Minggu, 27 September 2020 0 Komentar

Tutorial Gokil Hidup Selalu Muda

Sumber Ilustrasi : www.id.wikihow.com

Hallo... kaum gokil. Semoga tetap gokil... 

***

Apakah anda makhluk yang sudah lanjut usia? Apakah anda makhluk yang ingin hidup selalu tampil lebih muda? Maka, tutorian ini cocok bagi anda sudah lanjut usia namun ingin selalu tampil lebih mudah.

Bagaimana tutorialnya? Ets, tunggu dulu... sebelum lanjut baca, harap seruput kopi dulu. Glek... mari...

Oya, tutorial ini kami peruntukan kepada makhluk-makhluk Tuhan yang meyakini ke-Esa-an-Nya; yang meyakini bahwa Tiada Tutorial lain selain Gokil dan Tutorial Gokil adalah solusi kaum gokil.

Selamat menikmati sajian tutorial gokil kali ini...

***

Pertama, menjadikan orang yang lebih tua sebagai perbandingan. Tutorial ini sangat efektif menjadikan diri seseorang lebih tampil selalu muda. Bayangkan, jika anda berusia tiga puluh tahun, misalnya, bandingkan usia anda dengan orang yang lebih tua pasti anda akan mengatakan, "Usia aku masih muda. Jauh lebih muda daripada kau yang sekarang menginjak usia tiga puluh lima tahun."
 
Bagaimana tutorial pertama ini... cukup efektif, bukan? Silahkan anda coba bandingkan usia anda dan kawan anda yang lebih tua, tentu saja.

Tutorian hidup selalu muda yang kedua, adalah mendaftarkan diri di pemerintahan saat usia tidak lebih dari 30 tahun. Apakah anda masih ingat Gubernur - yang dikecam sebagai penista kitab suci tahun lalu - bernama Pak Ahok. Dia ketika menjabat sebagai pemerintahan kepala daerah masih berusia empat puluh delapan tahun: di usia ini Pak Ahok oleh sebagian masyarakat masih di bilang "Gubernur Muda" untuk seorang kepala daerah. Tapi apa iya... anda atau aku misalnya, akan jadi kepala pemerintahan dulu baru akan dibilang "masih muda," sedangkan untuk menjadi kepala daerah itu sulit, kecuali orang berduit. 

Tapi hati-hati ya, jabatan akan bisa kemungkinan menggelincirkan hidup anda yang sederhana menjadi lebih menakutkan bin mengerikan jika anda tidak mampu mengembandan amanah dengan baik. Bisa-bisa anda akan di doakan buruk oleh masyarakatnya, seperti halnya sketsa obrolan ini:

"Makan tuh... !!! uang benih neraka. Apa tak ingat! bahwa hidup di dunia ini bukan untuk cari popularitas menumpuk harta kekayaan dengan cara korupsi uang rakyat, hah! Semoga saja segera taubat. Atau kalau tidak. Secepatnyalah mati sekalian sak harta-hartanya!"

Apakah anda satu frekuensi dengan saya dalam hal ini?

Saran aku, hanya saran loh, ya.... boleh anda jalankan atau tolak, yaitu tutorial gokil yang ketiga: segera meninggal jika usia anda menginjak tiga puluh tahun. Besar kemungkinan akan terjadi obrolan masyarakat begini: 

"Siapa yang meninggal, Jeng?" tanya seorang janda beranak satu. 
"Pak Maut."
"Memang Pak Maut itu usia berapa, Jeng? 
"Baru juga tiga-puluh tahun, Jeng." jawab perempuan berkalung emas se-lusin.

Nah, bagaimana? apakah anda tertarik tutorian terakhir ini. Ini cara paling gila menurut data ilmiah yang aku temukan. Tapi ini cukup bobot untuk mendapat gelar "Muda". Silahkan di coba !

Sekian tutorian gokil kali ini. Jangan lupa like, koment, and share.

