Jumat, 11 Desember 2020 0 Komentar

Merindukan Bocah Kembar Yatim Piatu


Kedua bocah kembar itu meringis dan memanjakan diri saban pagi ketika bertemu sang guru ngajinya di waktu pagi untuk meminta sesuatu yaitu uang saku. Kedua bocah itu ingin sekali mendapat uang dari kedua orang tuanya. Namun sayang, kesempatan mendapat uang saban pagi tidak pernah mereka dapatkan, sebab keduanya merupakan bocah yatim piatu. 

"Pak Ustadz, minta uangnya?"

Sang guru senyum padanya, dan tidak berkata apapun atau semisal janji, hanya sebatas senyum manis ia berikan saban kali di mintai uang saku oleh kedua muridnya itu. 

Pada waktu yang sama dengan hari yang berbeda, sang guru meminta keduanya untuk membacakan Surah pendek yang menurutnya hafal. Di bacakanlah Surah al-Nasal-Nas,  dengan lantang nan mantap keduanya membaca. Kemudian sang guru memberikan uang kepada keduanya dengan nominal tidak seberapa: hanya dua ribu rupiah perbocah. 

"Terima kasih Ustadz" Jawabnya polos saat menerima uang dari sang guru. 

Lalu, dibeberkannya satu kertas itu ke langit, dan menanyakan pada uang itu. "Aslikah uang ini?" Tanyanya pada kertas itu, "Tentu saja, Kaka" Jawab sang adik kandung meyakinkan bahwa uang yang di berikan gurunya itu asli, bukan palsu. 

Riang gembira keduanya hingga melonjat-lonjat seperti baru kali pertama mendapat uang. Sang guru terharu. Baru kali ini ia menemukan murid segembira itu selama ia mengajar dua tahun dalam pengadiannya.

Namun kini ia tidak lagi melihat bahkan mendengar kabar keberadaan keduanya pun tidak. Keduanya hilang tanpa informasi jelas. Kini sang guru merindukan muridnya. Rindu... sangat rindu, mendengar suaranya yang merdu.
Rabu, 09 Desember 2020 0 Komentar

Sendiri

Bersama nyanyian sunyi
dalam hening aku sendiri
tanpamu kasih
hening kembali
nyanyian cinta ini
tanpa arti

Memetik makna sunyi
di balik awan pagi
langit kembali merintih
melihat hati kembali letih
tanpamu kasih
aku sendiri, masih sendiri
menunggumu yang suci. 
Senin, 07 Desember 2020 0 Komentar

Cinta


Cinta ada, pernah ada, akan ada dalam hati ini, tempatnya lain, waktunya berbeda. Cinta ada, dalam lubuk hati ini, sangat dalam, ia menjerit-jerit. Cinta ada, di kejauhan sana, di malam hari doa melangit. Cinta ada, dalam doa sepertiga malam, doa melangit-langit.

Tetapi aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya, sebab, ia adalah rasa yang tersirat dalam hati ini. Sementara hati adalah urusan ilahi. Manusia normal, pernah merasakan cinta. Cinta hadir yang telah lalu. Cinta yang kini, mempersiapkan suatu saat nanti. 

Cinta ada..., selalu ada..., aku masih... menunggumu yang di sana... yang manja. Cinta yang tersembunyi, saat ini, kepadamu yang suci. 
Minggu, 06 Desember 2020 0 Komentar

Peradaban Mazawa

Embun pagi di kaki langit Panti burung-burung hinggap di dedaun pelepah pohon kelapa. Suaranya melengking-lengking mendayungkan suara burung-burung kenari namun bukan kenari jika dilihat lebih dekat, tetapi burung pipit barangkali lebih tepat. 

Sedang capung-capung di sekitar area Yayasan Nurul Yaqin itu pula muncul pemandangan capung-capung liar beterbangan. Mirip kelakuan si Doi lah capung-capung itu, atau barangkali capung-capung itu sahabat karip si Doi. 

Tak hanya suara burung pipit, suara jangkrik terdengar di sana, di susul suara ayam berkokok, meski tak mendayungkan suara permata, ia pasti jangkrik kelas swasta, ia pasti ayam kampung mau beristri tiga, dan aku taksir itu pasti jangkrik perjaka, dan aku lebih yakin, ia pasti ayam ingin poligami beristri tiga. Bukan empat! Kalau empat itu cukup kaum Adam yang mampu ke-jantan-an-nya. Hewan, cukup tiga... cukup! 

Kini, tepat pukul 06:45 puluhan mahasiswa kembali mengguyurkan air ke sekujur tubuh untuk kemas-kemas meninggalkan tempat acara PDKT III. Aku masih saja melamun setelah sekian jam tidur malam yang tak kunjung mata redam, aku tidur sejak api unggun di mulai namun tak lebih kurang satu dua jam aku taksir tidur malam di Yayasan Nurul Yaqin Panti. Mohon maaf kawan-kawan, tak bisa ikut campur acara sakral itu, aku nyaris seharian di kejar deadline yang sungguh menjerat dada, dan paling miris, kedinginan pula. 

Kini, waktu pagi di Panti bergerak 07:10. Mentari pagi menampakkan tubuh keemasan tampil sebagai penerang bumi. Indah sekali.... indah sekali... seperti pancaran sinar Tuhan.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah kamu dustakan? Begitu terjemahan bentangan ayat-ayat metafor di Surah Ar-Rahman. 

Nikmat Tuhan lain yang tampak di pagi hari, adalah udara pagi yang sejuk. Sejuk terasa hingga menyerap ke terdalam jiwa. Jika Tuhan perkenankan, aku ingin tetap tinggal di sini... di sini bersamamu Mbakyu. Bersamamu selalu... selalu dalam dekap hati yang pilu melihatmu entah dimana... dimana yang ada di sana... di sana entah kemana (O, mohon maaf melantur saudara). 

Jika Tuhan perkenalkan, aku ingin mengabdikan momen kali ini dengan secercah puisi :

Kepada mahasiswa yang di sana

Yang gemilang penuh warna

Yang cinta peradaban Indonesia

Kau di tunggu sebagai pembaru bangsa

Penggerak perubahan dunia

Peradaban Indonesia


Kepada mahasiswa mazawa

Tebar selalu ilmu budi luhur cahaya 

Budi daya cinta baca

Kelak akan tampil mahasiswa sempurna

Di mulai dari prodi kita

Mazawa


Kepada Maba

Kami harap kau lebih genius dari kita

Dari kakak tingkat yang kurang sempurna

Kepada kau kami titip kelak Ibu Pertiwi tercinta, Indonesia


Salam cinta dari mahasiswa mazawa

Ini peradaban, peradaban mahasiswa mazawa


Fathur Roziqin

Minggu, 06 Desember 2020

Senin, 30 November 2020 0 Komentar

Bunga Mawar Putih


Di mataku, ia tampak seperti kedua aktor perempuan kecil dalam sinetron My Heart. Seperti Rahel dan Luna. Aku menganggap ia Rahel di satu sudut pandang, seperti Luna di sudut pandang lain. Entah... perasaanku membara api cinta saat membersamainya. 

Di mataku, ia laksana taman menentramkan mata memandang. Saat aku gunda gulana, di taman Armania itu, ia datang menyapaku dan meminta mencarikan sepucuk bunga mawar putih untuknya.

"Dapatkah kau beri aku bunga mawar putih, wahai Farel?" Pintanya. 

"Tentu saja, Luna."

Aku bersegera melangkahkan kaki mencarikan sepucuk bunga mawar putih di sekitar area taman untuknya. Dapat aku rasa, betapa beruntungnya aku berdua membersamainya. 

"Ini dia, sepucuk bunga mawar putih pesananmu."

Mataku melirik pada bunga mawar putih itu, lalu membandingkan tangannya dengan bunga mawar putih yang aku berikan. aku senang..., senang sekali, mendapati bunga itu secara cepat, tak kurang lebih 2 menit saja. 

Antara tangan dan mawar sama-sama memberi aliran darah menusuk bagian hati terdalam. 

"Dak..., dik...., duk...., "

Aku sedapat mungkin bertingkah biasa. Yang sebenarnya, dalam hati tersimpan aramo bunga mawar berupa perasaan. Perasaan mendekatinya merekah ke sekitar muara taman. 

"Terima kasih Farel."

Senin, 16 November 2020 0 Komentar

Syukur

Bersyukur pada hal yang luar biasa sudah biasa. Tetapi bersyukur pada hal yang sederhana baru lebih luar biasa. Begitu... 

~Khutbah jomblo
Rabu, 11 November 2020 0 Komentar

Belia, Mengapa Menangis?

