5 Alasan Mengapa Saya Nggak Makan Ikan Laut maupun Ikan Sungai
tentang seorang kakek nenek
saban hari perut tak terisi nasi
Ia berobat tabah, menghadapi wabah
Si kaya pura-pura
tak sadar akan murka,
dunia seolah milik mereka
Di kota ini,
ada seorang politikus
yang lebih rakus daripada tikus
uang kertas jadi identitas
Seperti kapas, bicaranya melayang-layang
sok sok'an bicara keadilan
Adakah di Kota Anda
manusia semacam mereka?
Di kota ini,
virus menjadi-jadi
politisi sibuk makan sendiri
bicara beras, hak rakyat dirampas
Di kota ini,
kami butuh sesuap nasehat
bukan penjahat, bukan pula pesulap
yang selalu mencuri uang rakyat
Di kota ini,
Adakah keadilan
yang dinanti-nanti?
Adakah secangkir kopi
untuk pagi hari nanti?
Persepsi beberapa orang menganggap aku seorang intelektual: Dengan aku gila melahap kertas kertas semesta (buku), menulis menghasilkan banyak karya, berdiskusi penuh retorika adidaya. Aku seorang intelektual, kata mereka.
Tetapi pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Memajang buku-buku di ruangan hanya untuk pameran, bukan untuk bacaan, bukan pula kepekaan menyelesaikan problem kebodohan.
Buku-buku itu hanyalah pemenuhan hiasan rumah semata; tidaklah peka menyalurkan kepada orang-orang yang pula membutuhkannya. Buku-buku itu tidaklah lebih sekadar kertas kertas biasa. Untuk menunjukkan inilah Aku Manusia Paling Berkualitas, setumpuk buku pemenuhan kesombongan semata.
Pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Menulis suatu hal "untuk menarik orang" mengakui bahwa Aku Yang Paling Aku, Yang Paling Intelektual. Menulis suatu hal untuk memancing orang untuk menjadi aku. Dan orang-orang akan terperangkap dalam nafsu; sehingga aku dapat memenuhi hasrat nafsu birahiku dan mengajaknya untuk bercumbu.
Kata "bercumbu" ini begini, maksudnya: Aku mampu menulis kata-kata memikat dan menghasilkan kalimat-kalimat menjerat pembaca. Dengan kelihaian aku menciptakan sebuah kata-kata dapat mengajak pembaca menjadi aku. Menjadi bagian kebutuhan seksual-ku, dengan cara halus mengajaknya untuk berkolaborasi. Pada titik demikian, perempuan maupun laki-laki, telah aku taklukkan; dan dengan mudahnya aku meminta sesuatu darinya.
Tetapi pada kenyataannya aku memang bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Yang kalau berbicara atau beretorika seolah-olah telah banyak membaca padahal cuti membaca kata-kata. Beretorika seolah-olah bernutrisi padahal hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Bukankah sibuk berambisi dengan eksistensi bukanlah ciri manusia sejati?
Pada kenyataannya aku hanyalah seorang yang berambisi dengan eksistensi sehingga lupa diri. Bahwa aku pada ketidaksadarannya sibuk memenuhi kepentingan diri. Kepentingan mencari popularitas sehingga lupa mana yang berkapasitas dan mana pula yang berkualitas. Hingga lupa pula menjadi manusia. Menjadi manusia yang seharusnya menjadi manusia. Kini sebut saja aku manusia biasa, tidak lebih daripadanya.
Sebermula kebiasaan berkontemplasi itu saya rasakan semenjak masih bocah. Kira-kira ketika saya belajar pada ibu, tentang pelajaran sekolah.
Ketika itu ibu menemani saya belajar tentang pelajaran sekolah yang bagi saya sulit. Ibu, dengan keterbatasan pengetahuan cara mendidik anak belajar yang baik, tidak sabar mendidik saya dan memaksanya dengan cepat menangkap pelajaran; sedangkan saya, bocah yang lemah kinerja otaknya, tak mampu menangkap pelajaran dengan baik.
Karena ketidaksabaran ibu dalam mendidik, keterbatasan pengetahuan mendidik anak belajar, akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata—yang sengaja tidak saya tulis—tidak elok dan saya menjawab, dengan raut muka polos, berdasarkan pengakuan Ibu ketika saya sudah remaja: “Biar kelak, dengan sendirinya, saya bisa belajar dengan baik, Buk, tanpa harus ibu memaksa saya untuk bisa hari ini. Saya bisa belajar sendiri.”