Sabtu, 26 September 2020 0 Komentar

Motivasi Menulis dari Gol A Gong

"Berbahagialah orang yang banyak memiliki kekurangan, karena dengan begitu dirinya akan menjadi kuat. Bersyukurlah bagi orang yang banyak memiliki kelebihan, karena tidak perlu merasakan ujian. Tapi di antara keduanya, aku meyakini, yang paling beruntung adalah orang yang memiliki kelebihan dari hasil tempaan kekurangannya sendiri.”Gol A Gong

Penulis yang mempunyai satu tangan ini telah membikin saya malu pada diri sendiri. Kecenderungan saya bercita-cita menjadi penulis handal ternyata tak segampang apa yang saya bayangkan, saya belajar tentang banyak hal darinya: ketabahan, keikhlasan, kegigihan, kedisiplinan, dan satu lagi: kesabaran. Tak jarang orang-orang yang tak berperikemanusiaan seringkali melecehkan dirinya, tapi ia balas dengan hati lembut. Ia tancapkan pesan kuat Emaknya, “Jangan emosional jika kamu mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan, terutama dengan kecacatanmu. Jadikan itu pelajaran hidup, agar kamu jadi kuat.” Semenjak itu pula ia lahirkan puisi yang sangat indah: 

Duka adalah luka

Luka karena ujung pisau

Tapi aku enggan mengobati

Karena duka lain bakal datang

Teruntuk yang belum kenal siapa Gol A Gong. Ia adalah pendiri Rumah Dunia terletak di daerah Serang Banten. Juga salah satu aktivis di Forum Lingkar Pena. Penulis buku, Rahasia Penulis : Bukan Sekadar Tips Menulis ini memiliki nama pena yang sangat filosofis:

“Aku terinspirasi, “A” berarti “Allah”. Lalu aku corat-coret lagi. Bagaimana kalau “Gol A Gong”?  Maksudnya di antara “Gol” dan “Gong” itu dijembatani oleh “A”, yaitu Allah.” (hlm, 17). Oh, “A” itu yang bikin diri seorang Gol A Gong kuat, tentu saja.

Buku yang berukuran 15,5 cm x 23 cm dengan ketebalan 228 ini menjadi santapan santai saya di kala saya pusing bagaimana menulis yang baik. Ya, menulis bukan perkara gampang—untuk tidak mengatakan sulit—menulis, sebagaimana  yang dikutip dalam buku ini, ibarat apa yang dikatakan Thomas Alfa Edison, “Aku menemukan listri ketika mengalami kegagalan sebanyak 9000-an kali.” Tapi dia tidak kapok-kapok. Apa kata dia? “Itu berarti aku jadi mengetahui, bahwa ada 9000 jenis materi yang jika digabungkan tidak bisa menghasilkan listrik!” menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan seperti seorang Edison; kegigihan, kesungguhan, kedisiplinan, dan tentu kerja keras (hlm, 131). Belum saatnya saya harus berleyeh-leyeh jika ingin jadi penulis. Setidaknya saya banyak mendapat pelajaran penting dalam buku ini. Namun, setiap karya tidaklah melulu berjalan sempurna. Kita mafhum: tak ada karya paling sempurna kecuali al-Qur’an yang Maha Sakral. 

Ada beberapa kekurangan dalam buku ini. Saya banyak menemukan kata-kata yang sering berulang-ulang sehingga terkesan membosankan saat membaca. Dari halaman pertama mungkin terasa sekali kalau buku ini sangat bagus, tetapi semakin ke bab lebih jauh akan sangat menjemukan. Tema yang sudah di tulis serangkali muncul kembali di akhir bab. Selain itu kualitas buku banyak yang buram sehingga kalau ini buku dibaca orang yang sudah lanjut usia mungkin akan mematikan mata pembaca. Tentu buku yang saya baca ini bukanlah buku bajakan, tidak! Ini buku saya beli asli dari penerbit langsung. Saya dibuat kecewa sembilan puluh sembilan ayat dari setiap paragraf dalam buku ini.

Kepada siapa pun yang sekarang hendak belajar menulis: buku ini cukup merefleksikan semangat menulis. Ya… motivasi menulis ala Gol A Gong tentunya.

