Selasa, 11 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik

Prosesi wisuda itu mengingatkan saya akan satu hal tentang harapan kehidupan lebih baik di masa depan; betapa tidak, sembilan tahun yang lalu, saya adalah bagian calon mahasiswa yang terlunta-lunta dan paling kebal ditolak kampus berkali-kali dan pada akhirnya, setelah pertarungan berdarah-darah menuntut hak saya sebagai anak bangsa, kampus menerima saya sebagai mahasiswa. 

Pengalaman itu begitu menancap kuat dalam memori perjalanan saya memperjuangkan pendidikan; sebab, empat tahun yang lalu, saya pernah tidak percaya lagi akan hari yang baru suatu hari nanti dan sempat putus asa bahkan tidak percaya lagi pada rahmat Tuhan! (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus). 

***

Pada Mei 2016, setelah tamat sekolah menengah, saya mengajukan niat baik kepada keluarga bahwa saya hendak belajar di kampus tetapi keluarga tidak menjawab. Hanya hening yang saya pahami dalam sorot kebijakannya. Hanya angan-angan dan andai-andai yang saya jalani kemudian hari. (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Pendidikan). 

Saya mengerti biaya masuk kampus terlampau mahal bagi keluarga kami; tetapi saya pikir, masih ada jalan yang bisa saya tempuh: jalur beasiswa. Begitu saya katakan kepada keluarga. Tetapi keluarga tetap bergeming, terutama Ibu; dan tetap saya tidak diperbolehkan atau lebih tepatnya tidak diizinkan belajar di kampus.

Langkah yang bisa saya tempuh setelah keluarga tidak mengizinkan untuk belajar hal-hal baru ialah pindah pesantren, pikir saya waktu itu.

Pada akhir November 2017, setelah saya kembali mengajukan niat baik kepada keluarga, saya pindah pesantren. Meskipun pada awalnya keluarga sempat tidak mengizinkan tetapi saya coba meyakinkan bahwa saya merantau untuk belajar sebagai bekal kehidupan saya dan keluarga kelak lebih baik.

Pada akhirnya keluarga mengerti maksud baik saya dan membolehkan saya pindah pesantren di Banyumanik, Semarang.

Pada Februari 2018, setelah khatam menghafal, saya kembali berencana belajar di kampus. Di luar Jawa itulah tempat belajar tujuan saya. Tetapi, setelah sampai di sana, saya kembali gagal kuliah. Kampus yang dijanjikan oleh sanak famili adalah hanya kebohongan semata. Saya kesal dan marah kepada siapa pun sebab waktu emas saya telah terbuang cukup panjang oleh orang-orang yang menghambat pendidikan saya.

Pada 02 Januari 2019, setelah berdamai dengan badai kehidupan, saya kembali masuk pesantren. Itu karena jalan masa depan sudah mentok. Bagi saya, pesantren bagaikan cahaya yang menerangi jalan gelap masa depan santri yang memiliki harapan besar. Di tempat pesantren ini kisah dimulai dan kepingan mimpi kembali saya susun sebaik mungkin. Di pesantren ini kisah proses belajar di kampus bermula.

***

Setiap hendak berangkat kampus saya harus menunggu angkutan umum dan pulang berjalan kaki dari kampus ke pesantren yang jaraknya cukup jauh. Tujuan saya berjalan kaki pulang kampus  berolahraga sore hari dan meminimalisir pengeluaran keuangan.

Tentu saja, karena kelamaan menunggu angkutan umum, terkadang saya telat masuk kuliah dan tak jarang oleh bapak dosen sering diingatkan supaya saya jangan telat melulu. Beruntung pada pertengahan semester tiga serangan covid meringankan beban berangkat kuliah dan memaksa kami belajar online. Itu artinya juga meringankan perjalanan kaki saya yang pegal-pegal kalau pulang kuliah di trotoar jalan.

Saya punya kesan mendalam selama belajar di kampus dan pesantren; ada banyak orang-orang baik yang mengelilingi saya selama proses belajar.

Ialah Kak Miftah dan Mbak Hani yang pernah mengantar saya ke pesantren Semarang dan Jember turut serta membantu proses biaya pendaftaran dan hutang biaya UKT semester awal kampus. Ialah Mas Diki yang sering membantu dan memberi pinjaman motor dan laptop ketika saya membutuhkan untuk belajar menulis dan keperluan lain.

Kepada Mas Diki saya punya kesan cerita mendalam.

