Kamis, 30 Juni 2022 0 Komentar

Yang Menawan Mas Alan; Serupa Air Terjun Gentongan


Rabu, 29 Juni 2022

Pak Kasum mengajak kami ke gubuk singgah, yang kira-kira terletak tiga ratus meter dari tempat penginapan, tampak sangat antusias sekali ketika kami bertanya-tanya tentang aset-aset desa Kalianyar, Ijen, Bondowoso. 

"Ada sekitar delapan spot wisata, Mas, yang kita miliki: Kawan Ijen, Kawah Wurung, Air Terjun Belawan, Air Terjun Busa, Niagara Mini, Pemandian Air Panas, Lava Basaltis, Air Terjun Gentongan," jawabnya. 

Yang saya tahu hanyalah Kawah Ijen—sebelum saya datang ke desa Kalianyar ini. 

Dan saya baru tahu bahwa spot wisata di sini tidak hanya gunung yang menyemburkan api biru itu, melainkan ada banyak sekali spot-spot wisata; rasanya ingin sekali saya kunjungi satu persatu untuk memetakan aset-aset yang bisa kami tulis-abadikan, dan betapa aduhainya jika saya dapat merekam keindahan Surga Ijen itu ke dalam kata-kata. 

Tetapi waktu empat puluh hari adalah sangat terbatas dan saya pikir langkah paling efektif untuk mengabadikan momen-momen ini sedikit atau banyak akan saya tulis apa yang saya lakukan; apa yang saya rasa; apa yang saya cium; apa yang saya tatap tajam-tajam di momen itu. Dan ... 

Saya tiba-tiba teringat sesuatu, semester dua dulu, bahwa saya pernah mencatat sesuatu di peta impian lima tahun ke depan; bahwa saya pernah bermimpi menaklukkan kawah Ijen! 

Ya, saya baru ingat sekarang: Saya pernah menulis peta impian dan salah satunya adalah Kawah Ijen.

Saya menulis peta impian itu ketika berada di pesantren dan kini catatan itu mungkin bangkainya masih ada dan sudah saya pindahkan ke buku catatan harian dan kini saya benar-benar bukan saja menaklukkan Ijen melainkan saya memeluk kawasan Ijen beserta dinginnya. Apakah ini yang namanya takdir? 

Ah, saya tak mampu menjawab teka-teki misteri ini, dan tiba-tiba Pak Kasum memutus lamunan saya di tengah hamparan bukit geopark. 

"Mari, sore nanti kita lanjutkan ke Ijen Geopark, kita bisa ngopi-ngopi gratis di sana, dan besok kita lanjutkan ke spot wisata lain.” pungkasnya. 

Kamis, 20 Juni 2022

“Jangan panggil saya Bapak,” katanya malu-malu.

“Lalu saya harus panggil apa?” potong Liha.

Kawan-kawan pada cekikikan mendengar celoteh Liha. Dan kami tidak sabar menunggu jawaban Pak Kasum paling muda ini—yang rupa-rupa usianya tidak jauh berbeda dengan kami yang rerata berumur 22 tahun.

“Panggil nama saja,” ia jawab menundukkkan kepala, menunjukkan mati kutu dihadapan kami. “Panggil saja Alan.”

“Mas Alan?” sahut kawan.

“Ohya … Mas Alan. Gitu ya …”

“Hemm … Mas Alan.”

Saya diam memerhatikan. Faqih yang ada disamping saya cekikikan tak ketulungan.

Mas Alan manusia tangguh—setidaknya bagi saya. Dihadapan para Mbakyu, Mas Alan dengan cerdik serta tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang aset-aset desa. Empat belas orang dihadapannya tidak membuat ia lari dari pertanyaan yang agaknya seperti mendapat pertanyaan ujian sidang skirpsi.

“Saya hanya lulus SMK Mas/Mbak. Jadi maklum kalau saya bicara sama mahasiswa, kayak kalian ini, agak blepotan.”

Saya sedikit canggung mau menanggapi; agar suasana obrolan lebih segar dan tidak ada kata sungkan; Mas Alan tiba-tiba menyihir kami, “Saya masih belajar, Mas.”

Suatu sikap yang sampai pada taraf tawaduk. 

Kami mendengar dengan khidmat dan mencatat apa yang dikatanya: dari sejarah mengapa ia tiba-tiba diangkat menjadi kepala dusun watu capil, tentang keseharian pemuda di sini yang seumurannya, dan keunikan desa kalianyar ini yang memiliki delapan spot wisata itu.