Kamis, 24 September 2020 0 Komentar

Jangan Merusak Mental Maba !

Melakukan kekerasan kepada mahasiswa baru (Maba) - ketika ospek maupun penerimaan anggota baru di organisasi - dengan alasan apapun, memisal menguji mental, bagi saya satu cara menjatuhkan mental mereka, bukan menguatkan mental mereka sebagai pemelajar sejati. Tentu makhluk Tuhan  yang sehat akal pikirannya tidak akan melakukan "ritual" tak ilmiah ini. Adakah bukti penelitian ilmiah soal "menguji mental" dengan cara kekerasan ini dapat melatih mental? Anda mungkin lebih tahu dalam hal ini, anda berhak membuktikan klaim serampangan ini, terkhusus para senior.

Sila buktikan atau cari sumber ilmiah yang mengatakan ritual itu bisa meningkatkan mental mahasiswa. Yang ada malah sebaliknya: bikin trauma.

Pengalaman menjadi mahasiswa baru setiap mahasiswa punya cerita berbeda-beda. Apalagi mereka yang gemar mengikuti organisasi tertentu dengan cita-cita sederhana: menjadi aktivis kampus. Namun dalam mula perjalanannya tidak semulus ajakan omongan para senior bahwa mereka akan menjadi kader terdidik yang manusiawi, melainkan mendapat jauh dari sifat manusia. Saya pernah mengalami--sewaktu mengikuti organisasi tertentu--tindakan diskriminasi oleh senior. Jujur saja, saya mendapat perlakuan jauh dari manusiawi! Bahkan satu senior menghalang saya untuk tidak melaksanakan ritual sholat! Ini sudah melampaui batas. Orang yang berbeda agama pun belum tentu sekeras ini. Sebagai orang beragama saya tentu butuh sembahyang menghadap Tuhan. 

Syahdan, saya keluar dari organisasi itu. Pikir sederhana saya: masih banyak jalan lain untuk mengembangkan diri, dan berbakti kepada negeri yang saya cintai ini. Tak melulu harus ikut organisasi. Tak melulu harus jadi mahasiswa. Tak melulu harus jadi aktivis kampun. Berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengenal ras, suku, agama bahkan sudah termasuk berbakti kepada negeri ini. Sesederhana itu! Memberi kenyamanan dan ketenteraman bagian dari berbakti kepada ibu pertiwi. Sesederhana itu! Jangan sampai status mahasiswa menjadikan anda sebagai manusia yang memiliki moralitas palsu. Sebab, menjadi akademisi tak se-receh yang dilakukan kepada sesama pemelajarnya. 

Anda yang sudah jadi aktivis kampus tapi masih berbuat onar di lingkungan masyarakat apa gunanya? Anda seorang organisatoris tapi masih gagap peka diri apa gunanya? Anda seorang intelektual tapi tak mampu menempatkan orang bawahan untuk anda junjung tinggi derajatnya apa gunanya? Anda yang senior merasa lebih intelektual daripada anak yang baru masuk dunia kampus apa gunanya? Toh belum tentu anda lebih intelektual dari pada mereka, para maba itu. 

Mereke para senior seenaknya memperlakukan kami (maba atau anggota baru) dengan cara tak berperikemanusiaan! Setelah mereka melakukan kekerasan itu dengan entengnya mereka "meminta maaf". 

Anda tahu, setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk orang yang mudah memaafkan akan dengan senang hati memaafkan perilaku bangsat mereka. Tapi tidak dengan mereka yang sulit memaafkan kesalahan orang lain malah justru sifat "pendendam" akan tertanam subur di benak kepala. Sebab, tak semua dari mereka menerima perlakuan brengsek itu!

Kasus pembunuhan di Indonesia cukup banyak. Tak perlu saya urai datanya, anda dan saya pasti tahu itu. Satu sebab mereka melakukan pembunuhan adalah karena "dendam". Ya, dendam ... bisa jadi para junior itu kelak akan membalas "perlakuan keparat" itu setelah mereka berada di luar kampus, dan kemungkinan yang akan terjadi, minimalnya, perkelahian. Penyakit dendam ini panas kalau tidak sampai terbalaskan. 

