Sabtu, 31 Desember 2022 0 Komentar

Refleksi Tahun Baru Biasa Saja

: sekadar catatan skripsi selanjutnya

Dear Fathur,

Kini telah memasuki pergantian tahun yang dianggap banyak orang tahun baru. Tapi, sepakatkah tahun itu bagimu benar-benar baru? Tampaknya kamu tidak begitu peduli terhadap anggapan bahwa tahun itu benar-benar baru. Sebab kamu tidak begitu menaruh perhatian setiap pergantian tahun. Kamu mungkin akan dianggap bodoh jika tidak punya anggapan sama tentang tahun baru seperti kebanyakan orang dan mungkin orang akan menganggap kamu kolot jika tidak merayakan tahun baru dengan gegap gempita seperti hari ini. 

Secara pasti kamu tampak menghiraukan pemaknaan tahun baru menurut kebanyakan orang itu bukan. Hebat. Kamu memang harus berbeda dari kebanyakan orang sebab kamu diciptakan oleh tuhan tidak untuk selalu sama dengan orang lain. Kamu harus menciptakan pemaknaan sendiri apa itu tahun baru. 

Misalnya, kamu memahami tahun baru sebagai hari pengingat saja bahwa kamu harus belajar untuk mengoreksi, dalam segala hal,  secermat dan sebaik mungkin hari-hari yang telah berlalu sekiranya masa depanmu lebih cerah dan tidak melulu itu-itu saja. Artinya, setiap pekan bahkan setiap hari kamu harus dan dituntut oleh dirimu sendiri untuk memberi makna hari itu sendiri tanpa harus terikat pergantian tahun yang setiap tahun pasti itu bakal terjadi. 

Oleh karena itu, meskipun pemaknaan tahun baru ini mungkin agak culun menurut orang lain, tapi kamu harus berpemahaman demikian, dan, jangan lupa, kamu harus merevisi pemahaman ini jika suatu saat nanti kamu menemukan pemaknaan tahun baru yang lebih segar.
*
Sejak dua minggu ini, tampaknya kamu banyak malas-malasan dibanding bulan-bulan lalu sebelum kamu melaksanakan seminar proposal. Kamu tampak begitu santai dan banyak menyia-nyiakan waktu begitu saja dan larut dalam permainan media sosial hingga lupa waktu belajar. Padahal sebelumnya kamu tampak begitu gigih mengerjakan tugas kuliah hingga berjam-jam menatap laptop dan menelaah pelbagai buku agar kamu bisa mengikuti ujian proposal akhir semester lalu. 

Namun hari ini kamu membuat kebiasaan yang begitu mencemaskan masa depanmu. Kamu harus ingat kawan pesan Benjamin Franklin pernah menulis bahwa kita mungkin bisa menunda, tapi waktu tidak mungkin menunggu. 

Saat ini kamu telah melaksanakan seminar proposan meskipun hasil proposalmu tampak begitu hancur—dan sepertinya kamu terlampau bersemangat menulis di bagian latar bekakang hingga lupa bahwa latar belakang yang kamu tulis sebenarnya tidak begitu penting—setidaknya menurut penguji itu. 

Apa yang kamu tulis ternyata tidak sesuai ekspektasi dosen penguji, baik dalam aspek aturan penulisan karya tulis ilmiah, catatatan kaki yang, boleh dikatakan, hancur semua, hingga metode penelitianmu yang menabrak aturan pada umumnya.

Tapi kamu harus bersyukur dan berterimakasih karena telah dikoreksi dengan teliti oleh dosen pembimbing dan pengujimu. Dengan begitu kamu tahu letak kesalahan dan kebodohanmu dan tahu apa yang harus kamu lakukan saat ini untuk memperbaiki semua itu.

Sebagai kembaranmu, aku tahu kamu menjadikan sejarah sebagai latar bekakang; bukan interpretasi sebagai latar bekang—yang seharusnya memang demikian saran dosen pengujimu itu—jika kamu menulis proposal, Kontekstualisasi Zakat: Studi Reinterpretasi Masdar Farid Mas’udi terhadap Q.S At-At-Taubah [09]: 60. Namun kamu lupa atau (mungkin) pura-pura lupa menjelaskan interpretasi penelitianmu itu dalam latar belakang. 

