Berikut lanjutan cerita pinggirnya. Untuk membaca awal cerita, bisa kalian baca, klik
disini
***
Berlanjut ceritadi Lampung. Selesai menghafal Al-Qur’an, saya empat bulan kemudian pergi ke Lampung. Sebelumnya, saya kembali ke pesantren awal, tepatnya, di Kecamatan Puger, desa Kasiyan Ponpes Bustanul Ulum 03 Sultan Agung. Masa khitmah di Lampung di ponpes juga – saya tidak ingin menyebutkan identitas institusinya – agar tidak menodai nama baik pesantren itu – karena tempat itu kami banyak meratap kesedihan, sakit hati, kecewa dipermainkan oleh keluarga dhalem meskipun tidak secara langsung – mereka telah ingkar janji pada keluarga besar.
Ketika pihak keluarga pesantren (keluarga dhalem) mengajak saya ke Lampung – memang manis sekali ajakannya, imingannya, akan mengkuliahkan saya sembari mengajar, segala keperluan saya akan disediakan termasuk makan dan lain-lain. Tapi tawaran itu hanyalah sepoi-sepoi janji busuk yang pernah keluar dari mulut yang katanya – tokoh masyarakat. Saya kali pertama tau bahwa di dekat pesantren itu jauh dari kampus yang saya cari dulu sebelum berangkat. Kalau mau kuliah di bidang keAgamaan kata sepupu yang di sebut Gus disana – harus ke Bandar Lampung – yang jaraknya cukup jauh – sekitar tiga jam baru sampai kalau tidak macet. Okey lah, saya tidak begitu mood lagi kuliah disana – melihat kualitas Pendidikan jauh dibandingkan dari pada di Jawa, yang terpenting sekarang bagaimana menghidupkan semangat anak didik saya mencintai Al-Qur’an.
Selang satu Bulan, mulailah masalah menimpa, sehari rasanya setahun, seminggu terasa setahun, sebulan seperti satu Abad.
Masalah sepela, dibesar-besarkan. Pernah suatu ketika teman saya Tono (nama samaran) telat sholat shubuh, tetapi dia dan kawannya yang lain Margono (nama samaran) masih sholat shubuh dan berjamaah pula. Si buk Nya’I yang terkenal galak itu – menghujat habis-habisan padanya (Tono, Margona dan sekawan lainnya) gara-gara tidak sholat shubuh berjamaah . Saya kira ini maklum, karena mereka seharian ngajar dan bekerja – meskipun tidak seberapa, mereka turut andil dalam pikirannya – yang masih butuh asupan nasehat manis dari dhalem untuk meningkatkan imannya. Masih beruntung mereka dapat hidayah bisa sholat sembari sujud mencium tanah. Saya tidak mau menceritakan bagaimana kalau putra nya’I itu sendiri jarang ibadah, sholat. Itu urusan mereka, saya dan kawan seperjuangan kadang sempat menasehati secara tak langsung maupun langsung. Tapi sayang, penolakan yang angkuh terjadi pada diri mereka sendiri. “Sok ngatur orang lain,” katanya.
Beranjak tiga bulan kemudian, saya meniatkan diri untuk pulang ke Jawa. Sebab, masalah disini tidak cukup diselesaikan dengan cara halus lagi, tiap kali ada masalah pasti berujung hujatan yang tak mengenakkan perasaan hati, sampai-sampai saya pernah dalam masa setelah percekcokan masalah kawan ini – saya ditegur sapa selama beberapa bulan sampai saya menjelang mau pulang. Dan paling miris kehidupan disana – saat saya yang punya bagian mengajar habis maghrib biasanya mengajar santri-santri putri yang masih kecil seumuran SD kelas lima empat dan SMP juga ada sampai SMA – mereka biasanya mengaji ke saya, tiba-tiba serontak pindah langsung ke ibu Nya’i yang biasanya tidak mengajar kemudian ngajar mendadak, otomatis santri yang biasa saya bimbing mengaji pindah keseluruhannya atas perintah buk Nya’i itu – dan saya masih ingat, ada satu santri yang tetap mengaji pada saya nama Nazila – sampai sekarang saya ingat nama itu dan nama santri yang lain sudah saya lupa kecuali nama dia.