Beberapa waktu lalu saat ospek terjadi kasus kekerasan yang menimpa mahasiswa baru di media sosial yang dilakukan oleh senior. Meski kejadian itu sangat disayangkan oleh pihak kampus tak mudah bagi korban segera pulih dari traumanya. Saya tak tahu pasti kabar selanjutnya. Yang jelas itu sangat merugikan nama kampus juga korban itu sendiri. Apa dengan kejadian ini mereka para korban meningkat jiwa pemelajarnya? Tidak!

Tak ayal kejadian ini menuai sorotan para komedian ternama, Ernest Prakasa. Anda tahu bukan? Ernest Prakasa adalah komedian ternama di Indonesia. Tetapi rupanya ia tak setuju melihat rituan 'tak ilmiah' ini. Dalam satu tweetnya, "Ospek sering jadi kesempatan bagi manusia-manusia insecure nihil prestasi untuk mencicipi setitik kebanggaan hidup dengan merendahkan manusia lain." 

Tak hanya komedian super lucu itu. Seorang Psikiater Jiemi Ardian pun turut bersuara: "Jujurlah wahai kating, ospek marah-marah yang kamu buat itu bukan tentang mendidik adik tingkat. Kamu buat ospek marah-marah itu buat hiburanmu dan memuaskan egomu yang ingin terlihat hebat. Pendidikan? Bukan. Itu keegoisan dan kemalasan mencari jalan menguatkan yang lebih baik. Nggak usah bicara soal "dunia lebih berat," karena dunia bisa lebih ringan kalau saling dukung, bisa lebih indah kalau saling rangkul," Ya ... saling merangkul adalah titik menuju puncak kesuksesan sebagai manusia pemelajar. "Tapi dunia bisa jadi berat kalau orang-orang di dalamnya sibuk dengan egoisnya yang minta dikasih makan segede godzila kaya Yth Kating Pemarah."

Ya ... kekerasan bukan hanya menimbulkan kegaduhan, lebih dari itu ketenteraman diri pun terganggu plus merusak mental. Mari kita patut bertanya: bisakah kita menyiapkan generasi intelektual dengan cara lebih bermanusiawi? Bisa. Bisakah kita merubah sistem budaya pendidikan lebih humanis? Bisa. Bisakah kita membudayakan ospek dari keras menuju kritis? Bisa. Saya pikir itu cara yang lebih elegan dan tentu tidak akan melukai sesama akademisi. Cara ini akan membantu mereka lebih kritis, dan tentu akan menambah mental mereka sekaligus. 

Seperti yang kita tahu, akan ada perasaan traumatik yang sulit dihilangkan. Sebagai niat meningkatkan mental mereka tentu saja kita tidak ingin mereka tumbuh dengan kondisi mental pecundang yang inferior; yang menyimpan dendam bersama kelompok mahasiswa lain, yang membuat luka menganga sulit terobati. Kita tidak ingin hal itu terjadi, bukan? 
Selasa, 22 September 2020 0 Komentar

Pergerakan

Sumber ilustrasi: www.islamidia.com
Pergerakan intelektual dan spiritual adalah dua aktivitas yang tak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Inilah kedahsyatan wahyu Tuhan pertama kali turun : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan".
Kamis, 17 September 2020 0 Komentar

Sekolah Bikin Saya Trauma!

Sumber Ilustrasi : Googleimage.com

Jika Tuhan perkenankan saya menjadi bocah berseragam yang saban hari Senin hingga Sabtu berada di bangku sekolah, maka ingin sekali saya membaca buku-buku pelajaran yang diberikan guru kepada saya. Tetapi apakah iya ... saya dapat menikmati pelajaran dengan riang gembira - dengan setumpuk buku-buku (Paket + LKS) yang diberikan - yang bagi saya tak mampu meningkatkan kapasitas saya dalam berpikir? Apakah iya ... buku-buku itu membikin saya gemar membaca dan cinta belajar? Apakah iya ... buku-buku itu akan merubah saya dalam cara berpikir? Apakah bisa ... pendidikan di gedung sekolah yang begitu jumawa itu dapat memberi jalan kehidupan saya nanti? Sebab, sekolah telah membikin saya trauma belajar yang tak dapat menghilangkan masalah yang saya alami. Belajar sungguh sangat membosankan! Apakah Anda mengalama apa yang saya rasakan?