Kamu memakai sejarah sebagai latar belakang dengan alasan, yang pada saat ujian kamu lupa untuk mengutarakan maksudnya, untuk membatasi pembahasan yang nantinya memakan banyak halaman. Tetapi tidak mengapa jika kamu mengikuti saran dosen pengujimu itu sebab memang saran itu layak kamu pertimbangkan ulang—seperti semula kamu berencana demikian. Dan ingat! kamu tidak bisa merasa paling pintar dan menutup diri dalam hal ini sebab kamu masih bau kencur dalam penelitian pustaka. 

Dengan alasan itu, kamu tampak begitu bergairah memaparkan banyak hal tentang sejarah bagaimana zakat pada zaman Nabi Muhammad kala itu dan lupa bahwa seharusnya kamu memaparkan nanti pada subbab hasil penelitian. Tapi, aku kira kamu cukup berhasil, yang sebenarnya itu penelitian berat menurut kebanyakan kawan fakultasmu, setidakanya kamu mampu menyelesaikan proposal sampai detik akhir semester tujuh ini. 

*
Tampaknya saat ini kamu membuang banyak waktu luang hingga kamu leha-leha akhir-akhir ini.  Padahal sudah waktunya kamu melanjutkan proposalmu yang terbengkalai dua minggu ini. Jangan banyak alasan kamu tidak bisa menulis atau alasan apalah, sementara dalam kepalamu sebenarnya sudah penuh apa yang bakal kamu tulis.

Yang perlu kamu lakukan sekarang adalah melawan rasa kemalasam dan keculasan dirimu sendiri bahwa kamu bakal menyelesaikan dalam waktu dekat, sebenarnya perasaan demikina adalah omong kosong ilusi malasmu. Itu alibi saja. Itu alasan yang dibuat-buat oleh dirimu sendiri dan tidak mau menulis cepat-cepat yang sebenarnya itu jauh lebih efisien.  

Maka, sejak aku menemanimu malam ini, mendengar keluh cemasmu saat ini, kamu harus menulis secepat-cepat mungkin tanpa harus merasa terintervensi oleh aturan-aturan kaku kampus agar tidak mengantarkanmu dalam kemustahilan merampungkan skripsi secara bagus.

Bukankah masih ada waku lain bagimu untuk menyelesaikan pekerjaan mengedit setelah menulis awal rampung. Kamu tidak bisa menulis sambil banyak mengedit bagian-bagian yang sebenarnya bisa kamu benahi pada akhir nanti. Maka, menulislah secepat mungkin dan buang perasaan yang dapat menyensor dirimu ketika menulis.

Jika minggu-minggu lalu kamu banyak melunagkan waktu yang tidak penting—dan memang kamu menganggap kemarin waktu tidak penting—maka hari ini kamu harus bergerak dan berubah untuk tidak menjadi fathur seperti tahun yang sudah lalu. 

Artinya, dalam menyambut tahun baru ini, kamu perlu persiapan mental untuk memperbaiki kualitas harianmu lebih baik lagi agar tidak sekadar mengulang tahun yang sudah berlalu.  

Jika kamu masih terus berada pada seperti tahun lalu dan tidak ada perubahan mulai hari ini, kamu hidup mandek alias stagnan. Sebab pada dasarnya kamu sedang berhenti di jalan kehidupan dan tidak berkembang lebih baik. 

Dan, mulai hari ini, kamu harus banyak melihat waktu kosong sehingga bisa kamu manfaatkan dengan kegiatan positif dan gunakanlah waktu sebaik dan semaksimal mungkin, sebab jika kamu terus-menerus berada dalam kemalasan dan terjerumus pada kekosongan waktu—seperti itulah kelak cerminan masa depanmu.
Rabu, 21 September 2022 2 Komentar

Memaknai Ucapan "Selamat Ulang Tahun"