Tidak terasa, saya sehabis mengajar biasanya langsung sholat Isya’ berjamaah. Namun kali ini saya masih menunggu santri-santri yang hendak mengaji pada saya. Tapi itu memang ada intruksi sepertinya dari ibu Nya’i bahwa saya tidak diperkenankan lagi mengajar. Mengapa saya berasumsi demikian, karena biasanya, setiap ustad punya bagian mengajar tersendiri, cuman saya waktu itu seakan-akan bukan lagi tenaga pengajar disana. Bayangkan, sekitar dua tiga minggu saya merasa tidak enak melihat keadaan yang menyimpan kebencian pada saya ini – sehingga saya tiap habis maghrib tidak lagi mengajar santri-santri yang lain kecuali satu itu, Nazila.
Saat-saat dimana saya sedih yang tak dapat saya jamah secara jernih pikiran ketika hendak pulang. “saya hendak pamit pulang, Abah.” Shubuh itu saya pamit setelah tiga bulan disana. “loh, kok buru-buru gitu cong. Memang sudah beli tiket pesawat?
“Sudah Bah. Insyallah nanti jam dua berangkat menuju Bandara Lampung. Penerbangannya jam sebelas malam nanti.”
“Iya, sudah kalau itu memang keputusanmu cong.” Sebenarnya Abah sendiri, saya melihat begitu berat melepaskan saya karena beliau begitu baik pada saya – bahkan setiap kali ada acara undangan mesti saya dihaturkan untuk memimpin bacaan Qur’an sekaligus hafalan saya. Pun juga bila ada acara besar setiap bulan manakib – beliau menghaturkan saya menjadi Imam Sholat – sesekali beliau memperkenalkan diri saya pada jamaah yang hadir sebagai putra saudara dari ibu mertuanya – yang katanya hafal Al-Qur’an. Tentu saya malu karena saya tidak layak disebut penghafal Al-Qur’an mengingat hafalan saya banyak yang terlupakan.
***
Langit pagi cerah tak berawan menyinari sekitar pesantren. Saya membereskan segala macam barang yang hendak saya bawa pulang. Buk Nya’i pagi jam tujuh masih terlihat tidur pulas juga Abah. Saya tadi malamnya sudah pamitan pada orang-orang terdekat termasuk para ustad dan mbk saya dan suaminya yang kali pertama berangkat bareng menuju Lampung. Siang itu tiba dengan wajah langit yang menggigit bumi.
“Abah, saya mau pamit pulang” di ruangan yang cukup sepi saya pamit.
“Ya, hati-hati dijalan cong. Naik apa nanti ke Bandar Lampung?
“Naik bus langsung Bah.” Juga pada buk Nya’I saya pamit dan paling tidak habis pikir kala itu – tidak ada rasa prihatin pada saudaranya sendiri yang hendak pulang. Tanggapnya yang begitu judes dan yang paling aneh melarang Abah untuk mengantarkan saya ke Bandar Lampung. Entah kebencian apa yang dia tanam pada saya. Sejelek perilaku saya disana saya pernah berkontribusi dalam hal kebaikan selama tiga bulan, tidak satupun kalimat ucapan terimakasih disampaikan – meskipun saya tak mengharapakan, setidaknya mereka turut membantu mengantarkan ke tempat depan rumah.
Saya melihat dari dalam mobil Abah melihat saya dari kejauhan sana – yang dilapisi cermin jendela kala itu – tampak sekali ketidakrelaan melepaskan saya – karena memang beliau sempat berujar akan memberi keluasan pada saya untuk memperjuangkan pesantrennya dimasa yang akan datang. “Kelak, pesantren ini kamu yang memimpin, cong. Mengingat Putra saya bukan lulusan pesantren, setidaknya kamu nanti bantu pengajaran pada santri-santri disini.” Pintanya saat-saat kali pertama saya datang.
