Langit sore sangat cerah. Tepatnya saat hari Jum'at 2009 lalu. Ayah datang menyusul aku untuk menemui nenek yang sedang sakit - atas perintahnya terakhir kali menjelang kewafatan. Datanglah ia tergesah-gesah dengan penuh gelisah. Raut wajahnya terlihat lesu akan ada sesuatu yang ingin diungkapkan.
"Nak, ayo makan dulu, setelah itu, nanti ke rumah nenek, ya..."
Dengan segera aku melahap nasi yang diberikan. Ibu sudah berada di rumah nenek jauh hari, merawat dan menjaga nenek. Ayah masih dalam keadaan sedih terlihat dari wajahnya yang mulai keriput.
Kala itu aku masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) kelas enam menjelang kelulusan sekitar tahun 2009. Masih lucu nan lugu.
Sore itu aku dan ayah pergi untuk menemui nenek yang sedang sakit cukup parah dengan motor butut yang dibelinya dari kerja keras sebagai buruh tani. Ayah adalah seorang anak yang dari kecil sudah berprofesi sebagai buruh tani untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ayah golongan anak yatim.
Walhasil setelah kami sampai di depan rumah nenek terlihat banyak orang berkerumun. Orang-orang berkerumun melihat aku penuh iba. Aku berfirasat tak jelas. Aku melihat orang-orang menangis. "Nenek sudah tiba waktunya, Nak." Kata seorang warga. Tumpahlah seketika air mataku beserta ayah.
Aku duduk simpuh menahan tangis. Orang-orang datang mendekat mencoba menenangkan suasana. Aku masih tak kuasa menahan tangis tersedu-sedu beserta ayah di dekat almarhumah nenek. Ibu mencoba mengelus dada Ayah yang tak sempat melihat terakhi kali nenek tersenyum dihadapnya. Dan Ibu membisik aku dari kerumunan orang-orang yang berdatangan, "Nak, ngaji, ya... Untuk nenek terakhir kali..."
Aku menyanggupi. Aku membacakan Surah Yasin di depan pembaringan nenek. Aku menangis... menangis tak kuasa melihat nenek berbaring kaku. Sekujur tubuhnya penuh selimut sendu.
Suatu hari nenek bercerita satu bulan sebelum kewafatannya : "Kelak, jika Nenek sudah tiada, cucu nenek jangan lupa untuk terus mendoakan nenek, ya. Nenek tak punya mahkota lain selain cucu nenek yang cerdas ini," Di elus-elusnya kepadaku dengan penuh kasih sayang. "Nenek titip ya, nak. Yang rajin belajar Al Qur'annya. Ayahmu tak bisa ngaji untuk nenek. Sejak kecik ayahmu larut pembaktian pada nenek. Sampai ia tak bisa ngaji, tak bisa sekolah. Ayahmu sangat berbakti pada nenek. Ayahmu adalah tulang punggung keluarga kecil yang sederhana ini. Karena itu... Nak Ur harus menghormatinya sebagaimana ayahmu dulu menghormati nenek, ya..."
Dari cerita nenek aku memahami, mengapa ayah menyuruhku harus belajar Al Qur'an. Sebab ayah dahulu ketika masa kecilnya jarang ada waktu untuk belajar Al Qur'an. Ia larut dalam pembaktian pada Ibunya untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ia larut bekerja siang malam sampai tak punya waktu untuk belajar mengaji Al Qur'an. Sangat ini aku memahami mengapa nenek menasihati aku untuk lebih giat lagi belajar Al Qur'an.
Ayah seakan-akan ingin memenuhi cita-cita nenek yang dahulu belum sempat menyaksikan anaknya bisa ngaji Al Qur'an, karena keterbatasan waktu yang larut dalam pembaktian. Baru semenjak aku beranjak remaja, dengan tutur katanya yang selalu aku ingat sampai hari ini : "Nak, biarlah ayah seorang buruh tani yang tak tahu apa. Biarlah Ayah menjadi kuli bangunan dikala engkau sibuk belajar. Cukup ayah, Nak, menjadi orang biasa-biasa. Cukup ayah, Nak, bernasib seperti sekarang ini. Ayah akan biaya engkau sampai menjadi orang, walaupun ayah menjual keringat ayah pada terik yang menyengat. Kejar apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Ayah akan berusaha sekuat mungkin membiayaimu, asalkan engkau bersungguh-sungguh demi masa depanmu kelak..."
Kata-kata itu menghujat hati saat aku berada di pesantren. Sampai hari ini aku pegang kata-katanya. Di lain waktu yang tak memungkinkan aku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi - ayah dengan tuturnya yang masih bersikukuh keras ingin sekali anaknya mendapat pendidikan layak : "Ayah hanya bisa membiayaimu sampai selesai mondok, Nak. Kalau engkau masih ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ayah dan ibu hanya bisa berdoa : berharap kau bisa meneruskan apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Ayah dan ibu akan membantumu di balik layar, dengan doa."
***
Tepat pada 01 Syawal 1441 H ini, Nek. Cucumu datang untuk memenuhi apa yang dulu Nenek cita-citakan. Sekarang cucumu sedang memulai menghafal Al Qur'an, Nek. Cucumu sudah merampungkan 30 Juz al-Qur'an, Nek. Mohon doakan, Nek. Semoga sukses kelak sampai kita berjumpa kembali, Nek. Nek, Apakah nenek ingin mendengar cucumu melantunkan surah Al-Rahman? Ah, di surga saja ya, Nek. Insya'Allah.
Catatan Senin, 01 Syawal 1441 H.