tentang seorang kakek nenek
saban hari perut tak terisi nasi
Ia berobat tabah, menghadapi wabah
Si kaya pura-pura
tak sadar akan murka,
dunia seolah milik mereka
Di kota ini,
ada seorang politikus
yang lebih rakus daripada tikus
uang kertas jadi identitas
Seperti kapas, bicaranya melayang-layang
sok sok'an bicara keadilan
Adakah di Kota Anda
manusia semacam mereka?
Di kota ini,
virus menjadi-jadi
politisi sibuk makan sendiri
bicara beras, hak rakyat dirampas
Di kota ini,
kami butuh sesuap nasehat
bukan penjahat, bukan pula pesulap
yang selalu mencuri uang rakyat
Di kota ini,
Adakah keadilan
yang dinanti-nanti?
Adakah secangkir kopi
untuk pagi hari nanti?
Persepsi beberapa orang menganggap aku seorang intelektual: Dengan aku gila melahap kertas kertas semesta (buku), menulis menghasilkan banyak karya, berdiskusi penuh retorika adidaya. Aku seorang intelektual, kata mereka.
Tetapi pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Memajang buku-buku di ruangan hanya untuk pameran, bukan untuk bacaan, bukan pula kepekaan menyelesaikan problem kebodohan.
Buku-buku itu hanyalah pemenuhan hiasan rumah semata; tidaklah peka menyalurkan kepada orang-orang yang pula membutuhkannya. Buku-buku itu tidaklah lebih sekadar kertas kertas biasa. Untuk menunjukkan inilah Aku Manusia Paling Berkualitas, setumpuk buku pemenuhan kesombongan semata.
Pada kenyataannya aku bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Menulis suatu hal "untuk menarik orang" mengakui bahwa Aku Yang Paling Aku, Yang Paling Intelektual. Menulis suatu hal untuk memancing orang untuk menjadi aku. Dan orang-orang akan terperangkap dalam nafsu; sehingga aku dapat memenuhi hasrat nafsu birahiku dan mengajaknya untuk bercumbu.
Kata "bercumbu" ini begini, maksudnya: Aku mampu menulis kata-kata memikat dan menghasilkan kalimat-kalimat menjerat pembaca. Dengan kelihaian aku menciptakan sebuah kata-kata dapat mengajak pembaca menjadi aku. Menjadi bagian kebutuhan seksual-ku, dengan cara halus mengajaknya untuk berkolaborasi. Pada titik demikian, perempuan maupun laki-laki, telah aku taklukkan; dan dengan mudahnya aku meminta sesuatu darinya.
Tetapi pada kenyataannya aku memang bukanlah seorang intelektual. Aku, lebih tepatnya, adalah seorang gila intelektual: Yang kalau berbicara atau beretorika seolah-olah telah banyak membaca padahal cuti membaca kata-kata. Beretorika seolah-olah bernutrisi padahal hanya untuk memenuhi kebutuhan eksistensi. Bukankah sibuk berambisi dengan eksistensi bukanlah ciri manusia sejati?
Pada kenyataannya aku hanyalah seorang yang berambisi dengan eksistensi sehingga lupa diri. Bahwa aku pada ketidaksadarannya sibuk memenuhi kepentingan diri. Kepentingan mencari popularitas sehingga lupa mana yang berkapasitas dan mana pula yang berkualitas. Hingga lupa pula menjadi manusia. Menjadi manusia yang seharusnya menjadi manusia. Kini sebut saja aku manusia biasa, tidak lebih daripadanya.