“Yang satu ada dibelakang rumah, Mas.” katanya antusias.

“Dibelakang rumah?” pikir saya agak sedikit bingung.

Dan benar … kami ditunjukkan spot air terjun gantungan itu dari belakang rumah. 
“Untuk lebih jelasnya, seperti kita harus kesana,” pinta kawan. 

Kemudian kami diajak ke tempat langsung dan menyaksikan pemandangan yang memanjakan mata dan, ah …. alam luas itu terlihat di sana: gunung-gunung yang menjulang tinggi, pohon-pohon biru yang sesekali melambai-lambai, burung-burung yang menari-nari dari kejauhan, pesawat numpang lewat yang tiba-tiba saja ikut menggambar pemandangan alam, air ria yang memancur secara tiba-tiba, awan-awan yang seakan berada di atas kepala. 

“Saya ingin berlama-lama di sini …” kata saya pada satu kawan yang baru saja mengabadikan pengalaman ini.

“Cukup elegan,” ujar saya. “Terima Kasih. Anda cukup berpengalaman jadi fotografer.”

Dari kejauhan kawan-kawan mengajak Mas Alan berswafoto dan kini ia tampak lebih segar—tampak lebih menawan serupa air terjun gantungan.
Selasa, 28 Juni 2022 0 Komentar

Pelajaran Musim Dingin KKN: Subuh itu; Kawah Ijen itu; Api Biru itu...


Subuh pertama adalah pelajaran musim dingin: Saya bangkit dari tempat tidur malam itu dengan kedinginan yang tak ketulungan, hawa dingin masuk melalui lubang-lubang kecil atap rumah, melalui celah-celah jendela, berhasil menembus empat helai kain yang membalut tubuh kurus keriput saya. 

Beberapa kawan- kawan masih terlelap tidur; sementara satu dua tiga di antara sudah bangun dan pergi menuju kamar mandi dan setelah selesai menunaikan hajat lalu keluar dengan tubuh gemetar seperti orang tersengat tegangan listrik dan saya membayangkan kalau saya akan seperti mereka sebentar lagi, dengan tubuh gemetar setelah bersentuhan dengan air masjid. 

Saya memilih menunaikan hajat buang air ke masjid dan sekalian sembahyang di sana dan setelah bersentuhan dengan air itu kulit-kulit tipis ini seperti kaget dan saya pun mengambil wudu cukup satu kali basuhan dan segeralah mengikuti gerakan imam, jangan bertanya saya khusuk maksimal. 

Usai sembahyang saya melanjutkan kebiasaan mengaji dan kali ini saya tidak sendiri, melainkan mengaji bersama jamaah sembahyang subuh dan sekali saya disodorkan mikrofon menunjukkan sudah waktunya giliran saya mengaji dan setelah selesai empat halaman mushaf saya sodorkan lagi mikrofon itu dan kemudian saya selesaikan setengah juz lebih lima halaman itu mengakhiri bacaan dan memutuskan untuk melanjutkan sore nanti.

Dan saya berjalan kaki menuju penginapan KKN sendirian...

Ibu-ibu bakda subuh itu berjalan berdampingan dengan masing-masing memakai sepatu bot; dengan kepanjangan seperti kereta kencana menuju ke tempat kerja kebun atau ke ladang dan kedua tangannya mendekap erat-erat pada tiap-tiap perut dan perbincangannya yang mengeluarkan asap seperti orang baru saja merokok adalah pelajaran subuh pertama di musim dingin wilayah Ijen. 

Sesekali pandangan bola mata, saya arahkan pada gunung-gunung yang menjulang tinggi itu yang tubuhnya diselimuti asap-asap; saya membayangkan dari kejauhan; dari masjid tempat saya sembahyang subuh; akan terlihat api biru kawah Ijen menyala-nyala; seolah-olah saya baru saja sampai di sana menikmati panorama indahnya surga Ijen yang terkenal di seluruh penghujung dunia itu. 

Tetapi alih-alih saya berada di sana; musim dingin adalah rintangan menjalani pelajaran empat puluh hari di sini ialah kemelut dingin yang harus saya lawan dan harus saya pilih untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang mematikan ini. 

