Sabtu, 25 September 2021 0 Komentar

Fenomena Penghafal Alquran dan Toleransi Santri

Agak telat menulis opini ini karena tak tahu emailnya Radar Jember. Syukur Pak Radar masih berkenan memuatnya. Sila baca di sini
Senin, 20 September 2021 0 Komentar

Membaca dengan Gembira

Saya sering mendapat pesan whatsapp dari sejumblah kawanan manusia. Pesan itu berkaitan dengan ketidakgemaran mereka membaca sebuah buku. Mula-mula saya berpikir bahwa mereka tidak gemar membaca adalah korban “pendidikan sekolah” yang gagal. 

Mula-mula saya ingin membalas pesan itu dengan menjawab, "kamu tidak gemar membaca itu mungkin karena imbas sekolah yang tidak mengajarkan bagaimana murid-murid gemar membaca". Tapi kalau saya jawab demikian, sepertinya itu bentuk penghakiman kepada guru yang telah amat berjasa, sedangkan saya bukanlah siapa-siapa, bukan pula hakim yang berhak memutuskan perkara salah benar. 

Okelah... 

Untuk membalas pesan itu saya mengambil nafas perlahan-lahan dan menanyakan padanya: apa kesukaan atau hobi tiap harinya. Dengan melihat kecendruan mereka dapat saya tarik jawaban sederhana: “Bacalah buku yang menurut kamu menarik. Bacalah buku komedi kalau kamu suka ngelawak. Itu sajalah cukup.” 

Beberapa kawanan manusia itu membalas pesan dengan nada ringkas, “Terima kasih”, seraya tidak melanjutkan topik pesan, dan di antara manusia lainnya melanjutkan, “Maksudnya sekiranya aku seperti manusia lain agar gembira membaca buku apapun.” Pada pesan berikutnya saya cari celah jawaban lain yang lebih simple. “Baiklah … bacalah pengalaman hidupmu!”

Kesimpulannya bahwa pada dasarnya mereka tidak tahu apa yang menjadi selera bacaannya sehingga mereka memilih bahan bacaan yang mungkin tidak mereka gemari—tidak mereka sukai. Yang akan terjadi adalah ketidakpuasan pada apa yang telah dibacanya. Inilah masalahnya mereka sukar membaca dengan gembira. 

Untuk itu saya menjawab menurut selera mereka sehingga terjadi pergerakan rangsangan sekaligus membuka pintu masuk membaca buku lain—dengan bekal gemar membaca buku ringan terlebih dulu, semisal buku komedi.

Kita paham bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki alasan kuat menempatkan dirinya untuk membaca sebuah buku—membaca dunia yang kompleks. Saya memutuskan diri gemar membaca novel tidak lain tidak bukan karena saya menyukai dunia rekaan. 

Dunia rekaan membantu saya dalam melihat dunia nyata. Dunia rekaan mengantarkan saya pada dunia lain yang mungkin tidak ada—dan mungkin pula ada—di dunia nyata. Dan membaca dunia rekaan seperti bertemu pada dunia lain. Dan hal itu membuat saya tertarik bahkan membuat saya gila untuk terus membacanya, dan saya dapat menarik sebuah pelajaran penting di dalamnya— dalam dunia rekaan. 

Misalnya, dunia rekaan dalam novel, Lelaka Tua dan Laut, Ernest Hemingway membuat pembaca terus membacanya. “Ia merenungkan betapa sebagian orang ketakutan berada di tengah laut tanpa hadirnya garis daratan sejauh pandangan mata dalam sebuah perahu kecil dan mengetahui sedang berada pada bulan-bulan dengan cuaca buruk yang bisa terjadi sewaktu-waktu (hlm 57). Kita mengambil pelajaran dengan jelas—dengan kalimat padat nan singkat memikat ini.

Pada dasarnya kita tidak berhak menuntut orang lain dan meyakinkannya untuk memandang dunia dengan cara kita. Yang mungkin dapat kita lakukan hari ini adalah dengan menuntun mereka melihat dunia kecendrungannnya, apa yang mereka gemari. 

Setiap dari kita memiliki selera dan kecendrungan bacaan yang perlu dicari formulasinya. Yang dapat kita lakukan hari ini adalah dengan memulai mencari dan membentuk kebiasaan membaca sebagai karakter manusia pembelajar tanpa harus menyamakan selera bacaan kita dengan orang lain.

Pada akhirnnya membaca dengan gembira adalah sebuah kebutuhan nutrisi otak manusia untuk melihat berbagai sudut pandang dunia dengan cara kita masing-masing. Tanpa membaca kecendrungan selera bacaan, sepertinya kita kehilangan cara pandang sehat menilai dan menjawab sebuah permasalahan hidup.