Dalam perjalanan itu saya tiba-tiba meneteskan air mata secara diam-diam, sungguh berat rasanya, meninggalkan anak didik yang selama ini saya asuh banyak yang senang terhadap pengajaran yang saya berikan. Kelak saya bermohaon agar dipertemukan lagi dengan anak didik yang pernah saya ajari. Semoga.
***
Enam jam perjalanan menuju Bandar Lampung kini telah tiba. Saatnya saya masuk ruang tunggu pemberangkatan. Saya dan mbak beserta suami, turut mengantarkan.
“hati-hati diperjalanan cong. Jangan cemas lagi setelah naik pesawat. Banyak baca amalan yang kau pelajari dipesantren” tutur ucap mbk saya.
“Sudah, ini menjadi pengalaman besar bagi kamu kedepan cong” tutur suami mbk. Saya pamit dari landing pemberangkatan dan saya tutup Salam….
Menunggu pesawat Lion Air tiba – saya terus banyak membaca halafan yang saya punya. Terus saya ulang sampai tibalah waktunya saya menuju kedalam pesawat. Saya teringat orang tua di rumah. Bagaimana kalau nanti dalam perjalanan tiba-tiba ada masalah memimpa. Saya kawatir tidak lagi sampai tujuan. Ada yang bergejolak dalam iman saya waktu itu.
Sebelum berangkat menuju penerbangan saya menghubungi kawan saya semasa dipesantren lalu. Tapi saying, dia tidak merespon waktu itu, sebelumnya sudah saya janjian padanya mau berangkat jam sebelas malam – akan tiba di Surabaya setenagah satu. Dalam pesawat itu saya membaca Surat Al-mulk dan bacaan lain – sambil melihat wajah bumi dari ketinggian sana. Indah sekali. Pada ketinggian yang standar penerbangan, seorang pilot mengumandankan aturan penerbangan – petugas pramugari memberi intruksi pemasangan sabuk pengaman. Samping sebelah saya ada pemuda yang sholat insya dengan bertayammum – dan sebelannya lagi pemuda bercelana pendek, saya berada didekat jendela kaca pesawat. Mulailah lampu dimatikan menunjukkan penerbangan sudah berada diketinggian.
Saya mencoba melihat bumi dari ketinggian tak lagi nampak apa-apa kecualia awan hitam pekat mengitari. Sudah beberapa menit memaksa tidur.
Pesawat telah hampir tiba di bandara Juada Surabaya. Seorang pilot memberi intruksi untuk tetap tenang – tubuh pesawat menggoyangkan badannya yang seksi itu menakutkan penumpang. Saya begitu menikmati saat-saat dimana telah tiba dari perjalanan yang cukup jauh itu – kini telah sampai di pulau Jawa tempat dimana saya dilahirkan. Sesekali saya melihat pemandangan Bandara sejenak sembari bersua foto. Sendirian tidak dengan pacar, apalagi Istri. Klik…Selfie.
Saya bergegas menuju pengambilan barang diruang bagasi pesawat. “Mau kemana, Mas.” Tanya petugas. “Mau ambil barang bawaan, Pak”
“Loh, nanti saja, Mas. Silahkan ikut bus itu. Nanti ada petugas yang mengarahkan sampean,”
“Baik, Pak.”
Saya lupa, kalau barangnya nanti bisa dimbil setelah berada ditempatnya sendiri.
Setealah beberapa menit kemudian, saya menghubungi kawan saya yang ada di Surabaya. Dia Mahasiswa UINSA. Tapi sayang, sepertinya dia ketiduran. Mulailah saya kebingung harus kemana. Masjid serentak saya ingat didekat Bandara ada masjid untuk bermukim. Oke, saya memutuskan untuk sementara di Masjid yang sebelumnya memesan Grab mobil untuk pergi ketempat teman say aitu.
Suasana di Masjid begitu ramai oleh banyak pendatang dari berbagai tempat. Seorang ibu dan beserta keluarganya bertanya dengan memakai Bahasa Indonesia yang logat madura. Saya menerka pasti Bahasa keseharian orang yang bertanya ini Madura. “dari mana, Nak” tanya-nya padaku. “Dari Lampung, Buk.”
