Dan waktu kerja bakti sosial dimulai: dari lokasi penginapan menuju ke spot wisata Kalipait; sebelum sampai ke sana, kami memotong rerumputan yang berkeliaran di jalan raya menuju Kawah Ijen; tapi untuk sampai di sana … kami harus memeluk dingin sekalipun senang melihat pemandangan elok di sekitar lingkungan kerja yang hendak kami pangkas rerumputannya—sekalipun harus menggigil dan, … sialnya: kami hanya memakai kaos seragam KKN!
“Tahu gitu aku pakek jaket tadi,” gerutu Mbakyu.
“Rasakan!” kata saya.
Dari ujung mata ke ujung alam gunung-gunung itu berbusa kabut dan ternyata itu bukan kabut.
“Kayaknya di atas gerimis.” kata Pak Pengarah itu.
“Ini kayak embun yang turun, ya …” sambung Mbakyu.
“Bukan.”
“Ya … ini embun siang!” sambung yang lain.
Ah, baru kali ini saya tahu ada embun siang—yang ada dan yang saya tahu hanyalah embun pagi. Atau embun fajar atau embun subuh.
“Embun pagi bersahaja …” Pak Kasum itu tiba-tiba bernyanyi. “Itu lagu siapa?”
Saya pikir keras-keras dan mencari memori lagu tahun 2000-an dan ingatakan saya cukup baik.
“Letto, Pak! Embun pagi …” jawab saya.
“Betul. Kau cukup baik mengingat lagu kenangan.”
“Kenangan harus diabadikan dalam ingatan sekalipun sedingin Ijen, Pak.”
Ia cekikikan dan kawanan lain hanya bisa melongos sirik, eh.
“Bentar lagi kita sampai.” Ia beri kabar gembira setelah 30 menit memangkas arca-arca rumput yang berkeliaran ke jalan. “Disana nanti ada spot Kalipait.”
“Kenapa dinamakan Kalipait, Pak?” saya bertanya penasaran.
“Karena air kalinya pait.”
“Tidak sepait kenangan kan, Pak?”
“Tentu saja, Nak!”
Kerja bakti sosial terbalaskan setelah 40 menit menebang kayu-kayu yang berkelindan di jalanan dan meskipun harus menempuh jarak kurang lebih 4 kilo menuju spot wisata alam itu—rasa lelah kami hilang. Dan Kalipait menjadi destina kenangan yang ke-3 dan beria-gembiralah kita.
Air itu mengalir dari ketinggian dengan tenang dan gemerciknya seperti alunan alarm perairan yang memancarkan musik-musik kecil tapi halus didengar. Sementara bebaturan itu terlihat mengkilat seperti baru saja dipoles minyak permata yang memancarkan cahaya yang menambah eksotis mata untuk segera menanjakkan kaki di atasnya dan berdiam diri dan berswafoto tentu saja.
“Kau dulu.” Kata saya pada Faqih. “Nanti gantian teh.”
Ia bergaya yang tak tahu gaya macam apa dan setelah tiga kali klik—giliran saya, dan kawan-kawan dari mobil lain datang dan bergabung menikmati alam.
“Kau pasang potrek terbaik, teh.” kata saya.
“Belum terasa.” ujar saya ketika ia mengklik tombol kamera.
“Belum terasa.” saya ulang lagi.
Dan kawan-kawan lain berhamburan mencicipi bagian alam; sementara perangkat desa yang menemani kami ini—hanya menyaksikan ulah tingkah kami yang tak ketulungan kemaruhnya.
“Jangan sampai pikiranmu khilaf mengabadikan kenangan ini, Thur!” kata salah satu kawan.
Saya mengiyakan dan tak lupa mendoakan: moga-moga tulisan ini abadi dalam ingatan menjadi kenangan.