Rabu, 11 November 2020 0 Komentar

Belia, Mengapa Menangis?

Sumber Ilustrasi : www.satuharapan.com

   Belia sedih bukan karena tak punya smarfone untuk sekolah daring. Belia sedih bukan karena tak bisa bermain sepeda. Belia sedih bukan karena tak bisa sekolah. Belia sedih karena ia merasakan perjuangan Ayahanda menafkahi keluarga kecilnya. 
   Perjuangan ayah yang tak kenal lelah menjadikan Belia kecih menjadi pribadi teguh. Sebab, dalam diri Belia tertanam benih-benih pendidikan kehidupan sesungguhnya, bukan pendidikan formalistik yang katanya menjanjikan kehidupan lebih membaik. Ya... lebih tepatnya, Belia seorang bocah kecil berambut lusuh murid dari Pendidikan Institusi Alam.
  Dari pojok rumah bergubuk kayu itu Belia melihat ayahnya sedang bersandar-melamun di depan rumah melihat bulan merekah terang. Garis melingkar di sekujur tubuh bulan. Indah sekali. “Ayah sedang apa?” Tanya Belia lembut.
   Ayah tak banyak menjawab pertanyaan Belia. “Tidak ada, Nak, ayah melihat bulan itu… indah sekali, bukan?” Dengan kasih sayang penuh sang ayah memeluk Belia seraya berkata: “Kau gadis sholihah, Nak, sini peluk ayah.” Lalu dikecup keningnya, dielus-elus rambutnya, dan rembulan menjadi saksinya.
   “Ayah, ayah, lihat itu.. bintang. Mengapa dia tidak bersama kawan-kawan bintang yang lain, Yah?” Ayah senyum syahdu pada Belia kecil. Senyumnya tak lebih dari 5 sentimeter, apalagi sampai 10 sentimeter: hanya 3,5 sentimeter saja. Senyum yang mahal bagi lelaki paruh baya beranak satu.
   “Mungkin dia bintang bernasip seperti kita, Nak, tak punya banyak kawan, hanya punya Tuhan.”
   “Maksud ayah bintang-bintang yang lain tak punya Tuhan, begitu…?” Tanggap kritis Belia.
  “Bintang-bintang yang lain sama-sama punya Tuhan, Nak. Namun, mereka bintang-bintang yang menikmati kebahagiaannya bersama kawan-kawan lainnya. Sedang bintang Adinda yang dimaksud, adalah bintang hening yang menikmati hubungan romantis bersama Tuhannya.” Jelas sang ayah.
  “Oo.., gitu ya, Yah. Ayah merindukan bunda, ya… Belia juga kangen bunda. Apakah Bunda juga kangen kita ya, Yah?”
“Tentu saja, Nak.” 
  Dua hamba Tuhan itu saling menatap langit. Tak ada awan tak ada hujan, hanya semilir angin menyapu malam-malam suka duka. Suka, sebelum duka, bercengkrama riang gembira bersama keluarga sebelum corona. Duka tak berkesudahan menyelimuti keluarga paling duka. Duka, akibat virus corona.  
***
   Kini Belia meranjak berumur sembilan tahun. Segala macam lika-liku kehidupan telah ia rasakan bersama Ayahanda, Pak Supri. Sebagai penjual rongsongan, Pak Supri kurang lebih kerja hampir 24 Jam dalam sehari itu tak mematikan semangatnya untuk terus bertahan hidup: menikmati jalin-jemalin kehidupan dengan penuh kekurangan. 
    Apalagi kini musim wabah, sekaligus wabah para politikus yang kian menjerumus. Tak ada niat pasti untuk memangkas virus. Dari kedua wajah mereka nampak ketabahan menjalani hidup. Seakan-akan, melalui wajah mereka, lidah ingin melangitkan doa: semoga Tuhan yang Maha Esa merindhoi  niat baik mereka yang katanya, ‘Demi Bangsa dan Negara’. Nun kalau sampai mereka berkhianat pada negara. Semonga doa-doa para Penjual Rongsongan itu terkabul:
  ‘Ya Tuhan… sadarkanlah hati nurani kemanusiaan mereka. Kami hanyalah rakyat jelata yang bersimpuh memohon kesehatan atas duka Ibu Pertiwi hamba akibat virus corona…’
    Di tengah bising kota mereka menjajahkan sembarang macam barang, mulai dari; koran bekas, susu kaleng minuman, pleluit mainan anak, terompet sangkakala, hingga mainan-mainan jaran goyang lengkap semua ada. Cukup murah harganya, konsumen cukup investasi 3 ribu untuk koran bekas, 4 ribu untuk minuman kaleng, cukup 100 ribu untuk trompet sangkakala, lebih mahal dari harga mainan lain. Sebab, kata Pak Subri, “Mainan terompet sangkakala sulit dicari. Barang langka! Hanya ada di Indonesia. Itupun Indonesia bagian Jember…” jelasnya.