Pada suatu waktu sekitar pukul setengah sebelas malam, ketika saya pulang mengikuti rekruitmen anggota komunitas kampus dan berjalan kaki dari kampus ke pinggiran jalan raya, dan angkutan umum sudah tidak ada lagi yang muncul tengah malam Mas Diki datang dari arah belakang dan kaget mengetahui saya terhuyung-huyung kelelahan.

"Loh, kok jalan kaki sampean," kata Mas Diki. "Kenapa nggak minta dijemput anak pondok, Mas."

"Hape saya mati sejak tadi," kata saya. "Mulai tadi jalan sambil nunggu lien lewat tapi nggak muncul-muncul, Mas."

Ia kemudian membonceng saya dan rasa letih saya kemudian terobati ketika sampai di pesantren. Itu bersamaan informasi grup whatsapp yang mengabarkan bahwa nama saya masuk bagian penerima beasiswa bidikmisi. Seketika itu saya bersimpuh sujud dan menangis sebab beban pikiran saya selama semester awal ialah bagaimana membiayai kuliah setelah jadi mahasiswa. Dan tidak mungkin saya meminta biaya kuliah ke orangtua sebab itu janji saya dahulu sewaktu meminta izin kuliah bahwa saya tidak akan memberatkan keuangan keluarga.

Karena itu saya jualan buku dan belajar menulis di media massa untuk bertahan dari gempuran kebutuhan kehidupan mahasiswa.

***

Pada akhir bulan 2021 badai kehidupan memaksa saya boyong dari pesantren sebab Ibu sakit dan saya tidak bisa lagi berangkat kuliah dari pesantren. Serangan covid dan penyakit Ibu memaksa saya harus boyong dari pesantren. Rasanya hantaman badai itu datang bertubi-tubi dan memaksa saya segera mengambil keputusan.

Saya bersyukur keuangan pada waktu kepulangan dari pesantren itu stabil: sisa laba penjualan buku, honor mengajar di sekolah dasar, les privat mengaji anak tentara, dan menulis di media massa cukup untuk mengobati Ibu dari penyakit diabetesnya. Meskipun setelah lima bulan berikutnya, Bapak ikut sakit dan saya kembali di koyak-koyak kebingungan dan kesedihan.

Kini saya merindukan momen belajar di tempat itu. Karena itu saya menulis catatan cerita ini. Kepada kawan-kawan kelas saya punya kesan cerita belajar bersama.


Imam yang sering menemani saya lalu lalang menikmati kesendirian dan curhatan berbagai hal nasib kehidupan. Fina si koordinator kelas yang baik dan cantik tetapi juga kadang menjengkelkan kalau sedang mood rusak. Mufid dan Isbad yang sopan dan baik dan pernah mengantarkan saya pulang kampus karena tidak punya motor dan uang. Sigit yang rajin belajar setelah berkenalan buku-buku bagus dan suka mengajak ngopi untuk mendiskusikan pemikiran para cendekiawan. Kasia yang sempat kesal kepada saya. Viella adalah teman senasib ketika perjalanan pulang kampus di dalam angkutan umum. Dikna yang menjengkelkan dan pernah menjotos perut saya hingga hampir kehabisan nafas tidak mungkin saya lupakan kecuali ia meminta maaf dan memaafkan saya yang sempat membuat ia jengkel karena menampilkan foto masa sekolah menengahnya.

Dan juga kawan-kawan lain: Ada Elsa, Rizki, Rifqian, Isnia, Musa, Miftah, Nisa, Ica, Kholifah, dan Yuni yang sebentar lagi jadi calon Bu Nyai. Ada Fenti, Wilda, Izzul, Masrur, Diah, Alif, Bahul, Dewi, dan Fajrul yang tampaknya kini makin bertenaga. Ada Vandi, Mohamed, Puy, Fita, Erlin, Jorna, Nadia, Ifa, Salwa, Nabil, Riko, Balqis, Roni, Novita, dan Salsa yang semuanya orang-orang baik yang pernah saya kenal.


Kepada kawan-kawan komunitas kampus saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama.

Bersama Wahid saya sering terlibat adu pikiran dan mengakui ia pintar tetapi lemah ketika berhadapan  masalah dengan Azwar. Seorang teman yang sebetulnya bisa diajak ngopi dan berdiskusi panjang lebar kalau saja topiknya tepat pada hal lucu-lucu dan menggemaskan. Ada Bagus, Mas Ulum, dan Mas Rauf yang calon cendekiawan; serta Mas Yazid dan Mas Fian yang calon pengusaha. Ada Willy, Mbak Miftah, Mbak Windar, dan Mbak Aya dan kawan-kawan lain: Pras, Amel, Afifah, Rifqi, Mas Rohim, Mas Fauzi, dan seterusnya.

