Selasa, 12 September 2023 0 Komentar

Aku Butuh Teman Curhat

Nampaknya kini aku tak lagi bisa memendam perasaan yang, entah mengapa bisa demikian, sering menyakiti diri sendiri: sebuah perasaan murung yang sering kali aku pendam dalam-dalam jika punya masalah besar ataupun kecil (baik sama temen, sama keluarga, sama siapa pun). Nyaris aku mengalami kemurungan diri berhari-hari. Lebih-lebih dalam satu tahun terakhir ini; aku tak bisa bercerita atau tak punya temen untuk bercerita. 

Hanya dengan menulis ini sedikit banyak membantu aku keluar dari jeratan stress, frustasi bahkan depresi. Seolah-olah masalah ini tak lagi ada jalan keluar; tak ada lagi jalan yang membuatku tentram.

Bisakah aku sembuh dari lingkaran setan ini, lingkaran masalah yang aku pendam sendiri? 

Nampaknya sampai hari ini aku belum bisa bercerita kepada siapa saja; entah kepada temen, kenalan, atau orang terdekat sekali pun, bahkan kepada orangtua. Itu artinya penyakit ini belum sembuh. 

Tapi, aku tak bisa terus menerus punya karakter demikian. Aku lelah. Aku ingin sembuh dari  penyakit kemurungan ini. 

Aku mulai menelusuri, berpikir sedemikian panjang jika sedang sendiri, merenung di ruang sepi, sebenarnya ada apa dengan diriku ini? 

Aku belum menemukan jawaban pasti; mengapa aku gampang stress, frustasi, merasa tertekan akan suatu hal, dan imbasnya ialah kemurungan berhari-hari, sulit keluar menemui orang, malas berbicara entah dengan siapa. 

Aku bertanya di depan cermin; sejak kapan kau seperti itu? Aku kira sejak kecil; dimana jikalau aku punya masalah, tak seorang pun mau mendengarkan apa masalah yang aku pendem, apa yang aku butuhkan, dan apa yang aku sesali berhari-hari sehingga aku punya karakter pendiam dan sulit bercerita. 

Dulu aku punya teman dekat buat curhat, tempat bercerita segala hal yang membuat aku lega dari jeratan masalah. Namun teman yang kini aku maksud nyaris tak ada lagi kabar; tak ada lagi jejak yang bisa aku telusuri; tak ada lagi orang yang bisa aku percaya untuk bercerita banyak hal. 

Ia adalah sahabat kecil. Kini ia telah punya suami dan buah hati namun saking deketnya aku dengannya, aku bebas saja menghubungi dia kapan pun yang aku mau, asal sedang ada waktu longgar. 

Aku akan bercerita banyak hal kepadanya: tentang aku yang sekarang sedang mencari pasangan hidup; tentang aku yang sekarang dilanda kemurungan; tentang aku dan orangtua sedang tak baik-baik saja; tentang apa saja yang aku hadapi dalam menjalani kehidupan ini. 

Namun justru kini aku nyaris tak pernah mendengar lagi kabar tentangnya: sesuatu yang aku butuhkan hari ini. Ialah orang yang tepat buat aku bercerita banyak hal. 

Tapi ... siapa kah orang yang tepat buat aku bercerita banyak hal?
Minggu, 03 September 2023 0 Komentar

Mari Menjadi Gila


Dibanding baca buku berat-berat yang bikin kepala anda berkerut, akan jauh lebih menjanjikan kehidupan masa depan anda  dengan berselancar di media sosial, berkomentar sesuka hati anda sepedas mungkin di kolom komentar media sosial orang lain, adalah hal paling bahagia menjalani hidup di dunia ini, dengan demikian kehidupan bermasyarakat semakin berwarna dan semakin sejahtera bahkan tercerahkan orang anda. 

Tak peduli lagi berpikir, apalagi merenung, apakah waktu yang sedemikian penting dan berharga itu punya arti atau tidak, itu hal lain. Yang terpenting ialah bagaimana anda membuang-buang waktu itu sebebas-bebasnya, tanpa penyesalan dan tanpa pertimbangan; adalah bahwa kelak kehidupan di masa tua anda sudah ada yang menjanjikan itu semua. 

Perkara berarti atau tidak bagi sesama umat manusia? Itu perkara lain. Hari ini adalah hari paling istimewa untuk anda bermain-bermain, berselancar di banyak tempat sebebas mungkin, entah di instagram, tiktok, twitter, facebook, dst. 

Selanjutnya ... 

Di tengah krisis intelektual hari ini, berita-berita yang kian membodohi anda jauh lebih berarti bagi keberlangsungan anda. Santapan berita-berita itu tak perlu lagi anda verifikasi, apakah benar atau tidak, itu soal lain; apakah bermanfaat atau tidak, itu juga soal lain; apakah artis itu sedang memanfaatkan media massa sebagai metamorfosis tetek bengek dramanya adalah konsumsi paling laku dan paling maknyus bagi anda dan masa depan kehidupan anda. 

Jika artis dan para kroninya hari ini hidup kaya raya, sembari pamer harta, bahkan menuhankannya, seolah-olah hidup adalah harta itu sendiri, ialah hal itu menunjukkan kontribusi terbaik anda bagi kehidupan mereka. 

Anda tak perlu khawatir jika suatu saat nanti anda jatuh miskin, baik secara moral maupun intelektual. Artis adalah jalan satu-satunya tempat anda berlabuh. Anda bisa meminta fatwa atau nasehat pada mereka, barangkali mereka dapat membantu kehidupan anda. 

Mungkin, artis teman akrab baik anda itu, adalah orang-orang yang paling berhutang budi luhur atas jasa-jasa anda terdahulu, sebagai fans, sebagai orang penting. Mungkin, artis itulah orang pertama yang bakal menolong anda. Dan barangkali juga dapat  menyelamatkan kehidupan anda selanjutnya. Karena mereka punya hutang budi luhur bagi anda. 

Oleh karena itu, anda tak perlu lagi baca buku berat-berat, belajar dan mengarungi lautan ilmu, sudah tak penting lagi bagi anda, sebab kehidupan anda sudah ada yang menjanjikan; siapa yang menjanjikan itu semua? 

Ya ... Anda sudah tahu dan paham betul jawabannya: instagram, facebook, tiktok, artis, mungkin juga opa-opa, dst. 
Minggu, 27 Agustus 2023 0 Komentar

Surat untuk Kawan-kawan KKN


Ada sebuah lagu hits yang selalu mengingatkan saya akan suatu hal: kenangan masa-masa KKN. Liriknya menarik dan menyentuh perasaan kami:

"Berharap suatu saat nanti...
Kau dan aku kan bertemu lagi...
Seperti yang kau ucapkan...
Sebelum kau tinggalkan aku"

Sampai pada lirik ini biasanya saya teringat kawan-kawan dan 'berharap suatu saat nanti' kami berjumpa kembali seperti janjinya dulu sebelum kami sama-sama kembali ke rumah masing-masing. Tapi sampai saat ini kami belum juga bersua.

