Kebiasaan
berkontemplasi di sudut ruang sunyi menyadarkan saya satu hal: Sebagai manusia biasa saya mempunyai kekurangan, kekurangan yang saya miliki ialah lemahnya kinerja otak. Lebih jelasnya akan saya
ceritakan mulai d(ar)i titik mana kebiasaan menyendiri atau berkontemplasi
itu bermula.
Sebermula kebiasaan
berkontemplasi itu saya rasakan semenjak masih bocah. Kira-kira ketika saya
belajar pada ibu, tentang pelajaran sekolah.
Ketika itu ibu menemani saya
belajar tentang pelajaran sekolah yang bagi saya sulit. Ibu, dengan
keterbatasan pengetahuan cara mendidik anak belajar yang baik, tidak sabar
mendidik saya dan memaksanya dengan cepat menangkap
pelajaran; sedangkan saya, bocah yang lemah kinerja otaknya, tak mampu menangkap
pelajaran dengan baik.
Karena ketidaksabaran ibu dalam mendidik,
keterbatasan pengetahuan mendidik anak belajar, akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata—yang sengaja tidak saya tulis—tidak elok dan saya
menjawab, dengan raut muka polos, berdasarkan pengakuan Ibu ketika saya sudah
remaja: “Biar kelak, dengan sendirinya, saya bisa belajar dengan baik, Buk, tanpa harus ibu memaksa saya untuk bisa hari ini. Saya bisa belajar sendiri.”
Semenjak itu ibu tidak pernah
lagi menemani saya belajar membaca, mengerjakan tugas sekolah, menemani saya
menghafal surat-surat pendek alquran. Saya menangis keras keras dalam hati di
ruang pojok rumah dan tidak mau bertemu orang sekitar, murung
berhari-hari, tidak mau belajar pada siapapun, dan hampir saya trauma
belajar karena merasa, pada saat itu, belajar bagi saya membosankan, tidak
menyenangkan, bikin saya menangis, tidak membuat saya bahagia.
Saya kehilangan
semangat belajar. Itulah pikiran seorang bocah yang
masih kelas 6 sekolah dasar, yang tidak tahu membaca, mengaji alquran, berhitung,
tidak tahu pentingnya belajar. Tidak sedikit kawan sebaya mengejek saya karena
tidak bisa apa yang mereka bisa. Seolah pencapaian yang mereka miliki, akan bertahan seiring berjalannya waktu tanpa usaha
merawatnya dengan baik, dengan tidak menjadi manusia sombong.
Saya murung berhari-hari
dan kecamuk tanya pada diri sendiri tak habis henti: Mengapa saya tidak bisa
seperti apa yang mereka bisa?
Saya berusaha keras bagaimana agar mencapai apa yang mereka bisa: membaca buku, membaca alqur'an dengan baik, berbicara tanpa malu di depan kelas, bersosial sebagaimana layaknya manusia, dan hal apapun berkaitan dengan kekurangan saya, terkhusus lemahnya menangkap pelajaran.
Dan saya bersyukur segara sadar apa kekurangan yang saya miliki, tanpa malu saya akui bahwa saya memiliki kekurangan pada bagian kinerja otak. Bahwa tidak semua di antara manusia harus bisa pada waktu yang bersamaan, termasuk dalam hal pencapaian prestasi. Hanya soal waktu siapa yang paling berhak menentukan kompetisi, eh. Tetapi saya tidak suka berkompetisi, saya tidak suka kejuaraan semu. Sebab saya meyakini tiap manusia mempunyai prestasi. Tinggal bagaimana ia menggali potensi yang ada pada dirinya.
Saya berkeyakinan, pada saat itu maupun saat ini, bahwa saya memiliki potensi yang mungkin tidak dimiliki orang lain, dalam hal ini semangat belajar memperbaiki keadaan diri penuh kekurangan. Maka untuk mencapai hal itu lebih baik fokuslah pada apa yang mesti saya perbaiki dan berusaha keras tanpa lupa berdoa. Tanpa kesadaran itu, mungkin saya menjadi manusia sampah, menjadi manusia haus pujian semata, manusia yang berambisi dengan eksistensi hingga lupa diri.
Bukankah manusia akan lelah berambisi dengan eksistensi?
Dewasa ini saya memetik pelajaran penting, yang pernah menjadi korban bullying, yang menjadi korban salah didik-mendidik, bahwa pencapaian
seseorang tidak bisa kita ukur berdasarkan zaman di mana mereka sedang
berproses belajar. Sebab manusia diciptakan memang untuk belajar. Pencapaian itu bisa kita ukur seberapa kebermanfaatannya kontribusi kita untuk orang
lain. Itulah, bagi saya, prestasi yang paling berarti hidup di dunia ini.
Sekali lagi ... tanpa kesadaran itu--perihal ketidaksempurnaan dan pencapaian--kita akan sibuk mencari popularitas diri tanpa menyadari satu sebutan berarti: Kualitas. Definisi "kualitas" yang saya maksud, adalah menjadi manusia luhur, menjadi manusia yang tidak gampang menyepelekan liyan.
Kini ibu lebih bijak dalam mengatur pendidikan anaknya. Ia lebih mawar diri tanpa mengikuti egoisasi diri. Tentu kesadaran demikian mengantarkan kita menjadi manusia berprestasi, meski tanpa menjunjung tinggi medali emas.