Senin, 24 Mei 2021 0 Komentar

Upaya Menggapai Mimpi: Mahasiswa Baru, Penerima Beasiswa Bidikmisi, Kader Intellectual Movement Community (IMC)

Pergantian tahun merupakan pelajaran merenungi diri dan membuka kembali lembaran yang pernah saya tulis di PETA IMPIAN dua ribu delapan belas tiga tahun lalu adalah: dua ribu sembilan belas saya harus kuliah!

Tepat pada 2 Januari 2019, dua tahun lalu, saya menghirup udara segar di sekitar kecamatan Kaliwates kota Jember. Malam itu kedua kalinya saya berniat belajar dan mengajar untuk mengabdi di sebuah pesantren—yang sebelumnya mengabdi diri di Lampung—dengan keterpaksaan: sesungguhnya saya hendak belajar di tempat lain yang jauh lebih asyik.

Setelah perjamuan di dhalem pengasuh ada momen yang sulit di lukiskan kata-kata saat Eman berkata: “Yang sabar dalam mendidik anak orang ya, Nak. Siapa sangka di tempat ini kau menemukan jalan meraih impianmu.” Mata tiba-tiba mendung dan seketika itu gerimis. 

Memang kata-kata Emak selalu mengundang motivasi belajar di satu sisi dan di sisi lain sempat menghancurkan impian saya dan kekhawatiran berlebihan Emak itulah saya kecewa lantaran tidak bisa melanjutkan studi ke luar negeri maupun di negeri sendiri. Dan saya paham mengapa Emak empat tahun lalu (saat lulus SMA 2016) tidak mengizinkan saya menempuh pendidikan di kampus dan desakan Emak, mau tidak mau, saya mengikuti perintahnya: masuk di dunia pesantren lagi dan lagi.

Belajar di pesantren merupakan alternatif terakhir bagi saya untuk tetap mengisi ke kosongan waktu dan saya pikir daripada berdiam diri di rumah tanpa ada kegiatan mendukung potensi diri lebih baik berjalan sembari membaca peluang.

Saya percaya bahwa keberhasilan dan kegagalan setiap orang berada pada jalannya masing-masing dan saya belajar mencari peluang dari setiap masing-masing jalan. Satu jalan yang saya tempuh adalah keberanian diri mencari relasi dan peluang.

Entah berapa ribu orang telah saya repotkan mengenai pendaftaran masuk kampus. Tawaran kuliah di luar negeri Oleh Gus dan orang-orang penting tidak bisa dibendung. Jika saya ambil kesempatan itu maka besar kemungkinan saya berhadapan lagi dengan kebijakan kedua orang tua dan peluang restu kecewa jauh lebih dominan sebab kedua orang tua bukanlah orang yang, bisa dikatakan, awan dalam dunia pendidikan. 

Pertimbangan besar orang tua jika saya kuliah di luar negeri maupun di negeri sendiri adalah biaya kuliah yang mahal!
“Kau boleh kuliah asalkan dapat beasiswa. Emak dan Bapak hanya mampu membiayaimu pendaftaran saja dan selebihnya kau berusaha cari biaya hidup sendiri di kampus.” Katanya. 
“Enjeh, asalkan Bapak dan Ibu merestui kulo kuliah. Kulo akan berusaha cari beasiswa. Dan kulo mohon restu agar dimudahkan pendaftaran kuliah di IAIN Jember.”

Puluhan dosen saya temui untuk registrasi pendaftaran dan menanyakan bagaimana agar saya bisa mengikuti seleksi pendaftaran mahasiswa baru. Bukan karena saya tidak bisa mendaftarkan diri sendiri lewat jalur online. Bukan pula saya awam dunia internet. Bukan! Saya gagal melakukan pendaftaran kuliah karena ijazah SMA saya sudah kadaluarsa! 

Dan saya kecewa beribu-ribu kecewa pada diri sendiri maupun kepada kedua orang tua mengapa baru tahun ini saya di restui untuk bisa kuliah. Penolakan IAIN Jember telah bikin hidup saya seketika jadi ORANG KAFIR karena telah putus asa dari rahmat Tuhan yang Maha Baik. Saya KAFIR telah mendustakan nikmat yang begitu banyak Tuhan berikan kepada saya—bukan kafir dalam pengertian akidah, tentu saja. 
***
Seiring berjalannya waktu saya sakit sekitar setengah bulan dan saya pulang dari pesantran untuk sementara waktu dan kesempatan kuliah tahun ini saya pastikan gagal lagi karena pendaftaran Gelombang  Mandiri telah di tutup. 

