Selasa, 11 Juni 2024 0 Komentar

Memoar Kuliah (2): Kesan Proses Belajar dan Orang-orang Baik

Prosesi wisuda itu mengingatkan saya akan satu hal tentang harapan kehidupan lebih baik di masa depan; betapa tidak, sembilan tahun yang lalu, saya adalah bagian calon mahasiswa yang terlunta-lunta dan paling kebal ditolak kampus berkali-kali dan pada akhirnya, setelah pertarungan berdarah-darah menuntut hak saya sebagai anak bangsa, kampus menerima saya sebagai mahasiswa. 

Pengalaman itu begitu menancap kuat dalam memori perjalanan saya memperjuangkan pendidikan; sebab, empat tahun yang lalu, saya pernah tidak percaya lagi akan hari yang baru suatu hari nanti dan sempat putus asa bahkan tidak percaya lagi pada rahmat Tuhan! (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (3): Penolakan Kampus). 

***

Pada Mei 2016, setelah tamat sekolah menengah, saya mengajukan niat baik kepada keluarga bahwa saya hendak belajar di kampus tetapi keluarga tidak menjawab. Hanya hening yang saya pahami dalam sorot kebijakannya. Hanya angan-angan dan andai-andai yang saya jalani kemudian hari. (Tentang cerita bagian ini selengkapnya baca: Memoar Kuliah (1): Jalan Terjal Menuntut Pendidikan). 

Saya mengerti biaya masuk kampus terlampau mahal bagi keluarga kami; tetapi saya pikir, masih ada jalan yang bisa saya tempuh: jalur beasiswa. Begitu saya katakan kepada keluarga. Tetapi keluarga tetap bergeming, terutama Ibu; dan tetap saya tidak diperbolehkan atau lebih tepatnya tidak diizinkan belajar di kampus.

Langkah yang bisa saya tempuh setelah keluarga tidak mengizinkan untuk belajar hal-hal baru ialah pindah pesantren, pikir saya waktu itu.

Pada akhir November 2017, setelah saya kembali mengajukan niat baik kepada keluarga, saya pindah pesantren. Meskipun pada awalnya keluarga sempat tidak mengizinkan tetapi saya coba meyakinkan bahwa saya merantau untuk belajar sebagai bekal kehidupan saya dan keluarga kelak lebih baik.

Pada akhirnya keluarga mengerti maksud baik saya dan membolehkan saya pindah pesantren di Banyumanik, Semarang.

Pada Februari 2018, setelah khatam menghafal, saya kembali berencana belajar di kampus. Di luar Jawa itulah tempat belajar tujuan saya. Tetapi, setelah sampai di sana, saya kembali gagal kuliah. Kampus yang dijanjikan oleh sanak famili adalah hanya kebohongan semata. Saya kesal dan marah kepada siapa pun sebab waktu emas saya telah terbuang cukup panjang oleh orang-orang yang menghambat pendidikan saya.

Pada 02 Januari 2019, setelah berdamai dengan badai kehidupan, saya kembali masuk pesantren. Itu karena jalan masa depan sudah mentok. Bagi saya, pesantren bagaikan cahaya yang menerangi jalan gelap masa depan santri yang memiliki harapan besar. Di tempat pesantren ini kisah dimulai dan kepingan mimpi kembali saya susun sebaik mungkin. Di pesantren ini kisah proses belajar di kampus bermula.

***

Setiap hendak berangkat kampus saya harus menunggu angkutan umum dan pulang berjalan kaki dari kampus ke pesantren yang jaraknya cukup jauh. Tujuan saya berjalan kaki pulang kampus  berolahraga sore hari dan meminimalisir pengeluaran keuangan.

Tentu saja, karena kelamaan menunggu angkutan umum, terkadang saya telat masuk kuliah dan tak jarang oleh bapak dosen sering diingatkan supaya saya jangan telat melulu. Beruntung pada pertengahan semester tiga serangan covid meringankan beban berangkat kuliah dan memaksa kami belajar online. Itu artinya juga meringankan perjalanan kaki saya yang pegal-pegal kalau pulang kuliah di trotoar jalan.

