Selasa, 05 Juli 2022 0 Komentar

Yang Merindu


Dulu sekali, sewaktu saya masih bocah, saya pernah bercita-cita menjadi guru ngaji sebab bagi saya, pada waktu itu, guru ngaji adalah orang paling mulia di mata masyarakat dan oleh karena itu, saya ingin menjadi seperti mereka, orang yang mulia. 

Seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya setelah saya usai menempuh pendidikan di pesantren, saya betul-betul mewujudkan cita-cita itu hingga saya melanglang buana ke luar Jawa. Tepat pada tahun 2018 adalah dimana pertama kali saya menjadi guru ngaji, tiga tahun yang lalu, yang telah saya ceritakan sebelumnya di sini.  

Demikianlah: saya pernah tinggal di suatu tempat yang menjadi pengalaman pahit pertama saya dalam hal mengajar. Saya diminta mengajar oleh sanak saudara setelah proses satu tahun penuh menjalani karantina belajar di pesantren Semarang. 

Sebenarnya saya tidak ingin hanya mengajar, saya juga ingin melanjutkan pendidikan di sana—sekiranya saya mendapat beasiswa. Tapi harapan saya pupus setelah saya tahu bahwa ternyata  saya hanya dimanfaatkan oleh sanak saudara yang membawa saya ke rumahnya—ke lembaganya itu, alih-alih mendapat beasiswa justru kesia-siaan semata. 

Namun kini tuhan cukup setempal mewujudkan cita-cita saya sebagai anak buruh tani yang menginginkan belajar di perguruan tinggi dan hari ini saya diberi kesempatan untuk memaksimalkan kesempatan ini—dengan cara sebisa mungkin dapat saya beri kepada masyarakat atau generasi bangsa semisal mengajar atau mendidik anak orang (sebelum mendidik anak sendiri tentu saja).

Dari luar Jawa (sengaja tidak saya sebut nama lembaga tempat saya mengajar pertama itu sebab saya tidak menginginkan atau menuliskannya di sini) saya belajar cara belajar dan setelah dari sana saya mendapat kesempatan lain belajar mengajar di tempat lain—yaitu Jember—hingga saya bisa melanjutkan di perguruan tinggi—mungkin—berkat doa anak didik saya di pesantren mistahul ulum (sudah pernah saya tulis mengenai cerita ini di sini) itu.

Dan hari ini, ketika tengah menjalani KKN, saya teringat pada anak didik saya di luar jawa itu, dan saya merindukannya. Saya rindu pada anak-anak didik saya itu ketika menangis, ketika tertawa terbahak-bahak, ketika menyebut huruf-hurur hijaiyah dengan blepotan, dan, saya rindu pada mereka ketika meminta pulang dan bilang kepada keluarganya bahwa “saya sudah bisa baca surah-surah pendek!”

Pada dasarnya mereka adalah guru kehidupan saya. Saya belajar pada mereka tentang makna kesabaran dan mereka belajar pada saya tentang pengetahuan sebab—mungkin kita pernah tahu bahwa—katanya, “semua murid; semua guru”. Anak-anak saya itu adalah guru dan saya adalah muridnya. 

Dan catatan ini seperti guru yang merindu pada anak didiknya—jangan lagi dicari apa tujuannya. 
 
;