Entah mengapa Tuhan izinkan diri saya sehat kembali meskipun saya masih ada rasa kecewa kepada orang tua dan orang tua menyuruh segera saya kembali ke pesantran—dengan cara halus orang tua mengusir saya jika kelamaan di rumah—dan saya menolak, tetapi pada akhirnya, saya  kembali lagi ke persantren berkat bujukan paman. 

Saya ingat: betapa waktu itu saya termasuk golongan anak durhaka kepada orang tua karena telah berani membantah dan membikin Emak menangis dan sewaktu saya pamit kembali ke pesantren, saya cium kedua telapak tangannya dan memohon maaf atas perilaku bangsat anak yang tak tahu diri ini.

Lagi-lagi Emak berkata. “Siapa sangka di pesantran itu kau menemukan jalan meraih impianmu.” Ia menangis tersedu-sedu. Satu dua tiga hari saya mulai sadar bahwa orang tua adalah segala-galanya untuk meraih impian hidup saya kelak. 

Di pesantran saya tidak diam begitu saja. Bapak Babun selaku rektor IAIN jember itu saya datangi rumahnya berkali-kali, namun, apalah daya Tuhan mengajari saya tentang kesabaran dan kata-kata Pak Rektor itu telah bikin saya kembali putuh asa dari rahmat Tuhan. “ Di sini bukan tempat pendaftran kuliah. Kalau mau daftar kuliah di kampus besok hari Senin.” Ujarnya tanpa mempersilahkan saya masuk sebagai tamu Agung. Saya kira Pak Rektor perlu ngaji kitab Ta’lim al-Muta’allim.
 
Entah mengapa beberapa hari kepulangan saya dari rumah Pak Rektor itu. Saya berselancar mencari informasi di internet mengenai pendaftaran mahasiswa baru di seluruh kampus PTKIN, dan ternyata, IAIN jember kembali membuka pendaftaran Mandiri Gelombang Kedua: akhirnya saya dipersilahkan untuk melakukan registrasi pendaftaran oleh admin—yang saya hubungi contact person yang tertera dan beberapa hari seteleh mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru saya dinyatakan lulus seleksi dan berhak melakukan pendaftaran ulang dan seketika itu saya diterima menjadi mahasiswa baru di kampus IAIN Jember yang pernah bikin hidup saya jadi pemuda KAFIR.
***
Jauh hari sebelum masuk dunia kampus saya banyak bertanya kepada puluhan mahasiswa tentang dunia akademik dan pembelajaran di kampus, katanya asyik, dan peluang mendapat Dhi’Ajeng jauh lebih mudah dibandingkan mendapat gelar sarjana. 

Dengan kata lain, mencari pacar di kampus jauh lebih mudah, Boi, daripada mencari buku referensi untuk penulisan skripsi sebagai syarat gelar kesarjanaan kita!

Setelah mengenal dalam dunia kampus satu di antara puluhan mahasiswa/i yang pernah saya tanyakan mengenai organisasi dan komunitas yang bergerak dibidang kepenulisan dan mau mengajari bagaimana menulis jurnal yang baik katanya: Intellectual Movement Community (IMC). 

Tentu saja saya tidak langsung percaya begitu saja tanpa ada pembuktian jawaban mereka dan seketika itu saya jadi stalker: mengintip kegiatan komunitas Intellectual Movement Community (IMC) melalui Instagramnya dan karena saya cukup banyak menemukan ke-cocok-an di komunitas IMC. Pada 10 November 2019 saya melakukan pendaftaran sekaligus pengumpulan persyaratan sebagai anggota baru dan pada 20  November saya dan beberapa calon anggota lain melakukan interview.

Masih segar dalam ingatan pada malam setelah interview entah berapa kilo meter saya menempuh jalan kaki menuju pesantren untuk pulang—dari kampus ke Kaliwates Pondok Pesantren Miftahul Ulum.
 
