kepada siapa saya kangen—tidak perlu tanda (?)—kalau bukan kepada seseorang itu? Ya … pada seseorang itu, loh. 
Rabu, 15 September 2021 0 Komentar

Fiksi

Fiksi tidak bicara tentang cinta, rindu, kangen, sedih, atau bahagia. Fiksi bertutur, dalam sebuah teks, tentang bagaimana orang-orang tersengat penyakit cinta, kangen, sedih, bahagia, rindu, dan sebagainya. Dan fiksi hidup. 

Dengan cara demikian, cerita-cerita fiksi tak mungkin terkesan klise. Bisakah kita bercerita cinta tanpa harus menggunakan kata cinta? Sangat bisa. Bisakah kita curhat soal rindu tanpa menggunakan kata rindu? Sangat bisa.

Bagaimana cara? Caranya: belajarlah membuat detail kehidupan. 
Kamis, 09 September 2021 0 Komentar

Wakaf, Peran Milenial, dan Blockchain

Opini ini sebenarnya satu tahun lalu, namun saya lupa tidak melanjutkan tulisan ini. Syukur saya ingat kembali sewaktu ada kesempatan membuka laptop. Ternyata rancangan yang pernah saya tulis satu tahun lalu masih relevan dengan semarak wakaf hari ini. Sila baca di sini
Selasa, 17 Agustus 2021 0 Komentar

Senyum Menjelma Puisi

Senyummu menjelma puisi
kau datang dini hari saat mata terlelap
saat dingin menerkam, kau hadir dalam mimpi
dalam bayangan ini, kau seorang diri
menari-nari
Jumat, 13 Agustus 2021 0 Komentar

Berkisah: Penawar Gelisah

Tulisan saya kini rilis di podcast Menjadi Manusia dan disuarakan oleh Bas.Boi, pada segmen Berkisah. Bagi kalian yang suka dengerin podcast di spotify bisa dengerin di sana, podcast Menjadi Manusia. 

Kalau boleh jujur: Tulisan ini saya buat dalam keadaan gelisah campur cemas. Mungkin kegelisahan dan kecemasan itu bukan hanya saya yang mengalami, mungkin juga anda. 

Maka saya mencoba berbagi kisah kepada Teman Manusia (sebutan komunitas Menjadi Manusia) agar lebih tegar lagi dalam menjalani kehidupan bahwa kita tidak sendiri, kita sama-sama berjuang dalam ketidakpastian hidup dalam ketidakpastian kapan covid-19 ini berakhir. 

Selamat menikmati tulisan isi hati saya ini. Selamat mendengarkan, Berkisah: Penawaran Gelisah
Kamis, 12 Agustus 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Kali ini puisi saya di muat Tugu Jatim. Saya menulis puisi ini terinspirasi tokoh Rara dalam novel, Sunyi Adalah Minuman Keras, Sapardi Djoko Damono, yang sesal akan dunia makin bising. Sila di nikmati puisinya, Pada Sunyi
Rabu, 04 Agustus 2021 0 Komentar

Di Kota Ini

Di kota ini, 
tak ada orang tahu
tentang seorang kakek nenek
saban hari perut tak terisi nasi
Ia berobat tabah, menghadapi wabah

Si kaya pura-pura
tak sadar akan murka, 
dunia seolah milik mereka

Di kota ini, 
ada seorang politikus
yang lebih rakus daripada tikus
uang kertas jadi identitas
Seperti kapas, bicaranya melayang-layang
sok sok'an bicara keadilan

Adakah di Kota Anda
manusia semacam mereka? 

Di kota ini, 
virus menjadi-jadi 
politisi sibuk makan sendiri 
bicara beras, hak rakyat dirampas

Di kota ini, 
kami butuh sesuap nasehat
bukan penjahat, bukan pula pesulap 
yang selalu mencuri uang rakyat

Di kota ini, 
Adakah keadilan 
yang dinanti-nanti? 

Adakah secangkir kopi 
untuk pagi hari nanti?
Minggu, 01 Agustus 2021 0 Komentar

Andai Kau Tahu, Aku

Pada 26, Juli 2021 lalu saya kembali mengirim puisi saya ke media Menjadi Manusia. Media ini bagi saya unik dan menarik. Saya tertarik mengirim puisi kepadanya. Pada satu kali coba saya kirim puisi terbaik saya syukur dimuat. Puisi ini sangat personal sekali, untuk tidak mengatakan puitis. Sila baca puisi ini, Andai Kau Tahu, Aku

Saya berharap kepada orang yang saya maksud dalam puisi ini sadar. Bahwa saya seperti apa yang ada dalam makna puisi ini. (hem.hem.hem). 
0 Komentar

Yang Paling Mencintai

Beberapa minggu lalu saya mengirim puisi ke media tugujatim.id. Saya punya ide setiap tulisan yang dimuat oleh media cetak maupun online akan saya arsip di blog ini. Sebagai cara memudahkan suatu saat nanti bila saya membutuhkan membacanya lagi. Sejelek apapun tulisan akan berkesan bila itu ditulis oleh saya pribadi. Ini adalah puisi pertama saya yang pernah dimuat oleh media tugujatim.id Yang Paling Mencintai. 
0 Komentar

Gila Intelektual

Persepsi beberapa orang menganggap aku seorang intelektual: Dengan aku gila melahap kertas kertas semesta (buku), menulis menghasilkan banyak karya, berdiskusi penuh retorika adidaya. Aku seorang intelektual, kata mereka.