Mungkin sebagian mereka lupa atau sengaja melupakan hal itu; tetapi saya yakin dan meyakini bahwa sesungguhnya mereka memiliki perasaan dan harapan yang sama: ingin berjumpa tetapi masing-masing dari kami sukar menyiapkan waktu senggang sekadar sehari atau setengah hari saja.

Terlepas lupa atau sengaja melupakan, karena itu saya menulis; menulis surat ini untuk mereka; untuk menyentuh kesadarannya; siapa tahu dibaca dan ditepati janjinya untuk kembali bersua. Ya, nggak? Hem.

Terlepas sibuk atau memiliki kesibukan lain, sesungguhnya terletak pada prioritas waktu kami masing-masing dan sekiranya prioritas bersua itu dibutuhkan, saya yakin dan meyakini barang sehari atau setengah hari saja bisa kok dilaksanakan.

Nah, kini pilihan kami adalah menempatkan prioritas waktu tersebut; sungguh kami sama-sama ingin bersua; mungkin dengan saya menulis surat ini; barang tiga atau lima kawan saja akan menyanggupi usulan ini; saya berharap demikian terlaksana.

Sesungguhnya bukan lirik itu saja yang membuat saya selalu teringat pada mereka, jikalau bukan kebaikan-kebaikan mereka; juga keusilan-keusilannya serta ha hi hinya.

Satu hal yang mungkin akan jadi catatan cerita kita pada suatu hari nanti, setelah kami sama-sama memiliki wilayah kehidupan sendiri dan memiliki anak cucu yang mungil-mungil, adalah saat nanti kami bisa menceritakan kepingan-kepingan kenangan banyak hal tentang masa kuliah dahulu kala.

Oleh karena itu, cerita-cerita kebaikan itu yang akan jadi saksi bahwa kami pernah hidup di dunia yang sementara ini. Ini surat untuk mereka, moga-moga jadi catatan kenangan kita.

***
Dear kawan-kawan KKN,

Kepada siapapun yang sempat atau sedang membaca catatan kenangan ini, aku ingin menulis banyak hal tentang kebaikan kalian dan moga-moga kalian mengingatnya.

Di Bukit Geopark

Di bukit itu kita pernah menyaksikan keindahan alam sebelum melangkah lebih jauh perjalanan selama empat puluh hari ke depan. Ya, kita hanya sekadar bermain-main dan berkenalan dengan alam; dengan perasaan senang nan bahagia. Kita tertawa dan terpesona keindahan dunia, di bukit geopark itu.

Kita melukis alam dalam benak kita entah sampai kapan lukisan alam itu akan tetap menempel lekat dalam ingatan, yang kelak jadi kenangan.

Pak Sadi mendampingi kita seperti layaknya anak sendiri. Ia rela menghabiskan waktu untuk kita yang baru pertama kali melihat alam; o, maksudnya alam di bukit geopark itu.

Kita bersemangat dan bergembira atas kebaikan-kebaikannya. Mungkin kita lupa mengucap terima kasih kepadanya tetapi kita pun tak lupa mengingat kontribusi kebaikannya. Kita hanya butuh sejenak waktu agar tetap mengingat kebaikannya; dengan menuliskan dan memikirkan kebaikan-kebaikannya.

Kedinginan Akut

Masihkah kalian ingat saat bapak perangkat desa itu mengajak kita untuk turut-serta gotong royong memangkas rerumputan di sekitar jalan menuju kawah Ijen bersamaan turunnya rintik-rintik hujan membuat kita semua kedinginan akut sehingga beberapa di antara kita satu sama lain menyalahkan dan menanyakan mengapa tidak memakai jaket sebelum perjalanan itu berlangsung?

Semua saling menghantam kesalahan entah kepada siapa entah bagaimana kejadiannya.

Empat lelaki mengatakan ini salah Sisil! Ia pun membalas ini salah Mey! Ia pun tak mau kalah membalas santai dengan mengatakan ini salah kita semua! Ups. Kelar persoalan . . .

Undangan Salawatan

Kalau saja mengingat undangan salawatan Pak Ustad itu kita tak lupa nama Faiz yang jadi sasaran niatannya; o, moga-moga si Faiz berdamai dengan diri sendiri setelah ini dan, tentu saja, memaafkannya.

Bukan untuk diingat, bukan pula untuk dibenci, dan bukan pula untuk didiami, melainkan dijadikan pelajaran, eh. Barangkali kita jadi refleksi diri; jangan-jangan kita memang layak mendapat pelajaran apa saja, termasuk orang yang terkadang memaksa ingin dicinta, tapi lupa mencinta, maksudnya adalah sebelum mencinta orang, keabsahan mencinta adalah diri kita sendiri, sebelum mencinta orang lain. Ah, lupakanlah!

Dan surat ini pun dihadirkan dan ditulis, salah satu tujuannya, adalah untuk merefleksikan ulang bahwa kita saling mencintai diri sendiri, dalam arti memantulkan cahaya ilahi dalam diri kita ini.

Kepada siapapun, surat ini aku kirim dengan perasaan maha cinta, karena ia adalah hakikat pertemanan seutuhnya. Demikian.

Rabu, 26 Juli 2023 0 Komentar

Keputusan yang Baik


Sebetulnya, jika aku boleh jujur, aku tidak perlu kecewa (dan memang tidak ada gunanya juga untuk kecewa) setelah tahu, dengan permintaan yang aku ajukan padanya, bahwa keputusan yang ia ambil, ternyata tidak seperti awal kali ia katakan padaku: menikah. Tetapi, bagaimana pun dan harus aku akui, jika aku boleh jujur, bahwa aku sedikit kecewa (untuk tidak mengatakan sangat kecewa). Namun aku tidak ingin berlarut-larut dalam kekecewaan itu; sebab itu tidak berarti sama sekali. 

Sebelum ia mengambil keputusan itu kami mulanya beberapa minggu sempat jeda komunikasi untuk sama-sama fokus pada apa yang sedang menjadi prioritas kegiatan kami masing-masing dan oleh karena itu, ada rentang waktu menyisakan berpikir dan berdialog dengan diri masing-masing sebelum keputusan itu aku dengar. 

