Kamis, 23 Maret 2023 0 Komentar

Urgensi Khutbah Jum'at tentang Kontrak-Radikalisme dan Terorisme


Upaya pemberangusan bersama virus radikalisme dan terorisme, salah satunya, adalah bagaimana sekiranya materi khotbah Jum’at bermuatan lebih strategis dalam memperingati bahaya penyakit ajakan sesat tersebut. Yang dimaksud virus radikalisme dan terorisme di sini adalah kelompok-kelompok yang mengajarkan serta mengajak kepada masyarakat untuk berideologi dengan mereka; dengan mempertentangkan nilai-nilai ajaran agama versus prinsip-prinsip ideologi Pancasila dan berlawanan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Khotbah Jum’at merupakan langkah strategis karena tiap-tiap Muslim wajib melaksanakan salat Jum’at. Otomatis tiap Muslim, baik yang awam maupun yang berpendidikan, akan mendengar serta menyimak apa yang dikhotbahkan oleh khatib.

Tentu saja, cara ini jauh lebih bisa dimengerti dan lebih efektif menukik ke jantung setiap Muslim manakala pada suatu keadaan tertentu, masyarakat awam dihadapkan pada suatu tawaran oleh kelompok berbahaya tersebut yang dapat menyebabkan mereka bergabung dan berkelompok dengan visi misi an sich mereka.

Hal ini bisa dimengerti mengapa virus radikalisme dan terorisme sangat penting diantisipasi melalui khotbah Jum’at. Sebab tidak semua masyarakat Muslim, khususnya kalangan awam, mengerti tentang bahayanya penyebaran aliran berbahaya tersebut.

Orang awam tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme dan betapa begitu berbahayanya bagi kehidupan mereka. Orang awam jauh lebih penting memikirkan bagaimana menyambung perut untuk menopang hidup; lebih-lebih masyarakat awam yang masuk kelas sosial rendah secara ekonomi maupun pendidikan.

Tak menutup kemungkinan, orang-orang awam yang tak sempat memikirkan apa itu radikalisme atau terorisme, bisa bebas begitu saja dari persebaran virus aliran berbahaya tersebut. Justru potensial manakala perut orang awam tak lagi bisa berkompromi manakala pikiran telah buntu akan mencari jalan pintas lain dengan bergabung di suatu komunitas yang dapat memenuhi kebutuhannya.

Sebut saja kelompok yang dimaksud adalah kelompok radikal-teroris tersebut. Orang akan berpikir instan manakala dihadapkan pada suatu keadaan tertentu; keterdesakan kebutuhan yang menuntut mereka untuk bertindak sesuai kebutuhannya. Dan hal tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh kelompok radikal-teroris.

Bukan tidak mungkin. Bukan tidak mungkin orang awam akan tergiur oleh tawaran strategis kelompok radikal-teroris tersebut untuk bergabung dan bergaul dengan mereka. Berapa banyak orang awam serta orang miskin tersesat karena keterdesakan kebutuhan ekonomi dan pengetahuan tentang bahaya radikal-teroris tersebut. Mereka merasa lebih terjamin kehidupannya dengan bergabung bersama kelompok mereka, meskipun sebetulnya hal tersebut siasat saja.

Jelas hal tersebut potensial sekali menjadi goncangan keimanan dan keselamatan hidupnya. Oleh karena itu, khatib Jum’at memiliki peranan strateginya untuk mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-terorisme. Artinya harus ada materi khotbah Jum’at persuasif untuk memahami bahaya kelompok tersebut. Ini urgen.

Masjid NU-Muhammadiyah Sebuah Langkah Awal

Untuk memulai bisa melalui kedua masjid organisasi terbesar ini. Seperti kita ketahui bersama bahwa kedua organisasi tersebut di Indonesia sangat besar kontribusinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai ajaran agama.

Maka masjid-masjid yang berafiliasi dan yang bergaya corak kultur dua organisasi besar tersebut, menjadi langkah awal yang sangat tepat dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelompok radikal-teroris tersebut.