   Namun, rezeki sudah ketetapan-Nya, apapun menjadi mudah. Mutakhir ini keduanya cemas akan bagaimana menopang hidup di tengah wabah kian merajalela. Tak ada satupun dari jajahan meraka laku. Mondar-mandir tiap hari menjadikan keluarga kecil mereka di rundung pilu : tak ada pemasokan untuk makan. Di tambah lagi kedatangan para satpol PP bergegas bertindak mengamankan lalu lintas itu. Kedua pencari sebutir nasi itu kabur seperti dikejar anjing terbirit-birik; dari lorong-ke-lorong, toko ke toko, warung ke warung. Paniklah mereka.
     “Woyyyy…. Jangan lari kalian….?!”
Napasnya sampai tersendat-sendat. Tengok kanan kosong, tengok kiri satpol PP lagi.
    “Tahan, Nak, sedikit lagi….”
   “Itu mereka…” Kata Pak satpol yang satu, kata yang satunya lagi, “Apa mereka tak mau duitkah? Aneh sekali mereka…,”
    “Woooyyy… jangan lari kalian…. nges…, nges…, nges…”
    Kedua satpol PP itu putus asa bukan kepalang menghadapi kedua lawan itu. Bagi yang satu—Pak Satpol Gino—belum  saatnya olahraga di tengah terik matari menyengat dahi. Bagi yang satu lagi—Pak Satpol Marco—sudah saatnya olahraga persiapan nanti malam purnama bersama istri. Pikir tanpa panjang, keduanya bersepakat mencari alamat rumah penjual rongsongan itu. Sebab, titipan Ibunda Bupati Kota, Bunda Faida, harus segera terlaksana—karena  mereka—para satpol PP—mendapat amanat mulia, ‘Demi penduduk Bangsa dan Negara’. Begitu kata mereka berdua. Macam kata para pemimpin negara saja mengatakan dengan bijak, ‘Demi Bangsa dan Negara’.
    “Bapak-Ibu… numpang tanya, nggeh. Apa Bapak-Ibu kenal sama orang yang biasa jual rongsongan di pinggir jalan di sana?” Tanya kedua satpol berbaju biru itu, “Oya, kenal Pak Satpol. Rumah mereka tidak jauh dari sini. Bapak tinggal lurus saja nanti dari belokan sini. Lalu nanti ada gan sempit berukuran satu meter. Terus ngiri... tak sampai rumah Buk Jummiati tapi. Bapak tanya lagi nanti sama orang-orang sekitar”
    “Tanya ke tetangga sekitar. Nama Bapak Supri. Atau Bapak Bel. Bukan Bel yang berbunyi itu ya, Pak Satpol!” Ibu beranting emas satu gilo gram itu mencoba melucu pada kedua satpol PP betubuh atlentis itu, “Baik, Buk, terima kasih. Mohon maaf mengganggu. Jangan lupa pakai lagi maskernya nggeh, Buk. Semoga beruntung siang hari ini…”
***
    Senja mulai menerpa. Matahari menyinari lorongan para rumah warga. Dua Pak Satpol itu kali ini jauh dari sifat putus asa. Keyakinannya akan bertemu Bapak Supri atau Bapak Bel kini momen langka baginya. Apa sebab? Karena mereka berdua membawa kejutan untuk para kaum jelata.
   “Tok, tok, tok….permisi. Assalaamu’alaikum Bapak…” Beberapa menit mereka menunggu tuang rumah. Rumah reot itu rupanya tak menjawab salam Pak satpol itu. Mungkin dia sedang haid. Atau, pemilik rumah sedang tak ada di dalam. Oh, ternyata tidak! Meraka berdua cukup beruntung.
    “Dengan Bapak Bel, ya…”
    “Ya, Betul. Apa Bapak berdua berniat mau tangkap kami berdua. Tidak apa! Yang penting beri kami hak untuk hidup seperti layaknya bapak hari ini hidup…,” Suara Bapak Supri melengking keras bukan main. 
    “Bukan begitu maksud kedatangan kami berdua ini Bapak. Sedari tadi kami mengejar Bapak bukan untuk menangkap Bapak. Kedatangan kami kesini ingin memberi Bapak sesuatu titipan dari Buk Faida. Ini…. Silahkan Bapak terima. Kami langsung pamit...,” Dengan cepat mereka bertandang. Mantap melaksanakan tugas negara. Sedang Pak Supri dan Belia mengangguk-ngangguk.
    “Terima kasih”
    “Sama-sama Bapak Satpol.” Jawab Pak Bel pada kedua satpol PP bersepatu hitam mengkilat itu. Di bukanya bersama bungkusan itu—anak dan ayah—ternyata isinya: sejumlah alat kesehatan penangkal virus corona! Pikir Pak Supri seton uang dan sejumblah butir kilo emas. Belia terharu menangis sedih. Lalu sang Ayah bertanya: “Mengapa Belia mengangis?”
   “Alhamdulillah Ayah. Dengan alat ini kita bisa bertahan hidup, dan ada upaya melawan virus. Semoga…”
    Ya, hanya sebatas peralatan kesehatan saja, tidak lebih. Lalu Pak Supri menanggapi dengan bijak. “Betul, Nak. Kita tak harus memohon lebih pada sesama hamba Tuhan.” Sesederhana itu!
 
;