Aku fokus pada apa yang aku kerjakan. Yaitu mengerjakan skripsi (sekaligus bekerja apa saja jika ada lowongan untuk menabung pundi-pundi rupiah untuk melamarnya dan bekerja lain sebagai penulis lepas untuk tambahan pemasukan). Begitu pun ia fokus pada apa yang ia kerjakan. Yaitu ... entah mengapa aku tidak mau mengatakan apa pekerjaannya (karena itu kurang baik jika dikatakan di sini dan lebih baik aku kiranya tidak mau mengatakannya, dan pada intinya, ia punya karir lebih menjanjikan daripada aku, tentu saja). 

Namun, entah karena alasan apa, berpikir dan berdialog dengan diri sendiri itu ternyata melahirkan keputusan yang dilematis mungkin. Ia sempat bingung harus mengatakan apa dan aku pun bingung harus menunggu jawaban apa (yang sebenarnya aku sudah memutuskan setelah aku dan keluarga siap untuk melamarnya; tetapi itu kandas kemudian hari). 

Pada satu sisi mulanya ia ingin menikah dan pada sisi yang lain, pada waktu sebelum kami kenal lebih dekat dan belum begitu yakin, aku yang belum begitu siap menikah, dengan alasan ekonomi belum siap. 

Setelah kemudian hari aku punya keyakinan untuk membersamainya, aku bekerja untuk menyiapkan kebutuhan ekonomi itu; setidaknya dana untuk melamarnya. Tetapi, rupanya aku salah sasaran. Orang yang aku perjuangkan ternyata berubah haluan (entah karena apa dan oleh sebab apa; aku tak ingin memaksa ia untuk mengatakan apa alasannya). Yang jelas aku tetap berbaik sangka padanya, perkara karena aku belum mapan secara ekonomi dan karir; itu hal lain (meskipun tidak menutup kemungkinan ini ada keterkaitan pertimbangan). 

***

Sekarang aku jadi punya kesimpulan lain soal menikah ini; setelah membaca beberapa buku dan fenomena yang ada di masyarakat; juga atas dasar pengalaman ini. Bahwa nampaknya menikah atau melamar seseorang itu tidak cukup sebatas kesiapan ekonomi. Aku menyadari bahwa soal ekonomi ini amat penting (untuk tidak mengatakan paling penting); tetapi bagiku yang lebih penting adalah komitmen dan menerima kekurangan masing-masing. Kedua aspek ini, komitmen dan menerima, memang tidak mudah dan butuh kesiapan antar kedua belah pihak; dengan saling mengerti satu sama lain. 

Tetapi, jika beban ekonomi itu masih tetap bergelayut jadi tanggungjawab dominan satu kedua belah pihak, hanya calon suami saja misalnya, nampaknya impian menikah itu sulit disegerakan. Aku tetap berpandangan bahwa seorang pria atau calon suami punya kewajiban mutlak untuk menafkahi perjalanan pernikahannya tetapi hal itu bukan kewajiban mutlak sepenuhnya. Dengan kata lain, ada kewajiban mutlak bersama di dalamnya, tidak hanya satu orang terkait. Ini untuk menghindari dominasi perjalanan pernikahan siapa yang paling banyak tanggungjawabnya. 

Dengan demikian, komitmen dan menerima kekurangan masing-masing pihak sebagai proses perjalanan menikah itu lebih bisa diterima dengan lapang dada. Tak jadi soal apakah si calon suami hanya tukang kuli murahan atau si calon istri wanita karir. Bagi aku, menikah adalah tentang menerima dan komitmen perjanjian agung antar kedua belah pihak kepada Tuhan. 

Aku berterima kasih sudah mendapat keputusan yang terbaik, setidaknya masing-masing kami punya kebebasan memilih pilihan lain yang sekiranya lebih tepat. 
Minggu, 30 April 2023 0 Komentar

Ta'aruf


Entah mengapa lebaran tahun ini hati terasa berbunga-bunga. Mungkin karena sesuatu yang memungkinkan saya akan menikah, eh. Tapi bukan tahun ini, melainkan setelah mengetahui secara pasti, sedalam-dalam keluarganya, calon istri saya. Dan itu artinya kami sekarang sedang dalam masa ta'aruf (bahasa keren agamanya). 

Perkenalan saya dengan calon istri--meskipun sebenarnya saya belum bisa memastikan bahwa ia benar-benar istri saya, tetapi moga-moga dengan menggunakan istilah calon, benar-benar ia jadi istri saya--pada mulanya ketika ia membaca tulisan saya di sebuah koran lokal dan ia cari tahu siapa saya sebenarnya melalui tulisan lain dan usut punya usut terjadilah percakapan di kolom chat instagram. 

Entah mengapa katanya ia begitu ingin tahu siapa saya, eh. Maklum. Mungkin ia sedang benar-benar ingin menikah; jadi maklum kalau saya harus memaklumi gelagatnya yang terkesan selalu mengarah ke pernikahan dalam sebuah obrolan. Oleh sebab itu saya menuruti untuk kenalan lebih lanjut tentang hubungan kami pada suatu hari nanti; sebab kami memiliki kecocokan, baik dalam berpikir maupun dalam menatap masa depan. 

Pertama-pertama ia menanyakan saya mahasiswa dari kampus mana dan berlanjut ke pertanyaan-pertanyaan tak begitu penting dan ternyata pertanyaan-pertanyaan tak begitu penting itu kemudian menyusul juga ke hal-hal agak penting mengenai masa depan. 

Dan, seperti ada hembusan angin segar yang menusuk hati, kami memutuskan bertemu dan berkenalan langsung ke masing-masing keluarga besar pada lebaran kemarin tentang hiburan kami ke depan. Tapi, seperti keadaan saya yang tak memungkinkan, Ibu saya berpesan untuk tidak segera buru-buru nikah dan disarankan agar saya segera menuntaskan terlebih dahulu skripsi yang sedang saya garap. 

Kami sepakat. Meskipun sebenarnya agak kurang baik niatan mulia ditunda-tunda. Tapi demi apa yang pernah dahulu saya cita-citakan pada akhirnya kami harus sama-sama merelakan untuk bersabar. 