Sebagaimana sarannya, membaca buku komedi akan memberikan jawaban persoalan hidup kita dengan banyak tertawa dan riang gembira. (ha.ha.ha). 
____
Dimuat Kapito.id 20 September 2021
Minggu, 19 September 2021 0 Komentar

Alegori Kangen



Jika kita terlampau lama jauh dengan seseorang maka hasrat kangen biasanya akan muncul, dengan sendirinya, pada detik waktu. Kangen secara tak sadar—maupun di sadari—akan tetap dan akan selalu menghasrati pertemuan. 

Saya rasa setiap manusia yang hidup di dunia ini menghasrati “pertemuan”, jika di antara manusia itu terlampau lama jauh tak berjumpa. Kata pertemuan sendiri, adalah kata lain  “kembali”, kembali “berjumpa”, saya dan kamu. 

Baiklah, kalau begitu, lalu mari kita lanjutkan—kohesif kata kangen—dengan konteks yang sama pada kata kunci: jarak. 

Saya kadang berpikir dari mana datangya kangen kalau bukan dari jarak yang menyirat. Dan pada saat yang sama, saya mempertanyakan jarak yang menyiratkan kita: Adakah jarak antara saya dan kamu? Saya rasa jarak antara saya dan kamu itu, “tidak ada.” Ingat! “tidak ada”. 

Kalau benar antara saya dan kamu itu ketiadaannya menyiratkan jarak, lalu di mana letaknya “jarak”, antara saya dan kamu, kalau saya dan kamu saling merindu, kalau saya dan kamu, selalu ingin bertemu, selalu ingin berjumpa?

Tetapi bukankah pertemuan-perjumpaan antara saya dan kamu akan menyisihkan perpisahan? Lalu, setelah perpisahan itu akan terbentang kembali yang namanya jarak. Kemudian jarak melahirkan kembali kangen dan hasrat ingin bertemu terus menerus candu, lalu begitu seterusnya, dan seterusnya.

Oke, baiklah. Para konteks diluar ruang dan waktu, antara saya dan kamu, jauh maupun dekat, sepertinya kita melebur jadi satu, satu jiwa, yaitu kita. Boleh jadi, kata Alm. Sapardi Djoko Damono, “jarak boleh jadi tidak boleh diukur”.

Saya rasa teori “perpisahan” itu keberadaannya memang benar “tidak ada”. Kata perpisahan disematkan untuk “menunda” pertemuan, bukan menyiratkan jarak antara saya dan kamu. Itu lebih tepatnya. Dan saya tidak percaya hal itu, teori perpisahan, bahwa kita akan berpisah. 

Saya tidak percaya bahwa kita akan berpisah. Sebab kerajaan kita bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Bukankah begitu kalam Tuhan dalam Firman-Nya?

Dengan kata lain, saya, menulis catatan ini, dalam rangka kangen. Begitulah kiranya kata-kata paling pas untuk diucapkan secara terang, pada catatan ini. Singkat kata, pertemuan saya dan kamu, yang lampau, hari ini, maupun yang esok, adalah silsilah perjumpaan kita menuju surga.

Eh, tahu nggak, kepada siapa saya kangen—tidak perlu tanda (?)—kalau bukan kepada seseorang itu? Ya … pada seseorang itu, loh. 
Rabu, 15 September 2021 0 Komentar

Fiksi

Fiksi tidak bicara tentang cinta, rindu, kangen, sedih, atau bahagia. Fiksi bertutur, dalam sebuah teks, tentang bagaimana orang-orang tersengat penyakit cinta, kangen, sedih, bahagia, rindu, dan sebagainya. Dan fiksi hidup. 

Dengan cara demikian, cerita-cerita fiksi tak mungkin terkesan klise. Bisakah kita bercerita cinta tanpa harus menggunakan kata cinta? Sangat bisa. Bisakah kita curhat soal rindu tanpa menggunakan kata rindu? Sangat bisa.

Bagaimana cara? Caranya: belajarlah membuat detail kehidupan. 
Kamis, 09 September 2021 0 Komentar

Wakaf, Peran Milenial, dan Blockchain

Opini ini sebenarnya satu tahun lalu, namun saya lupa tidak melanjutkan tulisan ini. Syukur saya ingat kembali sewaktu ada kesempatan membuka laptop. Ternyata rancangan yang pernah saya tulis satu tahun lalu masih relevan dengan semarak wakaf hari ini. Sila baca di sini
 
;