“kerja, kuliah apa gimana, Nak”
Serontak saya menjawab dengan Bahasa Madura. “dari rumah saudara, buk. Kerja.”
“sendirian, kamu dari Lampung Nak. Kok berani sekali kamu, Nak. Apa tidak ada keluarga lain yang mengantarkanmu dari Lampung ke Surabaya ini.”
“tidak ada, Buk. Sudah biasa dulu sebelum keLampung pernah tinggal setahun di Semarang. jadi, ini kedua kalinya saya merantau jauh Buk.”
Sebelum itu ibu separah baya ini banyak menanyakan asal saya dari mana, saya yang bilang dari Jember – juga beliau dan para rombongan lain turut memperhatikan saya – meraka dari Bondowoso dan Banyuwangi. Sesekali ibu tadi dan para rombongan lain menyodorkan gorengan. Saya yang mulai dari siang hanya memakan roti – yang paginya lupa tidak makan, tentu malam harinya melewati jam 12 malam perut terasa keroncongan – dengan niat menghormati saya cicipi itu gorengan beserta kopi. Dalam hati kecilku berkata, “semoga kelak kebaikan para Jemaah rombongan ini diberi kemudahan dalam hidupnya. Dan rezekinya di mudahkan”. Jujur, waktu itu saya dari Lampung hanya menyisihkan uang 50 ribu untuk jaga-jaga. Uang itu hanya cukup buat untuk transportasi bus menuju Bungur (terminal Surabaya) dan Jember. Jadi rezeki gorengan yang diberikan Jemaah itu bagi saya amat berarti. Perut yang lapar, tiba-tiba Tuhan datangkan orang baik menyapa saya di teras Masjid itu – hingga akhirnya saya pamit untuk tidur sejenak. Sampai Fajar tiba.
Seperti biasa, saya menyempatkan sholat sunnah meski hanya dua rakaat, dikeheningan malam itu – dipojok Masjid saya melanjutkan hafalan yang tadi malam sudah sampai Juz 28 tepatnya Surah At-taghobun. Sesampai ayat tentang Musibah, disitu Air Mata seketika Jatuh, ntah mengapa sepertiga malam itu saya sampai ayat itu – seakan-akan Tuhan ingin memberi pelajaran penting dalam hidup saya yang selanjutnya. Ayat yang saya baca kemudian berhenti sejenak untuk mengambil hikmah dari perjalanan kali ini, dalam hidup ada lika-liku yang harus saya tempuh. Saya mengerti, saya harus menerima dan mengikhlaskannya. Mari bangkit…. Mari bangkit mari bangkit…!! Dalam sujud saya bermohon. “Tunjukkan jalan yang terang ya Rabb. Hamba percaya dengan kuasamu ya Rabb. bahwa dibalik musibah ini engkau akan memberi pelajaran penting pada hamba, bahwa hamba lemah tak berdaya bersujud padamu ini terasa amat nikmat manakala ujian yang kau beriakan ini kau bimbing kami seperti orang-orang Sholeh selalu bersyukur padamu ya Rabb. Hamba percaya padamu ya Rabb. Mohon ya Rabb., beri kami keikhlasan menerima musibah ini, dan berikan kesejukan pada hati kedua orang tua kami yang saat ini mengalami kekecewaan besar pada saudaranya ya Rabb. Bimbing hati mereka ya Rabb – untuk mengikhlaskan musibah ini. Bimbing mereka ya Rabb. seperti dulu mereka membimbing saya mengenalmu, mengenal kebesaranmu. Ya Rabb, sebagaimana perintahmu apabila seorang hamba menangis memohon petunjuk kebaikan, dalam Firmanmu engkau berjanji akan mengabulkan segala doa-doanya maka engkau pasti mengabulkannya. Terimalah ya robb doa hamba ini. Bukankah kau pernah berfirman tidak akan menyianyiakan doa hambanya yang terdholimi, ya Robb, hamba ingat, bahwa hamba pernah