Dan kami tak tahu pasti tentang takdir  Tuhan berpihak kepada kami atau kepada orang lain. Tapi yang jelas, untuk saat ini, kami sama-sama memutuskan fokus pada apa yang telah direncanakan. Moga-moga.
Jumat, 28 April 2023 0 Komentar

Api

Orang-orang bisa berpikir ilmiah tak kala dihadapkan pada sesuatu yang mengusik pikirannya, namun kemungkinan gagal berlagak ilmiah tak kala ia mulai merasakan cinta atau tersengat api cinta, kata seorang filsuf. 
Kamis, 23 Maret 2023 0 Komentar

Urgensi Khutbah Jum'at tentang Kontrak-Radikalisme dan Terorisme


Upaya pemberangusan bersama virus radikalisme dan terorisme, salah satunya, adalah bagaimana sekiranya materi khotbah Jum’at bermuatan lebih strategis dalam memperingati bahaya penyakit ajakan sesat tersebut. Yang dimaksud virus radikalisme dan terorisme di sini adalah kelompok-kelompok yang mengajarkan serta mengajak kepada masyarakat untuk berideologi dengan mereka; dengan mempertentangkan nilai-nilai ajaran agama versus prinsip-prinsip ideologi Pancasila dan berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Khotbah Jum’at merupakan langkah strategis karena tiap-tiap Muslim wajib melaksanakan salat Jum’at. Otomatis tiap Muslim, baik yang awam maupun yang berpendidikan, akan mendengar serta menyimak apa yang dikhotbahkan oleh khatib.

Tentu saja, cara ini jauh lebih bisa dimengerti dan lebih efektif menukik ke jantung setiap Muslim manakala pada suatu keadaan tertentu, masyarakat awam dihadapkan pada suatu tawaran oleh kelompok berbahaya tersebut yang dapat menyebabkan mereka bergabung dan berkelompok dengan visi misi an sich mereka.

Hal ini bisa dimengerti mengapa virus radikalisme dan terorisme sangat penting diantisipasi melalui khotbah Jum’at. Sebab tidak semua masyarakat Muslim, khususnya kalangan awam, mengerti tentang bahayanya penyebaran aliran berbahaya tersebut.

Orang awam tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme dan betapa begitu berbahayanya bagi kehidupan mereka. Orang awam jauh lebih penting memikirkan bagaimana menyambung perut untuk menopang hidup; lebih-lebih masyarakat awam yang masuk kelas sosial rendah secara ekonomi maupun pendidikan.

Tak menutup kemungkinan, orang-orang awam yang tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme, bisa bebas begitu saja dari persebaran virus aliran berbahaya tersebut. Justru potensial manakala perut orang awam tak lagi bisa berkompromi manakala pikiran telah buntu akan mencari jalan pintas lain dengan bergabung di suatu komunitas yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Sebut saja kelompok yang dimaksud adalah kelompok radikal-teroris tersebut. Orang akan berpikir instan manakala dihadapkan pada suatu keadaan tertentu; keterdesakan kebutuhan yang menuntut mereka untuk bertindak sesuai kebutuhannya. Dan hal tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh kelompok radikal-teroris.

Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin orang awam akan tergiur oleh tawaran strategis kelompok radikal-teroris tersebut untuk bergabung dan bergaul dengan mereka. Berapa banyak orang awam serta orang miskin tersesat karena keterdesakan kebutuhan ekonomi dan pengetahuan tentang bahaya radikal-teroris tersebut. Mereka merasa lebih terjamin kehidupannya dengan bergabung bersama kelompok mereka, meskipun sebetulnya hal tersebut siasat saja.

Jelas hal tersebut potensial sekali menjadi goncangan keimanan dan keselamatan hidupnya. Oleh karena itu, khatib Jum’at memiliki peranan strateginya untuk mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-terorisme. Artinya harus ada materi khotbah Jum’at persuasif untuk memahami bahaya kelompok tersebut. Ini urgen.

Masjid NU-Muhammadiyah Sebuah Langkah Awal

Untuk memulai bisa melalui kedua masjid organisasi terbesar ini. Seperti kita ketahui bersama bahwa kedua organisasi tersebut di Indonesia sangat besar kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai ajaran agama.

Maka masjid-masjid yang berafiliasi dan yang bergaya corak kultur dua organisasi besar tersebut, menjadi langkah awal yang sangat tepat dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-teroris tersebut.

Misalnya, setiap khatib Jum’at sebelum menjalankan jadwal giliran berkhotbahnya, dua organisasi besar tersebut menginstruksikan kepada masjid-masjid dengan menyiapkan materi-materi dasar tentang apa itu gerakan radikalisme-terorisme, bagaimana persebarannya di tengah masyarakat, dan apa saja tujuan serta bahayanya gerakan tersebut dan sebagainya.

Namun demikian kiranya tak cukup sampai pada batas pengenalan. Bagaimana gerakan-gerakan tersebut sengaja dibentuk untuk membentur-benturkan agama dengan negara; antara negara dengan agama; dengan tujuan spesifik menjadikan negara ini menjadi negara agama.

Oleh karena itu, harus ada kolaborasi materi tentang keberagamaan dan kebangsaan; tentang perbedaan dan persamaan antar sesama warga negara; tentang hak-hak sesama sebagai manusia; tentang manusia dan kemanusiaan; tentang damai dan keselamatan, dan sebisa mungkin meminimalisir permusuhan yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik tak berkesudahan.

Oleh karena itu, materi-materi khotbah Jum’at sebisa mungkin menyisipkan dan meletakkan cinta tanah air dan kasih sayang sesama sebagai kewajiban yang harus terpaut dalam jiwa raga warga negara. Hal ini selaras dengan ajaran-ajaran Walisongo di masa lalu yang mengajarkan kepada kita bagaimana mencintai bangsa dan tanah air kita seperti sekarang ini.

Walisongo sadar dan meyakini bahwa gagasan tentang “mencintai bangsa”, “mencintai tanah air”, “hidup bersama dan menerima perbedaan” adalah cikal bakal lahirnya sebuah peradaban yang dibangun dengan kebersamaan, solidaritas, kemandirian sehingga terbentuklah negara makmur sentosa tanpa diskriminasi-intimidasi; tanpa teror; dan tanpa pertumpahan darah.

Ajaran-ajaran pada leluhur itu, saya yakin dan sangat meyakinkan, bahwa mereka meletakkan kemanusiaan di atas segala-galanya. Oleh karena itu, khotbah Jum’at harus menjadi ruh spiritual agar berdampak pada kemaslahatan sosial; dengan materi-materi yang sebisa mungkin memutus rantai persebaran virus berbahaya ajakan teror-radikal tersebut. Semoga terlaksana.

Terbit di Harakatuna.com 
Senin, 20 Maret 2023 0 Komentar

Proses Menjadi Manusia


Pengalaman yang kita serap dan masuk ke alam pikiran dan perasaan menjadi produk tindakan-tindakan kita dalam menanggapi suatu hal (baca: problem kehidupan) atas dua fungsi tersebut. Apabila satu di antara keduanya tidak berfungsi, maka yang akan terjadi adalah emosi. Benar atau tidaknya penyataan ini hanya berdasar pada pengalaman pribadi, namun saya ingin membubuhinya dengan teori neo-psikoanalisis Alfred Adler.

Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. Mungkin kita pernah memiliki cerita dan pengalaman yang sama. Mari kita saling belajar dan berproses menjadi manusia bersama-sama …

Sekadar berbagi cerita. Sejak kecil oleh kedua orangtua saya dididik kasar. Lebih-lebih ibu. Namun pada waktu-waktu tenang dan bahagia orangtua mendidik saya dengan kasih sayang dan orang lain pun saya perlakukan dengan kasih sayang (implikasi dari didikan orangtua tersebut). Maka tidak heran kemudian terkadang saya melakukan tindakan-tindakan kasar bahkan kepada orang lain. Pun sebaliknya: Perlakukan saya terhadap orangtua dan orang lain dengan kasih sayang—meskipun sangat minim sekali.

Sekali waktu, pernah saya tak mau mengikuti perintah orangtua. Saya menolak dan memberontak karena tidak ingin mengaji al-Qur’an. Alasan saya—dan ini tidak dimengerti orangtua pada waktu itu; terutama ibu—bahwa saya mendapat diskriminasi oleh kawan bahkan saudara sendiri karena saya tidak lancar mengaji.

Alasan lain mengapa saya menolak dan tidak mau mengaji adalah di tempat mengaji pun saya sering mendapat perlakukan kurang enak oleh guru. Oleh guru ngaji telinga saya sering dijewer dan saya menangis dan kesakitan lantaran tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Saya malu dan tidak ingin mengaji al-Qur’an lagi.

Lalu kini saya membayangkan dan mencoba merefleksikan ulang atas pengalaman-pengalaman masa kecil itu ke dalam kondisi kehidupan saya saat ini. Bahwa terkadang saya merasa rendah diri dihadapan orang lain. Kerendahan diri ini yang membuat saya emosional untuk mencapai kemampuan orang lain; jika orang lain memperlakukan saya semena-mena.

Bahwa terkadang saya kehilangan nalar sehat dan perasaan manakala bertindak kasar pada suatu waktu tertentu—baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Saya kehilangan kontrol emosional ketika fungsi perasaan dan pikiran sehat itu tidak bisa dikendalikan pada waktu bersamaan.

Tak heran apabila pada suatu ketika saya pernah diperlakukan oleh kawan sendiri dengan tidak “tidak semestinya”, saya marah besar dan emosi saya meluap-luap hingga kehilangan kontrol emosional; bahkan kepada orang lain yang sebelumnya tidak berseteru dengan saya. Tindakan saya seperti percikan api yang bisa melahap dan membakar benda apapun.

Meskipun emosi saya belum sampai pada tahap memaki-memaki dan menjambak rambutnya dan menjotos mukanya, hanya adu mulut saja, saya merasa bahwa ada yang salah dengan tindakan saya setelah perseteruan itu reda.

Saya merasakan mestinya pada waktu itu tidak seharusnya saya terlampau bertindak kasar kepada kawan saya itu. Tapi tindakan saya sudah terlampau berlebihan menanggapi suatu hal tersebut. Saya menyesal dan mengoreksi apa yang telah terjadi pada diri saya hingga menjadi serigala bagi orang lain.

Saya sadar dan menyadari bahwa saya kehilangan satu atau dua fungsi ini: Akal sehat dan perasaan kasih sayang kepada orang lain dalam mencerna permasalahan yang terjadi. 

Apa yang saya lakukan adalah bahwa saya terlampau mengedepankan satu di antara kedua fungsi tersebut dan melupakan kedua fungsi tersebut—yang semestinya dikelola secara seimbang namun karena ketidakmampuan mengolah dua fungsi tersebut—sehingga yang keluar hanyalah emosi berlebihan dan tidak terkontrol atas dua peranan ini: akal sehat dan perasaan.

Inilah mungkin yang dimaksud oleh Alfred Adler apa yang disebut kepribadian superior. Adalah sebuah kepribadian untuk menciptakan kekuatan diri yang mengharapkan kemampuan dan kemapanan serta kesuksesan yang sama; tujuannya adalah untuk menutupi kerendahan diri dihadapan orang lain tadi.

Cerita lain sebaliknya. Pada suatu waktu saya mengobrol dengan kawan (bukan kawan yang dimaksud cerita awal). Disadari atau tidak bahwa ternyata obrolan receh saya menyinggung perasaan mitra lawan bicara dan membuat kawan itu kehilangan nalar sehat dalam mencerna maksud dan tujuan saya mengucapkan kalimat-kalimat itu yang saya semburkan ke telinganya.

Dia emosi. Dia mengumpat. Amarahnya meluap-luap persis seperti luapan emosi yang saya ceritakan di awal. Kedua kasus cerita itu mungkin saling kehilangan dua fungsi ini: Pikiran sehat dan perasaan jernih.

Padahal maksud saya tidak seperti apa yang dipersepsi oleh pikiran dan perasaan kawan saya tersebut. Maksud saya adalah begini … dan mitra lawan bicara saya menanggapi begitu … 

Tetapi ya sudahlah nasi telah jadi bubur.

Kesimpulan dua cerita pengalaman ini adalah saya cenderung menyalahkan orang jika orang lain memperlakukan saya “tidak semestinya”. Pun sebaliknya: Perlakuan saya kepada orang lain yang “tidak semestinya” pasti pula menyalahkan. 

Mungkin ini adalah cara pandang kepribadian seseorang memandang sebuah kehidupan yang menjadi gaya hidupnya. Seseorang cenderung menyalahkan orang lain; sementara kesalahan diri sendiri luput koreksi dari dirinya sendiri.

Konon—menurut cerita banyak orang—perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding pikiran. Sementara lelaki sebaliknya: lebih mengedepankan pikiran dibanding perasaan. Benar atau tidak menurut anggapan ini, kiranya perlu telaah ulang agar tidak sesat pikir dan menyesatkan pikiran orang lain.

Terlepas penyataan di atas (maksudnya anggapan kontradiktif tentang perasaan lelaki dan perempuan) pada kasus cerita pertama dan kedua atas pengalaman saya di atas bisa dibaca bahwa terkadang antara perasaan dan pikiran sehat lelaki dan perempuan memiliki pengelolaan emosi yang nyaris sulit diprediksi kapan perasaan harus dikedepankan dan kapan pula pikiran sehat diutamakan.