Saya punya kesan mendalam selama belajar di kampus dan pesantren; ada banyak orang-orang baik yang mengelilingi saya selama proses belajar.

Ialah Kak Miftah dan Mbak Hani yang pernah mengantar saya ke pesantren Semarang dan Jember turut serta membantu proses biaya pendaftaran dan hutang biaya UKT semester awal kampus. Ialah Mas Diki yang sering membantu dan memberi pinjaman motor dan laptop ketika saya membutuhkan untuk belajar menulis dan keperluan lain.

Kepada Mas Diki saya punya kesan cerita mendalam.

Pada suatu waktu sekitar pukul setengah sebelas malam, ketika saya pulang mengikuti rekruitmen anggota komunitas kampus dan berjalan kaki dari kampus ke pinggiran jalan raya, dan angkutan umum sudah tidak ada lagi yang muncul tengah malam Mas Diki datang dari arah belakang dan kaget mengetahui saya terhuyung-huyung kelelahan.

"Loh, kok jalan kaki sampean," kata Mas Diki. "Kenapa nggak minta dijemput anak pondok, Mas."

"Hape saya mati sejak tadi," kata saya. "Mulai tadi jalan sambil nunggu lien lewat tapi nggak muncul-muncul, Mas."

Ia kemudian membonceng saya dan rasa letih saya kemudian terobati ketika sampai di pesantren. Itu bersamaan informasi grup whatsapp yang mengabarkan bahwa nama saya masuk bagian penerima beasiswa bidikmisi. Seketika itu saya bersimpuh sujud dan menangis sebab beban pikiran saya selama semester awal ialah bagaimana membiayai kuliah setelah jadi mahasiswa. Dan tidak mungkin saya meminta biaya kuliah ke orangtua sebab itu janji saya dahulu sewaktu meminta izin kuliah bahwa saya tidak akan memberatkan keuangan keluarga.

Karena itu saya jualan buku dan belajar menulis di media massa untuk bertahan dari gempuran kebutuhan kehidupan mahasiswa.

***

Pada akhir bulan 2021 badai kehidupan memaksa saya boyong dari pesantren sebab Ibu sakit dan saya tidak bisa lagi berangkat kuliah dari pesantren. Serangan covid dan penyakit Ibu memaksa saya harus boyong dari pesantren. Rasanya hantaman badai itu datang bertubi-tubi dan memaksa saya segera mengambil keputusan.

Saya bersyukur keuangan pada waktu kepulangan dari pesantren itu stabil: sisa laba penjualan buku, honor mengajar di sekolah dasar, les privat mengaji anak tentara, dan menulis di media massa cukup untuk mengobati Ibu dari penyakit diabetesnya. Meskipun setelah lima bulan berikutnya, Bapak ikut sakit dan saya kembali di koyak-koyak kebingungan dan kesedihan.

Kini saya merindukan momen belajar di tempat itu. Karena itu saya menulis catatan cerita ini. Kepada kawan-kawan kelas saya punya kesan cerita belajar bersama.


Imam yang sering menemani saya lalu lalang menikmati kesendirian dan curhatan berbagai hal nasib kehidupan. Fina si koordinator kelas yang baik dan cantik tetapi juga kadang menjengkelkan kalau sedang mood rusak. Mufid dan Isbad yang sopan dan baik dan pernah mengantarkan saya pulang kampus karena tidak punya motor dan uang. Sigit yang rajin belajar setelah berkenalan buku-buku bagus dan suka mengajak ngopi untuk mendiskusikan pemikiran para cendekiawan. Kasia yang sempat kesal kepada saya. Viella adalah teman senasib ketika perjalanan pulang kampus di dalam angkutan umum. Dikna yang menjengkelkan dan pernah menjotos perut saya hingga hampir kehabisan nafas tidak mungkin saya lupakan kecuali ia meminta maaf dan memaafkan saya yang sempat membuat ia jengkel karena menampilkan foto masa sekolah menengahnya.