berbuat dosa padamu dan dosa kedua orang tua hamba yang bergelimang. Ya Robb. Hamba lemah. Hamba malu meminta petunjuk padamu - hamba berlumuran dosa. Pada fajar ini hamba bermohon bersujud ampun padamu yang Maha perngasih lagi Maha Penyayang. Ampunilah dosa-dosa hamba dan dosa kedua orang tua hamba. Hamba bersaksi orang tua hamba yang telah menujukkan kebesaranmu ya Rabb. sehinngga hamba dapat menikmati sujud ini berdekatan denganmu Fajar ini. Ya Robb. Solawat serta salam untuk kekasihmu yang luhur kami persembahkan: Muhammad Rosulullah Saw. Ya Rabb hamba merindukan sesosok yang mulia itu. Pertemukanlah hamba dalam mimpi ya Rabb, hamba merindukannya. Hamba ingin mengatakan padanya, “Selain mengenalmu, adakah yang paling Indah kecuali menatap Wajahmu yang Agung”. Duhai pengusa langit dan bumi, langit doa telah hamba junjung. Hamba lemah. Hamba tak berdaya. Berikan hamba ketenangan. Amin amin.”
Aura shubuh yang cerah, dengan sedikit dingin menggigit, dipelataran masjid menunggu jawaban dari kawan. “Nanti langsung kebungur saja. Kita ketemuan disana” televon dari kawan menjemput.
Dari Bandara Juanda naik angkot ke Bungur. Uang mulai menipis, cukup sampai ke Jember. Makan saya tunda.
Tidak sampai satu Jam alhamdulillah telah sampai terminal. Masih menunggu jemputan kawan. “Sebentar. Aku isi bensin dulu.” Saya cukup lega. Berkat kawan yang satu ini perut tak lagi memintak haknya. Soto. Kalau tidak ada kawan yang satu ini mungkin pingsang ditengah jalan. Badan terasa lemas. Dalam obrolan dengannya saya banyak belajar pengalaman dia kuliah. Dia salah satu kawan yang banyak mengajarkan banyak hal. Pentingnya belajar mempersiapkan masa depan. “Belajar tidak harus digedung Fakultas.” Pesan yang sempat aku terima.
Cukup lama berbincang. Mengingat dia ada jam kuliah, saya pamit lanjut perjalanan: pulang.
***
Jam 07: lewat, menuju Jember. Cukup lama. Saya sulit tidur dalam perjalanan, dari pada pikiran kosong, mending muradjaah.
Langit siang yang cerah, menyambut kedatangan seorang diri dari perjalanan merantau. Seorang ibu yang menyambut dalam keadaan basah kuyup keringat, dengan raut wajah kusam kepanasan. Memeluk seketidaka “Alhamdulillah selamat kamu, Nak. Selamat… Kok sampai kurus seperti ini kamu, Nak.” Dengan nada tersedu-sedu menangis. Saya yang tahan melihat tangisan Ibu. Hanya berucap “Sudah. Yang penting selamat sampai tujuan.”
“Bagaimana Ibu tidak khawatir sama kamu, Nak. Wong tadi shubuh ada siaran berita ada pesawat jatuh.” Waktu kejadian pesawat Lion Air jatuh itulah yang membikin cerita kepulangan saya mengkhawatirkan.
Keluarga Lampung tidak sempat satupun menanyakan keselamatan saya dari perjalanan jauh itu, yang semestinya turut cemas atas kejadian pesawat yang jatuh. Membikin hati Ibu semakin teriris-iris. “Mbok yoo semestinya tanya kek, sudah sampai Le… malah dilepas begitu saja” Ibu masih tetap masih sedikit sakit hati lantaran saya dikatakan “Anak yang tidak mengikuti aturan pesantren!!!” saya cukup diam dan turut menghentikan guncangan hatinya “Sudah. Yang penting saya sampai tujuan. Yang penting baik-baik saja.”
Dengan halus menutup rasa sakit hati itu….sampai tertutup nanti….