Tetapi pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Memajang buku-buku di ruangan hanya untuk  pameran, bukan untuk bacaan, bukan pula kepekaan menyelesaikan problem kebodohan.

Buku-buku itu hanyalah pemenuhan hiasan rumah semata; tidaklah peka menyalurkan kepada orang-orang yang pula membutuhkannya. Buku-buku itu tidaklah lebih sekadar kertas kertas biasa. Untuk menunjukkan inilah Aku Manusia Paling Berkualitas, setumpuk buku pemenuhan kesombongan semata.

Pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Menulis suatu hal "untuk menarik orang" mengakui bahwa Aku Yang Paling Aku, Yang Paling Intelektual. Menulis suatu hal untuk memancing orang untuk menjadi aku. Dan orang-orang akan terperangkap dalam nafsu; sehingga aku dapat memenuhi hasrat nafsu birahiku dan mengajaknya untuk bercumbu.

Kata "bercumbu" ini begini, maksudnya: Aku mampu menulis kata-kata memikat dan menghasilkan kalimat-kalimat menjerat pembaca. Dengan kelihaian aku menciptakan sebuah kata-kata dapat mengajak pembaca menjadi aku. Menjadi bagian kebutuhan seksual-ku, dengan cara halus mengajaknya untuk berkolaborasi. Pada titik demikian, perempuan maupun laki-laki, telah aku taklukkan; dan dengan mudahnya aku meminta sesuatu darinya.

Tetapi pada kenyataannya aku memang bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Yang kalau berbicara atau beretorika seolah-olah telah banyak membaca padahal cuti membaca kata-kata. Beretorika seolah-olah bernutrisi padahal hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Bukankah sibuk berambisi dengan eksistensi bukanlah ciri manusia sejati?

Pada kenyataannya aku hanyalah seorang yang berambisi dengan eksistensi sehingga lupa diri. Bahwa aku pada ketidaksadarannya sibuk memenuhi kepentingan diri. Kepentingan mencari popularitas sehingga lupa mana yang berkapasitas dan mana pula yang berkualitas. Hingga lupa pula menjadi manusia. Menjadi manusia yang seharusnya menjadi manusia. Kini sebut saja aku manusia biasa, tidak lebih daripadanya.

Sabtu, 31 Juli 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Pada sunyi aku lantang 
menerjang karang, 
menerjang ombak, 
menerjang arus, 
Pada-Mu Maha Kudus

Di kesunyian, 
aku menari-nari 
pada malam menjerat
pada hati yang pekat
Pada-Mu Maha Dahsyat

Di kesunyian, 
aku menerpa seorang diri
buih-buih sesal kian gentar
atas dosa-dosa kian menjalar

Sekuntum doa
melangit-langit dan harap
'ku pada sunyi menjadi saksi
atas pertaubatan ini, ini puisi menjadi saksi, 
kepada Yang Maha Suci
Selasa, 27 Juli 2021 0 Komentar

Kontemplasi, Bullying dan Prestasi

Kebiasaan berkontemplasi di sudut ruang sunyi menyadarkan saya satu hal: Sebagai manusia biasa saya mempunyai kekurangan, kekurangan yang saya miliki ialah lemahnya kinerja otak. Lebih jelasnya akan saya ceritakan mulai d(ar)i titik mana kebiasaan menyendiri atau berkontemplasi itu bermula. 

Sebermula kebiasaan berkontemplasi itu saya rasakan semenjak masih bocah. Kira-kira ketika saya belajar pada ibu, tentang pelajaran sekolah.

Ketika itu ibu menemani saya belajar tentang pelajaran sekolah yang bagi saya sulit. Ibu, dengan keterbatasan pengetahuan cara mendidik anak belajar yang baik, tidak sabar mendidik saya dan memaksanya dengan cepat menangkap pelajaran; sedangkan saya, bocah yang lemah kinerja otaknya, tak mampu menangkap pelajaran dengan baik. 

Karena ketidaksabaran ibu dalam mendidik, keterbatasan pengetahuan mendidik anak belajar, akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata—yang sengaja tidak saya tulis—tidak elok dan saya menjawab, dengan raut muka polos, berdasarkan pengakuan Ibu ketika saya sudah remaja: “Biar kelak, dengan sendirinya, saya bisa belajar dengan baik, Buk, tanpa harus ibu memaksa saya untuk bisa hari ini. Saya bisa belajar sendiri.”

Semenjak itu ibu tidak pernah lagi menemani saya belajar membaca, mengerjakan tugas sekolah, menemani saya menghafal surat-surat pendek alquran. Saya menangis keras keras dalam hati di ruang pojok rumah dan tidak mau bertemu orang sekitar, murung berhari-hari, tidak mau belajar pada siapapun, dan hampir saya trauma belajar karena merasa, pada saat itu, belajar bagi saya membosankan, tidak menyenangkan, bikin saya menangis, tidak membuat saya bahagia. 

Saya kehilangan semangat belajar. Itulah pikiran seorang bocah yang masih kelas 6 sekolah dasar, yang tidak tahu membaca, mengaji alquran, berhitung, tidak tahu pentingnya belajar. 
Tidak sedikit kawan sebaya mengejek saya karena tidak bisa apa yang mereka bisa. Seolah pencapaian yang mereka miliki, akan bertahan seiring berjalannya waktu tanpa usaha merawatnya dengan baik, dengan tidak menjadi manusia sombong.