Semenjak itu ibu tidak pernah lagi menemani saya belajar membaca, mengerjakan tugas sekolah, menemani saya menghafal surat-surat pendek alquran. Saya menangis keras keras dalam hati di ruang pojok rumah dan tidak mau bertemu orang sekitar, murung berhari-hari, tidak mau belajar pada siapapun, dan hampir saya trauma belajar karena merasa, pada saat itu, belajar bagi saya membosankan, tidak menyenangkan, bikin saya menangis, tidak membuat saya bahagia.
Saya kehilangan semangat belajar. Itulah pikiran seorang bocah yang masih kelas 6 sekolah dasar, yang tidak tahu membaca, mengaji alquran, berhitung, tidak tahu pentingnya belajar. Tidak sedikit kawan sebaya mengejek saya karena tidak bisa apa yang mereka bisa. Seolah pencapaian yang mereka miliki, akan bertahan seiring berjalannya waktu tanpa usaha merawatnya dengan baik, dengan tidak menjadi manusia sombong.
Saya berusaha keras bagaimana agar mencapai apa yang mereka bisa: membaca buku, membaca alqur'an dengan baik, berbicara tanpa malu di depan kelas, bersosial sebagaimana layaknya manusia, dan hal apapun berkaitan dengan kekurangan saya, terkhusus lemahnya menangkap pelajaran.
Dan saya bersyukur segara sadar apa kekurangan yang saya miliki, tanpa malu saya akui bahwa saya memiliki kekurangan pada bagian kinerja otak. Bahwa tidak semua di antara manusia harus bisa pada waktu yang bersamaan, termasuk dalam hal pencapaian prestasi. Hanya soal waktu siapa yang paling berhak menentukan kompetisi, eh. Tetapi saya tidak suka berkompetisi, saya tidak suka kejuaraan semu. Sebab saya meyakini tiap manusia mempunyai prestasi. Tinggal bagaimana ia menggali potensi yang ada pada dirinya.
Saya berkeyakinan, pada saat itu maupun saat ini, bahwa saya memiliki potensi yang mungkin tidak dimiliki orang lain, dalam hal ini semangat belajar memperbaiki keadaan diri penuh kekurangan. Maka untuk mencapai hal itu lebih baik fokuslah pada apa yang mesti saya perbaiki dan berusaha keras tanpa lupa berdoa. Tanpa kesadaran itu, mungkin saya menjadi manusia sampah, menjadi manusia haus pujian semata, manusia yang berambisi dengan eksistensi hingga lupa diri.
Bukankah manusia akan lelah berambisi dengan eksistensi?
Dewasa ini saya memetik pelajaran penting, yang pernah menjadi korban bullying, yang menjadi korban salah didik-mendidik, bahwa pencapaian seseorang tidak bisa kita ukur berdasarkan zaman di mana mereka sedang berproses belajar. Sebab manusia diciptakan memang untuk belajar. Pencapaian itu bisa kita ukur seberapa kebermanfaatannya kontribusi kita untuk orang lain. Itulah, bagi saya, prestasi yang paling berarti hidup di dunia ini.
Sekali lagi ... tanpa kesadaran itu--perihal ketidaksempurnaan dan pencapaian--kita akan sibuk mencari popularitas diri tanpa menyadari satu sebutan berarti: Kualitas. Definisi "kualitas" yang saya maksud, adalah menjadi manusia luhur, menjadi manusia yang tidak gampang menyepelekan liyan.
Kini ibu lebih bijak dalam mengatur pendidikan anaknya. Ia lebih mawar diri tanpa mengikuti egoisasi diri. Tentu kesadaran demikian mengantarkan kita menjadi manusia berprestasi, meski tanpa menjunjung tinggi medali emas.
Upaya Menggapai Mimpi: Mahasiswa Baru, Penerima Beasiswa Bidikmisi, Kader Intellectual Movement Community (IMC)
Beberapa bulan lalu aku, dan dua kawan komunitas, pernah di tanya di sebuah forum virtual dengan nada pertanyaan yang menggemaskan: "Ketiga calon kandidat ini apakah sudah punya pacar?"
Menjawab pertanyaan ini rada-rada ngeh sebab akan di dengar oleh orang-orang yang jago bully dan terpaksa ketiga kandidat menjawab dengan jujur sebagai tradisi ilmiah katanya.
Satu kawan jawab bahwa dia baru saja putus dan satu kawan lagi jawab punya pacar tetapi pasif : pacaran tidak aktif. (ha.ha.ha...). Dan aku jawab tidak punya pacar dan tidak minat pacaran.
Polos? Jelas. Bahagia? Tentu saja. Merasa tak punya pacar sebuah kebanggaan? Biasa saja sebab ini sebuah pilihan.