Beberapa kawan dengan tulus mengucapkan "selamat ulang tahun" atas hari kelahiran saya kemarin lalu. Saya senang niat mereka adalah mendoakan saya, sesuatu yang selalu saya harapkan dari mereka, pun sebaliknya, mereka (kadang) mengharapkan doa dari saya. Tetapi, sesuatu yang saya tunggu-tunggu sebenarnya (jika boleh jujur), saya tidak mendapat kado selain "bingkisan doa" saja, padahal saya mengharapkan mereka menghadiahkan kado istimewa, buku Yuval Noah Harari, Sapiens misalnya, atau yang Homo Deus

Entah. Mungkin mereka mengucapkan "selamat" atas hari kelahiran ini karena ingin mendoakan atau ada dorongan lain (semisal dorongan untuk merawat tradisi kebiasaan menceburkan kawannya ke kolam kalau pas hari kelahiran) sebagai bentuk kawan baik, dan saya tidak tahu pasti, biarkan Tuhan yang Maha Esa saja yang tahu soal niat itu. Titik. Tapi saya yakin bahwa mereka jauh dari sifat buruk semisal mendoakan yang jelek. 

Namun di sisi lain, menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran ini telah mengetuk tempurung kesadaran saya selama ini. Sebab berkurangnya usia membuat kecemasan saya semakin akut tak ketulungan. Entah. Saya belum menemukan jawaban pasti mengapa saya begitu cemas dan bingung menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran. Sewaktu mereka mengucapkan "selamat" lewat pesan WhatsApp saya kikuk dan berpikir dalam-dalam untuk jawab apa sebab ini baru pertama kali saya mendapat ucapan selamat. 

Mungkin sebagian jawaban atas kebingungan dan kecemasan ini adalah pada suatu hari, yang entah mengapa dan kenapa, tiba-tiba saja saya menulis sesuatu tentang hari kelahiran. Saya menulis demikian: 

"Hari ini adalah hari usia saya diingatkan. Saya sadar bahwa setiap waktu adalah kesempatan. Ada dalam kendali setiap diri yang memanfaatkan atau menyia-nyiakan. Dalam ketakutan yang semakin akut, dari waktu ke waktu, yang saya takuti adalah seluruh kejadian yang pernah saya lalui di dunia ini akan terulang kembali. 

Itu sebabnya saya tidak menginginkan hari ulang tahun, tidak pernah menginginkan atau menerima ucapan selamat ulang tahun, dari siapapun, pada hari kelahiran. Saya tidak ingin tahun sudah berlalu terulang kembali dengan seluruh kejadian-kejadiannya, dengan seluruh entah berantahnya. 

Datangnya hari kelahiran, setidaknya bagi saya, adalah waktu kehilangan dan usia diingatkan, dengan kesadaran atau ketidaksabaran. 

Jika saya menerima ucapan selamat atas hari kelahiran, apakah saya berada dalam kesadaran atau ketidaksadaran, keduanya selalu menjadi pedang yang sewaktu-waktu menghunus kesempatan, dan kemanusiaan manusia dipertaruhkan, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka. 

Selalu ada ketakutan mendera yang tidak bisa dijelaskan ke dalam kata-kata dan ketakutan itu memungkinkan saya mati dalam kebisingan, cemas dalam kesendirian, tak berdaya dalam kesunyian---dari ribuan pertanyaan tentang kehidupan."
***
Mungkin kebingungan dan kecemasan saya selama ini disebabkan oleh karena saya masih mengulangi tahun sudah berlalu itu; dengan seluruh kejadian-jadiannya; yang menyebabkan saya semakin bingung serta cemas akan suatu hal tentang kehidupan ini. 

Saya ingin mereka mengucapkan "Selamat Hilang Tahun", agar kesadaran kemanusiaan saya pulih bahwa hidup adalah tentang kesempatan dan harapan; bahwa hidup tentang "menunggu" atau "ditunggu" (meminjam istilah cerpen almarhum Eyang Sapardi) yang "Maha", karena itu kehidupan ini terkadang harus dipertanyakan "mau kemana" atau "hendak kemana" tujuannya. 

Setiap datang hari kelahiran adalah kata lain dari hari kehilangan. Setidaknya itu menurut saya yang sedang mengarungi kehidupan ini. 

