Jumat, 04 Februari 2022 0 Komentar

Sakit

Serial sebelumnya, bisa baca di sini.

H+4 Kamis 27, Januari 2022

Yang paling saya khawatir adalah sakit dan kehabisan uang. Dua kepingan harta yang sangat penting dalam menjalani hidup.

Orang kaya punya setumpuk uang serta aset cukup melimpah, tetapi bila jatuh sakit, uang dan aset tidaklah berarti, dan bisa pula habis karenanya. Orang miskin sering kehabisan uang, tetapi selama mereka punya kesehatan yang cukup dan mampu untuk bekerja, saya kira mereka masih ada kesempatan untuk bertahan hidup, dan tentu saja kesempatan berbahagia.

Tetapi … bagaimana dengan orang miskin yang tak punya uang dan kesehatan mereka bermasalah? Saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa menangis. Saya pernah merasakan pengalaman tersebut (untuk tahu lebih lanjut mengenai pengalaman ini, bisa dengar di tulisan saya di sini karena berbentuk podcast) tahun lalu—pada masa krisis pandemi.

Saya tidak sepakat dengan orang kaya yang kerap mempersempit cara pandang hidup yang mengatakan, “Lebih baik jadi orang miskin daripada kaya tapi sakit-sakitan.” Well, tidak semua orang miskin itu memiliki stok kesehatan lebih! Banyak pula di antara mereka jatuh sakit karena memikirkan uang untuk menopang hidup. Jadi … mengapa tidak menjadi orang kaya yang kesehatannnya terjaga.

Tentu saja … mengapa tidak jadi orang kaya yang dapat berbagi sesamanya, tipikal orang kaya yang sulit dilakukan. 

Sakit menjadi momok menakutkan yang dapat merambat pada segala aktifitas yang sudah tersusun dengan sempurna dan ketika jatuh sakit, seperti tidak punya tenaga untuk bergerak; hidup seperti kian tak berarti; hidup bisa merepotkan orang lain; dan sakit pula merampas kebahagiaan.

Sedikit orang berbahagia karena sakit; mungkin orang-orang pilihan Tuhan saja yang dapat menjalani sakit dengan kegembiraan; dengan banyak waktu untuk berdialog dengan Tuhannya.

Ketika saya—di tempat PPL—jatuh sakit, remuklah badan saya tidak dapat bergerak; terbengkalaulah segala jadwal aktifitas yang tersusun dengan rapi; dan saya hanya mampu menulis catatan ini—sebagai obat untuk menepis sedih—;hanya mampu mengaji quran—saya tidak bisa meninggalkan aktifitas ini bagaimanapun keadaan fisik—;hanya mampu membaca buku; dan saya kehilangan waktu membantu kawan-kawan lain yang tengah sibut melakukan kewajiban.

Dan saya mungkin merepotkan mereka—karena sakit ini. 

Maka catatan ini pula menyadarkan saya pada kelemahan diri dan perlu saya meminta maaf pada kawan-kawan; dan moga-moga mereka memaafkan saya dan moga-moga saya segera pulih dari tidur panjang melelahkan ini.

Saya tidak mungkin dapat melupakan kebaikan-kebaikan mereka; tidak mungkin melupakan kepedulian mereka terhadap saya; tidak mungkin melupakan perhatian mereka selama saya sakit; tidak mungkin melupakan Mbak Pink ketika menyodorkan obat dan minuman siang itu; tidak mungkin saya melupakan kebaikan-kebaikan itu; maka kalau saja nanti saya sukses—moga-moga saja—tak-lain-dan-tak-bukan adalah karena ada peran mereka dalam kehidupan saya.

Saya ingin mencatat kebaikan-kebaikan itu agar saya tidak lupa diri. Ya … agar saya tidak lupa kalau nanti saya sukses bahwa ada peran mereka dalam kehidupan saya. Dan saya kini lupa cara menangis berkat menulis catatan ini—yang biasanya kalau sakit suka menangis khawatir banyak hal. Khawatir hidup merepotkan banyak orang.

 
;