Saya murung berhari-hari dan kecamuk tanya pada diri sendiri tak habis henti: Mengapa saya tidak bisa seperti apa yang mereka bisa?

Saya berusaha keras bagaimana agar mencapai apa yang mereka bisa: membaca buku, membaca alqur'an dengan baik, berbicara tanpa malu di depan kelas, bersosial sebagaimana layaknya manusia, dan hal apapun berkaitan dengan kekurangan saya, terkhusus lemahnya menangkap pelajaran.
 
Dan saya bersyukur segara sadar apa kekurangan yang saya miliki, tanpa malu saya akui bahwa saya memiliki kekurangan pada bagian kinerja otak. Bahwa tidak semua di antara manusia harus bisa pada waktu yang bersamaan, termasuk dalam hal pencapaian prestasi. Hanya soal waktu siapa yang paling berhak menentukan kompetisi, eh. Tetapi saya tidak suka berkompetisi, saya tidak suka kejuaraan semu. Sebab saya meyakini tiap manusia mempunyai prestasi. Tinggal bagaimana ia menggali potensi yang ada pada dirinya. 

Saya berkeyakinan, pada saat itu maupun saat ini, bahwa saya memiliki potensi yang mungkin tidak dimiliki orang lain, dalam hal ini semangat belajar memperbaiki keadaan diri penuh kekurangan. Maka untuk mencapai hal itu lebih baik fokuslah pada apa yang mesti saya perbaiki dan berusaha keras tanpa lupa berdoa. Tanpa kesadaran itu, mungkin saya menjadi manusia sampah, menjadi manusia haus pujian semata, manusia yang berambisi dengan eksistensi hingga lupa diri.

Bukankah manusia akan lelah berambisi dengan eksistensi?

Dewasa ini saya memetik pelajaran penting, yang pernah menjadi korban bullying, yang menjadi korban salah didik-mendidik, bahwa pencapaian seseorang tidak bisa kita ukur berdasarkan zaman di mana mereka sedang berproses belajar. Sebab manusia diciptakan memang untuk belajar. Pencapaian itu bisa kita ukur seberapa kebermanfaatannya kontribusi kita untuk orang lain. Itulah, bagi saya, prestasi yang paling berarti hidup di dunia ini.

Sekali lagi ... tanpa kesadaran itu--perihal ketidaksempurnaan dan pencapaian--kita akan sibuk mencari popularitas diri tanpa menyadari satu sebutan berarti: Kualitas. Definisi "kualitas" yang saya maksud, adalah menjadi manusia luhur, menjadi manusia yang tidak gampang menyepelekan liyan. 

Kini ibu lebih bijak dalam mengatur pendidikan anaknya. Ia lebih mawar diri tanpa mengikuti egoisasi diri. Tentu kesadaran demikian mengantarkan kita menjadi manusia berprestasi, meski tanpa menjunjung tinggi medali emas. 
Minggu, 25 Juli 2021 0 Komentar

Memoar Ingatan

Ada sepasang kekasih duduk berdua di tepi danau, yang satu duduk agak ke kanan, yang satu duduk agak ke kiriKeduanya diam membisu meski semilir angin mempersilahkan untuk menyatakan sesuatu tetapi keduanya malu-malu. Kau saja dulu, katanya. 

Empat puluh lima menit berlalu reranting pohon bersiul-siul seperti semacam intruksi, dedaun gugur ditimpa angin melambai-lambai menari-nari. Lihat itu daun, kata si perempuan. Bertanda apakah ia jatuh?

Ia tak menjawab. Sekadar senyum memalingkan pandangan ke arah kiri dan kembali memandang ke arah kanan. Di danau itu mereka saling melempar satu dua tiga batu hingga genangan air beria-ria ke atas ke samping ... ke kiri ke kanan, seperti kembang air mancur pada kedua jiwa yang mujur. Kau kalah, kata si perempuan. 

Hujan mulai mengguyur danau. Kita berteduh di bukit itu, sambutnya. Dengan payung daun pisang berdua; tak ada orang sekitar melihatnya, hanya seekor burung berteduh di pucuk ranting;
dunia seperti milik mereka berduabibir bersilat satu kali dua, memadu kasih dalam senja. 

Apa yang lebih indah dari senja, ia bertanya. Yang lebih indah dari senja adalah ketika engkau dan aku berpisah sementara waktu dan kita saling merinduTetapi akankah kita menerima itu? Tidak, bukanTetapi pada akhirnya kita akan berpisah sementara waktu, pada akhirnya kita kembali bertemu, pada suatu hari nanti semesta akan menjadi saksi atas kisah kita ini, di danau janjiKita paham, bukan, bahwa yang paling indah dalam hidup ini adalah kenangan, karena ia adalah ingatan. 
Kamis, 03 Juni 2021 0 Komentar

Cerita Kita

banyak aku membaca buku cerita, tetapi buku cerita itu kalah dengan cerita kita

"

Senin, 24 Mei 2021 0 Komentar

Upaya Menggapai Mimpi: Mahasiswa Baru, Penerima Beasiswa Bidikmisi, Kader Intellectual Movement Community (IMC)

Pergantian tahun merupakan pelajaran merenungi diri dan membuka kembali lembaran yang pernah saya tulis di PETA IMPIAN dua ribu delapan belas tiga tahun lalu adalah: dua ribu sembilan belas saya harus kuliah!

