Minggu, 27 Agustus 2023 0 Komentar

Surat untuk Kawan-kawan KKN


Ada sebuah lagu hits yang selalu mengingatkan saya akan suatu hal: kenangan masa-masa KKN. Liriknya menarik dan menyentuh perasaan kami:

"Berharap suatu saat nanti...
Kau dan aku kan bertemu lagi...
Seperti yang kau ucapkan...
Sebelum kau tinggalkan aku"

Sampai pada lirik ini biasanya saya teringat kawan-kawan dan 'berharap suatu saat nanti' kami berjumpa kembali seperti janjinya dulu sebelum kami sama-sama kembali ke rumah masing-masing. Tapi sampai saat ini kami belum juga bersua.

Mungkin sebagian mereka lupa atau sengaja melupakan hal itu; tetapi saya yakin dan meyakini bahwa sesungguhnya mereka memiliki perasaan dan harapan yang sama: ingin berjumpa tetapi masing-masing dari kami sukar menyiapkan waktu senggang sekadar sehari atau setengah hari saja.

Terlepas lupa atau sengaja melupakan, karena itu saya menulis; menulis surat ini untuk mereka; untuk menyentuh kesadarannya; siapa tahu dibaca dan ditepati janjinya untuk kembali bersua. Ya, nggak? Hem.

Terlepas sibuk atau memiliki kesibukan lain, sesungguhnya terletak pada prioritas waktu kami masing-masing dan sekiranya prioritas bersua itu dibutuhkan, saya yakin dan meyakini barang sehari atau setengah hari saja bisa kok dilaksanakan.

Nah, kini pilihan kami adalah menempatkan prioritas waktu tersebut; sungguh kami sama-sama ingin bersua; mungkin dengan saya menulis surat ini; barang tiga atau lima kawan saja akan menyanggupi usulan ini; saya berharap demikian terlaksana.

Sesungguhnya bukan lirik itu saja yang membuat saya selalu teringat pada mereka, jikalau bukan kebaikan-kebaikan mereka; juga keusilan-keusilannya serta ha hi hinya.

Satu hal yang mungkin akan jadi catatan cerita kita pada suatu hari nanti, setelah kami sama-sama memiliki wilayah kehidupan sendiri dan memiliki anak cucu yang mungil-mungil, adalah saat nanti kami bisa menceritakan kepingan-kepingan kenangan banyak hal tentang masa kuliah dahulu kala.

Oleh karena itu, cerita-cerita kebaikan itu yang akan jadi saksi bahwa kami pernah hidup di dunia yang sementara ini. Ini surat untuk mereka, moga-moga jadi catatan kenangan kita.

***
Dear kawan-kawan KKN,

Kepada siapapun yang sempat atau sedang membaca catatan kenangan ini, aku ingin menulis banyak hal tentang kebaikan kalian dan moga-moga kalian mengingatnya.

Di Bukit Geopark

Di bukit itu kita pernah menyaksikan keindahan alam sebelum melangkah lebih jauh perjalanan selama empat puluh hari ke depan. Ya, kita hanya sekadar bermain-main dan berkenalan dengan alam; dengan perasaan senang nan bahagia. Kita tertawa dan terpesona keindahan dunia, di bukit geopark itu.

Kita melukis alam dalam benak kita entah sampai kapan lukisan alam itu akan tetap menempel lekat dalam ingatan, yang kelak jadi kenangan.

Pak Sadi mendampingi kita seperti layaknya anak sendiri. Ia rela menghabiskan waktu untuk kita yang baru pertama kali melihat alam; o, maksudnya alam di bukit geopark itu.

Kita bersemangat dan bergembira atas kebaikan-kebaikannya. Mungkin kita lupa mengucap terima kasih kepadanya tetapi kita pun tak lupa mengingat kontribusi kebaikannya. Kita hanya butuh sejenak waktu agar tetap mengingat kebaikannya; dengan menuliskan dan memikirkan kebaikan-kebaikannya.

Kedinginan Akut

Masihkah kalian ingat saat bapak perangkat desa itu mengajak kita untuk turut-serta gotong royong memangkas rerumputan di sekitar jalan menuju kawah Ijen bersamaan turunnya rintik-rintik hujan membuat kita semua kedinginan akut sehingga beberapa di antara kita satu sama lain menyalahkan dan menanyakan mengapa tidak memakai jaket sebelum perjalanan itu berlangsung?

Semua saling menghantam kesalahan entah kepada siapa entah bagaimana kejadiannya.

Empat lelaki mengatakan ini salah Sisil! Ia pun membalas ini salah Mey! Ia pun tak mau kalah membalas santai dengan mengatakan ini salah kita semua! Ups. Kelar persoalan . . .

Undangan Salawatan

Kalau saja mengingat undangan salawatan Pak Ustad itu kita tak lupa nama Faiz yang jadi sasaran niatannya; o, moga-moga si Faiz berdamai dengan diri sendiri setelah ini dan, tentu saja, memaafkannya.

Bukan untuk diingat, bukan pula untuk dibenci, dan bukan pula untuk didiami, melainkan dijadikan pelajaran, eh. Barangkali kita jadi refleksi diri; jangan-jangan kita memang layak mendapat pelajaran apa saja, termasuk orang yang terkadang memaksa ingin dicinta, tapi lupa mencinta, maksudnya adalah sebelum mencinta orang, keabsahan mencinta adalah diri kita sendiri, sebelum mencinta orang lain. Ah, lupakanlah!

Dan surat ini pun dihadirkan dan ditulis, salah satu tujuannya, adalah untuk merefleksikan ulang bahwa kita saling mencintai diri sendiri, dalam arti memantulkan cahaya ilahi dalam diri kita ini.

Kepada siapapun, surat ini aku kirim dengan perasaan maha cinta, karena ia adalah hakikat pertemanan seutuhnya. Demikian.

 
;