Kedua kasus itu mengindikasikan bahwa kedua fungsi itu harus sejalan secara bersamaan manakala kita dipertemukan pada sebuah kasus yang membuat diri kita nyaris kehilangan kontrol emosi. Kasus demikian hampir melibatkan banyak orang. Namun bagi orang yang paham mengolah fungsi perasaan dan pikiran ini membuat orang tersebut bijak dalam menanggapi suatu hal yang mengusik emosionalnya.

Sejak saya menyadari bahwa ada kekurangan dalam diri saya— juga orang lain tentu saja—dalam mengontrol emosional, pada saat itulah kesadaran belajar mengolah emosi adalah sebuah proses keniscayaan. Dan saya bisa menerima berbagai macam jenis manusia di planet bumi ini. Kreatifitas cara pandang demikianlah yang menuntun seseorang bergerak dari sebelumnya bringas kemudian menyadari sebuah kesalahan diri yang pernah dilakukannya; sehingga kita lebih optimistis menatap masa depan lebih baik lagi.

Pertama-tama saya harus sadar dan menyadari bahwa ada kekurangan pada setiap diri seseorang—baik saya maupun orang lain–dan keistimewaan tersembunyi yang menuntun seseorang tersebut berperilaku sesuai minat sosial.

Dengan cara itu saya—dan kita semua—belajar dan saling mempelajari kekurangan dan kelebihan kita masing-masing dan bagaimana menerima perbedaan sikap pada setiap kita yang sedang berproses menjadi manusia seutuhnya.

Memang demikianlah karakter manusia bahwa pada dasarnya proses menjadi manusia itulah paling sulit dalam hidup ini. Namun kita tak pernah lupa bukan, kalau kita hidup untuk terus saling belajar dari kesalahan-kesalahan?
Sabtu, 18 Maret 2023 0 Komentar

Di Musala itu ...

Ibu mengatakan, sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua tepat pada hari ke 17 ramadan 2021, setelah sebelumnya kami mengecewakan permintaannya untuk salat tarawih di musala, bahwa menjadi santri adalah tanggungjawab ananda kepada Tuhan yang menciptakan kita. Seberapa pun tinggi ilmu ananda peroleh di pesantren itu jikalau ilmu ananda tak membuahkan akhlak sama seperti tanaman padi yang gagal menjadi nasi, ucapnya sebelum sujud terakhirnya di musala itu.
Senin, 20 Februari 2023 0 Komentar

Perihal Skripsi


Peralihan zona nyaman menuju zona tantangan seperti halnya memilih ‘iya’ atau ‘tidak’ untuk melanjutkan hidup. Perumpamaan lebih tegasnya ketika kita lapar pilihan kita hanya dua. Makan atau tidak makan. Tak ada pilihan yang ketiga. Pilihan kita bekerja bagaimana menghasilkan uang agar bisa makan atau tidak bekerja, tidak makan (kecuali kalau tetangga kita berbelas kasih tiap hari).

Kita merasa aman ketika punya uang dan, dengan uang itu, bisa beli makanan. Tapi ketika uang tak lagi kita punya, barulah wilayah zona tantang memberi pilihan: apakah ‘iya’ akan bekerja atau ‘tidak’ akan bekerja.

Perumpamaan di atas saya ingin menariknya ke perumpamaan mengerjakan skripsi; atau suatu hal yang memungkinkan kita memilih sesuatu hal atas pilihan hidup; tapi fokus tulisan ini problem skripsi, dan bisa diumpamakan pula dengan perjalanan hidup. 

Mahasiswa memutuskan kuliah; itu berarti ia menanggung tugas menyelesaikan kuliah dengan syarat mengerjakan skripsi. Tanpa syarat ini, mahasiswa tak layak disebut lulus kuliah, kecuali kebijakan kampus mengeluarkan ketentuan lain sebagai pengganti syarat kelulusan tersebut, misalnya mahasiswa yang rajin menulis-nan-publikasi jurnal, bisa diluluskan tanpa syarat skripsi.

Pada umumnya, skripsi adalah syarat mahasiswa dikatakan selesai menempuh studi formalnya. Namun dalam menempuh studi kehidupan, ia takkan pernah selesai, mahasiswa akan terus berproses menjadi manusia, sebagaimana paparan nanti, dengan aneka ragam varian masalah kehidupan. 

Sebagian mahasiswa memilih tidak memenuhi syarat kelulusan tersebut. Saya kira tidak masalah, selama siap atas konsekuensinya. Sebab itu sebuah pilihan. Sebagian mahasiswa lain sebaliknya, memilih dan mengerjakan syarat tersebut. 

Di antara kedua pilihan tersebut adalah mengerjakan atau tidak mengerjakan syarat kelulusan. Dan, ohya, pada konteks pembicaraan ini diluar joki skripsi, sebab hanya mahasiswa tertentu sekarang bisa lulus tanpa mengerjakan skripsi; mahasiswa ini memilih joki tugas kampus; bahkan fenomena terbaru sekelas calon guru besar diduga terlibat kasus nirmoral ini. Sungguh ironis! 

Problem Membaca-Menulis

Saya sering mendapat pesan WhatsApp dari mahasiswa—baik mahasiswa lama, mahasiswa baru dan mahasiswa seangkatan—sejak semester empat; atau lebih tepatnya sejak saya mulai dikenal bisa menulis (meskipun sebenarnya tulisan saya tak begitu bagus, tapi menururt persepsi mereka bagus, menurut saya biasa saja). Pesan itu bentuk keluh kesah mereka perihal tugas kampus dan biasanya paling banyak tugas skripsi.  

Setelah pengaduan keluh kesah itu selesai, selain diskusi adu mulut tentu saja, giliran saya menanggapi. Saya balik bertanya dimana letak kesulitannya. Jawaban pada umumnya kesulitan mereka dalam menulis; dan saya katakan bahwa kunci menulis adalah membaca sebanyak-banyaknya, mengamati, mencermati dann meneliti bagaimana teks itu ditulis.

Tapi kebanyakan mereka tidak suka membaca apalagi meneliti dan menulis. Nahas. Saya katakan ‘itulah masalahnya’. Selama masalah pertama belum diatasi tidak mungkin mengatasi masalah berikutnya (baca: problem menulis). Jika masalah pertama selesai teratasi; maka kasus berikutnya terletak pada kebiasaan menulis. 

Saya tahu bahwa mereka belum terbiasa menulis dan karena itu, saya menyarankan agar latihan menulis setiap hari. Namun saran itu terkadang masih kurang efektif dan biasanya mereka balik menjawab “tapi kan” dan bla bla lainnya. 