Tepat pada 2 Januari 2019, dua tahun lalu, saya menghirup udara segar di sekitar kecamatan Kaliwates kota Jember. Malam itu kedua kalinya saya berniat belajar dan mengajar untuk mengabdi di sebuah pesantren—yang sebelumnya mengabdi diri di Lampung—dengan keterpaksaan: sesungguhnya saya hendak belajar di tempat lain yang jauh lebih asyik.

Setelah perjamuan di dhalem pengasuh ada momen yang sulit di lukiskan kata-kata saat Eman berkata: “Yang sabar dalam mendidik anak orang ya, Nak. Siapa sangka di tempat ini kau menemukan jalan meraih impianmu.” Mata tiba-tiba mendung dan seketika itu gerimis. 

Memang kata-kata Emak selalu mengundang motivasi belajar di satu sisi dan di sisi lain sempat menghancurkan impian saya dan kekhawatiran berlebihan Emak itulah saya kecewa lantaran tidak bisa melanjutkan studi ke luar negeri maupun di negeri sendiri. Dan saya paham mengapa Emak empat tahun lalu (saat lulus SMA 2016) tidak mengizinkan saya menempuh pendidikan di kampus dan desakan Emak, mau tidak mau, saya mengikuti perintahnya: masuk di dunia pesantren lagi dan lagi.

Belajar di pesantren merupakan alternatif terakhir bagi saya untuk tetap mengisi ke kosongan waktu dan saya pikir daripada berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan mendukung potensi diri lebih baik berjalan sembari membaca peluang.

Saya percaya bahwa keberhasilan dan kegagalan setiap orang berada pada jalannya masing-masing dan saya belajar mencari peluang dari setiap masing-masing jalan. Satu jalan yang saya tempuh adalah keberanian diri mencari relasi dan peluang.

Entah berapa ribu orang telah saya repotkan mengenai pendaftaran masuk kampus. Tawaran kuliah di luar negeri Oleh Gus dan orang-orang penting tidak bisa dibendung. Jika saya ambil kesempatan itu maka besar kemungkinan saya berhadapan lagi dengan kebijakan kedua orang tua dan peluang restu kecewa jauh lebih dominan sebab kedua orang tua bukanlah orang yang, bisa dikatakan, awan dalam dunia pendidikan. 

Pertimbangan besar orang tua jika saya kuliah di luar negeri maupun di negeri sendiri adalah biaya kuliah yang mahal!
“Kau boleh kuliah asalkan dapat beasiswa. Emak dan Bapak hanya mampu membiayaimu pendaftaran saja dan selebihnya kau berusaha cari biaya hidup sendiri di kampus.” Katanya. 
“Enjeh, asalkan Bapak dan Ibu merestui kulo kuliah. Kulo akan berusaha cari beasiswa. Dan kulo mohon restu agar dimudahkan pendaftaran kuliah di IAIN Jember.”

Puluhan dosen saya temui untuk registrasi pendaftaran dan menanyakan bagaimana agar saya bisa mengikuti seleksi pendaftaran mahasiswa baru. Bukan karena saya tidak bisa mendaftarkan diri sendiri lewat jalur online. Bukan pula saya awam dunia internet. Bukan! Saya gagal melakukan pendaftaran kuliah karena ijazah SMA saya sudah kadaluarsa! 

Dan saya kecewa beribu-ribu kecewa pada diri sendiri maupun kepada kedua orang tua mengapa baru tahun ini saya di restui untuk bisa kuliah. Penolakan IAIN Jember telah bikin hidup saya seketika jadi ORANG KAFIR karena telah putus asa dari rahmat Tuhan yang Maha Baik. Saya KAFIR telah mendustakan nikmat yang begitu banyak Tuhan berikan kepada saya—bukan kafir dalam pengertian akidah, tentu saja. 
***
Seiring berjalannya waktu saya sakit sekitar setengah bulan dan saya pulang dari pesantran untuk sementara waktu dan kesempatan kuliah tahun ini saya pastikan gagal lagi karena pendaftaran Gelombang  Mandiri telah di tutup. 

Entah mengapa Tuhan izinkan diri saya sehat kembali meskipun saya masih ada rasa kecewa kepada orang tua dan orang tua menyuruh segera saya kembali ke pesantran—dengan cara halus orang tua mengusir saya jika kelamaan di rumah—dan saya menolak, tetapi pada akhirnya, saya  kembali lagi ke persantren berkat bujukan paman. 

Saya ingat: betapa waktu itu saya termasuk golongan anak durhaka kepada orang tua karena telah berani membantah dan membikin Emak menangis dan sewaktu saya pamit kembali ke pesantren, saya cium kedua telapak tangannya dan memohon maaf atas perilaku bangsat anak yang tak tahu diri ini.

Lagi-lagi Emak berkata. “Siapa sangka di pesantran itu kau menemukan jalan meraih impianmu.” Ia menangis tersedu-sedu. Satu dua tiga hari saya mulai sadar bahwa orang tua adalah segala-galanya untuk meraih impian hidup saya kelak. 

Di pesantran saya tidak diam begitu saja. Bapak Babun selaku rektor IAIN jember itu saya datangi rumahnya berkali-kali, namun, apalah daya Tuhan mengajari saya tentang kesabaran dan kata-kata Pak Rektor itu telah bikin saya kembali putuh asa dari rahmat Tuhan. “ Di sini bukan tempat pendaftran kuliah. Kalau mau daftar kuliah di kampus besok hari Senin.” Ujarnya tanpa mempersilahkan saya masuk sebagai tamu Agung. Saya kira Pak Rektor perlu ngaji kitab Ta’lim al-Muta’allim.
 