Sumber Ilustrasi : www.satuharapan.com

   Belia sedih bukan karena tak punya smarfone untuk sekolah daring. Belia sedih bukan karena tak bisa bermain sepeda. Belia sedih bukan karena tak bisa sekolah. Belia sedih karena ia merasakan perjuangan Ayahanda menafkahi keluarga kecilnya. 
   Perjuangan ayah yang tak kenal lelah menjadikan Belia kecih menjadi pribadi teguh. Sebab, dalam diri Belia tertanam benih-benih pendidikan kehidupan sesungguhnya, bukan pendidikan formalistik yang katanya menjanjikan kehidupan lebih membaik. Ya... lebih tepatnya, Belia seorang bocah kecil berambut lusuh murid dari Pendidikan Institusi Alam.
  Dari pojok rumah bergubuk kayu itu Belia melihat ayahnya sedang bersandar-melamun di depan rumah melihat bulan merekah terang. Garis melingkar di sekujur tubuh bulan. Indah sekali. “Ayah sedang apa?” Tanya Belia lembut.
   Ayah tak banyak menjawab pertanyaan Belia. “Tidak ada, Nak, ayah melihat bulan itu… indah sekali, bukan?” Dengan kasih sayang penuh sang ayah memeluk Belia seraya berkata: “Kau gadis sholihah, Nak, sini peluk ayah.” Lalu dikecup keningnya, dielus-elus rambutnya, dan rembulan menjadi saksinya.
   “Ayah, ayah, lihat itu.. bintang. Mengapa dia tidak bersama kawan-kawan bintang yang lain, Yah?” Ayah senyum syahdu pada Belia kecil. Senyumnya tak lebih dari 5 sentimeter, apalagi sampai 10 sentimeter: hanya 3,5 sentimeter saja. Senyum yang mahal bagi lelaki paruh baya beranak satu.
   “Mungkin dia bintang bernasip seperti kita, Nak, tak punya banyak kawan, hanya punya Tuhan.”
   “Maksud ayah bintang-bintang yang lain tak punya Tuhan, begitu…?” Tanggap kritis Belia.
  “Bintang-bintang yang lain sama-sama punya Tuhan, Nak. Namun, mereka bintang-bintang yang menikmati kebahagiaannya bersama kawan-kawan lainnya. Sedang bintang Adinda yang dimaksud, adalah bintang hening yang menikmati hubungan romantis bersama Tuhannya.” Jelas sang ayah.
  “Oo.., gitu ya, Yah. Ayah merindukan bunda, ya… Belia juga kangen bunda. Apakah Bunda juga kangen kita ya, Yah?”
“Tentu saja, Nak.” 
  Dua hamba Tuhan itu saling menatap langit. Tak ada awan tak ada hujan, hanya semilir angin menyapu malam-malam suka duka. Suka, sebelum duka, bercengkrama riang gembira bersama keluarga sebelum corona. Duka tak berkesudahan menyelimuti keluarga paling duka. Duka, akibat virus corona.  
***
   Kini Belia meranjak berumur sembilan tahun. Segala macam lika-liku kehidupan telah ia rasakan bersama Ayahanda, Pak Supri. Sebagai penjual rongsongan, Pak Supri kurang lebih kerja hampir 24 Jam dalam sehari itu tak mematikan semangatnya untuk terus bertahan hidup: menikmati jalin-jemalin kehidupan dengan penuh kekurangan. 
    Apalagi kini musim wabah, sekaligus wabah para politikus yang kian menjerumus. Tak ada niat pasti untuk memangkas virus. Dari kedua wajah mereka nampak ketabahan menjalani hidup. Seakan-akan, melalui wajah mereka, lidah ingin melangitkan doa: semoga Tuhan yang Maha Esa merindhoi  niat baik mereka yang katanya, ‘Demi Bangsa dan Negara’. Nun kalau sampai mereka berkhianat pada negara. Semonga doa-doa para Penjual Rongsongan itu terkabul:
  ‘Ya Tuhan… sadarkanlah hati nurani kemanusiaan mereka. Kami hanyalah rakyat jelata yang bersimpuh memohon kesehatan atas duka Ibu Pertiwi hamba akibat virus corona…’
    Di tengah bising kota mereka menjajahkan sembarang macam barang, mulai dari; koran bekas, susu kaleng minuman, pleluit mainan anak, terompet sangkakala, hingga mainan-mainan jaran goyang lengkap semua ada. Cukup murah harganya, konsumen cukup investasi 3 ribu untuk koran bekas, 4 ribu untuk minuman kaleng, cukup 100 ribu untuk trompet sangkakala, lebih mahal dari harga mainan lain. Sebab, kata Pak Subri, “Mainan terompet sangkakala sulit dicari. Barang langka! Hanya ada di Indonesia. Itupun Indonesia bagian Jember…” jelasnya.
   Namun, rezeki sudah ketetapan-Nya, apapun menjadi mudah. Mutakhir ini keduanya cemas akan bagaimana menopang hidup di tengah wabah kian merajalela. Tak ada satupun dari jajahan meraka laku. Mondar-mandir tiap hari menjadikan keluarga kecil mereka di rundung pilu : tak ada pemasokan untuk makan. Di tambah lagi kedatangan para satpol PP bergegas bertindak mengamankan lalu lintas itu. Kedua pencari sebutir nasi itu kabur seperti dikejar anjing terbirit-birik; dari lorong-ke-lorong, toko ke toko, warung ke warung. Paniklah mereka.
     “Woyyyy…. Jangan lari kalian….?!”
Napasnya sampai tersendat-sendat. Tengok kanan kosong, tengok kiri satpol PP lagi.
    “Tahan, Nak, sedikit lagi….”
   “Itu mereka…” Kata Pak satpol yang satu, kata yang satunya lagi, “Apa mereka tak mau duitkah? Aneh sekali mereka…,”
    “Woooyyy… jangan lari kalian…. nges…, nges…, nges…”
    Kedua satpol PP itu putus asa bukan kepalang menghadapi kedua lawan itu. Bagi yang satu—Pak Satpol Gino—belum  saatnya olahraga di tengah terik matari menyengat dahi. Bagi yang satu lagi—Pak Satpol Marco—sudah saatnya olahraga persiapan nanti malam purnama bersama istri. Pikir tanpa panjang, keduanya bersepakat mencari alamat rumah penjual rongsongan itu. Sebab, titipan Ibunda Bupati Kota, Bunda Faida, harus segera terlaksana—karena  mereka—para satpol PP—mendapat amanat mulia, ‘Demi penduduk Bangsa dan Negara’. Begitu kata mereka berdua. Macam kata para pemimpin negara saja mengatakan dengan bijak, ‘Demi Bangsa dan Negara’.
    “Bapak-Ibu… numpang tanya, nggeh. Apa Bapak-Ibu kenal sama orang yang biasa jual rongsongan di pinggir jalan di sana?” Tanya kedua satpol berbaju biru itu, “Oya, kenal Pak Satpol. Rumah mereka tidak jauh dari sini. Bapak tinggal lurus saja nanti dari belokan sini. Lalu nanti ada gan sempit berukuran satu meter. Terus ngiri... tak sampai rumah Buk Jummiati tapi. Bapak tanya lagi nanti sama orang-orang sekitar”
    “Tanya ke tetangga sekitar. Nama Bapak Supri. Atau Bapak Bel. Bukan Bel yang berbunyi itu ya, Pak Satpol!” Ibu beranting emas satu gilo gram itu mencoba melucu pada kedua satpol PP betubuh atlentis itu, “Baik, Buk, terima kasih. Mohon maaf mengganggu. Jangan lupa pakai lagi maskernya nggeh, Buk. Semoga beruntung siang hari ini…”
***
    Senja mulai menerpa. Matahari menyinari lorongan para rumah warga. Dua Pak Satpol itu kali ini jauh dari sifat putus asa. Keyakinannya akan bertemu Bapak Supri atau Bapak Bel kini momen langka baginya. Apa sebab? Karena mereka berdua membawa kejutan untuk para kaum jelata.
   “Tok, tok, tok….permisi. Assalaamu’alaikum Bapak…” Beberapa menit mereka menunggu tuang rumah. Rumah reot itu rupanya tak menjawab salam Pak satpol itu. Mungkin dia sedang haid. Atau, pemilik rumah sedang tak ada di dalam. Oh, ternyata tidak! Meraka berdua cukup beruntung.
    “Dengan Bapak Bel, ya…”
    “Ya, Betul. Apa Bapak berdua berniat mau tangkap kami berdua. Tidak apa! Yang penting beri kami hak untuk hidup seperti layaknya bapak hari ini hidup…,” Suara Bapak Supri melengking keras bukan main. 
    “Bukan begitu maksud kedatangan kami berdua ini Bapak. Sedari tadi kami mengejar Bapak bukan untuk menangkap Bapak. Kedatangan kami kesini ingin memberi Bapak sesuatu titipan dari Buk Faida. Ini…. Silahkan Bapak terima. Kami langsung pamit...,” Dengan cepat mereka bertandang. Mantap melaksanakan tugas negara. Sedang Pak Supri dan Belia mengangguk-ngangguk.
    “Terima kasih”
    “Sama-sama Bapak Satpol.” Jawab Pak Bel pada kedua satpol PP bersepatu hitam mengkilat itu. Di bukanya bersama bungkusan itu—anak dan ayah—ternyata isinya: sejumlah alat kesehatan penangkal virus corona! Pikir Pak Supri seton uang dan sejumblah butir kilo emas. Belia terharu menangis sedih. Lalu sang Ayah bertanya: “Mengapa Belia mengangis?”
   “Alhamdulillah Ayah. Dengan alat ini kita bisa bertahan hidup, dan ada upaya melawan virus. Semoga…”
    Ya, hanya sebatas peralatan kesehatan saja, tidak lebih. Lalu Pak Supri menanggapi dengan bijak. “Betul, Nak. Kita tak harus memohon lebih pada sesama hamba Tuhan.” Sesederhana itu!
Jumat, 09 Oktober 2020 0 Komentar

Penghianat

Merindumu makin menyayat
Merindumu makin berat
Merindumu makin bejat
Merindumu makin keparat
Merindumu makin sekarat
Merindumu muncul syahwat
Sebab, kau penghianat!
Minggu, 27 September 2020 0 Komentar

Tutorial Gokil Hidup Selalu Muda

Sumber Ilustrasi : www.id.wikihow.com

Hallo... kaum gokil. Semoga tetap gokil... 

***

Apakah anda makhluk yang sudah lanjut usia? Apakah anda makhluk yang ingin hidup selalu tampil lebih muda? Maka, tutorian ini cocok bagi anda sudah lanjut usia namun ingin selalu tampil lebih mudah.

Bagaimana tutorialnya? Ets, tunggu dulu... sebelum lanjut baca, harap seruput kopi dulu. Glek... mari...

Oya, tutorial ini kami peruntukan kepada makhluk-makhluk Tuhan yang meyakini ke-Esa-an-Nya; yang meyakini bahwa Tiada Tutorial lain selain Gokil dan Tutorial Gokil adalah solusi kaum gokil.

Selamat menikmati sajian tutorial gokil kali ini...

***

Pertama, menjadikan orang yang lebih tua sebagai perbandingan. Tutorial ini sangat efektif menjadikan diri seseorang lebih tampil selalu muda. Bayangkan, jika anda berusia tiga puluh tahun, misalnya, bandingkan usia anda dengan orang yang lebih tua pasti anda akan mengatakan, "Usia aku masih muda. Jauh lebih muda daripada kau yang sekarang menginjak usia tiga puluh lima tahun."
 
Bagaimana tutorial pertama ini... cukup efektif, bukan? Silahkan anda coba bandingkan usia anda dan kawan anda yang lebih tua, tentu saja.

