Sabtu, 31 Juli 2021 0 Komentar

Pada Sunyi

Pada sunyi aku lantang 
menerjang karang, 
menerjang ombak, 
menerjang arus, 
Pada-Mu Maha Kudus

Di kesunyian, 
aku menari-nari 
pada malam menjerat
pada hati yang pekat
Pada-Mu Maha Dahsyat

Di kesunyian, 
aku menerpa seorang diri
buih-buih sesal kian gentar
atas dosa-dosa kian menjalar

Sekuntum doa
melangit-langit dan harap
'ku pada sunyi menjadi saksi
atas pertaubatan ini, ini puisi menjadi saksi, 
kepada Yang Maha Suci
Selasa, 27 Juli 2021 0 Komentar

Kontemplasi, Bullying dan Prestasi

Kebiasaan berkontemplasi di sudut ruang sunyi menyadarkan saya satu hal: Sebagai manusia biasa saya mempunyai kekurangan, kekurangan yang saya miliki ialah lemahnya kinerja otak. Lebih jelasnya akan saya ceritakan mulai d(ar)i titik mana kebiasaan menyendiri atau berkontemplasi itu bermula. 

Sebermula kebiasaan berkontemplasi itu saya rasakan semenjak masih bocah. Kira-kira ketika saya belajar pada ibu, tentang pelajaran sekolah.

Ketika itu ibu menemani saya belajar tentang pelajaran sekolah yang bagi saya sulit. Ibu, dengan keterbatasan pengetahuan cara mendidik anak belajar yang baik, tidak sabar mendidik saya dan memaksanya dengan cepat menangkap pelajaran; sedangkan saya, bocah yang lemah kinerja otaknya, tak mampu menangkap pelajaran dengan baik. 

Karena ketidaksabaran ibu dalam mendidik, keterbatasan pengetahuan mendidik anak belajar, akhirnya ibu mengeluarkan kata-kata—yang sengaja tidak saya tulis—tidak elok dan saya menjawab, dengan raut muka polos, berdasarkan pengakuan Ibu ketika saya sudah remaja: “Biar kelak, dengan sendirinya, saya bisa belajar dengan baik, Buk, tanpa harus ibu memaksa saya untuk bisa hari ini. Saya bisa belajar sendiri.”

Semenjak itu ibu tidak pernah lagi menemani saya belajar membaca, mengerjakan tugas sekolah, menemani saya menghafal surat-surat pendek alquran. Saya menangis keras keras dalam hati di ruang pojok rumah dan tidak mau bertemu orang sekitar, murung berhari-hari, tidak mau belajar pada siapapun, dan hampir saya trauma belajar karena merasa, pada saat itu, belajar bagi saya membosankan, tidak menyenangkan, bikin saya menangis, tidak membuat saya bahagia. 

Saya kehilangan semangat belajar. Itulah pikiran seorang bocah yang masih kelas 6 sekolah dasar, yang tidak tahu membaca, mengaji alquran, berhitung, tidak tahu pentingnya belajar. 
Tidak sedikit kawan sebaya mengejek saya karena tidak bisa apa yang mereka bisa. Seolah pencapaian yang mereka miliki, akan bertahan seiring berjalannya waktu tanpa usaha merawatnya dengan baik, dengan tidak menjadi manusia sombong.

Saya murung berhari-hari dan kecamuk tanya pada diri sendiri tak habis henti: Mengapa saya tidak bisa seperti apa yang mereka bisa?

Saya berusaha keras bagaimana agar mencapai apa yang mereka bisa: membaca buku, membaca alqur'an dengan baik, berbicara tanpa malu di depan kelas, bersosial sebagaimana layaknya manusia, dan hal apapun berkaitan dengan kekurangan saya, terkhusus lemahnya menangkap pelajaran.
 