Entah mengapa beberapa hari kepulangan saya dari rumah Pak Rektor itu. Saya berselancar mencari informasi di internet mengenai pendaftaran mahasiswa baru di seluruh kampus PTKIN, dan ternyata, IAIN jember kembali membuka pendaftaran Mandiri Gelombang Kedua: akhirnya saya dipersilahkan untuk melakukan registrasi pendaftaran oleh admin—yang saya hubungi contact person yang tertera dan beberapa hari seteleh mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru saya dinyatakan lulus seleksi dan berhak melakukan pendaftaran ulang dan seketika itu saya diterima menjadi mahasiswa baru di kampus IAIN Jember yang pernah bikin hidup saya jadi pemuda KAFIR.
***
Jauh hari sebelum masuk dunia kampus saya banyak bertanya kepada puluhan mahasiswa tentang dunia akademik dan pembelajaran di kampus, katanya asyik, dan peluang mendapat Dhi’Ajeng jauh lebih mudah dibandingkan mendapat gelar sarjana. 

Dengan kata lain, mencari pacar di kampus jauh lebih mudah, Boi, daripada mencari buku referensi untuk penulisan skripsi sebagai syarat gelar kesarjanaan kita!

Setelah mengenal dalam dunia kampus satu di antara puluhan mahasiswa/i yang pernah saya tanyakan mengenai organisasi dan komunitas yang bergerak dibidang kepenulisan dan mau mengajari bagaimana menulis jurnal yang baik katanya: Intellectual Movement Community (IMC). 

Tentu saja saya tidak langsung percaya begitu saja tanpa ada pembuktian jawaban mereka dan seketika itu saya jadi stalker: mengintip kegiatan komunitas Intellectual Movement Community (IMC) melalui Instagramnya dan karena saya cukup banyak menemukan ke-cocok-an di komunitas IMC. Pada 10 November 2019 saya melakukan pendaftaran sekaligus pengumpulan persyaratan sebagai anggota baru dan pada 20  November saya dan beberapa calon anggota lain melakukan interview.

Masih segar dalam ingatan pada malam setelah interview entah berapa kilo meter saya menempuh jalan kaki menuju pesantren untuk pulang—dari kampus ke Kaliwates Pondok Pesantren Miftahul Ulum.
 
Menunggu angkotan kota tak kunjung datang dan karena terlalu larut malam saya memutuskan berjalan kaki sembari menikmati alunan bising pada malam hari di mana saya merasakan bahwa hidup memang tak melulu soal bahagia itu sederhana dan nasihat “jangan lupa bahagia” sepertinya harus mempertimbangkan keadaan saya alami malam itu dan mari kita katakan “kebahagian akan dirasakan oleh orang-orang yang menerima terpaan cobaan dan mampu melaluinya dengan kesabaran; dan kekesalan akan dirasakan oleh orang-orang yang, meski cukup klise, tidak mau bersyukur.” Kekesalan itu ada karena saya gagal merawat kebahagian menikmati proses yang berliku-liku. 

Usai menikmati bising malam di trotoar jalanan dan sesampai di asrama pesantren saya buka smartphone bagian fitur yang lazim, WhatsApp, saya mendapati banyak pesan masuk, terutama grup, dan saya buka kali pertama grup WhatsApp Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa 2019), dan kawan-kawan banyak mengucap kata-kata klise. “Selamat Fathur Roziqin diterima sebagai penerima beasiswa bidikmisi 2019 dan bla bla bla…” seketika itu saya sujud syukur puluhan menit dan saya kegirangan bukan main malam hari yang melelahkan itu: betapa karunia Tuhan sangat indah sekali. 

Setelah menjalani kehidupan berbulan-bulan penuh kerumitan terkait pendaftaran masuk kampus, akhir cerita, Tuhan memberi hadiah lain kepada saya dengan menguji hambanya menjadi KAFIR dulu. Oh… betapa rendahnya iman saya waktu itu. 

Pada kesadaran yang mencuat saya belajar tentang banyak hal—tentang kesabaran, keikhlasan menerima, menjalani perjuangan, dan ketulusan berbakti kepada orang tua maupun segenap lapisan masyarakat—baik ketika masuk dunia kampus maupun dunia komunitas yang bernama Intellectual Movement Community (IMC). 

Beberapa minggu setelah interview saya, tentu saja, menunggu akhir keputusan juri dan panitia Open Recruitment Kader Baru dan saya dinyatakan resmi sebagai kader baru di Intellectual Movement Community (IMC) angkatan ke-5 pada akhir November 2019 bertepatan semester perdana sebagai mahasiswa baru. 

Betapa melelahkan saat-saat dimana saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru, penerima beasiswa bidikmisi, dan sampai penerimaan anggkota baru kader Intellectual Movement Community (IMC). Lagi lagi saya belajar satu hal: kesabaran.  Dan hal lainnya, tentang rahasia doa orang tua. Ya… rahasia doa kedua orang tua itu adalah senjata bagi saya, bagi Anda, bagi kita semua.

Tentang PETA IMPIAN dua ribu sembilan belas: menjadi mahasiswa, mahasiswa penerima beasiswa, mahasiswa yang belajar menulis (di komunitas IMC)—kini tercapai sesuai harapan. Semoga tahun ke tahun upaya menggapai impian menjadi kenyataan. Amin.
***
Baca selanjutnya:
Minggu, 23 Mei 2021 2 Komentar

Bagaimana Perasaan Ibu Saat Itu?

