Jumat, 20 Maret 2020 2 Komentar

Menjawab bag. 1

Tulisan ini kumpulan pertanyaan para jomblowiyyiin wa jomblowiyyaat selama momen kali pertama kenalan.

Tepatnya saat selesai pelaksanaan PBAK 2019.

Dalam hal ini, jomblowiyyaat lebih banyak KePo bertanya soal kepribadian saya. Sedang jomblowiyyiin lebih agak serius bertanya mengenai imam dan pernikahan.

Saya ucapkan banyak terimakasih kepada kalian yang sudah bertanya --- hingga saya punya inisiatif menuliskan catatan kecil ini dalam bentuk blog. 

Selamat menikmati...

***

Cinta menurutmu?

Berbicara tentang cinta sungguh tak pernah ada kata "bosan". Mengapa demikian, karena memang kata (cinta) ini  paling menyenangkan dan menggembirakan siapapun yang mendengarkannya. Kalau boleh saya katakan, cinta adalah sesuatu yang sakral.

Para pemikir muslim, seperti Ibnu Sina (980-1037 M) mengatakan cinta sebagai penyakit. Well, tentu saja Anda yang sakit hati saat ini sepakat dengan pendapat ulama dokter ini. Okey, Anda boleh sependapat, tapi pendapatan tentu berbeda --- dengan filsuf yang satu ini.

Mari kita merujuk pula pendapat Al-Jahizh (776-868), bagaimana pemikir Muslim ini melukiskan cinta sebagai perasaan yang ditunjang oleh nalar, dalam bukunya, An-Nisa' (Perempuan). Ia jauh dari permainan, kata Prof. M Quraish Shihab dalam bukunya, Jawabannya Adalah Cinta. Lain lagi, Ibnu Hazm (994-1064) dalam bukunya, Thauq al-Hamamah (Kalung Merpati), beliau menulis: Cinta pada awalnya permainan dan pada akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya, karena hati di tangan Tuhan, Dia yang membolak-baliknya.

Dus, lihat, bagaimana ketika Ibnu Hazm melukiskan perasaan asmaranya:
"Kusampaikan kepadamu tentang diriku, "Aku sama sekali tidak pernah puas dari air pertemuan (dengan kekasih), sedang pertemuan tidak menambah sesuatu pada diriku kecuali dahaga."

Antara Ibnu Hazm dan Ibnu Sina ini, juga mengakui bahwa, cinta adalah penyakit. Yang satu mengartikan cinta sebagai penyakit adalah asmara sepasang kekasih. Ibnu Hazm juga mengakui, cinta adalah penyakit yang diidamkan tapi tidak dikehendaki kesembuhannya. Heukhuekhuek... 

Begitulah cinta...

Kalau Anda bertanya, "Bagaimana cinta menurut saya?" Maka saya jawab: Cinta sesuatu yang sakral.


***

Pernah jatuh cinta?

Cinta ada, pernah ada, akan ada dalam hati ini. Tempatnya lain, waktunya berbeda. Cinta ada, dalam lubuk hati ini, sangat dalam, ia menjerit-jerit. Cinta ada, di kejauhan sana, di malam hari doa melangit. Cinta ada, dalam doa sepertiga malam, doa melangit-langit.

Tetapi saya tak tahu bagaimana mengungkapkannya, sebab, ia adalah rasa yang tersirat dalam hati ini. Sementara hati adalah urusan ilahi. Jadi, saya manusia normal, pernah jatuh cinta. Cinta hadir yang telah lalu. Cinta yang kini, mempersiapkan suatu saat nanti.

Terus, "Kapan akan jatuh cinta lagi?" Loh, kok sakral gitu pertanyaannya. Iya sudah, saya jawab: setelah kau mencintai saya apa adanya.

***

Ceritakan pengalamanmu yang paling mengesankan dan menyedihkan?

Sebelum saya jawab, mohon siapkan tisu untuk menghapus air matamu. Yeah, itu pun kalau kau hendak meresapi cerita saya nanti. 

Okey, kita mulai...

Pengalaman saya yang paling mengesankan dan menyedihkan ketika berada di dua tempat: Semarang dan Lampung. 

Oke saya ceritakan dulu waktu di Semarang.