Kepada para dosen yang jadi guru dan mitra diskusi kalau saya bingung memahami suatu hal adalah keniscayaan: ada Ayah Nur Solikin, pembina komunitas intelektual (semoga beliau sehat selalu); ada Pak Anam, dosen pembimbing skripsi; ada Pak Munib, dosen inovatif dan tekun berbisnis; ada Pak Taqim, dosen detail yang hafal banyak jalan dan wilayah Nusantara; ada Pak Fawaizul Umam, dosen pengajar filsafat ilmu; dan Pak Faiz Rektor, dosen pengajar berpikir kritis-analitis di komunitas; ada Pak Fauz, dosen favorit mahasiswa baru; dan Pak Fauzan yang tak pernah henti-henti memotivasi mahasiswa selalu; ada Bu Nikmah, dosen pascasarjana yang baik hati; Pak Muhibbin, dosen pengajar paradigma ilmu; Pak Gun, dosen pengajar manajemen pendidikan; dan ada Bu Nurul, dekan yang suka bercerita pengalaman hasil penelitiannya yang unik-unik dan menantang di kelas kuliah.

Kepada kawan-kawan KKN saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama selama empat puluh satu hari di Kalianyar, Ijen, Bondowoso. Ada Faqih, Fikri, dan Rudi serta Vina, Dini dan Mita, adalah teman yang enak diajak ngobrol hal apa saja: perasaan getir memendam api cinta, putus hubungan sama pacar, masalah keluarga, dan obrolan kekacauan organisasi kampus. Ada Resa, Sisil, Faiz, Asti, Mey, Liha dan Nikita adalah teman yang kini jarang ada kabarnya. Moga-mogo mereka sehat selalu.

Dalam proses belajar ini menyadarkan saya akan satu hal: Kita lahir menjadi orang baik ketika kita mampu dan dapat terus tumbuh menjalin hubungan baik serta menjaga harta kehidupan yang telah ditanamkan Tuhan sejak belia. Harta kehidupan yang dimaksud ialah sifat adil dan jujur, penuh kasih sayang, tanggung jawab, dan cerdas menjalin hubungan baik dengan sesama ... meskipun terkadang pada suatu waktu tertentu kita saling bertikai dan kemudian menjalin hubungan kembali fitrah kita sebagai manusia.

Saya tidak tahu kapan saya akan menemukan tempat belajar dan orang-orang baik seperti mereka  yang menyenangkan lagi setelah ini. Mungkin, universitas mertua adalah jawabannya, aih. Maksud saya universitas kehidupan. Selamat berjumpa kembali di lain waktu, Kawan.

0 Komentar

Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus

Malam itu, tepat usai tahun baru, pada 02 Januari 2019, adalah awal kedatangan saya pindah pesantren ke Kaliwates Jember. Ialah setiap hari bagi santri baru adalah hari-hari yang baru.

Tapi sesuatu disebut baru apalagi santri mampu dan dapat terus tumbuh beradaptasi dengan harapan dan impian yang mengitari lingkungan kehidupan sekitarnya. Itu sesuatu yang rumit dan butuh adaptasi panjang mengikuti alur kehidupan.

Tapi apapun tantangannya sebagai santri baru memaksa dirinya harus beradaptasi dan sebisa mungkin mengerti keadaan atau peluang kesempatan belajar. Dengan peluang kesempatan itulah ia dapat tumbuh dan terus belajar memperbaharui diri yang baru dari diri yang pernah layu.

***

Setelah setengah tahun berada di pesantren pikiran kembali melayang-layang terkait keputusan melanjutkan kuliah. Harapan itu tak pernah surut bergulat dengan peristiwa tiap hari ketika santri lewat depan kamar saat saya berdiam diri di kamar sendirian melamun tentang pendidikan masa depan. Suatu impian masa depan yang tak pernah gampang ditaklukkan. Begitu bisikan hati dan pikiran berkecamuk kacau setelah melewati penolakan kampus berkali-kali saat saya coba mendaftar kuliah.

Anda tahu, ditolak kampus berkali-kali ketika itu jauh lebih menyakitkan ketimbang ditolak perempuan mengajak pacaran. Itu pengalaman paling berpengaruh besar dalam perjalanan saya selanjutnya, dan bagaimana saya menyikapi persoalan kehidupan mendatang yang mungkin akan jauh lebih mencekam memecahkan onggokan batu besar di tengah jalan.