Menjelang mentari sebentar lagi akan muncul, tubuh-tubuh kami siap-siap bergelut dengan kedinginan hingga fajar kembali datang.
0 Komentar

Menuju Ijen: Sebuah Pengantar KKN

Dan tubuh kurus saya seperti berada dalam kulkas ketika sampai jalan menuju kawah Ijen, google maps menunjukkan bahwa perjalanan kurang lebih lima puluh lima menit lagi untuk sampai ke tempat lokasi KKN, balai desa Kalianyar.

Orang-orang pada lalu lalang dan dapat saya duga bahwa mereka sedang mencari sesuap nasi di alam liar dan sebagian lagi ke kebun dan sebagian lainnya entah kemana.

Dalam perjalanan itu bola mata saya hanya menyaksikan pohon-pohon aren menjulang tinggi serta gunung-gunung bertubuh seksi memanjakan mata penuh ketakjuban; tidak ada kicauan burung-burung di alam liar sana; hanya kedinginan menyelimuti tubuh kecil ini.

Dan empat puluh menit telah berlalu dan saya belum sampai tujuan dan kecamuk pikiran semakin liar menari-nari apakah saya tersesat dalam hujan penuh rimbunan pepohonan ini? Segera saya pangkas pikiran cemas itu; tetapi tidak saya pungkiri saya semakin cemas.

Dalam kecemasan akut itu, saya seperti tokoh Kafka dalam novel Dunia Kafka Haruki Murakami yang lari dari rumah menghindari kutukan sang ayah dan pergi menuju suatu tempat tetapi ia tidak tahu harus pergi entah ke mana, hanya petunjuk naluri ia turuti.

Saya tatap jam tangan menunjukkan lebih jam tujuh pagi; sementara acara pembukaan penerimaan KKN kurang lima menit lagi dan saya masih dalam perjalanan, saya baru ingat bahan bakar motor tinggal sedikit dan saya memutuskan untuk mengisi bensin di pinggir jalan dan saya bertanya kepada Ibu penjual bensin apakah desa Kalianyar masih jauh?

"Masih jauh, Mas," ujarnya.

Pikiran saya masih berkecamuk cemas, apakah KKN ini lebih menantang daripada KKN di Desa Penari itu?

Kecemasan semakin menjadi-jadi mengingat saya hanya seorang diri; tanpa teman; tanpa kawan; tanpa ayang tentu saja.

***
Dua hari sebelum pelepasan KKN tubuh ini terasa lemas seperti orang kurang makan empat hari; mungkin penyakit lemas itu akibat memikirkan pekerjaan belum tuntas: ujian akhir semester belum saya ikuti hingga hari ini, menulis blog pribadi belum saya isi,  rencana menulis Call for Papers ke Jakarta bersama Bu Dosen masih tahap riset, dan sebagainya.

Akhirnya saya memutuskan cek kesehatan ke klinik terdekat rumah dan hasil tes menunjukkan tensi darah saya hanya 90 dan entahlah mungkin karena tiga hari yang lalu saya lupa makan pagi hingga siang.

"Mulai kapan terasa lemas, Mas," tanya Pak Perawat.

"Sekitar tiga hari yang lalu," jawab saya.

Pak Perawat juga memastikan kepada saya untuk selalu minum teh manis serta sate kambing dan saya pikir sepertinya saya kekurangan gizi.

"Betul, sampean kurang gizi, Mas," ujarnya.

Segera saya pulang dan memastikan kepada Ibu untuk membuatkan saya teh manis dan makan sebentar sedikit untuk keperluan minum obat yang diberikan Pak Perawat.

***
Tepat pada sekitar jam tujuh lewat tiga puluh menit jam tangan saya menunjukkan bahwa tempat lokasi yang saya tuju tinggal tiga menit lagi dan tiba-tiba saja salah satu kawan menelepon.

"Sudah sampai di mana?" tanyanya.

Saya jawab sebenar lagi sampai dan jangan menelepon dulu sebab baterai smartphone saya tinggal sedikit lagi dan akhirnya, saya datang tepat pada waktunya; sementara pikiran saya masih cemas akan empat puluh hari tinggal di desa seperti musim salju ini.

Senin, 27 Juni 2022 0 Komentar

Waspada Terorisme!