Misalnya, setiap khatib Jum’at sebelum menjalankan jadwal giliran berkhotbahnya, dua organisasi besar tersebut menginstruksikan kepada masjid-masjid dengan menyiapkan materi-materi dasar tentang apa itu gerakan radikalisme-terorisme, bagaimana persebarannya di tengah masyarakat, dan apa saja tujuan serta bahayanya gerakan tersebut dan sebagainya.

Namun demikian kiranya tak cukup sampai pada batas pengenalan. Bagaimana gerakan-gerakan tersebut sengaja dibentuk untuk membentur-benturkan agama dengan negara; antara negara dengan agama; dengan tujuan spesifik menjadikan negara ini menjadi negara agama.

Oleh karena itu, harus ada kolaborasi materi tentang keberagamaan dan kebangsaan; tentang perbedaan dan persamaan antar sesama warga negara; tentang hak-hak sesama sebagai manusia; tentang manusia dan kemanusiaan; tentang damai dan keselamatan, dan sebisa mungkin meminimalisir permusuhan yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik tak berkesudahan.

Oleh karena itu, materi-materi khotbah Jum’at sebisa mungkin menyisipkan dan meletakkan cinta tanah air dan kasih sayang sesama sebagai kewajiban yang harus terpaut dalam jiwa raga warga negara. Hal ini selaras dengan ajaran-ajaran Walisongo di masa lalu yang mengajarkan kepada kita bagaimana mencintai bangsa dan tanah air kita seperti sekarang ini.

Walisongo sadar dan meyakini bahwa gagasan tentang “mencintai bangsa”, “mencintai tanah air”, “hidup bersama dan menerima perbedaan” adalah cikal bakal lahirnya sebuah peradaban yang dibangun dengan kebersamaan, solidaritas, kemandirian sehingga terbentuklah negara makmur sentosa tanpa diskriminasi-intimidasi; tanpa teror; dan tanpa pertumpahan darah.

Ajaran-ajaran pada leluhur itu, saya yakin dan sangat meyakinkan, bahwa mereka meletakkan kemanusiaan di atas segala-galanya. Oleh karena itu, khotbah Jum’at harus menjadi ruh spiritual agar berdampak pada kemaslahatan sosial; dengan materi-materi yang sebisa mungkin memutus rantai persebaran virus berbahaya ajakan teror-radikal tersebut. Semoga terlaksana.

Terbit di Harakatuna.com 
Senin, 20 Maret 2023 0 Komentar

Proses Menjadi Manusia


Pengalaman yang kita serap dan masuk ke alam pikiran dan perasaan menjadi produk tindakan-tindakan kita dalam menanggapi suatu hal (baca: problem kehidupan) atas dua fungsi tersebut. Apabila satu di antara keduanya tidak berfungsi, maka yang akan terjadi adalah emosi. Benar atau tidaknya penyataan ini hanya berdasar pada pengalaman pribadi, namun saya ingin membubuhinya dengan teori neo-psikoanalisis Alfred Adler.

Mungkin kita pernah mengalami hal yang sama. Mungkin kita pernah memiliki cerita dan pengalaman yang sama. Mari kita saling belajar dan berproses menjadi manusia bersama-sama …

Sekadar berbagi cerita. Sejak kecil oleh kedua orangtua saya dididik kasar. Lebih-lebih ibu. Namun pada waktu-waktu tenang dan bahagia orangtua mendidik saya dengan kasih sayang dan orang lain pun saya perlakukan dengan kasih sayang (implikasi dari didikan orangtua tersebut). Maka tidak heran kemudian terkadang saya melakukan tindakan-tindakan kasar bahkan kepada orang lain. Pun sebaliknya: Perlakukan saya terhadap orangtua dan orang lain dengan kasih sayang—meskipun sangat minim sekali.