Tutorian hidup selalu muda yang kedua, adalah mendaftarkan diri di pemerintahan saat usia tidak lebih dari 30 tahun. Apakah anda masih ingat Gubernur - yang dikecam sebagai penista kitab suci tahun lalu - bernama Pak Ahok. Dia ketika menjabat sebagai pemerintahan kepala daerah masih berusia empat puluh delapan tahun: di usia ini Pak Ahok oleh sebagian masyarakat masih di bilang "Gubernur Muda" untuk seorang kepala daerah. Tapi apa iya... anda atau aku misalnya, akan jadi kepala pemerintahan dulu baru akan dibilang "masih muda," sedangkan untuk menjadi kepala daerah itu sulit, kecuali orang berduit. 

Tapi hati-hati ya, jabatan akan bisa kemungkinan menggelincirkan hidup anda yang sederhana menjadi lebih menakutkan bin mengerikan jika anda tidak mampu mengembandan amanah dengan baik. Bisa-bisa anda akan di doakan buruk oleh masyarakatnya, seperti halnya sketsa obrolan ini:

"Makan tuh... !!! uang benih neraka. Apa tak ingat! bahwa hidup di dunia ini bukan untuk cari popularitas menumpuk harta kekayaan dengan cara korupsi uang rakyat, hah! Semoga saja segera taubat. Atau kalau tidak. Secepatnyalah mati sekalian sak harta-hartanya!"

Apakah anda satu frekuensi dengan saya dalam hal ini?

Saran aku, hanya saran loh, ya.... boleh anda jalankan atau tolak, yaitu tutorial gokil yang ketiga: segera meninggal jika usia anda menginjak tiga puluh tahun. Besar kemungkinan akan terjadi obrolan masyarakat begini: 

"Siapa yang meninggal, Jeng?" tanya seorang janda beranak satu. 
"Pak Maut."
"Memang Pak Maut itu usia berapa, Jeng? 
"Baru juga tiga-puluh tahun, Jeng." jawab perempuan berkalung emas se-lusin.

Nah, bagaimana? apakah anda tertarik tutorian terakhir ini. Ini cara paling gila menurut data ilmiah yang aku temukan. Tapi ini cukup bobot untuk mendapat gelar "Muda". Silahkan di coba !

Sekian tutorian gokil kali ini. Jangan lupa like, koment, and share.

Sabtu, 26 September 2020 0 Komentar

Motivasi Menulis dari Gol A Gong

"Berbahagialah orang yang banyak memiliki kekurangan, karena dengan begitu dirinya akan menjadi kuat. Bersyukurlah bagi orang yang banyak memiliki kelebihan, karena tidak perlu merasakan ujian. Tapi di antara keduanya, aku meyakini, yang paling beruntung adalah orang yang memiliki kelebihan dari hasil tempaan kekurangannya sendiri.”Gol A Gong

Penulis yang mempunyai satu tangan ini telah membikin saya malu pada diri sendiri. Kecenderungan saya bercita-cita menjadi penulis handal ternyata tak segampang apa yang saya bayangkan, saya belajar tentang banyak hal darinya: ketabahan, keikhlasan, kegigihan, kedisiplinan, dan satu lagi: kesabaran. Tak jarang orang-orang yang tak berperikemanusiaan seringkali melecehkan dirinya, tapi ia balas dengan hati lembut. Ia tancapkan pesan kuat Emaknya, “Jangan emosional jika kamu mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan, terutama dengan kecacatanmu. Jadikan itu pelajaran hidup, agar kamu jadi kuat.” Semenjak itu pula ia lahirkan puisi yang sangat indah: 

Duka adalah luka

Luka karena ujung pisau

Tapi aku enggan mengobati

Karena duka lain bakal datang

Teruntuk yang belum kenal siapa Gol A Gong. Ia adalah pendiri Rumah Dunia terletak di daerah Serang Banten. Juga salah satu aktivis di Forum Lingkar Pena. Penulis buku, Rahasia Penulis : Bukan Sekadar Tips Menulis ini memiliki nama pena yang sangat filosofis:

“Aku terinspirasi, “A” berarti “Allah”. Lalu aku corat-coret lagi. Bagaimana kalau “Gol A Gong”?  Maksudnya di antara “Gol” dan “Gong” itu dijembatani oleh “A”, yaitu Allah.” (hlm, 17). Oh, “A” itu yang bikin diri seorang Gol A Gong kuat, tentu saja.

Buku yang berukuran 15,5 cm x 23 cm dengan ketebalan 228 ini menjadi santapan santai saya di kala saya pusing bagaimana menulis yang baik. Ya, menulis bukan perkara gampang—untuk tidak mengatakan sulit—menulis, sebagaimana  yang dikutip dalam buku ini, ibarat apa yang dikatakan Thomas Alfa Edison, “Aku menemukan listri ketika mengalami kegagalan sebanyak 9000-an kali.” Tapi dia tidak kapok-kapok. Apa kata dia? “Itu berarti aku jadi mengetahui, bahwa ada 9000 jenis materi yang jika digabungkan tidak bisa menghasilkan listrik!” menulis adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan seperti seorang Edison; kegigihan, kesungguhan, kedisiplinan, dan tentu kerja keras (hlm, 131). Belum saatnya saya harus berleyeh-leyeh jika ingin jadi penulis. Setidaknya saya banyak mendapat pelajaran penting dalam buku ini. Namun, setiap karya tidaklah melulu berjalan sempurna. Kita mafhum: tak ada karya paling sempurna kecuali al-Qur’an yang Maha Sakral. 

Ada beberapa kekurangan dalam buku ini. Saya banyak menemukan kata-kata yang sering berulang-ulang sehingga terkesan membosankan saat membaca. Dari halaman pertama mungkin terasa sekali kalau buku ini sangat bagus, tetapi semakin ke bab lebih jauh akan sangat menjemukan. Tema yang sudah di tulis serangkali muncul kembali di akhir bab. Selain itu kualitas buku banyak yang buram sehingga kalau ini buku dibaca orang yang sudah lanjut usia mungkin akan mematikan mata pembaca. Tentu buku yang saya baca ini bukanlah buku bajakan, tidak! Ini buku saya beli asli dari penerbit langsung. Saya dibuat kecewa sembilan puluh sembilan ayat dari setiap paragraf dalam buku ini.

Kepada siapa pun yang sekarang hendak belajar menulis: buku ini cukup merefleksikan semangat menulis. Ya… motivasi menulis ala Gol A Gong tentunya.

Kamis, 24 September 2020 0 Komentar

Jangan Merusak Mental Maba !

Melakukan kekerasan kepada mahasiswa baru (Maba) - ketika ospek maupun penerimaan anggota baru di organisasi - dengan alasan apapun, memisal menguji mental, bagi saya satu cara menjatuhkan mental mereka, bukan menguatkan mental mereka sebagai pemelajar sejati. Tentu makhluk Tuhan  yang sehat akal pikirannya tidak akan melakukan "ritual" tak ilmiah ini. Adakah bukti penelitian ilmiah soal "menguji mental" dengan cara kekerasan ini dapat melatih mental? Anda mungkin lebih tahu dalam hal ini, anda berhak membuktikan klaim serampangan ini, terkhusus para senior.

Sila buktikan atau cari sumber ilmiah yang mengatakan ritual itu bisa meningkatkan mental mahasiswa. Yang ada malah sebaliknya: bikin trauma.

Pengalaman menjadi mahasiswa baru setiap mahasiswa punya cerita berbeda-beda. Apalagi mereka yang gemar mengikuti organisasi tertentu dengan cita-cita sederhana: menjadi aktivis kampus. Namun dalam mula perjalanannya tidak semulus ajakan omongan para senior bahwa mereka akan menjadi kader terdidik yang manusiawi, melainkan mendapat jauh dari sifat manusia. Saya pernah mengalami--sewaktu mengikuti organisasi tertentu--tindakan diskriminasi oleh senior. Jujur saja, saya mendapat perlakuan jauh dari manusiawi! Bahkan satu senior menghalang saya untuk tidak melaksanakan ritual sholat! Ini sudah melampaui batas. Orang yang berbeda agama pun belum tentu sekeras ini. Sebagai orang beragama saya tentu butuh sembahyang menghadap Tuhan. 

Syahdan, saya keluar dari organisasi itu. Pikir sederhana saya: masih banyak jalan lain untuk mengembangkan diri, dan berbakti kepada negeri yang saya cintai ini. Tak melulu harus ikut organisasi. Tak melulu harus jadi mahasiswa. Tak melulu harus jadi aktivis kampun. Berbuat baik kepada sesama manusia tanpa mengenal ras, suku, agama bahkan sudah termasuk berbakti kepada negeri ini. Sesederhana itu! Memberi kenyamanan dan ketenteraman bagian dari berbakti kepada ibu pertiwi. Sesederhana itu! Jangan sampai status mahasiswa menjadikan anda sebagai manusia yang memiliki moralitas palsu. Sebab, menjadi akademisi tak se-receh yang dilakukan kepada sesama pemelajarnya. 

Anda yang sudah jadi aktivis kampus tapi masih berbuat onar di lingkungan masyarakat apa gunanya? Anda seorang organisatoris tapi masih gagap peka diri apa gunanya? Anda seorang intelektual tapi tak mampu menempatkan orang bawahan untuk anda junjung tinggi derajatnya apa gunanya? Anda yang senior merasa lebih intelektual daripada anak yang baru masuk dunia kampus apa gunanya? Toh belum tentu anda lebih intelektual dari pada mereka, para maba itu. 

Mereke para senior seenaknya memperlakukan kami (maba atau anggota baru) dengan cara tak berperikemanusiaan! Setelah mereka melakukan kekerasan itu dengan entengnya mereka "meminta maaf". 

Anda tahu, setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Untuk orang yang mudah memaafkan akan dengan senang hati memaafkan perilaku bangsat mereka. Tapi tidak dengan mereka yang sulit memaafkan kesalahan orang lain malah justru sifat "pendendam" akan tertanam subur di benak kepala. Sebab, tak semua dari mereka menerima perlakuan brengsek itu!

Kasus pembunuhan di Indonesia cukup banyak. Tak perlu saya urai datanya, anda dan saya pasti tahu itu. Satu sebab mereka melakukan pembunuhan adalah karena "dendam". Ya, dendam ... bisa jadi para junior itu kelak akan membalas "perlakuan keparat" itu setelah mereka berada di luar kampus, dan kemungkinan yang akan terjadi, minimalnya, perkelahian. Penyakit dendam ini panas kalau tidak sampai terbalaskan. 