Eksesif awal kali pertama masuk pesantren menyebabkan anak lupa bahwa ada hati yang berkecamuk tak kuasa; yang tak bisa dijelaskan perihal berpisah dengan keluarga; dan anak tak mungkin tahu bagaimana sesungguhnya perasaan seorang Ibu ketika akan di tinggal anaknya belajar di pesantren. 

Hampir semua wali santri, Ibu, ketika memasrahkan anak masuk pesantren tak kuasa menahan letupan air mata. Saya tahu itu semenjak menjadi pengurus pesantren. Dan saya teringat, akan selalu teringat, dalam ingatan yang cukup tajam bahwa Ibu saya dulu pernah merasakan apa yang dirasakan Ibu wali santri: Ibu menjatuhkan air mata saat menitipkan anaknya ke dunia baru yang bernama pesantren. 

Memutuskan belajar di pesantren satu keputusan yang sedari kecil saya impikan, semenjak lulus madrasah ibtidaiyah. Dan baru terwujud masuk pesantren pada kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Mengingat saya hanya seorang anak buruh tani, saya tak cukup hanya meminta (hendak mondok) belajar di pesantren. 

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu saya bekerja, dengan menjadi tukang pembuat tasbih, dan sebagai tambahan biaya, saya mengikuti arisan tiap minggu, yang di dalamnya ada Institusi Yasinan dan berbagai doa azimat lainnya.

Lambat laun rezeki mulai terkumpul dan Ibu memberi tahu bahwa tabungan hanya cukup buat pendaftaran. Saya yakin belajar di pesantren akan segera terwujud. Itu cita-cita yang tak bisa dilupakan hingga hari ini. 

Dengan harapan tinggi, saya dan keluarga, berdoa dalam tiap obrolan ringan; dan harapan satu satunya, kala itu, mendapat jatah turunnya nama Ibu dalam arisan yang, tentu saja, uang hasil arisan itu cukup untuk pemberangkatan saya masuk pesantren, sekaligus keperluan lainnya. Dan harapan itu terwujud sebelum akhir tahun 2011.

Tepat pada Sore, Ahad, 28 November keluarga, dan guru sekaligus paman, mengantarkan saya ke pesantren. Dan perasaan senang akan belajar di pesantren membuat saya lupa bahwa di balik layar kebahagiaan itu Ibu menangis saat saat di mana saya akan tidur di kotak kamar yang ukurannya 3x4 cm. yang kemungkinan akan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, kecuali liburan, saya tak lagi di rumah. 

Kini atau bahkan nanti, air mata itu tak mungkin dapat dijelaskan atau bahkan dirasakan, sampai saya nanti menjadi orang tua, saya tak pernah mungkin tahu: bagaimana perasaan Ibu saat itu.

Jika ada cinta yang paling murni nan suci, maka cinta itu hanyalah ada dalam hati seorang yang bernama Ibu. 

Jika ada air mata yang paling syahdu pilu, maka air mata itu menetes, saya melihat, pada saat itu
***
Baca selanjutnya:
Rabu, 12 Mei 2021 0 Komentar

Kembali Menciptakan Kebiasaan Baik

Ramadhan bulan melatih diri dalam segala bentuk aktivitas: melatih diri berbuat baik maupun meminimalisir berbuat buruk. Saya, selama bulan Ramadhan ini, berusaha mengembalikan dan menciptakan kembali, rutinitas tahun lalu yang sempat tertata dengan baik, rutinitas membaca alquran 5 Juz dalam sehari, kecuali Jum'at, 30 Juz dalam sepekan. 

Rutinitas itu sebenarnya telah saya tanam semenjak menceburkan diri menghafal alquran. Namun rutinitas itu kembali kacau setelah saya boyong dari pesantren khusus menghafal alquran. Setidaknya, atau biasanya, saya di pesantren, kala itu, mewajibkan diri setiap hari rutin membaca alquran kurang lebih atau lebih dari 8 Juz. Itu karena kewajiban saya sebagai santri.

Pasalnya mewajibkan diri, dengan tekanan aturan pesantren, tidak membuat saya konsisten terhadap kebiasaan membaca quran setelah keluar dari pesantren. Ini berarti, dalam hal membaca alquran, saya gagal menjadi generasi yang gemar membaca alquran. 

Nah, bulan Ramadhan adalah miniatur memperbaiki diri dan mengembalikan diri berlatih menciptakan sesuatu yang dulu atau akan kita lakukan sebelas bulan ke depan untuk tetap mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang pernah kita kerjakan selama bulan Ramadhan. 

Jika Anda orang yang gemar membaca buku, misalnya, selama Ramadhan, maka di luar Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan bacaan buku Anda. Jika Anda orang yang gemar bersedekah, di bulan Ramadhan, maka di luar bulan Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan sedekah Anda, sebagaimana kebiasaan  Anda membaca buku, sebagai bukti bahwa Anda telah berhasil membiasakan, mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain, Ramadhan-kan di luar bulan Ramadhan. 

Kini sampai pada momen di mana kita bersenang-senang--setelah 30 hari menjalani karantina diri dan melatih ke-diri-an kita sebagai manusia. Tepat pada 1 Syawal 1442 kita merayakan kemenangan melawan diri sendiri, sebab, pertarungan paling dahsyat adalah pertarungan melawan diri sendiri, bukan yang lain. 