Awalnya, saya sempat bilang ke orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke nuansa yang baru. Singkatnya, saya ingin pindah pondok. Juga kalau diperbolehkan, saya mau kuliah, tepatnya di Madinah Munawwarah. Kota suci itu.

Tapi apalah daya, saya hanya seorang anak buruh tani. Saya memahami keadaan orang tua, meskipun saya nanti tidak bisa melanjutkan pendidikan, setidaknya, saya menyiapkan kado terindah kelak di surga, yaitu Mahkota Kepala untuk kedua orang tua. Saya menghafal Al-Qur'an 30 juz.

Keinginan kuat untuk melanjutkan kuliah di Madinah Munawwarah sempat saya konsultasikan pada ibu guru Bahasa Indonesia --- yang terkenal galak itu mengatakan, "Mbok yo lek kepingin kuliah le... Harus rajin sekolahnya." Ujarnya kala itu.

Saya sekolah memang terkenal sering bolos plus telat, menjadi catatan merah guru-guru di sekolah. Mengapa saya sering bolos? Jujur, sekolah bagi saya kala itu tidak ada bedanya dengan yang tidak sekolah. Saya tidak merasakan nikmatnya belajar. Makanya saya sering bolos. Yang tak habis pikir, sekolah memiliki gedung jumawa itu satupun tak membuka perpustakaan, kalaupun ada, pasti buku-bukunya ya itu-itu saja. Tentu saja saya "galau" kacau waktu itu. Saya sekolah "galau" bukan karena di tinggal pacar, karena memang tak punya pacar. Saya "galau" kala itu karena pihak sekolah tak menyediakan fasilitas buku untuk saya baca. Yang ada, perpus selalu tutup. Itu alasan saya mengapa sering bolos. Kok sering telat? Maklum, kamar mandi di pesantren harus antri kalau mau mandi, jadi, kalau mau sekolah harus bersabar dulu, okey...

Kembali cerita Semarang.

Di Semarang, saya satu tahun fokus menghafal Al-Qur'an 30 juz. Mau tidak mau, seluruh waktu dua puluh empat jam saya untuk Al-Qur'an. Tak sedikit di antara teman seperjuangan gugur di tengah jalan, baik itu karena merasa tidak mampu menahan cobaan, juga ada teman saya gugur di tengah jalan ketika hafalannya sudah sampai sekitar dua puluh juz'an --- orang tuanya sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Sungguh waktu itu saya terkikis hati ini mendengar cerita teman yang satu ini. Juga ada sebagian dari teman saya gugur di pertengahan jalan sebab ia sakit. Ada juga tetek bengek alasan semacamnya.

Di Semarang, kami mati-matian, siang malam duduk bersila dengan mushaf. Sesekali terkadang tertidur khilaf kecapean, sesekali harus memaksa diri tahan kantuk. Kami siapkan air segayung di samping kiri -- untuk membasuh muka bila mata tak lagi mampu melek, sesekali menyerudup kopi bagian kanan, yang rasanya begitu pahit. Untuk obat mata.
Di Semarang, studi saya selesai selama satu tahun. Sepuluh bulan selesai 30 juz, dua bulan untuk penguatan hafalan.

Yang paling mengesankan waktu itu ---  ketika kami hendak berpisah. Kala itu selesai wisuda. Kami di ikrar sumpah di depan hadirin kajian bulanan. Dengan hormat kami menerima pesan dari guru yang hadir untuk turut mendoakan kami agar supaya hafalan kami di jaga dan di beri kemudahan untuk menjaganya. Setelah selesai masa studi, kami pamit pulang ke kampung asal ke esok harinya.

Mulailah sayup-sayup cinta terasa.

Siang-malam kami berjuang sama-sama menghafal Al-Qur'an di teras masjid hijau itu. Guru berperan, "Nanti kalau sampai di masyarakat jangan lupa, amalkan ilmu yang kalian dapat dari sini. Dan yang terpenting, jaga akhlak kalian, jaga iman kalian, dan jaga pandangan kalian." Pesannya.

Sesekali guru bercanda, "Setelah selesai 30 juz ini, kapan mau nikah?," Tanya-nya. Kami tertunduk malu menjawab, "Kalau sudah lancar, Abah." Jawab teman kami perwakilan pada yang mulia, pengasuh.

Untuk membaca selanjutnya. Klik disini
 
;