Hal yang paling esensial dari kehidupan ini adalah kedudukan kita sebagai manusia. Sebab terkadang kita sebagai manusia jauh atau bahkan kehilangan sifat kemanusiaan kita. Oleh karena itu, saya merenung dan menulis puisi demikian:

Masihkah Aku Manusia?

Sesudah melanglang buana
Aku butuh jeda
untuk menemukan sesiapa
Aku butuh merasa
untuk mempelajari dunia
Aku butuh aksara
untuk mengikat makna

Yang kan ku tulis dalam lembaran sajak sajak tentang siapa manusia

Aku terus mencari
Dan terus mencari di ujung sunyi

Tapi tak ku temukan aku:

Tentang aku yang merindu
Tentang aku yang hampa
Tentang aku yang dusta
Tentang aku yang putus asa
Tentang aku yang menghamba
Atau aku Tuhan semesta? 

Tentang pencarian aku sebenarnya. 
Apakah aku benar-benar manusia? 

Dan aku berakhir. 
Berakhir dari hingar bingar dunia. 

Aku menemukan aku
Bahwa aku adalah manusia
Tapi pantaskah aku 
kau sebut manusia? 
*** 
Ya, sebaiknya, sering-seringlah menjumpai kemanusiaan kita, sebab perjalanan paling terjal adalah menjadi manusia. 
Rabu, 07 September 2022 0 Komentar

Masihkah Aku Manusia?

Sila baca di sini.  

Jumat, 02 September 2022 0 Komentar

Surat Kesan 40 Hari

Satu perempuan yang saya anggap bisa diajak diskusi dan enak diajak ngobrol adalah Vina. Ia satu-satunya perempuan yang bisa saya ajak tukar keluh kesah perihal problematika kampus di antara perempuan lain selama saya menempuh studi di perguruan. Memang saya baru kenal dan kenal lebih dekat setelah satu atap di tempat KKN. 

Karena momen KKN ini agak langka dan begitu membekas dalam hidup saya dan, mungkin satu-satunya pengalaman dalam hidup ini, karena itu, saya meminta kepada Vina untuk menulis hal-hal paling berkesan ketika mengenal saya selama kurun waktu 40 hari itu. 

Namun begitu, setelah saya menerima tulisan darinya, saya mendapati puji-pujian, yang sebenarnya, saya ingin Vina menulis sesuatu tentang saya yang paling bikin ia sebal; atau yang paling tidak ia sukai; atau yang paling bikin ia marah; atau sesuatu yang mungkin bikin ia jatuh cinta, misalnya. (ha.ha.ha) 

Tentu bukan hanya Vina sebenarnya, yang saya minta untuk menulis catatan kesan 40 hari itu, kawan-kawan lain juga saya minta, tetapi hingga kini saya belum menerima tulisan dari mereka, mungkin mereka lupa atau sengaja melupakan, atau entahlah. Meski begitu, saya ucapkan terima kasih kepada mereka semua sebab dari mereka saya belajar menjadi kawan, saya belajar bagaimana menjadi manusia. 

Jika kelak saya berhasil menaklukkan mimpi, sebagaimana mimpi-mimpi saya pernah saya ceritakan kepada mereka, maka itu semua tidak lain karena partisipasi mereka telah mengisi hidup saya, yang sangat berkontribusi besar terhadap glora belajar saya. 

Demikianlah surat kesan dari Vina ini. Teks tulisan tentang kesan ini saya perbaiki demi kelancaran pembaca enak membaca, tanpa mengubah subtansi tulisan. 
***
Demikianlah perkuliahan berlangsung ketika pengabdian masyarakat itu ditugaskan ... Bahwa KKN telah mengukir pengalaman baru dalam hidup saya: Kawan baru, wawasan baru, saudara baru, dan, ini agak sulit diduga, saya dipertemukan dengan orang yang saya kenal sebelumnya lantaran jual-beli buku (siapakah sosok dia; tidak begitu spesial diceritakan di awal). Dan itulah yang terjadi pada saya sewaktu menjelang KKN. 

Saat pengumuman kelompok dan penempatan daerah yang akan ditempati selama 40 hari itu adalah awal stalker saya siapa saja orang-orang yang menjadi partner selama KKN. Dan hasrat naluri kita mendambakan kawan yang satu prinsip. 