Dan saya bersyukur segara sadar apa kekurangan yang saya miliki, tanpa malu saya akui bahwa saya memiliki kekurangan pada bagian kinerja otak. Bahwa tidak semua di antara manusia harus bisa pada waktu yang bersamaan, termasuk dalam hal pencapaian prestasi. Hanya soal waktu siapa yang paling berhak menentukan kompetisi, eh. Tetapi saya tidak suka berkompetisi, saya tidak suka kejuaraan semu. Sebab saya meyakini tiap manusia mempunyai prestasi. Tinggal bagaimana ia menggali potensi yang ada pada dirinya. 

Saya berkeyakinan, pada saat itu maupun saat ini, bahwa saya memiliki potensi yang mungkin tidak dimiliki orang lain, dalam hal ini semangat belajar memperbaiki keadaan diri penuh kekurangan. Maka untuk mencapai hal itu lebih baik fokuslah pada apa yang mesti saya perbaiki dan berusaha keras tanpa lupa berdoa. Tanpa kesadaran itu, mungkin saya menjadi manusia sampah, menjadi manusia haus pujian semata, manusia yang berambisi dengan eksistensi hingga lupa diri.

Bukankah manusia akan lelah berambisi dengan eksistensi?

Dewasa ini saya memetik pelajaran penting, yang pernah menjadi korban bullying, yang menjadi korban salah didik-mendidik, bahwa pencapaian seseorang tidak bisa kita ukur berdasarkan zaman di mana mereka sedang berproses belajar. Sebab manusia diciptakan memang untuk belajar. Pencapaian itu bisa kita ukur seberapa kebermanfaatannya kontribusi kita untuk orang lain. Itulah, bagi saya, prestasi yang paling berarti hidup di dunia ini.

Sekali lagi ... tanpa kesadaran itu--perihal ketidaksempurnaan dan pencapaian--kita akan sibuk mencari popularitas diri tanpa menyadari satu sebutan berarti: Kualitas. Definisi "kualitas" yang saya maksud, adalah menjadi manusia luhur, menjadi manusia yang tidak gampang menyepelekan liyan. 

Kini ibu lebih bijak dalam mengatur pendidikan anaknya. Ia lebih mawar diri tanpa mengikuti egoisasi diri. Tentu kesadaran demikian mengantarkan kita menjadi manusia berprestasi, meski tanpa menjunjung tinggi medali emas. 
Minggu, 25 Juli 2021 0 Komentar

Memoar Ingatan

Ada sepasang kekasih duduk berdua di tepi danau, yang satu duduk agak ke kanan, yang satu duduk agak ke kiriKeduanya diam membisu meski semilir angin mempersilahkan untuk menyatakan sesuatu tetapi keduanya malu-malu. Kau saja dulu, katanya. 

Empat puluh lima menit berlalu reranting pohon bersiul-siul seperti semacam intruksi, dedaun gugur ditimpa angin melambai-lambai menari-nari. Lihat itu daun, kata si perempuan. Bertanda apakah ia jatuh?

Ia tak menjawab. Sekadar senyum memalingkan pandangan ke arah kiri dan kembali memandang ke arah kanan. Di danau itu mereka saling melempar satu dua tiga batu hingga genangan air beria-ria ke atas ke samping ... ke kiri ke kanan, seperti kembang air mancur pada kedua jiwa yang mujur. Kau kalah, kata si perempuan. 

Hujan mulai mengguyur danau. Kita berteduh di bukit itu, sambutnya. Dengan payung daun pisang berdua; tak ada orang sekitar melihatnya, hanya seekor burung berteduh di pucuk ranting;
dunia seperti milik mereka berduabibir bersilat satu kali dua, memadu kasih dalam senja. 

Apa yang lebih indah dari senja, ia bertanya. Yang lebih indah dari senja adalah ketika engkau dan aku berpisah sementara waktu dan kita saling merinduTetapi akankah kita menerima itu? Tidak, bukanTetapi pada akhirnya kita akan berpisah sementara waktu, pada akhirnya kita kembali bertemu, pada suatu hari nanti semesta akan menjadi saksi atas kisah kita ini, di danau janjiKita paham, bukan, bahwa yang paling indah dalam hidup ini adalah kenangan, karena ia adalah ingatan. 
 
;