Beberapa waktu lalu saat ospek terjadi kasus kekerasan yang menimpa mahasiswa baru di media sosial yang dilakukan oleh senior. Meski kejadian itu sangat disayangkan oleh pihak kampus tak mudah bagi korban segera pulih dari traumanya. Saya tak tahu pasti kabar selanjutnya. Yang jelas itu sangat merugikan nama kampus juga korban itu sendiri. Apa dengan kejadian ini mereka para korban meningkat jiwa pemelajarnya? Tidak!

Tak ayal kejadian ini menuai sorotan para komedian ternama, Ernest Prakasa. Anda tahu bukan? Ernest Prakasa adalah komedian ternama di Indonesia. Tetapi rupanya ia tak setuju melihat rituan 'tak ilmiah' ini. Dalam satu tweetnya, "Ospek sering jadi kesempatan bagi manusia-manusia insecure nihil prestasi untuk mencicipi setitik kebanggaan hidup dengan merendahkan manusia lain." 

Tak hanya komedian super lucu itu. Seorang Psikiater Jiemi Ardian pun turut bersuara: "Jujurlah wahai kating, ospek marah-marah yang kamu buat itu bukan tentang mendidik adik tingkat. Kamu buat ospek marah-marah itu buat hiburanmu dan memuaskan egomu yang ingin terlihat hebat. Pendidikan? Bukan. Itu keegoisan dan kemalasan mencari jalan menguatkan yang lebih baik. Nggak usah bicara soal "dunia lebih berat," karena dunia bisa lebih ringan kalau saling dukung, bisa lebih indah kalau saling rangkul," Ya ... saling merangkul adalah titik menuju puncak kesuksesan sebagai manusia pemelajar. "Tapi dunia bisa jadi berat kalau orang-orang di dalamnya sibuk dengan egoisnya yang minta dikasih makan segede godzila kaya Yth Kating Pemarah."

Ya ... kekerasan bukan hanya menimbulkan kegaduhan, lebih dari itu ketenteraman diri pun terganggu plus merusak mental. Mari kita patut bertanya: bisakah kita menyiapkan generasi intelektual dengan cara lebih bermanusiawi? Bisa. Bisakah kita merubah sistem budaya pendidikan lebih humanis? Bisa. Bisakah kita membudayakan ospek dari keras menuju kritis? Bisa. Saya pikir itu cara yang lebih elegan dan tentu tidak akan melukai sesama akademisi. Cara ini akan membantu mereka lebih kritis, dan tentu akan menambah mental mereka sekaligus. 

Seperti yang kita tahu, akan ada perasaan traumatik yang sulit dihilangkan. Sebagai niat meningkatkan mental mereka tentu saja kita tidak ingin mereka tumbuh dengan kondisi mental pecundang yang inferior; yang menyimpan dendam bersama kelompok mahasiswa lain, yang membuat luka menganga sulit terobati. Kita tidak ingin hal itu terjadi, bukan? 
Selasa, 22 September 2020 0 Komentar

Pergerakan

Sumber ilustrasi: www.islamidia.com
Pergerakan intelektual dan spiritual adalah dua aktivitas yang tak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi. Inilah kedahsyatan wahyu Tuhan pertama kali turun : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan".
Kamis, 17 September 2020 0 Komentar

Sekolah Bikin Saya Trauma!

Sumber Ilustrasi : Googleimage.com

Jika Tuhan perkenankan saya menjadi bocah berseragam yang saban hari Senin hingga Sabtu berada di bangku sekolah, maka ingin sekali saya membaca buku-buku pelajaran yang diberikan guru kepada saya. Tetapi apakah iya ... saya dapat menikmati pelajaran dengan riang gembira - dengan setumpuk buku-buku (Paket + LKS) yang diberikan - yang bagi saya tak mampu meningkatkan kapasitas saya dalam berpikir? Apakah iya ... buku-buku itu membikin saya gemar membaca dan cinta belajar? Apakah iya ... buku-buku itu akan merubah saya dalam cara berpikir? Apakah bisa ... pendidikan di gedung sekolah yang begitu jumawa itu dapat memberi jalan kehidupan saya nanti? Sebab, sekolah telah membikin saya trauma belajar yang tak dapat menghilangkan masalah yang saya alami. Belajar sungguh sangat membosankan! Apakah Anda mengalama apa yang saya rasakan?

Buku-buku yang dulu telah membikin saya trauma sampai hari pun saya buang jauh-jauh. Kini rasanya saya lebih leluasa membaca apapun yang bikin kreativitas saya meningkat...

Kerap kali saya bertanya pada diri sendiri dengan nada putus harapan sebab saya telah menemukan jawabannya: bolehkah saya memilih pelajaran di sekolah - juga di kampus barangkali - berdasarkan buku-buku yang saya gemari saja agar saya belajar riang gembira tanpa keterpaksaan membaca buku-buku yang membosankan itu.

Tak jarang saban saat saya tak mengikuti apa dan bagaimana belajar saya di institusi formal. Saya tak berpikir bagaimana saya harus bersaing dengan mereka yang rajin mematuhi kehendak kurikulum formal itu—apalagi mematuhi kehendak senior yang sebagian dari mereka cuti intelektual. Belum saatnya saya harus patuh padanya. Pada saat yang sama saya memilih sekolah plus ngampus di kehidupan. Sebab, itulah sekolah yang menurut saya benar-benar sekaloh.

Jika ujian di institusi manapun soal diberikan dengan warning terlebih dulu, baru ujian dilaksanakan. Akan tetapi, di institusi kehidupan ujian diberikan secara mendadak dan tak ada jadwal yang mengiringinya, barulah "pelajaran" di dapatkan setelah mengalami getah-getir pahit-manis kehidupan. Inilah ilmu di dapat, bukan sekadar mengetahui ilmu belaka. Bagaimana Anda dan saya menghadapi jika itu terjadi seketika?

Saya teringat ketika masa sekolah dulu yang saban pelajaran berlangsung saya beserta kawan-kawan yang terkenal bandel curi-curi waktu luang untuk pergi bermain menikmati kehidupan di luar, dan terkadang saya mengajak mereka pergi ke perpus yang sepi penghuninya. 

Meski saya tinggal di pesantren, kehidupan saya tak seperti santri pada umumnya. Waktu sekolah adalah waktu di mana saya harus pergi meninggalkan pesantren dan bangku sekolah. Waktu dimana saya harus melakukan hal-hal sebebas mungkin, entah itu pergi ke sawah (sekolah memang dekat sawah), ke kanting, dan kemana pun kami berkelana yang penting menemukan titik dimana saya mendapat pelajaran. 

Pernah suatu ketika salah seorang guru yang sangat baik pada saya memberi pinjaman buku Ensiklopedia (dari A hingga Z) dengan ketebalan buku cukup berat mengantongi tas saya - untuk saya baca waktu pelajaran berlangsung tetapi saya diberi kesempatan membaca leluasa di perpus yang jarang dibuka itu - sedang waktu pelajaran tidak saya ikuti. Dari hasil bacaan buku yang memukau dan berbobot itu sampai hari ini saya ingat dengan baik. Yang jelas tidak seperti buku-buku pelajaran pada umumnya, yang hanya ingat sebatas beberapa hari saja.

Dari pengalam membaca buku bebas ini saya menemukan titik dimana diri ini harus saya perjuangkan untuk hidup lebih baik lagi. Berdasarkan bacaan sejarah yang saya baca di buku Ensiklopedi itu, dan buku-buku yang lain (biasanya buku pengembangan diri). Saya sekarang baru mengerti terutama apa yang dikatakan oleh Benny Arna situ, “Keistimewaan Membaca-tanpa-kecemasan adalah mendapatkan gagagan baru yang tidak ada sangkut-pautnya dengan bahan bacaan itu.” Dari membaca-tanpa-kesemasan pada saat itu saya berjumpa dengan: diri sendiri, kehidupan orang lain (termasuk penulis), dan Tuhan itu sendiri.

Hari ini saya sudah menemukan cara belajar lain—belajar selain membaca karya orang adalah belajar membaca karya sendiri. Dengan kata lain, belajar berkarya sembari belajar mencinta belajar. Inilah salah satu alasan terbesar saya belajar untuk terus belajar: dengan berkarya. Tentu menulis adalah keharusan melebihi dari keniscayaan.

Tetapi, bagaimana menulis yang baik dan indah di baca? 

Blog ini adalah ladang saya berlatih sekeras mungkin. Entah sampai kapan saya akan menghasilkan tulisan yang baik nan indah. Intinya, blog ini yang akan menjadi kehidupan sekolah menulis saya, tentunya. 
Sabtu, 05 September 2020 0 Komentar

Selagi Mencintai Ri:

Ilustrasi: www.image.google.com
1. Ri:, Ayah dan Ibu Tirinya

Aku tulis Ri:, begini aku menulis nama singkatan namanya. Paduan huruf "R", dan "i", lalu di akhiri tanda ":", adalah nama yang sampai kini terukir elok dalam diary kehidupan aku semenjak bersahabat dengannya.

Ri:, adalah seorang perempuan tangguh dan pemberani. Ia anak yang cerdas. Anak yang memiliki banyak prestasi. Selain berprestasi, Ri: perempuan yang memiliki suara merdu. Bila ia menyanyi - yang sedih akan bahagia; yang luka akan sembuh; yang benci akan jatuh cinta; yang pendiam akan menyapanya; yang nakal akan tunduk padanya. 

Kemerduan suaranya di warisi ibunya. Tentu. Selain bakat bernyanyi. Ri: juga jago bertilawah al-Qur'an. Aku (lebih dari) senang melihatnya - baik ketika ngaji maupun bernyanyi. Aku di buat pangling ketika ia menyanyikan lagu M2M ini:

Well I Wonder could it be
When I awas dreaming 'bout you baby
You were dreaming of me
Call me crazy call me blind
To still be suffering is stupit after all of this time

Did I lose my love to someone better
And does she love you like I do
I do you know I really really do

Jika aku mendengar ini lagu. Pasti aku selalu mengingatnya Ri: ketika bernyanyi di depanku. Tentu tak pernah aku meminta ia bernyanyi untukku. Tidak! Aku tak memintanya. Ia secara sukarela menghiburku di kala jalin-jemalin kehidupan masa kanak-kanak tak lagi asyik. Lagu itu selalu di ulang-ulangnya saban saat kami berdua. Lagu ini kenangan yang di ajarkan oleh Pak Junaidi yang sekarang jadi dosen di perguruan tinggi tempat aku saat ini belajar. Ah, merindukannya seperti kurma yang tak beraroma namun memberi gizi bumbu-bumbu cinta. "Well I Wonder could it be", Apakah ini yang di namakan cinta seorang sahabat?