Setelah mengetahui dengan siapa saya akan bernafas dalam satu naungan tujuan KKN nanti ternyata kebanyakan orang yang tidak saya kenal sebab kebanyakan dari prodi-fakultas lain! Meski begitu tampak ada satu nama yang rupa-rupanya tidak asing dalam tikaman mata saya; sesosok nama yang tidak begitu familiar, namun begitu, saya pernah tahu sebelumnya, yang tidak tahu jauh dari dunia literasi. 

Saya memang tidak begitu akrab dengan  sosok makhluk ini. Namun dikalangan pencinta buku, mungkin banyak mengenalnya. Ia adalah penjual buku. Kawan-kawan mengenalnya Fathur Roziqin. Kawan-kawan memanggilnya Teteh, sebutan aneh yang melekat pada dirinya, seperti  adagium KKN 176 satu tujuan, yang entah apa maksudnya. 

Orang memandang Fathur kebanyakan mengenal si paling pendiam, si paling kalem bin serius, tipikal kurang asik diajak bercanda. 

Namun, benar kita tidak bisa mengukur orang dari luarnya toh memang seharusnya demikian. Orangnya tinggi, namun bukan tinggi postur badannya ya, tapi tinggi cita-citanya dan ilmunya. Maklum, jika disorot lebih dekat ia memang sedang-sedang saja; tidak terlalu tinggi; juga tidak terlalu pendek, tipikal sedang-sedang saja. 

Meski begitu ia termasuk satu-satunya cowok paling berbeda dari yang lain; entah karena kepribadiannya atau perawakannya yang tampak lebih dari kawan lain. Ketika kita merancang kegiatan dan program kerja, hal paling menonjol dari sisi makhluk absurd ini adalah selalu bersama jimatnya, yang tidak pernah dilepas dan selalu dijaga yaitu buku! 

Ia dianggap si kutu buku. Dan memang terlihat dari sosoknya dalam bertutur kata dan tampak dewasa sekali perawakannya mencerminkan orang yang berpengalaman dan intelektual. Dengan bahasa ilmiahnya, tak jarang apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang baru. Kawan-kawan KKN kadangkala sampai kebingungan memahami alur pembicaraannya, yang terkesan agak sulit. 

Meski begitu, sebagaimana dugaan awal, yang kurang asyik diajak becanda, ternyata juga bisa humoris dan bisa menyesuaikan ritme pembahasan ala lelucon sejawatnya. 

Selain itu, ia rupanya tidak hanya muncul sebagai orang yang dikenal pintar, paling dewasa diantara yang lain, ataupun yang paling berbeda dari kawan yang lain. Ia rupanya rela menjadi bahan ledekan kawan-kawan.

Suatu ketika ia pernah digosipkan dengan satu cewek posko dan cewek dari posko lain. Hal semacam ini memang sekadar hiburan, namun bagi saya itu bisa membawa implikasi keceriaan dan kegembiraan bahan yang bisa menghidupkan suasana di antara kami. 

Ya begitu saja pengenalan saya pada kawan yang satu ini; yang sangat terkenal dengan kelebihan dan karismanya. Ia adalah Teh Fathur. 
***
O, sebenarnya, surat kesan ini, ingin saya tanggapi langsung. Tetapi karena tulisan ini agak terkesan panjang. Saya memutuskan untuk mengakhirinya. Dan jika memungkinkan, akan saya tulis-teruskan secara berkala pada topik lain, dengan senang Kawan. 
Jumat, 26 Agustus 2022 0 Komentar

Di Beranda Sunyi Rindu Kini Menyepi Kita

: untuk kawan-kawan KKN 176

sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; setelah dingin telah usai; setelah berdentumg puing-puing kerinduan; setelah gelegar tawa tak lagi terdengar; setelah obrolan receh telah lenyap, & kini kita kembali hangat pada masing-masing keadaan; namun kenangan menancap kuat dalam tempurung kepala—dari ribuan sumbringan tawa; yang tersisa hanyalah bayangan peristiwa—dari pertanyaan tentang manusia.