Saya merasa pada waktu itu seperti berada dalam kondisi terendah, berada dalam kondisi diambang putus asa, dan memang setiap orang akan mengalami fase pengalaman terendah, bukan dalam arti ia paling terendah dari sekian banyak manusia, melainkan titik terendah dalam arti melewati proses tantangan mencekam melewati persoalan kehidupan yang mungkin taruhannya ialah impian dan nyawa.

Saya pernah berada dalam kondisi diambang putus asa seperti itu. Satu pengalamannya ialah ketika memperjuangkan hak pendidikan yang sempat terlunta-lunta dan ditolak kampus berkali-kali. Kira-kira catatan proses penolakan kampus itu jika ditulis pengalamannya seperti ini alurnya.

Percobaan pertama pendaftaran kuliah.

Pada malam hari itu saya membuka website pendaftaran kampus dan ternyata dalam laman resmi tertera bahwa ijazah saya sudah kadaluwarsa. Artinya kampus hanya menerima ijazah angkatan kelulusan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan. Sementara ijazah saya tidak masuk dalam bagian ketentuan tersebut.

Akhirnya saya menghubungi pihak kampus lewat email dan dibalas oleh pihak kampus. "Maaf, kami hanya menerima angkatan mahasiswa baru sesuai ketentuan aturan". Pikiran saya langsung pening setelah sekian hari menunggu balasan email dan mendapatkan jawaban menyakitkan dan mendiskreditkan yang entah apa maksud dan fungsi aturan seperti itu.

Percobaan kedua pendaftaran kuliah.

Saya mencoba klarifikasi langsung ke pihak kampus di bagian rektorat pusat dan menanyakan hal serupa namun saya bumbui pertanyaan lain dengan perbandingan, "Mengapa kampus PTKIN lain seperti UINSA masih menerima ijazah angkatan 2016, sementara kampus di sini tidak menerima?"

Pihak kampus menjawab seenaknya. "Ya ... Mas kalau begitu daftar kampus di sana saja". Kendang telinga saya langsung pecah, mata saya bergocoh dengan raut muka monster.

Percobaan ketiga pendaftaran kuliah.

Saya menanyakan banyak hal kepada kawan para aktivis kampus bagaimana sekiranya saya bisa mendaftar kuliah, barangkali mereka bisa membantu dan mencarikan orang petinggi kampus yang bisa saya temui untuk bernegosiasi, saya ingin menyampaikan maksud baik saya untuk belajar, tetapi rupanya para kawan aktivis kampus itu tidak punya relasi ke arah situ. Akhirnya negosiasi buntu.

Percobaan keempat pendaftaran kuliah.

Kabar bahwa saya ingin melanjutkan kuliah ternyata tersebar di keluarga pesantren, tempat di mana saya bermukim diri mengajar para santri. Pengasuh pesantren jadi dosen. Akhirnya, oleh pengasuh, saya dibantu dan dicarikan jalan bagaimana supaya saya terdaftar kuliah namun tetap saja tidak bisa oleh sebab aturan yang ada katanya.

Keluarga pesantren sempat juga menawarkan saya kuliah di luar negeri tetapi saya langsung memohon maaf. "Sempat punya impian kuliah ke luar negeri, Gus. Cuma pihak keluarga tidak mengizinkan kalau terlalu jauh," curhat saya. "Dalam negeri saja saya maksa ke orangtua tetapi tetap tidak bisa. Tahun ini baru saya mengajukan lagi mau kuliah, baru diizinkan oleh Ibu".

Kabar bahwa saya ingin kuliah itu makin menyebar di kalangan guru SD tempat saya mengajar alquran pada waktu pagi. Salah satu Ustadzah Hafizah ternyata suaminya dosen syari'ah di kampus. Ia membantu saya mencarikan jalan lewat jalur salah satu dekan. Yaitu suaminya itu. Tapi tetap suaminya tidak punya otoritas wewenang mengubah aturan yang ada. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ustadzah Hafizah. Ia kemudian menawarkan kampus di tempat lain namun saya katakan keluarga setujunya kuliah di tempat kelahiran saja. Ustadzah Hafizah itu paham kondisi batin seorang Ibu dan menasehati saya agar bersabar supaya menemukan jalan keluar. Siapa tahu masih ada jalan harapan, katanya.

