Kamis, 04 Maret 2021 0 Komentar

Plagiat, Resah, dan Belajar Menulis

Menulis catatan harian ternyata berpotensi mirip dengan catatan orang lain dan kemungkinan - besar atau kecil - kejadian yang saya alami, yang saya rasa, yang saya cium, yang saya renungkan, yang saya raba, yang saya pikirkan mirip dengan orang lain. Atau bahkan sama, satu frekuensi tafsir. 

Sumber fenomena sama dan ketika fenomena itu di narasikan ke dalam tulisan ternyata sudah ada orang-orang yang menuliskannya. Dan potensi di cap plagiat adalah orang kedua atau orang selanjutnya yang menulis fenomena itu. Sedangkan orang pertama yang menulis fenomena itu adalah pemilik atau pekarya awal, atas kesamanan penolakan atau penerimaan terhadap realitas.

Dan saya apakah harus mencantumkan sumber awal dari orang pertama menulis fenomena tersebut? Entah. Saya harus banyak belajar lagi tentang plagiarisme ini.

Sering saya di tegur oleh dosen karena tulisan saya mirip dengan orang lain padahal saya telah menunjukkan rujukan aslinya dan saya masih saja di cap menjiplak tulisan orang. Ini dalam tulisan ilmiah.

Kejadian serupa pun merambat ke tulisan catatan kecil saya di smartphone. Beberapa waktu lalu saya menulis kejadian yang menimpa keluarga saya. Bapak sewaktu bekerja, membuat pagar pekarangan tetangga, mata kanannya terpantul bambu dan sontak saya kaget sewaktu ibu membangunkan saya ketika nyenyak tidur dan orang-orang hanya berkerumun - alih-alih membantu, malah memotret wajah Bapak - sibuk menanyakan apanya yang sakit, sebelah mana, dan bla bla bla sembarang macam, tanpa memikirkan membantu.

Ingin sekali kejadian itu saya memaki tetangga, tetapi, untung stok sabar saya masih ada.

Andai orang yang banyak bertanya itu pernah merasakan sakit gigi mungkin orang tersebut diam tidak banyak bertanya pada orang yang belum mampu menjawab.

Kejadian kedua, sewaktu saya balik ke Jember di tengah jalan terjadi tabrakan antar pengendara jalan dan saya tak habis pikir mengapa orang kecelakaan seperti itu malam di ambil gambarnya. Sewaktu berada di dalam angkotan umum hati nurani saya tersentuh dan bertanya-tanya mengapa manusia lebih sibuk memotret korban.

Kejadian ketiga informasi di WhatsApp yang di kirim di grup guru SD. Sama. Tabrakan yang mengenaskan korban dan orang-orang di video tersebut sibuk memotret korban.

Lalu sesampainya di lokasi kediaman, Basecamp Komunitas, kawan saya bercerita bahwa dia sempat mengalami musibah yang sama, tabrakan, dan orang-orang sibuk memotretnya, menanyakan banyak hal sewaktu pas kejadian, dan dia emosi dan tidak menerima perlakuan masyarakat yang hanya memotret.

Lalu saya menulis kejadian itu demikian:

"Ada yang bertanya-tanya seakan-akan berempati pada musibah. Seolah-olah tindakan itu benar. Ada yang 'ingin tahu' atau bahkan 'harus tahu' pada musibah terjadi di trotoar jalan. Lalu mereka dengan gesit menjulurkan tangannya ke saku, smartphone mereka genggam dan klik memotret korban dan media sosial penuh like, and share.

Tindakan tak manusiawi!

Andai korban satu di antara keluarga kita. Patut kita bertanya: layakkah harus demikian? Tidakkah memikirkan untuk membantu? Atau sekadar menahan diri untuk tidak gegabah cari status. Tindakan demikian bukanlah kemanusiaan kita.