Sebenarnya tidak ada jawaban “tapi kan” atau "bla bla lainnya" setelah mahasiswa tahu mana letak masalahnya. Dan kita patut sadar tentang masalah kebiasaan tersebut. Caranya bagaimana membentuk kebiasaan tersebut adalah mengubah cara berpikir kita tentang kebiasaan kita hari ini: mulai membaca banyak dan menulis banyak. 

Jika mahasiswa sudah terbiasa menulis (juga membaca) namun belum sepenuhnya bisa mengatasi masalah yang dihadapinya, satu hal yang harus diingat, ini saran saya, adalah waktu. Ya waktu. Persoalan mahasiswa sekarang adalah “ketidaktahanan” menjalani proses dan menikmati proses belajar; lebih-lebih penelitian.
 
Pada titik kulminasi proses ini saya tidak mau menjawab panjang lebar masalah mereka; sebab hal itu terletak pada daya tahan dirinya sendiri, dan saya tidak punya kewajiban penuh menjawab semua problem mereka; toh mahasiswa pasti punya kesadaran bahwa kuliah adalah proses belajar pembentukan karakter diri secara mandiri dan itu berada dalam kesabaran ia sebagai peneliti; sebagai pembelajar.

Menghadapi Hidup

Oleh karena itu, mengapa tulisan ini mengupas topik skripsi/tugas kampus (atau tugas hidup?), saya ingin mengatakan bahwa penemuan/keberhasilan terhebat di dunia ini, setidaknya pada setiap ukuran pribadi mahasiswa, adalah manusia sadar bahwa sebelumnya mereka mengira tidak akan mampu melakukan suatu hal dan setelah menjalani proses suatu hal tersebut (baca: tantangan), manusia sadar bahwa setiap kita mampu menaklukan tantangan dan memiliki kemampuan dalam melewati tantangan yang penuh ombak berduri itu. 

Saya kira setiap mahasiswa perlu mencoba tantangan dan menaklukan tantangan sebelum tantangan berikutnya akan tiba; akan kita hadapi, dan kita tahu cara bersikap pada tantangan tersebut yang tentu kita sudah terlatih dan terbiasa menghadapi tantangan besar bahkan tantangan menghadapi masa depan itu sendiri. 

Pada konteks ini kita harus—atau mungkin (?)—sepakat bahwa badai kehidupan tidak akan pernah usai;  sebab, setidaknya menurut saya, selama kita masih hidup, badai pasti (!) belum pasti berlalu, meskipun banyak orang mengatakan badai pasti berlalu.

Saya kira, selama kita masih hidup, badai arti kecil maupun besar tetap saja akan tiba; akan kita hadapi, seperti tantangan skripsi yang perlu dan penting kita hadapi dengan sikap, selain bersabar dan berproses menikmati belajar, menerima dan menjalaninya dengan kepala positif. 

Tapi bagaimana menjalani masalah dengan kepala positif? Nah, kini badainya terletak pada cara berpikir kita; bukan pada masalah itu sendiri. Bukankah cara berpikir kita menentukan cara bertindak kita terhadap problem yang sedang kita hadapi, yang terkadang bringas nan pula bijak? 

Saya kira selama manusia masih hidup di dunia akan tetap menghadapi ujian, meskipun porsi ujiannya beraneka ragam, ada yang kecil, ada yang besar atau setengah ringan saja. Sementara tantangan hidup (baca: studi kehidupan) jelas tidak seperti ujian/tugas/skripsi kampus tersebut, melainkan kita justru ditantang menghadapi masalah kehidupan tanpa jadwal; tanpa menjelang waktu; tanpa aba-aba. 

Artinya, pilihan kita tetap pada dua poros ini: “iya” atau “tidak” menghadapi tantangan tersebut. Tapi, tak selamanya hidup ini harus selalu menantang melawan ombak berduri itu bukan? 

Adakalanya kita perlu berkontemplasi sejenak sekaligus menertawakan perjalanan hidup; perjalanan kuliah kita yang kadang asem, kecut, asin, manis, tawar bahkan pahit? 
Jumat, 17 Februari 2023 0 Komentar

Skripsi Bagus

Untuk dapat menulis skripsi bagus, mahasiswa butuh asupan skripsi yang bagus pula. Masalahnya skripsi-skripsi yang dibaca mahasiswa minim sekali ada yang bagus. Saya menemukan satu dua skripsi bagus. Tapi itu tak cukup bagi saya menghasilkan skripsi bagus. Pun juga tesis serta disertasi. Minim sekali saya temukan tesis serta disertasi yang bagus. Setidaknya dalam pengamatan saya selama ini keluar masuk perpus. 

Saya berterima kasih jika ada skripsi atau hasil penelitian ilmiah ditulis dan diteliti dengan bagus; ia telah berjasa besar bagi keilmuan masa depan; meskipun saya sendiri tak begitu yakin terhadap pemangku kebajikan; tapi saya tetap yakin bahwa pendidikan di masa depan akan jauh lebih baik, dimulai dari diri kita sendiri sebagai penggerak perubahan, dengan menulis skripsi sebaik mungkin, bukan sekadar ala kadarnya selesai.
Sabtu, 04 Februari 2023 0 Komentar

Fenomena Mabuk Arab di Kalangan Umat Islam

Sila baca di sini.
Kamis, 19 Januari 2023 0 Komentar

Desa Jampit, Guest House Belanda, dan Melihat Surga Lebih Dekat


Akhir bulan Juli tahun lalu, 2022, saya—dan kawan-kawan KKN—berkesempatan berkunjung ke salah satu Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bonbowoso. Sebuah desa wisata yang boleh kita sebut lain sebagai desa surga. 

Awalnya kami nggak ada niatan pasti hendak jalan-jalan ke desa Jampit tersebut. Meskipun sebelumnya kami sudah tahu bahwa di desa Jampit, tak kalah erotis dibanding desa tempat kami bernaung, Kalianyar. Maka tertariklah kami main-main ke sana, sekadar berlibur.

Sekadar menerima ajakan perangkat desa untuk mengambil sesuatu di desa lain, maksudnya di kantor desa Jampit itu, dan diajaklah kami ke desa Jampit itu yang keindahannya bukan kepalang. 


Tapi tak hanya keindahan yang kami rasakan, borok-borok perjalanan pun kami “lewati”—untuk tidak mengatakan “rasakan!”, kata Pak Sopir waktu itu, sekaligus kedinginan akut, padahal waktu perjalanan siang; tepatnya menuju waktu zuhur.

Singkatnya, Pak Perangkat Desa sekaligus sopir pada waktu itu membawa kami dan ingin memberi pelajaran agak penting: sesekali merasakan hidup di desa terpencil dam terpinggir.

