Jumat, 17 Juni 2022 3 Komentar

Mahasiswa yang Sentimen

Sungguh kacau dunia ini jika semua hal harus ditanggapi dengan sentimen, alih-alih adu argumen. Orang-orang yang hanya mengedepankan sentimen biasanya terlalu cetek pikirannya—sulit menalar persoalan. Seolah-olah itu kebenaran serta kebaikan.

Jenis orang-orang seperti ini ternyata ada pula pada kalangan mahasiswa. Saya tentu kaget pertama kali kuliah dan hari ini—saya tidak terlalu kaget. Namun saya resah keberadaaan jenis-jenis mahasiswa semacam ini.

Dan dengan alasan itulah saya menulis catatan ini. Moga-moga tulisan ini dibaca oleh mereka dengan kepala hangat; dengan kacamata sehat; dengan pikiran terarah; dengan pikiran jernih serta terbuka.

*
Dalam sebuah kasus, apapun kasus itu akan jauh lebih terarah dan menguntungkan kedua belah pihak, yang harus dilihat adalah inti persoalan, bukan hal lainnya. Jika satu persoalan kemudian dipelintirkan sedemikian rupa sehingga memicu polemik kekaburan suatu percakapan, alamat salah satu pihak akan dirugikan dan diuntungkan oleh pihak lain, yang oleh karena hanya teman dekat. 

Dan parahnya, yang diuntungkan adalah yang menggunakan kata-kata sentimen, sungguh terlaknat mahasiswa semacam itu.

Alih-alih mendukung proses belajar seseorang—ia menjadi penghalang karena sifat buruknya yang agak sinis melihat orang lain rajin, berani berpendapat, dan mau mengajukan ketidakberkenaannya akan suatu hal, dengan sinisme tingkat akut.

Mungkin kasus tersebut bisa saya paparkan sebagai berikut.

Misalnya, kalau saya mengatakan bahwa ketidaksiapan bukanlah alasan tepat bagi mahasiswa untuk tidak presentasi adalah sesuatu yang kacau dan potensial merugikan banyak pihak. Itu klaim yang saya ajukan untuk memprotes mahasiswa yang suka menunda-nunda tanggung jawab presentasi—yang itu berimpas merugikan banyak pihak (kecuali menunda-nunda pekerjaan untuk diri sendiri; tidak masalah). 

Betapa pun banyaknya waktu yang diberikan; seorang yang suka menunda-nunda akan selalu—dan kemungkinan besar akan beralasan kembali bahwa dirinya tidak siap. Itu jantung persoalan yang saya protes; bukan hari tertentu (ingat! bukan hari tertentu). 

Saya mengajukan hari tertentu—yaitu Jum’at—karena hari setelahnya, Sabtu, saya ada acara dan tentu saja itu sekadar pendapat, dan bentuk pengajuan diri sebagai kelompok yang berhak presentasi. Tapi anehnya, pikiran cetek dan sentimen justru tak mampu menangkap jantung persoalan yang saya gugat, alih-alih, justru hal tersebut  dianggap bentuk protes. 

Hey … mana pikiran sehat anda?

Alih-alih memahami secara keseluruhan klaim, protes jantung persoalan, pendapat, dan penawaran kami untuk presentasi hari tertentu, adalah justru nada sentimen yang mengedepankan cibiran dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” dan nada-nada serupa lainnya, bentuk ketidakmampuan menalar persoalan dengan baik, alih-alih memahami secara keseluruhan. 

Alih-alih menanggapi dengan kepala hangat; malah justru mengklaim bahwa “kelompok kami tidak siap”. Apa bukti kalau kelompok kami tidak siap? 

Oih, anda mengatakan “kami tidak siap” lantaran salah satu orang dari kami mengatakan demikian bukanlah klaim yang mendukung dan menguatkan klaim-klaim serampangan-sentimen anda tersebut (saya kira pembuktian hanya satu orang tidak cukup; yang sebenarnya harus melibatkan banyak pihak yang dimintai keterangan). Jelas itu sentimen yang bernada merendahkan. 

Tapi sayang—mahasiswa yang cetek pikirannya selalu menganggap bahwa itu sebuah kebenaran dan kebaikan untuk melegalkan klaim-klaim serampangan untuk menjatuhkan mitra lawan bicara.