Buku-buku yang dulu telah membikin saya trauma sampai hari pun saya buang jauh-jauh. Kini rasanya saya lebih leluasa membaca apapun yang bikin kreativitas saya meningkat...

Kerap kali saya bertanya pada diri sendiri dengan nada putus harapan sebab saya telah menemukan jawabannya: bolehkah saya memilih pelajaran di sekolah - juga di kampus barangkali - berdasarkan buku-buku yang saya gemari saja agar saya belajar riang gembira tanpa keterpaksaan membaca buku-buku yang membosankan itu.

Tak jarang saban saat saya tak mengikuti apa dan bagaimana belajar saya di institusi formal. Saya tak berpikir bagaimana saya harus bersaing dengan mereka yang rajin mematuhi kehendak kurikulum formal itu—apalagi mematuhi kehendak senior yang sebagian dari mereka cuti intelektual. Belum saatnya saya harus patuh padanya. Pada saat yang sama saya memilih sekolah plus ngampus di kehidupan. Sebab, itulah sekolah yang menurut saya benar-benar sekaloh.

Jika ujian di institusi manapun soal diberikan dengan warning terlebih dulu, baru ujian dilaksanakan. Akan tetapi, di institusi kehidupan ujian diberikan secara mendadak dan tak ada jadwal yang mengiringinya, barulah "pelajaran" di dapatkan setelah mengalami getah-getir pahit-manis kehidupan. Inilah ilmu di dapat, bukan sekadar mengetahui ilmu belaka. Bagaimana Anda dan saya menghadapi jika itu terjadi seketika?

Saya teringat ketika masa sekolah dulu yang saban pelajaran berlangsung saya beserta kawan-kawan yang terkenal bandel curi-curi waktu luang untuk pergi bermain menikmati kehidupan di luar, dan terkadang saya mengajak mereka pergi ke perpus yang sepi penghuninya. 

Meski saya tinggal di pesantren, kehidupan saya tak seperti santri pada umumnya. Waktu sekolah adalah waktu di mana saya harus pergi meninggalkan pesantren dan bangku sekolah. Waktu dimana saya harus melakukan hal-hal sebebas mungkin, entah itu pergi ke sawah (sekolah memang dekat sawah), ke kanting, dan kemana pun kami berkelana yang penting menemukan titik dimana saya mendapat pelajaran. 

Pernah suatu ketika salah seorang guru yang sangat baik pada saya memberi pinjaman buku Ensiklopedia (dari A hingga Z) dengan ketebalan buku cukup berat mengantongi tas saya - untuk saya baca waktu pelajaran berlangsung tetapi saya diberi kesempatan membaca leluasa di perpus yang jarang dibuka itu - sedang waktu pelajaran tidak saya ikuti. Dari hasil bacaan buku yang memukau dan berbobot itu sampai hari ini saya ingat dengan baik. Yang jelas tidak seperti buku-buku pelajaran pada umumnya, yang hanya ingat sebatas beberapa hari saja.

Dari pengalam membaca buku bebas ini saya menemukan titik dimana diri ini harus saya perjuangkan untuk hidup lebih baik lagi. Berdasarkan bacaan sejarah yang saya baca di buku Ensiklopedi itu, dan buku-buku yang lain (biasanya buku pengembangan diri). Saya sekarang baru mengerti terutama apa yang dikatakan oleh Benny Arna situ, “Keistimewaan Membaca-tanpa-kecemasan adalah mendapatkan gagagan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan bahan bacaan itu.” Dari membaca-tanpa-kesemasan pada saat itu saya berjumpa dengan: diri sendiri, kehidupan orang lain (termasuk penulis), dan Tuhan itu sendiri.