Di awal perjalanan, yang melewati desa Sempol, kami biasa-biasa saja ketika naik Mobil Triton GLX, yang mulai masuk perbatasan antara desa Sempol dan desa Jampit, yang dikelilingi kebon kopi, jarak sekitar satu kilo dari tempat tinggal kami, mulailah kami kapok dan bertanya kepada bapak sopir apakah nggak ada jalan pintas, Pak.

“Ada. Tapi jauh lebih ekstrim. Nantilah pulangnya kalian rasakan sendiri,” katanya.
 
Kami menggerutu, ingin rasanya mengumpat, dan mengajak balik pulang, tapi tak ada pilihan selain melanjutkan perjalanan, sebab tinggal setengah jam lagi, katanya Pak Sopir.

Di babak pertengahan jalanan itu, bukan main tersiksanya kami. Jalanan penuh borok-borok itu sepertinya memang disiapkan bagi pengguna jalan yang sabar nan ikhlas. Bebatuan berukuran besar hampir menutupi jalanan, belum lagi debu-debu beterbangan sesaat kami, dan pengguna jalan lain, berseberangan arah.

Dapatlah kami sabun abu gratisan pada suatu siang; pada jam memasuki salat zuhur itu.

Kami sempat ngoceh di belakang mobil dan bertanya-tanya apakah warga desa Jampit punya puskesmas untuk menampung orang mau melahirkan; dan bagaimana jika pemerintah setempat tidak menyiapkan keperluan mendesak tersebut?

“Ya itu, Dek. Sudah sejak lama kami pikirkan , tapi hingga hari ini belum ada kebijkan dari pemerintah untuk mendirikan niatan mulia itu,”kata Pak Sopir, kala itu. 

“Lalu solusinya bagaimana, Pak?” lanjut kami bertanya.

“Di Jampit masih ada dukun beranak. Jadi harapan warga cuma dukun."

"Cuma dukun?" 

"Iya, cuma dukun."

Anda tahu—jarak desa Jampit menuju desa Sempol lumayan jauh dan memakan waktu sekitar 45 menit idealnya naik motor; dengan bebatuan yang tajam-tajam. Desa Sempol satu-satunya desa yang paling dekat dengan puskesmas. Tapi, bagaimana akan ditempuh bagi orang yang mau melahirkan, apalagi pada waktu malam? 

Kami tak tahu kelanjutan tugas pemerintah selanjutnya. Moga-moga ada perbaikan kedepannya. 

Lalu kami tetap melaju meskipun tetap agak jengkel melewati jalanan berlubang; dan setelah melewati tantangan ekstrim tersebut, yang hampir setengah jam, yang hampir menuju tujuan, masuklah kami ke gerbang Guest House dan pemukiman pertama perumahan warga. 

Kami menyaksikan keindahan surga dunia lebih dekat, bentangan alam sekitar ... dan sesekali kami meminta kepada bapak sopir untuk tidak segera melaju lebih cepat dan memotret beberapa pemandangan sekitar, dan hasilnya cukup bagus. 


dok. perjalanan

“Indahnya bukan main, Gaes,” kata Mita. “Foto, Gaes. Foto-foto, Resa.” 

Guest House 

Resa memotret beberapa kepingan pemandangan alam dan perkebunan kopi. Gerbang Guest House menunjukkan kepada kami bahwa perjalanan akan segera sampai.

Sebelum tiba ke  tujuan tersebut kami diperlihatkan banyak perkebunan kopi dan semburan awan-awan di sekitar kawasan Kawah Wurung yang terlihat sangat jelas, serta orang-orang yang sedang mengembala sapi dan kambing. 

Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai ke penginapan tempat KKN kawanan kami yang sama-sama dari UIN KHAS Jember. Mampirlah kami sebentar dan dilanjutkan main-main ke Guest House tersebut. 


Dok. hal. depan Guest House 

Guest House tersebut merupakan hasil peninggalan Belanda dan diperkirakan berdiri sejak tahun 1927. Bangunan bercorak elitis itu unik serta megah dan identik dengan gaya arsitektur Eropa, halamannya luas, bunga-bunga bermekaran di sekitar perumahan, ada kuning serta merah, ada putih serta agak berwarna oren, dan segala macam jenis bunga ada di situ.

Saya bertanya kepada kawan-kawan KKN posko lain itu apakah Guest House dibuat penginapan para wisatawan dan mereka menjawan “iya”; dan tarifnya dalam semalam, cukup orang-orang kaya mungkin yang menikmatinya.

“Sekitar 2 Juta ke ataslah, Mas,” katanya. “Fasilitas empat kamar tidur dan kamar mandi dalam. Satu kamar driver, ruang tempat untuk bersantai serta penghangat ruangan, dan juga 2 petugas.”

Kami mengobrol banyak hal dan bertukar nasip selama setengah bulan menjalani KKN di sini. Menurut cerita mereka warga sekitar menyambut hangat kedatangannya, dan cukup membantu ketika ada keperluan agak penting di ladang belakang dan sesekali mereka mengajar dan menjalankan program kerja kampus. 


Dok. Ngobrol ngalor ngidol 

Lalu saya bertanya apa kendala yang paling dirasakan di sini dan semua sepakat: “Kedinginan dan sulit sinyal, Mas,” katanya.

Maka mereka diberi wifi oleh petugas Guest House tersebut dan kebetulan penginapan mereka dekat situ dan setiap hari mereka menyaksikan surga—baik malam maupun siang. Namun ya itu tantangannya dinginnya bukan kepalang. 

“Biasanya suhunya 1 bahkan sampai 0 celcius, Mas,” katanya kepada kami. “Di Kalianyar berapa biasanya, Mas?”

“Ya paling banter 5 itulah,” kata kawan saya, perempuan.

Mungkin kami sama-sama memiliki wilayah kenyamanan dan ketidaknyamanan tersendiri, tetapi satu hal yang dapat kami petik perbincangan itu: “pengalaman eksotis”.

Sekitar satu jam lebih kami bercakap-cakap dan berbincang-bincang banyak hal tentang pengalaman selama KKN dan hari ini di antara mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing dan sebagian di antara mereka sudah menyelesaikan sempro dan sebagian lainnya belum dan kami merindukan pertemuan itu. 

Merindukan banyak hal: kawan-kawan, kedinginan, melihat surga lebih dekat, warga sekitar yang penuh keramahan, obrolan receh-receh, gelagak tawa, dan harapan ingin bertemu kembali seperti pada masa KKN itu.

Mungkin Tuhan berbaik hati pada suatu hari nanti akan mempertemukan kami kembali, pada suatu kesempatan di lain waktu.
 
;