Oya, jika Anda pembaca setia blog saya ini. Jika ada kata paling pas dan pantas saya tulis di akhir penutup, tidak lain dan tidak bukan, adalah permintaan maaf saya selaku manusia yang penuh kekurangan. Akhir kalam, Selamat Menunaikan Ibadah Lebaran.[]
***
Baca selanjutnya:
Kamis, 06 Mei 2021 1 Komentar

Honor Ngaji Saya di Korupsi Pejabat

Di suatu ruang kantor SD, tiga tahun lalu, saya pernah mendapat 'undangan jadi qori' pada acara pengajian di Pemerintahan Daerah (Pemda) Lampung. Sebelum hari H acara surat undangan saya terima dari salah seorang pejabat pemerintah dan sekaligus amplop honor pengisian acara. Tidak terlalu banyak honor yang saya terima: dugaan hati, saya akan menerima honor sebesar 500 ribu. 

Sial. Honor yang saya terima di ruangan itu sekitar 250 ribu. Tetapi saya bersyukur masih diberi, cukuplah untuk bekal menyambung perut selama sebulan. 

Sebenarnya honor yang saya terima sebesar 350 ribu jika Pak Pejabat tidak memberikan sebagian honor saya kepada dua guru tugas: Yang keduanya masing-masing mendapat 50 ribu. Sisa honor yang saya terima, setelah dipotong, jadi 250 ribu. 

Saya bersyukur Pak Pejabat berlaku adil kepada kami bertiga. Meski secara hak honor 350 ribu itu sebenarnya milik saya dan saya menyetujui permintaannya dan dengan sah saya meng-iya-kan untuk mengisi acara esok lusa.  

Setelah perbincangan sore itu usai, dua kawan saya, guru tugas itu, tampak gembira sebab keduanya punya uang pemasukan untuk keperluan pribadi setidaknya satu minggu kedepan. Mengingat keduanya jarang sekali mendapat honor dari atasan. Dan saya, selain mendapat honor, mendapat pujian "selamat" dari beberapa guru SD dan dari dua kawan itu juga, dua guru tugas, karena mendapat suatu kehormatan di undang oleh pejabat negara! Waw sekali kata mereka. 

Dan tepat hari acara tiba, saya di jemput dengan mobil  Xpander, yang sopirnya kawan saya sendiri, seorang guru tugas, dan di dalam mobil itu saya dan kawan sopir ini banyak bercakap-cakap bagaimana perjalanan saya menghafal alquran dan kesiapan saya nanti melantunkan ayat-ayat suci. 

Saya bersyukur setelah dia mendengar perjalanan saya menghafal alquran kini dia menghafal alquran. Jadi saya tidak sia-sia dan berhasil memprovokasi dia untuk juga menghafal alquran sebab katanya, sedari dulu ingin menghafal alquran tetapi sulit mencari kawan yang mau sharing perjalanannya menghafal alquran. Sebab itu dia banyak mempertimbangkan keputusan ketika suatu saat nanti keputusan mulia itu dia ambil. 

Walhasil sesampainya di ruang pengajian, Masjid, saya oleh petugas di arahkan dan di persilahkan duduk di paling depan, dekat mihrab, bersama Pak Ustadz yang kebagian ceramah di depan aparatur negara! 

Selang beberapa menit setelah duduk saya melihat pemandangan yang tidak biasa: Orang-orang Lampung menatap penuh tanya; siapa gerangan di depan panggung yang berkacamata dan ber-jaz pesantren? 

Pembawa acara membuka acara dengan canda dan memperkenalkan nama saya di depan aparatur negara itu bahwa saya berasal dari Jawa dan salah satu saudara Kyai si Fulan. 

Dan usai lelucon itu, salah seorang petugas lain, menghampiri saya untuk bertanda tangan: sehelai lembar kertas bertuliskan, "Honor Pengisi Acara." Kurang lebih maksud tulisan di lembaran kertas itu jika saya tidak lupa. 

Saya coba baca sejenak isi lembaran itu dan isinya, dugaan awal saya benar! Saya mendapat honor 500 ribu rupiah! 

Petugas itu memerhatikan gerak-gerik saya karena, mungkin, terlalu lama bertanda tangan. "Sebagian honor Bapak kami potong pajak administrasi," Ujarnya. Saya senyum dan menyodorkan raut muka biasa saja dan menjawab, "Iya." 

Kepala saya berkalung pertanyaan: Apa benar honor ngaji saya di korupsi pejabat?[]
*** 
Baca selengkapnya
Kamis, 15 April 2021 0 Komentar

Bersemedi di Gua Luka

Aku memutuskan untuk menjauh bukan berarti membencinya. Tetapi karena aku melindungi diri dari luka. 

Aku memutuskan untuk diam bukan berarti ingkar perhatian. Tetapi karena cinta kian mendalam mengajak untuk berkata jangan. Karena engkau terlalu suci untuk aku nodai. 

Aku memutuskan untuk tertawa dalam kerumunan. Untuk menunjukkan inilah aku di mata kawan bahwa aku lebih baik sendirian meskipun dalam kesakitan. Dan kini aku memutuskan untuk bersemedi di gua luka. 
Minggu, 14 Maret 2021 4 Komentar

5 Alasan Mengapa Aku Memilih Ngejomblo

Sebenarnya aku tak mau menulis tema tentang jomblo ini. Apapun itu yang kadang terkesan klise patut di ulang dan di tayangkan kembali sebagai pelengkap pencerahan hidup bahwa jomblo pun memiliki cara tersendiri menepati kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah makna penantiannya.