Sekali waktu, pernah saya tak mau mengikuti perintah orangtua. Saya menolak dan memberontak karena tidak ingin mengaji al-Qur’an. Alasan saya—dan ini tidak dimengerti orangtua pada waktu itu; terutama ibu—bahwa saya mendapat diskriminasi oleh kawan bahkan saudara sendiri karena saya tidak lancar mengaji.

Alasan lain mengapa saya menolak dan tidak mau mengaji adalah di tempat mengaji pun saya sering mendapat perlakukan kurang enak oleh guru. Oleh guru ngaji telinga saya sering dijewer dan saya menangis dan kesakitan lantaran tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik. Saya malu dan tidak ingin mengaji al-Qur’an lagi.

Lalu kini saya membayangkan dan mencoba merefleksikan ulang atas pengalaman-pengalaman masa kecil itu ke dalam kondisi kehidupan saya saat ini. Bahwa terkadang saya merasa rendah diri dihadapan orang lain. Kerendahan diri ini yang membuat saya emosional untuk mencapai kemampuan orang lain; jika orang lain memperlakukan saya semena-mena.

Bahwa terkadang saya kehilangan nalar sehat dan perasaan manakala bertindak kasar pada suatu waktu tertentu—baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Saya kehilangan kontrol emosional ketika fungsi perasaan dan pikiran sehat itu tidak bisa dikendalikan pada waktu bersamaan.

Tak heran apabila pada suatu ketika saya pernah diperlakukan oleh kawan sendiri dengan tidak “tidak semestinya”, saya marah besar dan emosi saya meluap-luap hingga kehilangan kontrol emosional; bahkan kepada orang lain yang sebelumnya tidak berseteru dengan saya. Tindakan saya seperti percikan api yang bisa melahap dan membakar benda apapun.

Meskipun emosi saya belum sampai pada tahap memaki-memaki dan menjambak rambutnya dan menjotos mukanya, hanya adu mulut saja, saya merasa bahwa ada yang salah dengan tindakan saya setelah perseteruan itu reda.

Saya merasakan mestinya pada waktu itu tidak seharusnya saya terlampau bertindak kasar kepada kawan saya itu. Tapi tindakan saya sudah terlampau berlebihan menanggapi suatu hal tersebut. Saya menyesal dan mengoreksi apa yang telah terjadi pada diri saya hingga menjadi serigala bagi orang lain.

Saya sadar dan menyadari bahwa saya kehilangan satu atau dua fungsi ini: Akal sehat dan perasaan kasih sayang kepada orang lain dalam mencerna permasalahan yang terjadi. 

Apa yang saya lakukan adalah bahwa saya terlampau mengedepankan satu di antara kedua fungsi tersebut dan melupakan kedua fungsi tersebut—yang semestinya dikelola secara seimbang namun karena ketidakmampuan mengolah dua fungsi tersebut—sehingga yang keluar hanyalah emosi berlebihan dan tidak terkontrol atas dua peranan ini: akal sehat dan perasaan.

Inilah mungkin yang dimaksud oleh Alfred Adler apa yang disebut kepribadian superior. Adalah sebuah kepribadian untuk menciptakan kekuatan diri yang mengharapkan kemampuan dan kemapanan serta kesuksesan yang sama; tujuannya adalah untuk menutupi kerendahan diri dihadapan orang lain tadi.

Cerita lain sebaliknya. Pada suatu waktu saya mengobrol dengan kawan (bukan kawan yang dimaksud cerita awal). Disadari atau tidak bahwa ternyata obrolan receh saya menyinggung perasaan mitra lawan bicara dan membuat kawan itu kehilangan nalar sehat dalam mencerna maksud dan tujuan saya mengucapkan kalimat-kalimat itu yang saya semburkan ke telinganya.

Dia emosi. Dia mengumpat. Amarahnya meluap-luap persis seperti luapan emosi yang saya ceritakan di awal. Kedua kasus cerita itu mungkin saling kehilangan dua fungsi ini: Pikiran sehat dan perasaan jernih.