Menunggu angkotan kota tak kunjung datang dan karena terlalu larut malam saya memutuskan berjalan kaki sembari menikmati alunan bising pada malam hari di mana saya merasakan bahwa hidup memang tak melulu soal bahagia itu sederhana dan nasihat “jangan lupa bahagia” sepertinya harus mempertimbangkan keadaan saya alami malam itu dan mari kita katakan “kebahagian akan dirasakan oleh orang-orang yang menerima terpaan cobaan dan mampu melaluinya dengan kesabaran; dan kekesalan akan dirasakan oleh orang-orang yang, meski cukup klise, tidak mau bersyukur.” Kekesalan itu ada karena saya gagal merawat kebahagian menikmati proses yang berliku-liku. 

Usai menikmati bising malam di trotoar jalanan dan sesampai di asrama pesantren saya buka smartphone bagian fitur yang lazim, WhatsApp, saya mendapati banyak pesan masuk, terutama grup, dan saya buka kali pertama grup WhatsApp Manajemen Zakat dan Wakaf (Mazawa 2019), dan kawan-kawan banyak mengucap kata-kata klise. “Selamat Fathur Roziqin diterima sebagai penerima beasiswa bidikmisi 2019 dan bla bla bla…” seketika itu saya sujud syukur puluhan menit dan saya kegirangan bukan main malam hari yang melelahkan itu: betapa karunia Tuhan sangat indah sekali. 

Setelah menjalani kehidupan berbulan-bulan penuh kerumitan terkait pendaftaran masuk kampus, akhir cerita, Tuhan memberi hadiah lain kepada saya dengan menguji hambanya menjadi KAFIR dulu. Oh… betapa rendahnya iman saya waktu itu. 

Pada kesadaran yang mencuat saya belajar tentang banyak hal—tentang kesabaran, keikhlasan menerima, menjalani perjuangan, dan ketulusan berbakti kepada orang tua maupun segenap lapisan masyarakat—baik ketika masuk dunia kampus maupun dunia komunitas yang bernama Intellectual Movement Community (IMC). 

Beberapa minggu setelah interview saya, tentu saja, menunggu akhir keputusan juri dan panitia Open Recruitment Kader Baru dan saya dinyatakan resmi sebagai kader baru di Intellectual Movement Community (IMC) angkatan ke-5 pada akhir November 2019 bertepatan semester perdana sebagai mahasiswa baru. 

Betapa melelahkan saat-saat dimana saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru, penerima beasiswa bidikmisi, dan sampai penerimaan anggkota baru kader Intellectual Movement Community (IMC). Lagi lagi saya belajar satu hal: kesabaran.  Dan hal lainnya, tentang rahasia doa orang tua. Ya… rahasia doa kedua orang tua itu adalah senjata bagi saya, bagi Anda, bagi kita semua.

Tentang PETA IMPIAN dua ribu sembilan belas: menjadi mahasiswa, mahasiswa penerima beasiswa, mahasiswa yang belajar menulis (di komunitas IMC)—kini tercapai sesuai harapan. Semoga tahun ke tahun upaya menggapai impian menjadi kenyataan. Amin.
***
Baca selanjutnya:
Minggu, 23 Mei 2021 2 Komentar

Bagaimana Perasaan Ibu Saat Itu?

Eksesif awal kali pertama masuk pesantren menyebabkan anak lupa bahwa ada hati yang berkecamuk tak kuasa; yang tak bisa dijelaskan perihal berpisah dengan keluarga; dan anak tak mungkin tahu bagaimana sesungguhnya perasaan seorang Ibu ketika akan di tinggal anaknya belajar di pesantren. 

Hampir semua wali santri, Ibu, ketika memasrahkan anak masuk pesantren tak kuasa menahan letupan air mata. Saya tahu itu semenjak menjadi pengurus pesantren. Dan saya teringat, akan selalu teringat, dalam ingatan yang cukup tajam bahwa Ibu saya dulu pernah merasakan apa yang dirasakan Ibu wali santri: Ibu menjatuhkan air mata saat menitipkan anaknya ke dunia baru yang bernama pesantren. 

Memutuskan belajar di pesantren satu keputusan yang sedari kecil saya impikan, semenjak lulus madrasah ibtidaiyah. Dan baru terwujud masuk pesantren pada kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Mengingat saya hanya seorang anak buruh tani, saya tak cukup hanya meminta (hendak mondok) belajar di pesantren. 

Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu saya bekerja, dengan menjadi tukang pembuat tasbih, dan sebagai tambahan biaya, saya mengikuti arisan tiap minggu, yang di dalamnya ada Institusi Yasinan dan berbagai doa azimat lainnya.