Anda tahu, bukan; bahwa memupuk harapan berarti harus menyiapkan diri menghadapi kekecewaan. Sejak harapan kuliah pupus di tengah jalan berkali-kali, dalam diri saya seperti ada perasaan kecewa dan putus asa, bukan saja pada diri sendiri maupun pada orang yang telah mengkhianati, melainkan juga kepada orangtua sebab sejak lama saya sudah meminta izin kuliah kepada orangtua, khususnya Ibu, namun tidak diperkenalkan oleh keluarga. Setelah saya empat tahun lulus sekolah menengah, baru kemudian orangtua mengizinkan saya kuliah.

Apa itu tidak membuang-buang waktu namanya?

Karena itu, sebetulnya saya sempat malas hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sebab saya sudah telat cukup lama. Namun karena lingkungan menghidupkan impian lama, secercah harapan kuliah tak pernah lepas dalam pikiran.

Penampakan santri kuliahan saban hari mondar-mandir depan kamar saya tiap pulang kampus, menyadarkan dan membangunkan tidur panjang saya menuntut hak menempuh pendidikan perguruan tinggi.

***

Pada 29 Juli 2019 ialah tepat penutupan akhir pendaftaran kampus. Saya mendaftarkan diri setelah menemukan jalan terang lewat proses komunikasi salah satu panitia penyelenggara. (Tentang bagian ini kita cerita di lain waktu dan melihat bagaimana rezeki itu bekerja sesuai rencana yang maha kuasa). Pada proses ini banyak orang-orang baik membantu saya menyiapkan segala kebutuhan pendaftaran kampus, termasuk biaya. Saya tidak akan melupakan kontribusi orang-orang baik itu seperti tertulis dalam catatan lalu di sini.

Pada 31 Juli 2019 ialah waktu tes ujian pendaftaran kampus. Saya tidak belajar sama sekali sebab waktu terlampau singkat dan saya memilih membaca buku-buku apa saja yang akan saya pelajari di bangku kuliah nanti. Saya punya keyakinan kuat bahwa saya akan diterima sebagai mahasiswa sebab program studi yang saya ambil adalah tergolong baru dan sepi peminat. Karena itu saya yakin saja. Pasti diterima, kata teman saya. Dan benar. Pernyataan dan keyakinan kuat itu tidak meleset barang sedikit pun.

Rabu, 05 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Hak Pendidikan

Ibu sebetulnya tidak ingin aku kuliah. Ibu lebih senang jika aku mondok saja atau mengajar atau bekerja sambil menabung pundi-pundi rupiah. Entah mengapa Ibu tidak menginginkan aku kuliah. Ibu tidak memberi alasan jelas dan masuk akal.

Tetapi, lambat laun, aku paham mengapa Ibu, lebih tepatnya, tidak mengizinkan aku kuliah: semasa sekolah menengah aku sering telat bayar tagihan (selain sering telat masuk sekolah) bahkan hampir tidak bisa ikut ujian nasional lantaran tak bisa bayar cicilan dan, oleh Ibu guru, aku dan kawan-kawan senasib, dimarahi dan dipermalukan di depan kelas, hanya karena telat bayar tagihan sekolah. Begitu teganya guru semacam itu. Dimana letak keadilan dan kebijaksaan dalam hati guru semacam itu?

Aku bersyukur pada waktu itu masih ada guru yang punya hati manusiawi dan memberi kelonggaran waktu untuk kami bisa ikut ujian nasional dan kami, para siswa-siswi miskin itu, terpaksa diluluskan.
***
Delapan bulan setelah dinyatakan lulus SMA, sekitar Mei 2016, aku sempat bilang kepada Ibu kalau aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun tidak diizinkan, akhirnya aku minta izin kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pondok saja; tetapi rupanya Ibu masih tetap bersikukuh tidak mengizinkan aku pindah, apalagi kuliah.

Aku kesal kepada Ibu. Marah. Mengutuk diri. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa anak muda lain bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sementara aku tidak bisa dan tidak diizinkan? Rerumputan dan bebatuan di sekitar tempat aku berdiam diri merenung tidak menjawab, tanaman padi hanya bergoyang-goyang kesana kemari mengikuti hembusan angin sore hari.

Aku segera sadar dan paham bahwa ada keterbatasan dalam kehidupan yang aku jalani. Itulah kenapa sewaktu sekolah aku sering telat bayar tagihan, menjanjikan akan bayar setelah punya rezeki, dan tak jarang aku meminta tenggat waktu kepada Bapak Ibu guru untuk bisa melunasi cicilan tagihan hingga bulan depan.

Tetapi keterbatasan tidak berarti bahwa aku tidak punya hak melanjutkan pendidikan bukan? Begitu aku coba berpikir positif menatap masa depan di suatu sore pada saat masih di pondok.