Mungkin hamba-hamba itu akan berkata "bilang saja kalau tak laku," dan aku, cukup cekikikan saja dan tak perlu balas dan tak harus di beberkan berapa Dhiajeng yang(ehem), diam-diam, mencintai.
Namun setidaknya memilih hidup tidak punya pacar saat berstatus mahasiswa ada kebahagiaan sendiri dan, kau tahu, diam-diam orang yang punya pacar pun terkadang ingin (memilih) hidup bebas dari jeratan aturan kekasih - yang kadang-kadang katanya bikin jengkel!
Dan inilah alasan mengapa aku memilih ngejomblo.
Pertama, pacaran berpotensi memikirkan sesuatu yang aneh-aneh atau hal-hal tak penting semisal galau. Kebanyakan orang punya pacar berpikir aneh-aneh mengenai pacarnya sebab di luar sana kemungkinan-besar ada orang yang ingin meminang pacarnya dan tentu itu akan mengganggu pikiran atau bahkan galau tingkat dewa.
Dan hal lain tidak repot mikir minggu depan mau jalan kemana dan uangnya mana - tentu itu membutuhkan biaya. (ha.ha.ha...) Sedangkan aku lebih fokus memikirkan bagaimana hidup bisa nyaman dan mapan untuk persiapkan pernikahan nanti. Inilah makna penantian.
Kedua, aku tidak punya modal untuk membiayai anak orang. Sebagaimana di sebutkan sebelum paragraf ini bahwa orang punya pacar ternyata membutuhkan biaya; dan aku tidak punya tabungan tebal untuk membiayai anak orang; dan daripada untuk hal-hal yang tidak jelas; mending di buat ngopi sama teman atau di buat investasi; dan akan lebih bermanfaat bila (di) sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Tentu itu akan menambah celengan amal baik kita kelak di (dunia) akhirat (alasan ini tipikal orang-orang religius, sesekali bolehlah jadi orang macam ini).
Ketiga, aku tidak mau ribet. Orang yang ribet hidupnya tidak bahagia dan pacaran bagiku sebuah bentuk aktivitas yang bikin orang ribet. Aku bukan berarti pernah mengalami hal ini dan aku tahu karena orang pacaran mengatakan demikian bahwa pacaran itu bikin ribet. Maka sejak fatwa itu aku dengar dari kawan yang pernah pacaran aku tidak mau pacaran dan tidak mau ribet karena pacaran.
Mau bepergian saja harus izin, katanya. Mau pakai ini itu saja harus di atur dan harus sesuai dengan selera pasangan. Belum makan saja di tanya dan sudah makan pun masih di tanya. Mau kuliah harus di jemput dan pulang kuliah pun harus di jemput. Sungguh pacaran bikin ribet!
Keempat, hidup lebih sejahtera. Bukan berarti orang yang punya pacar hidupnya tidak sejahtera namun kesejahteraannya semu. Alias kebahagiaannya bersifat sementara dan palsu karena di atur oleh pacar dan tidak bebas.
Dan kebahagiaanku lebih leluasa dan bersifat bebas. Mengapa? Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau: chattingan sama semua teman, yang perempuan, misalnya. Itu tidak jarang mungkin dilakukan orang yang punya pacar - kecuali, dalam bahasa mereka, dia sang buaya - sebab kalau ketahuan bisa mati kutu dia.
Dan tentu aku bisa banyak curhat pada teman dekat itu: tentang siapa yang paling bahagia dan siapa yang paling kesepian dan siapa yang paling beruntung di antara kita dan, kau tahu, kami bisa sama-sama tertawa, layaknya orang punya pacar namun hanya sebatas teman tidak lebih, dan saling memberi support.
Selain itu aku lebih leluasa dan bebas bercengkrama siang malam bersama kawan-kawan komunitas maupun organisasi: ngopi bareng, olahraga, tukar pikiran, diskusi serius, semisal, siapa nanti yang paling duluan nikah dan, hal-hal lain yang tak bisa di paparkan semua di sini.
Dan selanjutnya aku kehabisan ide menulis alasan mengapa aku memilih hidup menyendiri atau bahasa lain: ngejomblo. Jika kau sama seperti aku, jomblo, mungkin bisa menambahkan alasan itu di kolom komentar.
Sebenarnya ada satu alasan lagi yang belum aku tulis di sini dan aku gugup menuliskannya. Sebab sampai kini pun aku menunggu alasan dia: mengapa dia memilih menyendiri sepertiku. Baiklah ... inilah alasannya, klik.