Lambat laun rezeki mulai terkumpul dan Ibu memberi tahu bahwa tabungan hanya cukup buat pendaftaran. Saya yakin belajar di pesantren akan segera terwujud. Itu cita-cita yang tak bisa dilupakan hingga hari ini. 

Dengan harapan tinggi, saya dan keluarga, berdoa dalam tiap obrolan ringan; dan harapan satu satunya, kala itu, mendapat jatah turunnya nama Ibu dalam arisan yang, tentu saja, uang hasil arisan itu cukup untuk pemberangkatan saya masuk pesantren, sekaligus keperluan lainnya. Dan harapan itu terwujud sebelum akhir tahun 2011.

Tepat pada Sore, Ahad, 28 November keluarga, dan guru sekaligus paman, mengantarkan saya ke pesantren. Dan perasaan senang akan belajar di pesantren membuat saya lupa bahwa di balik layar kebahagiaan itu Ibu menangis saat saat di mana saya akan tidur di kotak kamar yang ukurannya 3x4 cm. yang kemungkinan akan bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, kecuali liburan, saya tak lagi di rumah. 

Kini atau bahkan nanti, air mata itu tak mungkin dapat dijelaskan atau bahkan dirasakan, sampai saya nanti menjadi orang tua, saya tak pernah mungkin tahu: bagaimana perasaan Ibu saat itu.

Jika ada cinta yang paling murni nan suci, maka cinta itu hanyalah ada dalam hati seorang yang bernama Ibu. 

Jika ada air mata yang paling syahdu pilu, maka air mata itu menetes, saya melihat, pada saat itu
***
Baca selanjutnya:
Rabu, 12 Mei 2021 0 Komentar

Kembali Menciptakan Kebiasaan Baik

Ramadhan bulan melatih diri dalam segala bentuk aktivitas: melatih diri berbuat baik maupun meminimalisir berbuat buruk. Saya, selama bulan Ramadhan ini, berusaha mengembalikan dan menciptakan kembali, rutinitas tahun lalu yang sempat tertata dengan baik, rutinitas membaca alquran 5 Juz dalam sehari, kecuali Jum'at, 30 Juz dalam sepekan. 

Rutinitas itu sebenarnya telah saya tanam semenjak menceburkan diri menghafal alquran. Namun rutinitas itu kembali kacau setelah saya boyong dari pesantren khusus menghafal alquran. Setidaknya, atau biasanya, saya di pesantren, kala itu, mewajibkan diri setiap hari rutin membaca alquran kurang lebih atau lebih dari 8 Juz. Itu karena kewajiban saya sebagai santri.

Pasalnya mewajibkan diri, dengan tekanan aturan pesantren, tidak membuat saya konsisten terhadap kebiasaan membaca quran setelah keluar dari pesantren. Ini berarti, dalam hal membaca alquran, saya gagal menjadi generasi yang gemar membaca alquran. 

Nah, bulan Ramadhan adalah miniatur memperbaiki diri dan mengembalikan diri berlatih menciptakan sesuatu yang dulu atau akan kita lakukan sebelas bulan ke depan untuk tetap mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang pernah kita kerjakan selama bulan Ramadhan. 

Jika Anda orang yang gemar membaca buku, misalnya, selama Ramadhan, maka di luar Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan bacaan buku Anda. Jika Anda orang yang gemar bersedekah, di bulan Ramadhan, maka di luar bulan Ramadhan Anda dapat mempertahankan atau meningkatkan sedekah Anda, sebagaimana kebiasaan  Anda membaca buku, sebagai bukti bahwa Anda telah berhasil membiasakan, mempersiapkan diri menghadapi kehidupan di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain, Ramadhan-kan di luar bulan Ramadhan. 

Kini sampai pada momen di mana kita bersenang-senang--setelah 30 hari menjalani karantina diri dan melatih ke-diri-an kita sebagai manusia. Tepat pada 1 Syawal 1442 kita merayakan kemenangan melawan diri sendiri, sebab, pertarungan paling dahsyat adalah pertarungan melawan diri sendiri, bukan yang lain. 