Hari ini saya sudah menemukan cara belajar lain—belajar selain membaca karya orang adalah belajar membaca karya sendiri. Dengan kata lain, belajar berkarya sembari belajar mencinta belajar. Inilah salah satu alasan terbesar saya belajar untuk terus belajar: dengan berkarya. Tentu menulis adalah keharusan melebihi dari keniscayaan.

Tetapi, bagaimana menulis yang baik dan indah di baca? 

Blog ini adalah ladang saya berlatih sekeras mungkin. Entah sampai kapan saya akan menghasilkan tulisan yang baik nan indah. Intinya, blog ini yang akan menjadi kehidupan sekolah menulis saya, tentunya. 
Sabtu, 05 September 2020 0 Komentar

Selagi Mencintai Ri:

Ilustrasi: www.image.google.com
1. Ri:, Ayah dan Ibu Tirinya

Aku tulis Ri:, begini aku menulis nama singkatan namanya. Paduan huruf "R", dan "i", lalu di akhiri tanda ":", adalah nama yang sampai kini terukir elok dalam diary kehidupan aku semenjak bersahabat dengannya.

Ri:, adalah seorang perempuan tangguh dan pemberani. Ia anak yang cerdas. Anak yang memiliki banyak prestasi. Selain berprestasi, Ri: perempuan yang memiliki suara merdu. Bila ia menyanyi - yang sedih akan bahagia; yang luka akan sembuh; yang benci akan jatuh cinta; yang pendiam akan menyapanya; yang nakal akan tunduk padanya. 

Kemerduan suaranya di warisi ibunya. Tentu. Selain bakat bernyanyi. Ri: juga jago bertilawah al-Qur'an. Aku (lebih dari) senang melihatnya - baik ketika ngaji maupun bernyanyi. Aku di buat pangling ketika ia menyanyikan lagu M2M ini:

Well I Wonder could it be
When I awas dreaming 'bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy call me blind
To still be suffering is stupit after all of this time

Did I lose my love to someone better
And does she love you like I do
I do you know I really really do

Jika aku mendengar ini lagu. Pasti aku selalu mengingatnya Ri: ketika bernyanyi di depanku. Tentu tak pernah aku meminta ia bernyanyi untukku. Tidak! Aku tak memintanya. Ia secara sukarela menghiburku di kala jalin-jemalin kehidupan masa kanak-kanak tak lagi asyik. Lagu itu selalu di ulang-ulangnya saban saat kami berdua. Lagu ini kenangan yang di ajarkan oleh Pak Junaidi yang sekarang jadi dosen di perguruan tinggi tempat aku saat ini belajar. Ah, merindukannya seperti kurma yang tak beraroma namun memberi gizi bumbu-bumbu cinta. "Well I Wonder could it be", Apakah ini yang di namakan cinta seorang sahabat?

Sungguh aku malu menulis tentang perasaan ini ...

Masih mengenai sketsa biografi Ri:. Sang ibu meninggal ketika ia beranjak merangkak. Ia tak sempat melihat sang ibu secara langsung - hanya sebatang foto. Ia lebih mirip ibunya ketimbang ayahnya - ia bercerita kepadaku. "Aku sungguh merindukan ibu... Ayah tak baik lagi padaku," Air matanya membasahi wajahnya, "Ayah lebih memilih Ibu yang saban hari memukuli aku sampai badanku memar-memerah," ia berkisah sedih kepadaku. Aku menimpa sedih mendengar ia bercerita. Sesekali ia kadang bercerita sedih juga kepada orang tuaku, dan aku mendahului mendengar ceritanya sebelum orang lain, termasuk keluargaku.

Ri: sangat dekat dengan keluargaku. Saban waktu bila ia bertengkar dengan ibu tirinya, ia pasti lari mencari kehangatan dalam keluargaku. Aku dan ibu menampung ia seperti saudara sendiri. Ia bahkan terus terang pada ibu:"aku menemukan kehangatan bila berada di rumah ini."

"Aku sering tak mendapat lauk-pauk. Aku sangat lapar sekali waktu itu. Sedang ayah dan ibu enak-enakan makan berdua bak seperti kemanten anyar di dapur," Wajahnya merenguk kesedihan. Aku memerhatikan dengan seksama, sedang ibu turut mendengar haru. 