Dan juga kawan-kawan lain: Ada Elsa, Rizki, Rifqian, Isnia, Musa, Miftah, Nisa, Ica, Kholifah, dan Yuni yang sebentar lagi jadi calon Bu Nyai. Ada Fenti, Wilda, Izzul, Masrur, Diah, Alif, Bahul, Dewi, dan Fajrul yang tampaknya kini makin bertenaga. Ada Vandi, Mohamed, Puy, Fita, Erlin, Jorna, Nadia, Ifa, Salwa, Nabil, Riko, Balqis, Roni, Novita, dan Salsa yang semuanya orang-orang baik yang pernah saya kenal.


Kepada kawan-kawan komunitas kampus saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama.

Bersama Wahid saya sering terlibat adu pikiran dan mengakui ia pintar tetapi lemah ketika berhadapan  masalah dengan Azwar. Seorang teman yang sebetulnya bisa diajak ngopi dan berdiskusi panjang lebar kalau saja topiknya tepat pada hal lucu-lucu dan menggemaskan. Ada Bagus, Mas Ulum, dan Mas Rauf yang calon cendekiawan; serta Mas Yazid dan Mas Fian yang calon pengusaha. Ada Willy, Mbak Miftah, Mbak Windar, dan Mbak Aya dan kawan-kawan lain: Pras, Amel, Afifah, Rifqi, Mas Rohim, Mas Fauzi, dan seterusnya.

Kepada para dosen yang jadi guru dan mitra diskusi kalau saya bingung memahami suatu hal adalah keniscayaan: ada Ayah Nur Solikin, pembina komunitas intelektual (semoga beliau sehat selalu); ada Pak Anam, dosen pembimbing skripsi; ada Pak Munib, dosen inovatif dan tekun berbisnis; ada Pak Taqim, dosen detail yang hafal banyak jalan dan wilayah Nusantara; ada Pak Fawaizul Umam, dosen pengajar filsafat ilmu; dan Pak Faiz Rektor, dosen pengajar berpikir kritis-analitis di komunitas; ada Pak Fauz, dosen favorit mahasiswa baru; dan Pak Fauzan yang tak pernah henti-henti memotivasi mahasiswa selalu; ada Bu Nikmah, dosen pascasarjana yang baik hati; Pak Muhibbin, dosen pengajar paradigma ilmu; Pak Gun, dosen pengajar manajemen pendidikan; dan ada Bu Nurul, dekan yang suka bercerita pengalaman hasil penelitiannya yang unik-unik dan menantang di kelas kuliah.

Kepada kawan-kawan KKN saya juga punya kesan belajar dan cerita bersama selama empat puluh satu hari di Kalianyar, Ijen, Bondowoso. Ada Faqih, Fikri, dan Rudi serta Vina, Dini dan Mita, adalah teman yang enak diajak ngobrol hal apa saja: perasaan getir memendam api cinta, putus hubungan sama pacar, masalah keluarga, dan obrolan kekacauan organisasi kampus. Ada Resa, Sisil, Faiz, Asti, Mey, Liha dan Nikita adalah teman yang kini jarang ada kabarnya. Moga-mogo mereka sehat selalu.

Dalam proses belajar ini menyadarkan saya akan satu hal: Kita lahir menjadi orang baik ketika kita mampu dan dapat terus tumbuh menjalin hubungan baik serta menjaga harta kehidupan yang telah ditanamkan Tuhan sejak belia. Harta kehidupan yang dimaksud ialah sifat adil dan jujur, penuh kasih sayang, tanggung jawab, dan cerdas menjalin hubungan baik dengan sesama ... meskipun terkadang pada suatu waktu tertentu kita saling bertikai dan kemudian menjalin hubungan kembali fitrah kita sebagai manusia.

Saya tidak tahu kapan saya akan menemukan tempat belajar dan orang-orang baik seperti mereka  yang menyenangkan lagi setelah ini. Mungkin, universitas mertua adalah jawabannya, aih. Maksud saya universitas kehidupan. Selamat berjumpa kembali di lain waktu, Kawan.

 
;