Oya, jika Anda pembaca setia blog saya ini. Jika ada kata paling pas dan pantas saya tulis di akhir penutup, tidak lain dan tidak bukan, adalah permintaan maaf saya selaku manusia yang penuh kekurangan. Akhir kalam, Selamat Menunaikan Ibadah Lebaran.[]
***
Baca selanjutnya:
Kamis, 06 Mei 2021 1 Komentar

Honor Ngaji Saya di Korupsi Pejabat

Di suatu ruang kantor SD, tiga tahun lalu, saya pernah mendapat 'undangan jadi qori' pada acara pengajian di Pemerintahan Daerah (Pemda) Lampung. Sebelum hari H acara surat undangan saya terima dari salah seorang pejabat pemerintah dan sekaligus amplop honor pengisian acara. Tidak terlalu banyak honor yang saya terima: dugaan hati, saya akan menerima honor sebesar 500 ribu. 

Sial. Honor yang saya terima di ruangan itu sekitar 250 ribu. Tetapi saya bersyukur masih diberi, cukuplah untuk bekal menyambung perut selama sebulan. 

Sebenarnya honor yang saya terima sebesar 350 ribu jika Pak Pejabat tidak memberikan sebagian honor saya kepada dua guru tugas: Yang keduanya masing-masing mendapat 50 ribu. Sisa honor yang saya terima, setelah dipotong, jadi 250 ribu. 

Saya bersyukur Pak Pejabat berlaku adil kepada kami bertiga. Meski secara hak honor 350 ribu itu sebenarnya milik saya dan saya menyetujui permintaannya dan dengan sah saya meng-iya-kan untuk mengisi acara esok lusa.  

Setelah perbincangan sore itu usai, dua kawan saya, guru tugas itu, tampak gembira sebab keduanya punya uang pemasukan untuk keperluan pribadi setidaknya satu minggu kedepan. Mengingat keduanya jarang sekali mendapat honor dari atasan. Dan saya, selain mendapat honor, mendapat pujian "selamat" dari beberapa guru SD dan dari dua kawan itu juga, dua guru tugas, karena mendapat suatu kehormatan di undang oleh pejabat negara! Waw sekali kata mereka. 

Dan tepat hari acara tiba, saya di jemput dengan mobil  Xpander, yang sopirnya kawan saya sendiri, seorang guru tugas, dan di dalam mobil itu saya dan kawan sopir ini banyak bercakap-cakap bagaimana perjalanan saya menghafal alquran dan kesiapan saya nanti melantunkan ayat-ayat suci. 

Saya bersyukur setelah dia mendengar perjalanan saya menghafal alquran kini dia menghafal alquran. Jadi saya tidak sia-sia dan berhasil memprovokasi dia untuk juga menghafal alquran sebab katanya, sedari dulu ingin menghafal alquran tetapi sulit mencari kawan yang mau sharing perjalanannya menghafal alquran. Sebab itu dia banyak mempertimbangkan keputusan ketika suatu saat nanti keputusan mulia itu dia ambil. 

Walhasil sesampainya di ruang pengajian, Masjid, saya oleh petugas di arahkan dan di persilahkan duduk di paling depan, dekat mihrab, bersama Pak Ustadz yang kebagian ceramah di depan aparatur negara! 

Selang beberapa menit setelah duduk saya melihat pemandangan yang tidak biasa: Orang-orang Lampung menatap penuh tanya; siapa gerangan di depan panggung yang berkacamata dan ber-jaz pesantren? 

Pembawa acara membuka acara dengan canda dan memperkenalkan nama saya di depan aparatur negara itu bahwa saya berasal dari Jawa dan salah satu saudara Kyai si Fulan. 

Dan usai lelucon itu, salah seorang petugas lain, menghampiri saya untuk bertanda tangan: sehelai lembar kertas bertuliskan, "Honor Pengisi Acara." Kurang lebih maksud tulisan di lembaran kertas itu jika saya tidak lupa. 

Saya coba baca sejenak isi lembaran itu dan isinya, dugaan awal saya benar! Saya mendapat honor 500 ribu rupiah! 

Petugas itu memerhatikan gerak-gerik saya karena, mungkin, terlalu lama bertanda tangan. "Sebagian honor Bapak kami potong pajak administrasi," Ujarnya. Saya senyum dan menyodorkan raut muka biasa saja dan menjawab, "Iya." 

Kepala saya berkalung pertanyaan: Apa benar honor ngaji saya di korupsi pejabat?[]
*** 
Baca selengkapnya
 
;