"Bila aku nanti kaya. Akan aku tinggalkan mereka sebagaimana mereka meninggalkan aku. Bila nanti ajal menjemput ibu tak bakal aku kirim fatihah untuknya. Bila nanti aku bersuami seorang pun tak bakal aku tinggal bersamanya lagi. Biar sudah! Biar Ayah berdua sama ibu," Serontak nada suara meninggi, "Aku lebih baik tinggal sama suami saja! Sakit hati rasanya di pungkiri. Di anak tirikan!" ia menangis di depan aku dan ibu serta ayahku, sedang adik kecilku bermain di pinggirnya. Ruang tamu rumah yang sempit mencengkram tangis pilu. Sesekali air matanya membasahi wajahnya yang manis. Senyuman manis yang biasa sungkingkan di depanku tak lagi terlihat menawan. Yang ada setangkas haru menerkam. 

"Sejelek apapun perlakuan ayah dan ibu tirimu Ri:, kau tetap hormat padanya. Sebagaimana anak perempuan semestinya. Tak baik melawan orang tua. Kalau kau nanti lapar mainlah kesini. Makan di sini. Anggap saja kami keluarga keduamu, Ri." tanggap ibu padanya.

Siang tengah bolong itu ia menangis. Menangis... menangis tersedu-sedu... Sesekali aku curi-curi pandang melihat ia menangis. Tak tahan. Ingin sekali mengusap air matanya. Belum waktunya aku merasakan gejolak cinta kepada seorang perempuan yang sering menemani hari-hariku; bersamanya saban sekolah, mengayun sepeda berangkat sekolah di pagi yang cerah, makan satu piring berdua, main musik, cerita cinta, dan hal-hal lain yang menyenangkan-menggembirakan.  

"Ri:... makan dulu sana di dapur. Tapi nggak ada menu spesial hari ini... Laeeppp" Ibuku menyuruhnya ia makan. Tanpa sungkan-sungkan ia mengajakku makan bersamanya; satu piring bersama. Untuk menolak - kali ini aku tunda - meski sebenarnya di waktu dhuha tadi aku habis satu piring.

"Besok jangan sampek telat lagi, Ur. Masak..., setiap di jemput masih dandan terus... " 

"Enjeh, doro." Aku menurut. Sedang ia sibuk melahap butiran nasi tanpa sisa. Aku mengusaikan terlebih dulu makan, sedang ia melanjutkan.

"Besok ada PR nggak, Ri:?" tanyaku padanya.

"Tidak ada. Santai saja... toh kalau pun ada PR kau tak kan ngerjakan, kan... " Ia mengerti kalau ada PR pasti segera ia salurkan hasil kerja cerdasnya krpadaku - tanpa sepengetahuan ibu, tentu.

"Tak tinggal ke sawah dulu Ri:...." ibu pamit. Sementara rumah tinggal aku dan Ri: serta adik kecilkku.

"Kau tak ke sawah, Ur. Kok nggak bantu ibunya..." tanyanya. Dengan pasang muka biasa. 

"Aku di suruh jaga adik. Kalau aku ikut ibu ke sawah. Lalu kau pulang. Lah, terus... adik sama siapa?" Jelasku sembari tiduran nonton TV. 

Beberapa menit kemudian ia selesai bersih-bersih dapur, mulai dari kotoran piring, meja yang agak berlumut, teras dapur sedikit kotor. Semua bersih karenanya. Tanpa ibu suruh ia membersihkan dapur yang sepertinya masih terlihat bersih. 

Perempuan tangkas. Begitu setiap kali aku melihat aktivitas Ri: di rumahku. "Aku pulang dulu, Ur, kan sudah kenyang. Besok aku kesini lagi. Mau makan. SMS ya.. nanti malam."

"Ya." jawabku. Sedikit cuek.

"Emmuuuuuch... Emuuuch."

Ri: cium kedua pipi kanan-kiri adik. Sedang aku tidak, satu pipi pun tidak!
 
;