Padahal maksud saya tidak seperti apa yang dipersepsi oleh pikiran dan perasaan kawan saya tersebut. Maksud saya adalah begini … dan mitra lawan bicara saya menanggapi begitu … 

Tetapi ya sudahlah nasi telah jadi bubur.

Kesimpulan dua cerita pengalaman ini adalah saya cenderung menyalahkan orang jika orang lain memperlakukan saya “tidak semestinya”. Pun sebaliknya: Perlakuan saya kepada orang lain yang “tidak semestinya” pasti pula menyalahkan. 

Mungkin ini adalah cara pandang kepribadian seseorang memandang sebuah kehidupan yang menjadi gaya hidupnya. Seseorang cenderung menyalahkan orang lain; sementara kesalahan diri sendiri luput koreksi dari dirinya sendiri.

Konon—menurut cerita banyak orang—perempuan itu lebih mengedepankan perasaan dibanding pikiran. Sementara lelaki sebaliknya: lebih mengedepankan pikiran dibanding perasaan. Benar atau tidak menurut anggapan ini, kiranya perlu telaah ulang agar tidak sesat pikir dan menyesatkan pikiran orang lain.

Terlepas penyataan di atas (maksudnya anggapan kontradiktif tentang perasaan lelaki dan perempuan) pada kasus cerita pertama dan kedua atas pengalaman saya di atas bisa dibaca bahwa terkadang antara perasaan dan pikiran sehat lelaki dan perempuan memiliki pengelolaan emosi yang nyaris sulit diprediksi kapan perasaan harus dikedepankan dan kapan pula pikiran sehat diutamakan.

Kedua kasus itu mengindikasikan bahwa kedua fungsi itu harus sejalan secara bersamaan manakala kita dipertemukan pada sebuah kasus yang membuat diri kita nyaris kehilangan kontrol emosi. Kasus demikian hampir melibatkan banyak orang. Namun bagi orang yang paham mengolah fungsi perasaan dan pikiran ini membuat orang tersebut bijak dalam menanggapi suatu hal yang mengusik emosionalnya.

Sejak saya menyadari bahwa ada kekurangan dalam diri saya— juga orang lain tentu saja—dalam mengontrol emosional, pada saat itulah kesadaran belajar mengolah emosi adalah sebuah proses keniscayaan. Dan saya bisa menerima berbagai macam jenis manusia di planet bumi ini. Kreatifitas cara pandang demikianlah yang menuntun seseorang bergerak dari sebelumnya bringas kemudian menyadari sebuah kesalahan diri yang pernah dilakukannya; sehingga kita lebih optimistis menatap masa depan lebih baik lagi.

Pertama-tama saya harus sadar dan menyadari bahwa ada kekurangan pada setiap diri seseorang—baik saya maupun orang lain–dan keistimewaan tersembunyi yang menuntun seseorang tersebut berperilaku sesuai minat sosial.

Dengan cara itu saya—dan kita semua—belajar dan saling mempelajari kekurangan dan kelebihan kita masing-masing dan bagaimana menerima perbedaan sikap pada setiap kita yang sedang berproses menjadi manusia seutuhnya.

Memang demikianlah karakter manusia bahwa pada dasarnya proses menjadi manusia itulah paling sulit dalam hidup ini. Namun kita tak pernah lupa bukan, kalau kita hidup untuk terus saling belajar dari kesalahan-kesalahan?
Sabtu, 18 Maret 2023 0 Komentar

Di Musala itu ...

Ibu mengatakan, sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua tepat pada hari ke 17 ramadan 2021, setelah sebelumnya kami mengecewakan permintaannya untuk salat tarawih di musala, bahwa menjadi santri adalah tanggungjawab ananda kepada Tuhan yang menciptakan kita. Seberapa pun tinggi ilmu ananda peroleh di pesantren itu jikalau ilmu ananda tak membuahkan akhlak sama seperti tanaman padi yang gagal menjadi nasi, ucapnya sebelum sujud terakhirnya di musala itu.
 
;