Sebenarnya saya malas meladeni mahasiswa yang pemahaman serta pembicarannya selalu mengedepankan sentimen. Tetapi jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi pertemanan. Saya katakan demikian karena cibiran atau sentimen atau sinis itu potensial menjatuhkan semangat seseorang belajar—alih-alih mendukung keberhasilan teman.

Mencibir mitra lawan bicara dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” seperti merendahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya melakukan apa yang dikatakannya. Padahal setiap orang telah diberi waktu dalam 24 jam untuk bisa rajin, pintar, cerdas, dalam mengejarkan sesuatu dengan tepat waktu. 

Namun karena dirinya bersifat sebaliknya adalah justru sifat sinis melihat orang lain pintar, rajin, cerdas, dalam mengerjakan sesuatu, terbentuklah sifat sentimental tersebut. Saya jengkel kepada seseorang yang merasa rendah diri semacam ini. Karena itu saya melawan diri seolah-olah ingin mengetuk tempurung kepalanya yang agak sulit dibuka mata pikirannnya itu.

Dan kembali lagi ...

Sungguh basi “ketidaksiapan” dijadikan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Alih-alih memberikan alasan masuk akal “mengapa tidak siap” justru malah mengeluarkan kata-kata sentimen pada orang yang mau menggugat perihal ketidaksiapannya. 

Sebenarnya tidak begitu masalah jika kita merasa tidak siap pada satu kondisi yang tidak memungkinkan untuk menampilkan hasil kerja dengan baik. Namun yang patut dicatat adalah ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen. Saya ulangi kembali: ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen!

Saya rasa, merasa tidak siap adalah satu bentuk kejujuran. Namun bentuk kejujuran itu rusak bilamana kata-kata dibalut dengan sinisme, serta, kata-kata sentimen tidak layak dipakai oleh kalangan yang merasa seorang pembelajar.

Tapi, lagi-lagi, saya rasa, bentuk protes karena ketidaksiapan untuk presentasi adalah sah-sah saja dan patut saya gugat sebab itu kepentingan banyak orang. Terlalu banyak waktu hangus lantaran keberadaan orang-orang yang selalu merasa tidak siap dan itu merugikan banyak pihak dan itu bukan satu dua kali beralasan demikian, bukan? 

Maksudnya adalah mahasiswa yang beralasan “tidak siap” pada dasarnya peralihan dari kemalasan yang ia ciptakkan sendiri.

Lagi, mungkin dalam pikiran mereka saya beralasan karena “ada acara pada hari sabtu” itu tidak tepat dan sebab itulah mereka mengutuk saya sebagai mahasiswa supersibuk dan sebagainya. Ini persoalan prioritas, Kawan. Jika saya beralasan demikian pada hari kuliah mungkin boleh anda mengutuk saya dan menyarankan agar saya memilih prioritas mana yang tepat bagi saya. 

Tetapi, sekali lagi, anda tidak punya kuasa mengutuk orang pada hari diluar hari kuliah. Kenapa anda mempersoalkan hanya karena saya ada acara dan menfokuskan diri untuk melawan mitra bicara anda dengan nada-nada sentimen seolah-olah itu sebuah bentuk kebenaran dan kebaikan?

Lain waktu saya tidak akan menanggapi kata-kata yang bernada sentimen. Lebih baik saya menanggapi nada-nada argumen. Kata-kata sentimen  biasanya hanya akan berujung pada kebencian; sementara kata-kata argumen mengetuk tempurung kepala yang cetek dan biasanya akan melahirkan kejernihan pikiran. Selalu mewanti-wanti diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata sentimen adalah upaya diri untuk tidak membenci. 

Sentimen dan argumen adalah dua hal yang kontradiktif. Oleh karena itu, keduanya tidak mungkin berhubungan romantis, dan karena itu pula, saya harus lebih berhati-hati menanggapi suatu hal yang hanya berujung permusuhan. Caranya adalah dengan tidak menanggapi itu tadi. Namun kadang saya perlu menanggapi jika hal tersebut merugikan diri di hadapan banyak orang.

Dari watak serta sifat mereka (baca: sinisme, sentimen) dapat saya simpulkan: Sesungguhnya, tanpa ia sadari, orang berlagak merendah diri adalah orang yang merasa paling diri dan paling benar sendiri. Sayang, mereka tidak sadar akan hal itu dan mereka sematkanlah kata-kata itu pada mitra lawan bicaranya, eh. Maaf.
 
;