Kita butuh menahan diri tidak banyak bertanya pada manusia yang belum sanggup menjawab. Kita butuh menahan diri bila hanya sekadar publikasi untuk cari-cari sensasi. Sila membantu bila kita sama-sama manusiawi."

Setelah menulis catatan ringkas ini saya post di story WhatsApp. Satu teman saya ternyata pernah menulis tema yang sama, katanya, tulisan saya mirip dengannya satu tahun lalu. Mungkin ia akan mengatakan saya telah melakukan tindakan plagiat.

Saya tidak tahu pasti bagian mana saya telah melakukan plagiasi (karena saya menulis spontan): baik menyangkut bahasanya, deskripsi, gaya kepenulisannya, struktur tulisan, dan sebagainya. Dan semoga saya menemukan titik pencerahan jika tulisan saya benar-benar plagiat. Sebab selama ini saya jauh dari kata paham mengenai plagiarisme: tulisan ilmiah maupun catatan harian, fiksi maupun non fiksi. Dan kacaunya (masuk) di bangku kuliah pun  belum pernah satu dosen saya yang menerangkan secara detail tema plagiarisme.

Dosen tak pernah mengajarkan aspek-aspek atau ciri-ciri tulisan seperti apa, bagaimana dan mengapa tulisan bisa dikatakan plagiat. Padahal besar-kemungkinan apa yang kita pikirkan juga sama dengan apa yang dipikirkan orang. Atau sebaliknya, apa yang kita pikirkan berbeda dengan orang lain, namun memiliki subtansi yang sama.

Dan jika memang itu benar saya melakukan tindakan plagiasi, baiklah, secepatnya saya revisi atau bahkan hapus saja.

Namun setidaknya tulisan di atas lahir atas dasar keresahan dan ketidak-habis-pikiran saya terhadap banyak hal dan interpretasi saya ketika mendengar kawan sendiri mengalami hal yang sama:

1). Resah kepada tetangga yang banyak bertanya pada Bapak yang saat itu kesakitan, alih-alih membantu, 2). Resah kepada saudara sendiri men-foto wajah Bapak, lalu di sebarluaskan ke orang lain dan kacamata saya melihat, 3). Kemunculan ingatan pikiran saya terhadap cerita kawan saya waktu di Semarang tahun lalu bahwa ia bercerita salah satu keluarga kawannya mengalami musibah, tabrakan, dan kawannya tidak terima jika masyarakat memotret korban dan membagikannya ke khalayak umum, 4). Kejengkelan kawan saya sewaktu tabrakan orang sibuk memotret dan banyak bertanya, alih-alih membantu, dan, 5). Kejengkelan kawan saya, masih kawan yang sama, beberapa minggu lalu di rumahnya tukang bengkel atap rumah jatuh, meninggal, dan masyarakat sekitar (hanya bisa) menyalahkan tuan rumah.

Saya sadar dalam proses kreatif tidak bisa lepas dari apa yang saya baca, apa yang saya contoh dari sekian banyak tulisan. Selama saya belajar (menulis) pasti tidak lepas dari kesalahan meniru dan mencontoh bagaimana merangkai kata yang baik dan enak dibaca dari sekian banyak penulis yang saya gemari.

Kata-kata memikat (itu) rasanya bukan milik seorang. Kata-kata memikat lahir dari proses seorang penulis beradaptasi dengan banyaknya tulisan bagus.

Saya tak tahu pasti kata-kata itu lahir dari gaya siapa dan siapa yang memengaruhinya. Yang saya lakukan terus belajar membuat rangkaian kata sebaik mungkin. Persoalan (kata-kata) sama dengan milik orang lain saya lepas darinya karena ini proses belajar saya, adaptasi saya dengan kata-kata, dan semoga kelak mampu meneladani kata-kata, hingga mempunyai ciri khas sendiri.

Saya akan (lebih) senang jika ada orang mengajari saya belajar menulis dan menunjukkan tulisan yang bagaimana bisa dikatakan plagiat: baik fiksi maupun non fiksi. Sekian.

 
;