Selepas sekolah itu aku coba bernegosiasi kembali pada saat Ibu dan Bapak menjenguk aku di pesantren, dan aku bilang bahwa aku tidak bisa terus menerus menghafal Alquran di sini. Pesantren awal tempat aku belajar. Aku bilang sekali lagi kepada Ibu bahwa aku ingin pindah pesantren lain, aku butuh sistem sosial pendukung agar aku bisa berkonsentrasi pada saat menghafal Alquran. Moga-moga ibu mengerti maksud baik aku kali ini.

Pindah dan Kembali Lagi ke Pesantren Lama Sebentar

Pada keputusannya Ibu mengerti maksud baik aku dan membolehkan aku pindah ke pesantren lain di Semarang. Akhirnya, pada Jum'at 12 Januari 2017, aku jadi berangkat ke kota lawang sewu tersebut. Itu diizinkan karena di kota sana ada teman pondok; juga karena mendapat beasiswa; dan juga karena terlanjur mendaftar jadi calon santri baru program menghafal Alquran dalam waktu satu tahun.

Pada 02 Februari 2018 ialah kepulangan aku dari tanah rantau training menghafal Alquran di Semarang itu. Aku memutuskan kembali ke pesantren semula, mengabdikan diri di sana sampai ramadan tiba. Tujuan aku kembali ke pesantren semula, selain tetap belajar dan mengabdi diri kepada ilmu dan guru, ialah membenahi apa yang belum selesai aku kerjakan, menata tugas yang diberikan kiai, dan menyerahkan perpindahan tugas kepada santri senior sebelum akhirnya aku pindah belajar ke tempat lain.

Wajah Penyesalan dan Kegagalan Kuliah

Setelah boyong dari pesantren awal, aku mengukuhkan diri kembali memperjuangkan kuliah, tetapi aku tetap gagal. Kegagalan kali ini cukup membekas dalam kehidupanku dan memupuk hati nurani aku pada satu prinsip tegas: setiap warganegara (tanpa memandang latar apa pun) punya hak yang sama dalam menempuh pendidikan, menikmati akses pendidikan bermutu hingga ke perguruan tinggi.

Ceritanya ada "orang dalam" menawarkan aku kuliah dengan jaminan beasiswa di suatu daerah luar Jawa; syaratnya aku harus sambil bantu mengajar di yayasan miliknya. Keluarga mengizinkan. Itu berarti aku diperkenankan kuliah di luar Jawa. Sesuatu mustahil sebetulnya, mengingat keluarga sebelumnya tidak setuju jika aku kuliah terlalu jauh. Tetapi bagaimana pun aku harus tetap kuliah.

Lagi-lagi aku berpikir positif dan mungkin ini jalan terbaik yang harus aku tempuh, kendati perjalanan cukup jauh.

Sebelum keberangkatan aku menanyakan apakah di daerah kampus sana ada program studi yang aku minati; dan pihak sana menjawab ada. Oleh karena katanya ada, sebelum keberangkatan aku menyiapkan segala berkas administrasi pendaftaran kuliah, melunasi tanggungan ijazah sekolah dan kebutuhan lainnya. Berangkatlah aku ke daerah yang dituju, tetapi sesampainya di sana aku mendapat kebohongan janji. Alih-alih mendapat beasiswa, kekesalan dalam dada setiap hari menyala-nyala.

Itu terbukti saat aku berada di sana selama tiga bulan. Dan paham betul karakter "orang dalam" yang membawa aku sampai ke sana. Ah ... aku tak mau mengungkit masa lalu kelam tersebut. Aku muak mengingat perlakuannya terhadap guru-guru lain yang sebagian haknya tak diberi, padahal guru itu begitu berjasa dan berbakti sepenuh hati mengajar anak didik yang dititipkannya. Namun kebaikan guru terkadang banyak dimanfaatkan. Karena itu aku pulang dan kembali ke kampung halaman.

Di satu pihak aku menyesal sebab waktu emas aku terbuang begitu saja, di pihak lain aku bahagia sebab aku bisa keluar dari lingkungan penjara. Waktu itu aku hanya bisa berdoa. Moga-moga Tuhan menggantikan sesuatu yang paling berharga dan mengabulkan permintaan doa hambanya.

Dan doa-doa itu betul-betul terkabul bahwa aku mendapat sesuatu yang lebih berharga. Aku bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang selama ini aku impikan, kendati perjalanan awal itu cukup terjal seperti melewati onggokan batu besar menghadang pengguna jalan. Dan aku memecahkan onggokan batu besar itu di tengah perjalanan, kendati aku sempat putus asa karena mustahil bisa melewati tantangan itu semua.