Sungguh aku malu menulis tentang perasaan ini ...

Masih mengenai sketsa biografi Ri:. Sang ibu meninggal ketika ia beranjak merangkak. Ia tak sempat melihat sang ibu secara langsung - hanya sebatang foto. Ia lebih mirip ibunya ketimbang ayahnya - ia bercerita kepadaku. "Aku sungguh merindukan ibu... Ayah tak baik lagi padaku," Air matanya membasahi wajahnya, "Ayah lebih memilih Ibu yang saban hari memukuli aku sampai badanku memar-memerah," ia berkisah sedih kepadaku. Aku menimpa sedih mendengar ia bercerita. Sesekali ia kadang bercerita sedih juga kepada orang tuaku, dan aku mendahului mendengar ceritanya sebelum orang lain, termasuk keluargaku.

Ri: sangat dekat dengan keluargaku. Saban waktu bila ia bertengkar dengan ibu tirinya, ia pasti lari mencari kehangatan dalam keluargaku. Aku dan ibu menampung ia seperti saudara sendiri. Ia bahkan terus terang pada ibu:"aku menemukan kehangatan bila berada di rumah ini."

"Aku sering tak mendapat lauk-pauk. Aku sangat lapar sekali waktu itu. Sedang ayah dan ibu enak-enakan makan berdua bak seperti kemanten anyar di dapur," Wajahnya merenguk kesedihan. Aku memerhatikan dengan seksama, sedang ibu turut mendengar haru. 

"Bila aku nanti kaya. Akan aku tinggalkan mereka sebagaimana mereka meninggalkan aku. Bila nanti ajal menjemput ibu tak bakal aku kirim fatihah untuknya. Bila nanti aku bersuami seorang pun tak bakal aku tinggal bersamanya lagi. Biar sudah! Biar Ayah berdua sama ibu," Serontak nada suara meninggi, "Aku lebih baik tinggal sama suami saja! Sakit hati rasanya di pungkiri. Di anak tirikan!" ia menangis di depan aku dan ibu serta ayahku, sedang adik kecilku bermain di pinggirnya. Ruang tamu rumah yang sempit mencengkram tangis pilu. Sesekali air matanya membasahi wajahnya yang manis. Senyuman manis yang biasa sungkingkan di depanku tak lagi terlihat menawan. Yang ada setangkas haru menerkam. 

"Sejelek apapun perlakuan ayah dan ibu tirimu Ri:, kau tetap hormat padanya. Sebagaimana anak perempuan semestinya. Tak baik melawan orang tua. Kalau kau nanti lapar mainlah kesini. Makan di sini. Anggap saja kami keluarga keduamu, Ri." tanggap ibu padanya.

Siang tengah bolong itu ia menangis. Menangis... menangis tersedu-sedu... Sesekali aku curi-curi pandang melihat ia menangis. Tak tahan. Ingin sekali mengusap air matanya. Belum waktunya aku merasakan gejolak cinta kepada seorang perempuan yang sering menemani hari-hariku; bersamanya saban sekolah, mengayun sepeda berangkat sekolah di pagi yang cerah, makan satu piring berdua, main musik, cerita cinta, dan hal-hal lain yang menyenangkan-menggembirakan.  

"Ri:... makan dulu sana di dapur. Tapi nggak ada menu spesial hari ini... Laeeppp" Ibuku menyuruhnya ia makan. Tanpa sungkan-sungkan ia mengajakku makan bersamanya; satu piring bersama. Untuk menolak - kali ini aku tunda - meski sebenarnya di waktu dhuha tadi aku habis satu piring.

"Besok jangan sampek telat lagi, Ur. Masak..., setiap di jemput masih dandan terus... " 

"Enjeh, doro." Aku menurut. Sedang ia sibuk melahap butiran nasi tanpa sisa. Aku mengusaikan terlebih dulu makan, sedang ia melanjutkan.

"Besok ada PR nggak, Ri:?" tanyaku padanya.

"Tidak ada. Santai saja... toh kalau pun ada PR kau tak kan ngerjakan, kan... " Ia mengerti kalau ada PR pasti segera ia salurkan hasil kerja cerdasnya krpadaku - tanpa sepengetahuan ibu, tentu.

"Tak tinggal ke sawah dulu Ri:...." ibu pamit. Sementara rumah tinggal aku dan Ri: serta adik kecilkku.

"Kau tak ke sawah, Ur. Kok nggak bantu ibunya..." tanyanya. Dengan pasang muka biasa. 

"Aku di suruh jaga adik. Kalau aku ikut ibu ke sawah. Lalu kau pulang. Lah, terus... adik sama siapa?" Jelasku sembari tiduran nonton TV. 

Beberapa menit kemudian ia selesai bersih-bersih dapur, mulai dari kotoran piring, meja yang agak berlumut, teras dapur sedikit kotor. Semua bersih karenanya. Tanpa ibu suruh ia membersihkan dapur yang sepertinya masih terlihat bersih. 

Perempuan tangkas. Begitu setiap kali aku melihat aktivitas Ri: di rumahku. "Aku pulang dulu, Ur, kan sudah kenyang. Besok aku kesini lagi. Mau makan. SMS ya.. nanti malam."

"Ya." jawabku. Sedikit cuek.

"Emmuuuuuch... Emuuuch."

Ri: cium kedua pipi kanan-kiri adik. Sedang aku tidak, satu pipi pun tidak!
Rabu, 26 Agustus 2020 2 Komentar

Di Balik Tirai

Di payung kampus pagi hari sekitar jam 08:00 wib matahari terbit merekah. Rating-rating berjatuhan di pinggir jalan menyambut kedatangan mahasiswa/i berbaju rindu. Mentari masih berkelindang indah sinarnya di beranda kampus. Menyaksikan cahayanya yang mengkilau sinar terang membuat hati merangsang rindu. Apalah makna rindu di kala kami berdiam diri setengah tahun tak jumpa? Apalah makna rindu yang membuncah akibat musibah ini?

Di balik tirai ada hal menari-nari dalam sanubari. Entah. Tak pernah bosan. Tak akan pernah bosan; mengamati, merenungi, menghayati, menggali. Selalu ada kata indah di temukan dalam setiap perjalanan. Akankah itu berarti? 

Langit biru terbuka rapi memanjakan mata memandang. Panorama yang menyejukan. Di tambah taman asri di perkebunan Masjid Sunan Ampel. Tak seperti biasa. Para pembelajar kini lebih berintim di rumah sembari ambyar. Ah, lelah bukan berarti kerja, barangkali tidur pula; melelahkan.

Rindu pada dasarnya memupuk dalam sanubari. Ia semacam rasa yang sulit di rasa—apa dan bagaimana rasanya. Jika kami boleh bertanya: "Beri satu alasan pasti tentang rindu yang membuncah ini?" Sedang cemas dan rindu melebur jadi satu. Di balik tirai seperti misteri tak terungkap. Mengapa itu seperti misteri? Benarkah itu terjadi?

Kembali suasana pagi di hari Rabu, 26 Agustus 2020. 

Pepohonan bergoyang-goyang di kala semilir angin bertiup kencang. Ranting-ranting berjatuhan. Sejuk terasa... Oh, mengapa tulisan ini jadi lebay mengalir saja? Tidakkah penulis memerhatikan kata-kata yang dapat memikat pembaca?

Di balik tirai mengarungi makna belajar hingga sampai cinta belajar.

Kepada dua sejoli yang tengah merayakan cinta—mungkin itu yang di namakan lebaran cinta—kami ucapakan: "Selamat Menunaikan Ibadah Cinta."

Kepada mereka yang baru merayakan new normal: "Selamat Menjaga Kesehatan."

Kepada kita hari ini jumpa: "Selamat Merayakan Rindu."

Rindu tak hanya di rayakan Dilan, tapi kita kini merayakan. Hari ini... kini sampai nanti. Akan aku tulis lemabaran demi lembaran sebagai catatan pinggir di kampus hijau asri. Di balik tirai. Sampai jumpa kembali

Rabu, 26 Agustus 2020.

Cak' Ur



Minggu, 14 Juni 2020 0 Komentar

Sampai Jumpa Kembali

Lima tahun yang lalu, tepat nya saat SMA, aku termasuk siswa yang banyak mendapat perhatian dari kaum hawa; pasti Anda risihkan, dengan ke-PD-an aku ini. Ehemm, diam-diam aku banyak fansnya, loh. Anda harus tahu itu, toh kalau tidak pengen tahu, jangan teruskan baca cerita pinggir ini, kalaupun terlanjur, silahkan lanjut baca.

Sekali lagi jangan Anda baca kalau merasa ini tulisan membikin risih.

Barusan pagi aku berkeperluan membeli sesuatu dari Indomaret lanjut ke Toko Alat Perlengkapan Sekolah. Sesampai di sana---Toko Perlengkapan Sekolah---tidak aku temukan apa yang aku cari. Sekian menit berlalu, dan hampir saja satu Jam aku muter-muter hanya ingin membeli satu-dua kebutuhan. Oh, sempat hati menggerutu, "Ini Toko kok tumben amat sih, tidak romantis antara barang yang satu dengan lainnya, kocar-kacir,  tidak sepasangan. Kok nggak seperti hubungan nya sie Dilan dan Milea." Hahaha

Dari sekian menit berlalu aku temukan barang yang aku cari---kertas folio bergaris dan solasi seharga total : tiga puluh ribu---barulah aku menuju ke kasir untuk membayar. Seorang perempuan bermata lebar nan indah berbulu mata mencuil ke atas dengan kulit sawo matang---yang dulu sewaktu sekolah menjadi idaman banyak lelaki dan salah satu sekian perempuan yang mengidolakan aku (ehemmz), adalah berlagak cuek seperti tak mengenali siapa aku. Yuuhu, maklum, aku memakai masker. Okelah aku paham.