Saya baru tahu kalau tulisan saya dimuat media online harakatuna. Jika anda berkenan membaca, bisa anda klik di sini.
Jumat, 17 Juni 2022 3 Komentar

Mahasiswa yang Sentimen

Sungguh kacau dunia ini jika semua hal harus ditanggapi dengan sentimen, alih-alih adu argumen. Orang-orang yang hanya mengedepankan sentimen biasanya terlalu cetek pikirannya—sulit menalar persoalan. Seolah-olah itu kebenaran serta kebaikan.

Jenis orang-orang seperti ini ternyata ada pula pada kalangan mahasiswa. Saya tentu kaget pertama kali kuliah dan hari ini—saya tidak terlalu kaget. Namun saya resah keberadaaan jenis-jenis mahasiswa semacam ini.

Dan dengan alasan itulah saya menulis catatan ini. Moga-moga tulisan ini dibaca oleh mereka dengan kepala hangat; dengan kacamata sehat; dengan pikiran terarah; dengan pikiran jernih serta terbuka.

*
Dalam sebuah kasus, apapun kasus itu akan jauh lebih terarah dan menguntungkan kedua belah pihak, yang harus dilihat adalah inti persoalan, bukan hal lainnya. Jika satu persoalan kemudian dipelintirkan sedemikian rupa sehingga memicu polemik kekaburan suatu percakapan, alamat salah satu pihak akan dirugikan dan diuntungkan oleh pihak lain, yang oleh karena hanya teman dekat. 

Dan parahnya, yang diuntungkan adalah yang menggunakan kata-kata sentimen, sungguh terlaknat mahasiswa semacam itu.

Alih-alih mendukung proses belajar seseorang—ia menjadi penghalang karena sifat buruknya yang agak sinis melihat orang lain rajin, berani berpendapat, dan mau mengajukan ketidakberkenaannya akan suatu hal, dengan sinisme tingkat akut.

Mungkin kasus tersebut bisa saya paparkan sebagai berikut.

Misalnya, kalau saya mengatakan bahwa ketidaksiapan bukanlah alasan tepat bagi mahasiswa untuk tidak presentasi adalah sesuatu yang kacau dan potensial merugikan banyak pihak. Itu klaim yang saya ajukan untuk memprotes mahasiswa yang suka menunda-nunda tanggung jawab presentasi—yang itu berimpas merugikan banyak pihak (kecuali menunda-nunda pekerjaan untuk diri sendiri; tidak masalah). 

Betapa pun banyaknya waktu yang diberikan; seorang yang suka menunda-nunda akan selalu—dan kemungkinan besar akan beralasan kembali bahwa dirinya tidak siap. Itu jantung persoalan yang saya protes; bukan hari tertentu (ingat! bukan hari tertentu). 

Saya mengajukan hari tertentu—yaitu Jum’at—karena hari setelahnya, Sabtu, saya ada acara dan tentu saja itu sekadar pendapat, dan bentuk pengajuan diri sebagai kelompok yang berhak presentasi. Tapi anehnya, pikiran cetek dan sentimen justru tak mampu menangkap jantung persoalan yang saya gugat, alih-alih, justru hal tersebut  dianggap bentuk protes. 

Hey … mana pikiran sehat anda?

Alih-alih memahami secara keseluruhan klaim, protes jantung persoalan, pendapat, dan penawaran kami untuk presentasi hari tertentu, adalah justru nada sentimen yang mengedepankan cibiran dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” dan nada-nada serupa lainnya, bentuk ketidakmampuan menalar persoalan dengan baik, alih-alih memahami secara keseluruhan. 

Alih-alih menanggapi dengan kepala hangat; malah justru mengklaim bahwa “kelompok kami tidak siap”. Apa bukti kalau kelompok kami tidak siap? 

Oih, anda mengatakan “kami tidak siap” lantaran salah satu orang dari kami mengatakan demikian bukanlah klaim yang mendukung dan menguatkan klaim-klaim serampangan-sentimen anda tersebut (saya kira pembuktian hanya satu orang tidak cukup; yang sebenarnya harus melibatkan banyak pihak yang dimintai keterangan). Jelas itu sentimen yang bernada merendahkan. 

Tapi sayang—mahasiswa yang cetek pikirannya selalu menganggap bahwa itu sebuah kebenaran dan kebaikan untuk melegalkan klaim-klaim serampangan untuk menjatuhkan mitra lawan bicara.