Kembali ke Pesantren Lagi: Secercah Harapan Kuliah

Aku akan menceritakan semua perjalanan memecahkan onggokan batu besar itu. Karena itu simak baik-baik, ya.

Itu sejak kakak dan istrinya menawarkan aku untuk bantu mengajar Alquran lagi di suatu pesantren daerah Kaliwates, Jember. Aku berkenan dan keluarga mengizinkan. Akhirnya aku meniatkan diri dalam kebaikan, tidak hanya bantu mengajar sebetulnya, tetapi lebih kepada belajar kembali menjadi santri. Itu artinya aku ingin menjadi santri baru dan belajar hal-hal baru lagi. 

Aku merasa bahwa pesantren ini seperti jalan terang kesempatan meraih harapan. Awalnya, pada saat keberangkatan dan sampai di pesantren tempat aku akan mengajar santri, perasaan antara lima puluh persen akan betah dan lima puluh persen tidak akan betah menyelimuti diri. Namun sejak masuk kamar yang disediakan pengurus pondok itu aku langsung seratus persen betah; sebab, dalam ruangan berukuran tiga kali lima meter itu, kamar itu disesaki buku-buku bermutu.

"Kalau ustad suka baca buku, silakan buku-buku itu boleh dibaca sepuasnya," kata pengurus yang menemani aku malam itu.

Aku senang sekali atas tawarannya dan bertanya kepada pengurus itu; punya siapa buku-buku bagus sebanyak itu, dan pengurus bilang bahwa buku-buku itu milik adiknya Gus; yang waktu itu masih kuliah pada program studi sejarah di Jember. Ia juga bilang bahwa kebanyakan santri di sini masih sekolah madrasah aliyah dan sebagian lain masih kuliah di IAIN Jember.

Anda tahu, perasaan aku yang awalnya kendor mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena sudah empat tahun sejak aku lulus sekolah ketika  itu juga membuncah kembali; semangat itu berkoar-koar setiap kali melihat sebagian santri kuliahan lewat depan kamarku, dan aku bertanya habis dari mana,  kata mereka baru datang kuliah.

Lagi-lagi aku ingin kuliah. Aku ingin hak aku sebagai warganegara, sebagai sesama anak bangsa terpenuhi; sebab pendidikan adalah hak semua anak bangsa, entah bagaimana caranya aku akan menuntut hak itu bahwa aku harus kuliah tahun ini! (Tentang kelanjutan cerita ini baca: Memoar Kuliah(2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik). 

Selasa, 04 Juni 2024 0 Komentar

Tembok

Tembok, pikir mahasiswa yang duduk menggenggam buku sastra di dalam kelas. Jika keadaan kuliah kini membosankan, dia sering merasa bahwa dirinya adalah tembok.

Seandainya kehidupan kampus layaknya lautan, dia akan mengarungi samudra, bercumbu dengan gelombang ombak, bermain dengan ikan-ikan, dan mengendalikan perahu layar yang mungkin sewaktu-waktu akan menenggelamkan dirinya, dan dia sigap mengambil tindakan di laut lepas itu. Tapi kini dia berada dalam kampus, kehidupan yang dirasakannya sepi diskusi dua tahun terakhir ini bagaikan tembok: memberi sekat, mengejar prestise akreditasi, mengajar kecerdasan teknokratis, menghambat kreatifitas, memenjara imajinasi, dan membelenggu kemanusiaan mahasiswa.

"Aku akan pulang," pikirnya saat menginjak semester akhir di teras kampus itu mengurusi berkas-berkas, dan dia membayangkan nasib orang-orang miskin terhantar di desanya. "Aku rindu kehidupan desa," batinnya. "Aku ingin menyuapi sebutir nasi di mulut keriput Mak yang sedang terbaring sakit, membantu Bapak di ladang milik orang kaya, dan menemani adik belajar membaca yang baru masuk SD dua bulan lalu."

***

Setelah empat tahun lalu lulus, mahasiswa itu melipat jubah kesarjanaannya, membaurkan diri bersama masyarakat di kampung halamannya, dan mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Satu minggu berada di kampung halaman, kini dia dan bapaknya berada di tengah sawah, matahari menyetrika punggungnya, pilu keringat mengguyur sekujur tubuhnya yang kini mulai tak lagi gagah seperti dulu berada di kampus, dan dia tetap gemar membaca buku sastra; sebab buku sastra baginya adalah pelangi kehidupan itu sendiri.[]

Jumat, 10 Mei 2024 0 Komentar

Apa Tujuan Kita Saling Mencintai dalam Ikatan Pernikahan?