Dengan mempersilahkan dulu padanya untuk membayar, aku kemudian mengembalikan barang untuk menukar ulang sesuai apa yang hendak aku butuhkan. Selang kemudian aku coba buka masker yang aku pakai : sepertinya ia kikuk melihat aku kedua kalinya. Ehemm sepertinya ia gagal pandang dengan sedikit gugup-malu untuk menyapa terlebih dulu. Aku berlagak cuek saja menuruti awal kali bertemu tadi. Dan ia selesai terlebih dulu transaksi, dengan berlama-lama menunggu di luar halaman Toko, aku masih berlagak cuek : ia memperhatikan. Ehemmm

Sepertinya ia juga mahasiswi sekarang, tapi entah dimana kampusnya, aku tak kepo padanya. Sebab sedari dulu aku mengangkap ia sebatas adek kelas, tidak lebih, meskipun beberapa teman menjodoh-jodohkan aku padanya karena pintar-rajin-cantik dan uh masih banyak lagi.

Okeyyy Anda harus tahu : sesederhana itu aku dulu. Sampai jumpa kembali di lain waktu.

Minggu, 24 Mei 2020 0 Komentar

Bakti Ayah

 

Langit sore sangat cerah. Tepatnya saat hari Jum'at 2009 lalu. Ayah datang menyusul aku untuk menemui nenek yang sedang sakit - atas perintahnya terakhir kali menjelang kewafatan. Datanglah ia tergesah-gesah dengan penuh gelisah. Raut wajahnya terlihat lesu akan ada sesuatu yang ingin diungkapkan.

"Nak, ayo makan dulu, setelah itu, nanti ke rumah nenek, ya..."

Dengan segera aku melahap nasi yang diberikan. Ibu sudah berada di rumah nenek jauh hari, merawat dan menjaga nenek. Ayah masih dalam keadaan sedih terlihat dari wajahnya yang mulai keriput.

Kala itu aku masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) kelas enam menjelang kelulusan sekitar tahun 2009. Masih lucu nan lugu. 

Sore itu aku dan ayah pergi untuk menemui nenek yang sedang sakit cukup parah dengan motor butut yang dibelinya dari kerja keras sebagai buruh tani. Ayah adalah seorang anak yang dari kecil sudah berprofesi sebagai buruh tani untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ayah golongan anak yatim. 

Walhasil setelah kami sampai di depan rumah nenek terlihat banyak orang berkerumun. Orang-orang berkerumun melihat aku penuh iba. Aku berfirasat tak jelas. Aku melihat orang-orang menangis.  "Nenek sudah tiba waktunya, Nak." Kata seorang warga. Tumpahlah seketika air mataku beserta ayah.

Aku duduk simpuh menahan tangis. Orang-orang datang mendekat mencoba menenangkan suasana. Aku masih tak kuasa menahan tangis tersedu-sedu beserta ayah di dekat almarhumah nenek. Ibu mencoba mengelus dada Ayah yang tak sempat melihat terakhi kali nenek tersenyum dihadapnya. Dan Ibu membisik aku dari kerumunan orang-orang yang berdatangan, "Nak, ngaji, ya... Untuk nenek terakhir kali..."

Aku menyanggupi. Aku membacakan Surah Yasin di depan pembaringan nenek. Aku menangis... menangis tak kuasa melihat nenek berbaring kaku. Sekujur tubuhnya penuh selimut sendu.

Suatu hari nenek bercerita satu bulan sebelum kewafatannya : "Kelak, jika Nenek sudah tiada, cucu nenek jangan lupa untuk terus mendoakan nenek, ya. Nenek tak punya mahkota lain selain cucu nenek yang cerdas ini," Di elus-elusnya kepadaku dengan penuh kasih sayang. "Nenek titip ya, nak. Yang rajin belajar Al Qur'annya. Ayahmu tak bisa ngaji untuk nenek. Sejak kecik ayahmu larut pembaktian pada nenek. Sampai ia tak bisa ngaji, tak bisa sekolah. Ayahmu sangat berbakti pada nenek. Ayahmu adalah tulang punggung keluarga kecil yang sederhana ini. Karena itu... Nak Ur harus menghormatinya sebagaimana ayahmu dulu menghormati nenek, ya..." 

Dari cerita nenek aku memahami, mengapa ayah menyuruhku harus belajar Al Qur'an. Sebab ayah dahulu ketika masa kecilnya jarang ada waktu untuk belajar Al Qur'an. Ia larut dalam pembaktian pada Ibunya untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ia larut bekerja siang malam sampai tak punya waktu untuk belajar mengaji Al Qur'an. Sangat ini aku memahami mengapa nenek menasihati aku untuk lebih giat lagi belajar Al Qur'an.

Ayah seakan-akan ingin memenuhi cita-cita nenek yang dahulu belum sempat menyaksikan anaknya bisa ngaji Al Qur'an, karena keterbatasan waktu yang larut dalam pembaktian. Baru semenjak aku beranjak remaja, dengan tutur katanya yang selalu aku ingat sampai hari ini : "Nak, biarlah ayah seorang buruh tani yang tak tahu apa. Biarlah Ayah menjadi kuli bangunan dikala engkau sibuk belajar. Cukup ayah, Nak, menjadi orang biasa-biasa. Cukup ayah, Nak, bernasib seperti sekarang ini. Ayah akan biaya engkau sampai menjadi orang, walaupun ayah menjual keringat ayah pada terik yang menyengat. Kejar apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Ayah akan berusaha sekuat mungkin membiayaimu, asalkan engkau bersungguh-sungguh demi masa depanmu kelak..." 

Kata-kata itu menghujat hati saat aku berada di pesantren. Sampai hari ini aku pegang kata-katanya. Di lain waktu yang tak memungkinkan aku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi - ayah dengan tuturnya yang masih bersikukuh keras ingin sekali anaknya mendapat pendidikan layak : "Ayah hanya bisa membiayaimu sampai selesai mondok, Nak. Kalau engkau masih ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ayah dan ibu hanya bisa berdoa : berharap kau bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Ayah dan ibu akan membantumu di balik layar, dengan doa." 

***
Tepat pada 01 Syawal 1441 H ini, Nek. Cucumu datang untuk memenuhi apa yang dulu Nenek cita-citakan. Sekarang cucumu sedang memulai menghafal Al Qur'an, Nek. Cucumu sudah merampungkan 30 Juz al-Qur'an, Nek. Mohon doakan, Nek. Semoga sukses kelak sampai kita berjumpa kembali, Nek. Nek, Apakah nenek ingin mendengar cucumu melantunkan surah Al-Rahman? Ah, di surga saja ya, Nek. Insya'Allah.

Catatan Senin, 01 Syawal 1441 H.

Jumat, 24 April 2020 0 Komentar

Selfie Momen Awal Ramadhan

Ramadhan kali pertama ini tak seperti tahun biasanya. Wajah dihadapkan pada kamera dan waktu menyerah pada momen, dan "Klik", selfie menghasilkan kenangan. Kebanyakan orang-orang menyukainya.

Saya tak mengatakan itu tabiat buruk, meskipun saya tak begitu hobbi, hanya sesekali mencoba menikmati selfie momen awal Ramadhan tahun ini.

Sejak dulu ketika lulus dari sekolah madrasah, saya masuk pesantran tak pernah menikmati buka bersama awal Ramadhan tiba. Akhir Ramadhan itu kami baru bisa buka puasa bersama keluarga. Pesantran telah mengajarkan saya untuk menahan apa itu rindu. Ternyata bukan hanya Dilan saja dapat mengemban rindu, saya pun juga, mungkin anda, juga kita.

Tak banyak lauk pauk istimewa diharapkan dimuka, cukup sayur-mayur dan tahu juga sambal menjadi luar biasa rasanya.

Pernah ingat Quote yang saya buat :

"Mensyukuri nikmat luar biasa itu hal yang bisa, tapi mensyukuri hal yang biasa-biasa itu baru luar biasa"

Begitulah cara sederhana awal Ramadhan kali pertama ini kami mengabadikan hal yang biasa, menjadi luar biasa, dengan sederhana : Selfie.

Marhaban Ya Ramadhan
Jumat, 17 April 2020 0 Komentar

Menjawab bag. 2

Berikut lanjutan cerita pinggirnya. Untuk membaca awal cerita, bisa kalian baca, klik disini

***
Berlanjut ceritadi Lampung. Selesai menghafal Al-Qur’an, saya empat bulan kemudian pergi ke Lampung. Sebelumnya, saya kembali ke pesantren awal, tepatnya, di Kecamatan Puger, desa Kasiyan Ponpes Bustanul Ulum 03 Sultan Agung. Masa khitmah di Lampung di ponpes juga – saya tidak ingin menyebutkan identitas institusinya – agar tidak menodai nama baik pesantren itu – karena tempat itu kami banyak meratap kesedihan, sakit hati, kecewa dipermainkan oleh keluarga dhalem meskipun tidak secara langsung – mereka telah ingkar janji pada keluarga besar.

Ketika pihak keluarga pesantren (keluarga dhalem) mengajak saya ke Lampung – memang manis sekali ajakannya, imingannya, akan mengkuliahkan saya sembari mengajar, segala keperluan saya akan disediakan termasuk makan dan lain-lain. Tapi tawaran itu hanyalah sepoi-sepoi janji busuk yang pernah keluar dari mulut yang katanya – tokoh masyarakat. Saya kali pertama tau bahwa di dekat pesantren itu jauh dari kampus yang saya cari dulu sebelum berangkat. Kalau mau kuliah di bidang keAgamaan kata sepupu yang di sebut Gus disana – harus ke Bandar Lampung – yang jaraknya cukup jauh – sekitar tiga jam baru sampai kalau tidak macet. Okey lah, saya tidak begitu mood lagi kuliah disana – melihat kualitas Pendidikan jauh dibandingkan dari pada di Jawa, yang terpenting sekarang bagaimana menghidupkan semangat anak didik saya mencintai Al-Qur’an.

Selang satu Bulan, mulailah masalah menimpa, sehari rasanya setahun, seminggu terasa setahun, sebulan seperti satu Abad.