Sebenarnya saya malas meladeni mahasiswa yang pemahaman serta pembicarannya selalu mengedepankan sentimen. Tetapi jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi pertemanan. Saya katakan demikian karena cibiran atau sentimen atau sinis itu potensial menjatuhkan semangat seseorang belajar—alih-alih mendukung keberhasilan teman.

Mencibir mitra lawan bicara dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” seperti merendahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya melakukan apa yang dikatakannya. Padahal setiap orang telah diberi waktu dalam 24 jam untuk bisa rajin, pintar, cerdas, dalam mengejarkan sesuatu dengan tepat waktu. 

Namun karena dirinya bersifat sebaliknya adalah justru sifat sinis melihat orang lain pintar, rajin, cerdas, dalam mengerjakan sesuatu, terbentuklah sifat sentimental tersebut. Saya jengkel kepada seseorang yang merasa rendah diri semacam ini. Karena itu saya melawan diri seolah-olah ingin mengetuk tempurung kepalanya yang agak sulit dibuka mata pikirannnya itu.

Dan kembali lagi ...

Sungguh basi “ketidaksiapan” dijadikan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Alih-alih memberikan alasan masuk akal “mengapa tidak siap” justru malah mengeluarkan kata-kata sentimen pada orang yang mau menggugat perihal ketidaksiapannya. 

Sebenarnya tidak begitu masalah jika kita merasa tidak siap pada satu kondisi yang tidak memungkinkan untuk menampilkan hasil kerja dengan baik. Namun yang patut dicatat adalah ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen. Saya ulangi kembali: ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen!

Saya rasa, merasa tidak siap adalah satu bentuk kejujuran. Namun bentuk kejujuran itu rusak bilamana kata-kata dibalut dengan sinisme, serta, kata-kata sentimen tidak layak dipakai oleh kalangan yang merasa seorang pembelajar.

Tapi, lagi-lagi, saya rasa, bentuk protes karena ketidaksiapan untuk presentasi adalah sah-sah saja dan patut saya gugat sebab itu kepentingan banyak orang. Terlalu banyak waktu hangus lantaran keberadaan orang-orang yang selalu merasa tidak siap dan itu merugikan banyak pihak dan itu bukan satu dua kali beralasan demikian, bukan? 

Maksudnya adalah mahasiswa yang beralasan “tidak siap” pada dasarnya peralihan dari kemalasan yang ia ciptakkan sendiri.

Lagi, mungkin dalam pikiran mereka saya beralasan karena “ada acara pada hari sabtu” itu tidak tepat dan sebab itulah mereka mengutuk saya sebagai mahasiswa supersibuk dan sebagainya. Ini persoalan prioritas, Kawan. Jika saya beralasan demikian pada hari kuliah mungkin boleh anda mengutuk saya dan menyarankan agar saya memilih prioritas mana yang tepat bagi saya. 

Tetapi, sekali lagi, anda tidak punya kuasa mengutuk orang pada hari diluar hari kuliah. Kenapa anda mempersoalkan hanya karena saya ada acara dan menfokuskan diri untuk melawan mitra bicara anda dengan nada-nada sentimen seolah-olah itu sebuah bentuk kebenaran dan kebaikan?

Lain waktu saya tidak akan menanggapi kata-kata yang bernada sentimen. Lebih baik saya menanggapi nada-nada argumen. Kata-kata sentimen  biasanya hanya akan berujung pada kebencian; sementara kata-kata argumen mengetuk tempurung kepala yang cetek dan biasanya akan melahirkan kejernihan pikiran. Selalu mewanti-wanti diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata sentimen adalah upaya diri untuk tidak membenci. 

Sentimen dan argumen adalah dua hal yang kontradiktif. Oleh karena itu, keduanya tidak mungkin berhubungan romantis, dan karena itu pula, saya harus lebih berhati-hati menanggapi suatu hal yang hanya berujung permusuhan. Caranya adalah dengan tidak menanggapi itu tadi. Namun kadang saya perlu menanggapi jika hal tersebut merugikan diri di hadapan banyak orang.

Dari watak serta sifat mereka (baca: sinisme, sentimen) dapat saya simpulkan: Sesungguhnya, tanpa ia sadari, orang berlagak merendah diri adalah orang yang merasa paling diri dan paling benar sendiri. Sayang, mereka tidak sadar akan hal itu dan mereka sematkanlah kata-kata itu pada mitra lawan bicaranya, eh. Maaf.
 
;