Saya kok tiba-tiba gatal ingin membahas tujuan pernikahan dan kaitan menafsir puisi masyhur Eyang Sapardi ini ya.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”

Barangkali kita perlu duduk sejenak untuk memikirkan ulang tujuan sebuah pernikahan. (Khususnya yang belum menikah atau boleh juga yang sudah menikah karena tersesat di tengah jalan misalnya). Sebab kadangkala kita lupa apa tujuan pengambilan keputusan dalam institusi pernikahan. Seolah-olah tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan ialah kebahagiaan. Begitukah tepatnya?

***
Sebagian pembaca menangkap puisi itu ala kadarnya: cinta bertepuk sebelah tangan atau cinta yang tak direstui atau nada tafsir serupa lainnya. Padahal maknanya, menurut tinjauan analisis saya sebagai penggemar puisi bagus, tidak sesederhana itu.

Mari coba kita bedah kemungkinan lain makna mendalam puisi masyhur itu.

Saya menangkap makna puisi ini sebentuk pembuktian cinta sejati, sebentuk pembuktian cinta ilaihi dua insan, sebagai suatu ungkapan "yang tak sempat diucapkan" Kasih (K: besar) yang telah, atau pasti, sampai pada maut, pada akhir kehidupannya.

Dalam ketidakmampuan mengungkapkan isi hatinya itulah Kasih mengibaratkan perasaan kekasih yang, atau akan, ditinggalkannya seperti kayu yang menyerahkan diri kepada api; seperti awan kepada hujan. Karena itu, katanya, "aku ingin mencintaimu dengan sederhana" saja, meskipun tidak sesederhana itu pada kenyataannya.

Seolah-olah Kasih yang telah, atau akan, meninggal itu ingin mengatakan demikian. Coba perhatikan pada bait pertama.

"kayu kepada api yang menjadikannya abu"

Kamu berkobar tanpa aku. Kamu harus tetap hidup meski tanpa aku. Begitulah kayu kepada api. Kayu yang tampak kokoh akan menjadi abu tak kala kamu semakin berkobar dilahap api kesedihan. Semakin berkobarnya kamu, semakin aku tiada.

Kemudian semakin terang maknanya pada bait berikutnya.

"awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"

Kamu deras tanpa aku. Kamu harus tetap bahagia meski hidup tanpa aku. Begitulah awan kepada hujan. Awan yang tampak kelabu akan semakin deras tak kala kamu menangis dikoyak hujan kesedihan. Semakin menangis kamu, semakin aku deras. Begitupun kamu sayang. Seolah-olah begitu, aih.

Lalu apa tujuan kita saling mencintai dalam ikatan sebuah pernikahan jika pada ujung ceritanya perpisahan?

Secara spontan kebanyakan orang akan menjawab adalah kebahagiaan. Bagi saya bukan. Tujuan saling mencintai dalam ikatan pernikahan bukan kebahagiaan, melainkan mempersiapkan pasangan satu sama lain untuk mampu berdiri tegak bertahan hidup meski kelak akan berpisah. Berpisah dimaksud hanya sekadar perpisahan secara jasmani, sementara secara rohani pada hakikatnya kita tidak pernah berpisah; sebab kerajaan kita bukan di dunia, melainkan di akhirat. 

Puisi Eyang Sapardi ingin mengungkapkan makna cinta yang tersirat semacam itu. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ..." Meski kita tahu mencintai tidak sesederhana itu. 

Bukankah setelah kepergian Kasih yang kita cintai itu akan tetap melekat abadi dalam kenangan hati dan pikiran? Bukankah begitu keimanan kita dalam perjanjian agung bersama Allah di hadapan bapak penghulu itu?[]

Selasa, 05 Maret 2024 0 Komentar

Doa Ibu

Saya berdoa moga-moga semua doa Ibu dikabulkan oleh Tuhan; sebab saya tahu bahwa Ibu saya mendoakan saya dalam kebaikan. Misalnya Ibu sering berdoa agar anaknya mendapat jodoh yang shalihah, sesuatu yang sering didengungkan oleh Ibu pada suatu kesempatan duduk bersama dikala menikmati suasana hujan turun dari langit sore menjelang malam itu, dan saya mengaminkan dalam hati, diam-diam, moga-moga semua doa Ibu dikabulkan Tuhan. Amin ... 
 
;