Masalah sepela, dibesar-besarkan. Pernah suatu ketika teman saya Tono (nama samaran) telat sholat shubuh, tetapi dia dan kawannya yang lain Margono (nama samaran) masih sholat shubuh dan berjamaah pula. Si buk Nya’I yang terkenal galak itu – menghujat habis-habisan padanya (Tono, Margona dan sekawan lainnya) gara-gara tidak sholat shubuh berjamaah . Saya kira ini maklum, karena mereka seharian ngajar dan bekerja – meskipun tidak seberapa, mereka turut andil dalam pikirannya – yang masih butuh asupan nasehat manis dari dhalem untuk meningkatkan imannya. Masih beruntung mereka dapat hidayah bisa sholat sembari sujud mencium tanah. Saya tidak mau menceritakan bagaimana kalau putra nya’I itu sendiri jarang ibadah, sholat. Itu urusan mereka, saya dan kawan seperjuangan kadang sempat menasehati secara tak langsung maupun langsung. Tapi sayang, penolakan yang angkuh terjadi pada diri mereka sendiri. “Sok ngatur orang lain,” katanya.

Beranjak tiga bulan kemudian, saya meniatkan diri untuk pulang ke Jawa. Sebab, masalah disini tidak cukup diselesaikan dengan cara halus lagi, tiap kali ada masalah pasti berujung hujatan yang tak mengenakkan perasaan hati, sampai-sampai saya pernah dalam masa setelah percekcokan masalah kawan ini – saya ditegur sapa selama beberapa bulan sampai saya menjelang mau pulang. Dan paling miris kehidupan disana – saat saya yang punya bagian mengajar habis maghrib biasanya mengajar santri-santri putri yang masih kecil seumuran SD kelas lima empat dan SMP juga ada sampai SMA – mereka biasanya mengaji ke saya, tiba-tiba serontak pindah langsung ke ibu Nya’i yang biasanya tidak mengajar kemudian ngajar mendadak, otomatis santri yang biasa saya bimbing mengaji pindah keseluruhannya atas perintah buk Nya’i itu – dan saya masih ingat, ada satu santri yang tetap mengaji pada saya nama Nazila – sampai sekarang saya ingat nama itu dan nama santri yang lain sudah saya lupa kecuali nama dia. 

Tidak terasa, saya sehabis mengajar biasanya langsung sholat Isya’ berjamaah. Namun kali ini saya masih menunggu santri-santri yang hendak mengaji pada saya. Tapi itu memang ada intruksi sepertinya dari ibu Nya’i bahwa saya tidak diperkenankan lagi mengajar. Mengapa saya berasumsi demikian, karena biasanya, setiap ustad punya bagian mengajar tersendiri, cuman saya waktu itu seakan-akan bukan lagi tenaga pengajar disana. Bayangkan, sekitar dua tiga minggu saya merasa tidak enak melihat keadaan yang menyimpan kebencian  pada saya ini – sehingga saya tiap habis maghrib tidak lagi mengajar santri-santri yang lain kecuali satu itu, Nazila.

Saat-saat dimana saya sedih yang tak dapat saya jamah secara jernih pikiran ketika hendak pulang. “saya hendak pamit pulang, Abah.” Shubuh itu saya pamit setelah tiga bulan disana. “loh, kok buru-buru gitu cong. Memang sudah beli tiket pesawat?
“Sudah Bah. Insyallah nanti jam dua berangkat menuju Bandara Lampung. Penerbangannya jam sebelas malam nanti.”
“Iya, sudah kalau itu memang keputusanmu cong.” Sebenarnya Abah sendiri, saya melihat begitu berat melepaskan saya karena beliau begitu baik pada saya – bahkan setiap kali ada acara undangan mesti saya dihaturkan untuk memimpin bacaan Qur’an sekaligus hafalan saya. Pun juga bila ada acara besar setiap bulan manakib – beliau menghaturkan saya menjadi Imam Sholat – sesekali beliau memperkenalkan diri saya pada jamaah yang hadir sebagai putra saudara dari ibu mertuanya – yang katanya hafal Al-Qur’an. Tentu saya malu karena saya tidak layak disebut penghafal Al-Qur’an mengingat hafalan saya banyak yang terlupakan.

***

Langit pagi cerah tak berawan menyinari sekitar pesantren. Saya membereskan segala macam barang yang hendak saya bawa pulang. Buk Nya’i pagi jam tujuh masih terlihat tidur pulas juga Abah. Saya tadi malamnya sudah pamitan pada orang-orang terdekat termasuk para ustad dan mbk saya dan suaminya yang kali pertama berangkat bareng menuju Lampung. Siang itu tiba dengan wajah langit yang menggigit bumi.
“Abah, saya mau pamit pulang” di ruangan yang cukup sepi saya pamit.
“Ya, hati-hati dijalan cong. Naik apa nanti ke Bandar Lampung?
“Naik bus langsung Bah.” Juga pada buk Nya’I saya pamit dan paling tidak habis pikir kala itu – tidak ada rasa prihatin pada saudaranya sendiri yang hendak pulang. Tanggapnya yang begitu judes dan yang paling aneh melarang Abah untuk mengantarkan saya ke Bandar Lampung. Entah kebencian apa yang dia tanam pada saya. Sejelek perilaku saya disana saya pernah berkontribusi dalam hal kebaikan selama tiga bulan, tidak satupun kalimat ucapan terimakasih disampaikan – meskipun saya tak mengharapakan, setidaknya mereka turut membantu mengantarkan ke tempat depan rumah.
Saya melihat dari dalam mobil Abah melihat saya dari kejauhan sana – yang dilapisi cermin jendela kala itu – tampak sekali ketidakrelaan melepaskan saya – karena memang beliau sempat berujar akan memberi keluasan pada saya untuk memperjuangkan pesantrennya dimasa yang akan datang. “Kelak, pesantren ini kamu yang memimpin, cong. Mengingat Putra saya bukan lulusan pesantren, setidaknya kamu nanti bantu pengajaran pada santri-santri disini.” Pintanya saat-saat kali pertama saya datang.

Dalam perjalanan itu saya tiba-tiba meneteskan air mata secara diam-diam, sungguh berat rasanya, meninggalkan anak didik yang selama ini saya asuh banyak yang senang terhadap pengajaran yang saya berikan. Kelak saya bermohaon agar dipertemukan lagi dengan anak didik yang pernah saya ajari. Semoga.

***

Enam jam perjalanan menuju Bandar Lampung kini telah tiba. Saatnya saya masuk ruang tunggu pemberangkatan. Saya dan mbak beserta suami, turut mengantarkan.
“hati-hati diperjalanan cong. Jangan cemas lagi setelah naik pesawat. Banyak baca amalan yang kau pelajari dipesantren” tutur ucap mbk saya.
“Sudah, ini menjadi pengalaman besar bagi kamu kedepan cong” tutur suami mbk. Saya pamit dari landing pemberangkatan dan saya tutup  Salam….
Menunggu pesawat Lion Air tiba – saya terus banyak membaca halafan yang saya punya. Terus saya ulang sampai tibalah waktunya saya menuju kedalam pesawat. Saya teringat orang tua di rumah. Bagaimana kalau nanti dalam perjalanan tiba-tiba ada masalah memimpa. Saya kawatir tidak lagi sampai tujuan. Ada yang bergejolak dalam iman saya waktu itu.
 Sebelum berangkat menuju penerbangan saya menghubungi kawan saya semasa dipesantren lalu. Tapi saying, dia tidak merespon waktu itu, sebelumnya sudah saya janjian padanya mau berangkat jam sebelas malam – akan tiba di Surabaya setenagah satu. Dalam pesawat itu saya membaca Surat Al-mulk dan bacaan lain – sambil melihat wajah bumi dari ketinggian sana. Indah sekali. Pada ketinggian yang standar penerbangan, seorang pilot mengumandankan aturan penerbangan – petugas pramugari memberi intruksi pemasangan sabuk pengaman. Samping sebelah saya ada pemuda yang sholat insya dengan bertayammum – dan sebelannya lagi pemuda bercelana pendek, saya berada didekat jendela kaca pesawat. Mulailah lampu dimatikan menunjukkan penerbangan sudah berada diketinggian.
Saya mencoba melihat bumi dari ketinggian tak lagi nampak apa-apa kecualia awan hitam pekat mengitari. Sudah beberapa menit memaksa tidur.

Pesawat telah hampir tiba di bandara Juada Surabaya. Seorang pilot memberi intruksi untuk tetap tenang – tubuh pesawat menggoyangkan badannya yang seksi itu menakutkan penumpang. Saya begitu menikmati saat-saat dimana telah tiba dari perjalanan yang cukup jauh itu – kini telah sampai di pulau Jawa tempat dimana saya dilahirkan. Sesekali saya melihat pemandangan Bandara sejenak sembari bersua foto. Sendirian tidak dengan pacar, apalagi Istri. Klik…Selfie.

Saya bergegas menuju pengambilan barang diruang bagasi pesawat. “Mau kemana, Mas.” Tanya petugas. “Mau ambil barang bawaan, Pak”
“Loh, nanti saja, Mas. Silahkan ikut bus itu. Nanti ada petugas yang mengarahkan sampean,”
“Baik, Pak.”
Saya lupa, kalau barangnya nanti bisa dimbil setelah berada ditempatnya sendiri.
Setealah beberapa menit kemudian, saya menghubungi kawan saya yang ada di Surabaya. Dia Mahasiswa UINSA. Tapi sayang, sepertinya dia ketiduran. Mulailah saya kebingung harus kemana. Masjid serentak saya ingat didekat Bandara ada masjid untuk bermukim. Oke, saya memutuskan untuk sementara di Masjid yang sebelumnya memesan Grab mobil untuk pergi ketempat teman say aitu.
Suasana di Masjid begitu ramai oleh banyak pendatang dari berbagai tempat. Seorang ibu dan beserta keluarganya bertanya dengan memakai Bahasa Indonesia yang logat madura. Saya menerka pasti Bahasa keseharian orang yang bertanya ini Madura. “dari mana, Nak” tanya-nya padaku. “Dari Lampung, Buk.”
“kerja, kuliah apa gimana, Nak”
Serontak saya menjawab dengan Bahasa Madura. “dari rumah saudara, buk. Kerja.”
“sendirian, kamu dari Lampung Nak. Kok berani sekali kamu, Nak. Apa tidak ada keluarga lain yang mengantarkanmu dari Lampung ke Surabaya ini.”
“tidak ada, Buk. Sudah biasa dulu sebelum keLampung pernah tinggal setahun di Semarang. jadi, ini kedua kalinya saya merantau jauh Buk.”
Sebelum itu ibu separah baya ini banyak menanyakan asal saya dari mana, saya yang bilang dari Jember – juga beliau dan para rombongan lain turut memperhatikan saya – meraka dari Bondowoso dan Banyuwangi. Sesekali ibu tadi dan para rombongan lain menyodorkan gorengan. Saya yang mulai dari siang hanya memakan roti – yang paginya lupa tidak makan, tentu malam harinya melewati jam 12 malam perut terasa keroncongan – dengan niat menghormati saya cicipi itu gorengan beserta kopi. Dalam hati kecilku berkata, “semoga kelak kebaikan para Jemaah rombongan ini diberi kemudahan dalam hidupnya. Dan rezekinya di mudahkan”. Jujur, waktu itu saya dari Lampung hanya menyisihkan uang 50 ribu untuk jaga-jaga. Uang itu hanya cukup buat untuk transportasi bus menuju Bungur (terminal Surabaya) dan Jember. Jadi rezeki gorengan yang diberikan Jemaah itu bagi saya amat berarti. Perut yang lapar, tiba-tiba Tuhan datangkan orang baik menyapa saya di teras Masjid itu – hingga akhirnya saya pamit untuk tidur sejenak. Sampai Fajar tiba.