Beberapa bulan lalu aku, dan dua kawan komunitas, pernah di tanya di sebuah forum virtual dengan nada pertanyaan yang menggemaskan: "Ketiga calon kandidat ini apakah sudah punya pacar?"
Menjawab pertanyaan ini rada-rada ngeh sebab akan di dengar oleh orang-orang yang jago bully dan terpaksa ketiga kandidat menjawab dengan jujur sebagai tradisi ilmiah katanya.

Satu kawan jawab bahwa dia baru saja putus dan satu kawan lagi jawab punya pacar tetapi pasif : pacaran tidak aktif.  (ha.ha.ha...). Dan aku jawab tidak punya pacar dan tidak minat  pacaran.

Polos? Jelas. Bahagia? Tentu saja. Merasa tak punya pacar sebuah kebanggaan? Biasa saja sebab ini sebuah pilihan.

Mungkin hamba-hamba itu akan berkata "bilang saja kalau tak laku," dan aku, cukup cekikikan saja dan tak perlu balas dan tak harus di beberkan berapa Dhiajeng yang(ehem), diam-diam, mencintai.

Namun setidaknya memilih hidup tidak punya pacar saat berstatus mahasiswa ada kebahagiaan sendiri dan, kau tahu, diam-diam orang yang punya pacar pun terkadang ingin (memilih) hidup bebas dari jeratan aturan kekasih - yang kadang-kadang katanya bikin jengkel!

Dan inilah alasan mengapa aku memilih ngejomblo.

Pertama, pacaran berpotensi memikirkan sesuatu yang aneh-aneh atau hal-hal tak penting semisal galau. Kebanyakan orang punya pacar berpikir aneh-aneh mengenai pacarnya sebab di luar sana kemungkinan-besar ada orang yang ingin meminang pacarnya dan tentu itu akan mengganggu pikiran atau bahkan galau tingkat dewa. 

Aku tak mau galau karena perempuan.
Dan hal lain tidak repot mikir minggu depan mau jalan kemana dan uangnya mana - tentu itu membutuhkan biaya. (ha.ha.ha...) Sedangkan aku lebih fokus memikirkan bagaimana hidup bisa nyaman dan mapan untuk persiapkan pernikahan nanti. Inilah makna penantian.

Kedua, aku tidak punya modal untuk membiayai anak orang. Sebagaimana di sebutkan sebelum paragraf ini bahwa orang punya pacar ternyata membutuhkan biaya; dan aku tidak punya tabungan tebal untuk membiayai  anak orang; dan daripada untuk hal-hal yang tidak jelas; mending di buat ngopi sama teman atau di buat investasi; dan akan lebih bermanfaat bila (di) sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentu itu akan menambah celengan amal baik kita kelak di (dunia) akhirat (alasan ini tipikal orang-orang religius, sesekali bolehlah jadi orang macam ini). 

Ketiga, aku tidak mau ribet. Orang yang ribet hidupnya tidak bahagia dan pacaran bagiku sebuah bentuk aktivitas yang bikin orang ribet. Aku bukan berarti pernah mengalami hal ini dan aku tahu karena orang pacaran mengatakan demikian bahwa pacaran itu bikin ribet. Maka sejak fatwa itu aku dengar dari kawan yang pernah pacaran aku tidak mau pacaran dan tidak mau ribet karena pacaran.

Mau bepergian saja harus izin, katanya. Mau pakai ini itu saja harus di atur dan harus sesuai dengan selera pasangan. Belum makan saja di tanya dan sudah makan pun masih di tanya. Mau kuliah harus di jemput dan pulang kuliah pun harus di jemput. Sungguh  pacaran bikin ribet!

Keempat, hidup lebih sejahtera. Bukan berarti orang yang punya pacar hidupnya tidak sejahtera namun kesejahteraannya semu. Alias kebahagiaannya bersifat sementara dan palsu karena di atur oleh pacar dan tidak bebas.

Dan kebahagiaanku lebih leluasa dan bersifat bebas. Mengapa? Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau: chattingan sama semua teman, yang perempuan, misalnya. Itu tidak jarang mungkin dilakukan orang yang punya pacar - kecuali, dalam bahasa mereka, dia sang buaya - sebab kalau ketahuan bisa mati kutu dia.

Dan tentu aku bisa banyak curhat pada teman dekat itu: tentang siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling kesepian dan siapa yang paling beruntung di antara kita dan, kau tahu, kami bisa sama-sama tertawa, layaknya orang punya pacar namun hanya sebatas teman tidak lebih, dan saling memberi support.

Selain itu aku lebih leluasa dan bebas bercengkrama siang malam bersama kawan-kawan komunitas maupun organisasi: ngopi bareng, olahraga, tukar pikiran, diskusi serius, semisal, siapa nanti yang paling duluan nikah dan, hal-hal lain yang tak bisa di paparkan semua di sini.

Dan selanjutnya aku kehabisan ide menulis alasan mengapa aku memilih hidup menyendiri atau bahasa lain: ngejomblo. Jika kau sama seperti aku, jomblo, mungkin bisa menambahkan alasan itu di kolom komentar. 

Sebenarnya ada satu alasan lagi yang belum  aku tulis di sini dan aku gugup menuliskannya. Sebab sampai kini pun aku menunggu alasan dia: mengapa dia memilih menyendiri sepertiku. Baiklah ... inilah alasannya, klik.
 
;