Seperti biasa, saya menyempatkan sholat sunnah meski hanya dua rakaat, dikeheningan malam itu – dipojok Masjid saya melanjutkan hafalan yang tadi malam sudah sampai Juz 28 tepatnya Surah At-taghobun. Sesampai ayat tentang Musibah, disitu Air Mata seketika Jatuh, ntah mengapa sepertiga malam itu saya sampai ayat itu – seakan-akan Tuhan ingin memberi pelajaran penting dalam hidup saya yang selanjutnya. Ayat yang saya baca kemudian berhenti sejenak untuk mengambil hikmah dari perjalanan  kali ini, dalam hidup ada lika-liku yang harus saya tempuh. Saya mengerti, saya harus menerima dan mengikhlaskannya. Mari bangkit…. Mari bangkit mari bangkit…!! Dalam sujud saya bermohon. “Tunjukkan jalan yang terang ya Rabb. Hamba percaya dengan kuasamu ya Rabb. bahwa dibalik musibah ini engkau akan memberi pelajaran penting pada hamba, bahwa hamba lemah tak berdaya bersujud padamu ini terasa amat nikmat manakala ujian yang kau beriakan ini kau bimbing kami seperti orang-orang Sholeh selalu bersyukur padamu ya Rabb. Hamba percaya padamu ya Rabb. Mohon ya Rabb., beri kami keikhlasan menerima musibah ini, dan berikan kesejukan pada hati kedua orang tua kami yang saat ini mengalami kekecewaan besar pada saudaranya ya Rabb. Bimbing hati mereka ya Rabb – untuk mengikhlaskan musibah ini. Bimbing mereka ya Rabb. seperti dulu mereka membimbing saya mengenalmu, mengenal kebesaranmu. Ya Rabb, sebagaimana perintahmu apabila seorang hamba menangis memohon petunjuk kebaikan, dalam Firmanmu engkau berjanji akan mengabulkan segala doa-doanya maka engkau pasti mengabulkannya. Terimalah ya robb doa hamba ini. Bukankah kau pernah berfirman tidak akan menyianyiakan doa hambanya yang terdholimi, ya Robb, hamba ingat, bahwa hamba pernah berbuat dosa padamu dan dosa kedua orang tua hamba yang bergelimang. Ya Robb. Hamba lemah. Hamba malu meminta petunjuk padamu - hamba berlumuran dosa. Pada fajar ini hamba bermohon bersujud ampun padamu yang Maha perngasih lagi Maha Penyayang. Ampunilah dosa-dosa hamba dan dosa kedua orang tua hamba. Hamba bersaksi orang tua hamba yang telah menujukkan kebesaranmu ya Rabb. sehinngga hamba dapat menikmati sujud ini berdekatan denganmu Fajar ini. Ya Robb. Solawat serta salam untuk kekasihmu yang luhur kami persembahkan: Muhammad Rosulullah Saw. Ya Rabb hamba merindukan sesosok yang mulia itu. Pertemukanlah hamba dalam mimpi ya Rabb, hamba merindukannya. Hamba ingin mengatakan padanya, “Selain mengenalmu, adakah yang paling Indah kecuali menatap Wajahmu yang Agung”. Duhai pengusa langit dan bumi, langit doa telah hamba junjung. Hamba lemah. Hamba tak berdaya. Berikan hamba ketenangan. Amin amin.”

Aura shubuh yang cerah, dengan sedikit dingin menggigit, dipelataran masjid menunggu jawaban dari kawan. “Nanti langsung kebungur saja. Kita ketemuan disana” televon dari kawan menjemput.
Dari Bandara Juanda naik angkot ke Bungur. Uang mulai menipis, cukup sampai ke Jember. Makan saya tunda.
Tidak sampai satu Jam alhamdulillah telah sampai terminal. Masih menunggu jemputan kawan. “Sebentar. Aku isi bensin dulu.” Saya cukup lega. Berkat kawan yang satu ini perut tak lagi memintak haknya. Soto. Kalau tidak ada kawan yang satu ini mungkin pingsang ditengah jalan. Badan terasa lemas. Dalam obrolan dengannya saya banyak belajar pengalaman dia kuliah. Dia salah satu kawan yang banyak mengajarkan banyak hal. Pentingnya belajar mempersiapkan masa depan. “Belajar tidak harus digedung Fakultas.” Pesan yang sempat aku terima.
Cukup lama berbincang. Mengingat dia ada jam kuliah, saya pamit lanjut perjalanan: pulang.

***

Jam 07: lewat, menuju Jember. Cukup lama. Saya sulit tidur dalam perjalanan, dari pada pikiran kosong, mending muradjaah.
Langit siang yang cerah, menyambut kedatangan seorang diri dari perjalanan merantau. Seorang ibu yang menyambut dalam keadaan basah kuyup keringat, dengan raut wajah kusam kepanasan. Memeluk seketidaka “Alhamdulillah selamat kamu, Nak. Selamat… Kok sampai kurus seperti ini kamu, Nak.” Dengan nada tersedu-sedu menangis. Saya yang tahan melihat tangisan Ibu. Hanya berucap “Sudah. Yang penting selamat sampai tujuan.”
“Bagaimana Ibu tidak khawatir sama kamu, Nak. Wong tadi shubuh ada siaran berita ada pesawat jatuh.” Waktu kejadian pesawat Lion Air jatuh itulah yang membikin cerita kepulangan saya mengkhawatirkan.

Keluarga Lampung tidak sempat satupun menanyakan keselamatan saya dari perjalanan jauh itu, yang semestinya turut cemas atas kejadian pesawat yang jatuh. Membikin hati Ibu semakin teriris-iris. “Mbok yoo semestinya tanya kek, sudah sampai Le… malah dilepas begitu saja” Ibu masih tetap masih sedikit sakit hati lantaran saya dikatakan “Anak yang tidak mengikuti aturan pesantren!!!” saya cukup diam dan turut menghentikan guncangan hatinya “Sudah. Yang penting saya sampai tujuan. Yang penting baik-baik saja.”
Dengan halus menutup rasa sakit hati itu….sampai tertutup nanti….
Jumat, 03 April 2020 0 Komentar

Celoteh Rindu

Beri aku satu alasan untuk tidak mengatakan, "Aku merindukanmu..."

Pada sore itu, kami merayakan kegembiran bersama. Juga lelah bersama. Lapar bersama. Tersenyum bersama. Terbahak-bahak bersama. Segala luka dan duka tidak kami tutup, segalanya penuh ceria. Itulah makna bersama.

12 Januari 2017, adalah awal kami berjumpa. Kami berasal dari berbagai daerah; Jember, Makassar, Bojonegoro, Pati, Pontianak,  dan berbagai daerah lainnya. Kami punya satu impian: menghafal al-Qur'an. Kami tidak punya niat lain selain impian mulia itu. 

Jika anda bertanya kepada kami bagaimana menghafal al-Qur'an dalam satu tahun 30 Juz, maka jawaban sederhananya: memulai dari sekarang.Tidak ada cara atau trik lain selain mencoba memulai. Anda sepakat, bukan? Ya, minimal jika sudah punya niatan baik, entah itu menghafal al-Qur'an atau pun yang lain,  adalah bertindak dari sekarang. Lalu segera mengeksekusinya...

Di antara kami berbagai corak karakter saling melengkapi. Ambil saja, kita singgung yang dari Pontianak itu, Sie Brewok (bukan nama asli). Ia terlahir dari bangsa melayu. Ia pernah bercerita pada kami, bahwa orang melayu rerata tidak suka makanan recehan, semisal; tempe saja, tahu mulu, sayur terus, dan sebagainya. Sebab sejak ia lahir di dunia oleh keluarga serta lingkungannya selalu di cekoki makanan yang wah. Semisal ayam goreng, katanya. Atau telor paling engenes

"Tiap hari?" tanya kami. 

"Beetuu...l" katanya. Dengan wajah penuh dramatis!  

Kalau bagi saya pribadi, boro-boro makan ayam goreng. Bisa makan saja untung! Tapi bukan berarti saya tak suka dengan sikapnya, mungkin sudah kebiasaan dari sononya. Tentu kami paham sangat. 

Alkisah, masih cerita Sie Brewok, kami mendapati bagian jatah makanan yang super sederhana - untuk tidak mengatakan makanan jelek - perihal makanan kami dari pesantren bebas biaya, alias gratis selama satu tahun - ia nampak tak nafsu makan, gelisah, cemas dan berjibun-jibun rasa ia tolak. Singkat cerita, pada akhirnya ia memutuskan satu keputusan yang final; makan mie instan. Lagi.. dan lagi......

Sekawan santri lain tentu kasihan melihatnya dibuai cemas nan malas makan. Raut mukanya tampak terlihat lesuh... Pada Sie Brewok ini, kami punya satu kerinduan tak terlupakan; gila tak kala lapar, gila ketika kenyang! hahaha Ohya, tapi ia anti cewek, artinya bukan berarti ia Gay. Bukan! ia ketika bersama cewek lagi berlibur sukanya goda, tapi ketika cewek balas menggoda malah malu-malu-in. Betul ini! Seriuus! Tampang mukanya ngenak bak orang Arab, tapi ya gitu.... suka konyooool.

Celoteh seperti itu yang kami rindukan. Tentu tidak hanya itu... Mau tahu kisah selanjutnya? sabar dulu, Oke..sampai di sini sekian.


 
;