kepada siapa rindu ini meletup; yang mencair di tengah gurun kesendirian; yang menghasrati api pertemuan; yang diam-diam memabukkan; hening lagi sunyi malam ini; hingga mata berkaca-kata menulis puisi.

sunyi kini memabukkan; hening berlabuh terisak-isak; dari mata seperti aliran air terjun yang mengguyur muka; sesaat mengingat-teringat satu persatu satu kenangan itu; dalam puisi ini riuh rindu; ke dalam sanubari yang tak tertahankan di penghujung sunyi.

sejak bumi tak lagi dingin; masihkah ada pertemuan?; hanya bayangan tentang kita kini yang tersisa; tentang suatu masa dimana kita pernah bersama; dalam suatu atap yang kini bernaung di lubuk terdalam tempurung kepala—dari peristiwa-peristiwa 40 hari di gubuk singgah sana.

dalam bayanganku pagi itu; ketika seluruh mata mengalir dan aku tidak—seraya tersenyum menyaksikan; telah ku skenario untuk tidak mencair bagian mata; karena kau tahu dan aku rasa lebih berusia dari sesiapa di antara kita; namun diam-diam aku memalingkan muka sesaat kau memeluk dan menangis pamit pulang pada ibu kos itu; seraya benar-benar aku tak kuasa menahan tangis; aku pergi berlabuh ke belantara untuk pura-pura bahwa aku masih kuat menahan luka mata; karena aku tahu & … ku coba saja senyum meski senyum terasa getir; melihat masih ada sisa mata yang mengalir; sepertia aliran air terjun yang mengguyur; gemercik kesedihan yang tak terjelaskan.

mungkin kita teringat masa 40 hari itu; telah begitu membekas pada sel-sel otak; yang menyebabkan sulit dilepas-pisahkan; yang menyebabkan mata mengalir; yang menyebabkan kini rindu tertanam—dari ribuan pertanyaan tentang arti pertemuan-perpisahan dalam kehidupan &, ah … aku benci kata perpisahan. sulit diterangkan mengapa.

izinkan aku ajukan tanya: adakah benar perpisahan itu ada?; masihkah suatu saat nanti kita dipertemukan kembali setelah panggung sandiwara ini berakhir?; setelah aku atau kau tiada di alam sini, setelah alam ku di sana?
sebelum aku atau kau sampai pada batas usia; sebelum aku atau kau telah tiada sampai pada janji menjemput kita.

dalam bayanganku kini; setelah usai dingin ini; masih ada kedinginan menggigil; adalah tentang masa depan kita (bukan dunia tempat kita singgahi ini)—masihkah kita akan dipertemukan kembali?
Selasa, 05 Juli 2022 0 Komentar

Yang Merindu


Dulu sekali, sewaktu saya masih bocah, saya pernah bercita-cita menjadi guru ngaji sebab bagi saya, pada waktu itu, guru ngaji adalah orang paling mulia di mata masyarakat dan oleh karena itu, saya ingin menjadi seperti mereka, orang yang mulia. 

Seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya setelah saya usai menempuh pendidikan di pesantren, saya betul-betul mewujudkan cita-cita itu hingga saya melanglang buana ke luar Jawa. Tepat pada tahun 2018 adalah dimana pertama kali saya menjadi guru ngaji, tiga tahun yang lalu, yang telah saya ceritakan sebelumnya di sini.  

Demikianlah: saya pernah tinggal di suatu tempat yang menjadi pengalaman pahit pertama saya dalam hal mengajar. Saya diminta mengajar oleh sanak saudara setelah proses satu tahun penuh menjalani karantina belajar di pesantren Semarang. 

Sebenarnya saya tidak ingin hanya mengajar, saya juga ingin melanjutkan pendidikan di sana—sekiranya saya mendapat beasiswa. Tapi harapan saya pupus setelah saya tahu bahwa ternyata  saya hanya dimanfaatkan oleh sanak saudara yang membawa saya ke rumahnya—ke lembaganya itu, alih-alih mendapat beasiswa justru kesia-siaan semata. 

Namun kini tuhan cukup setempal mewujudkan cita-cita saya sebagai anak buruh tani yang menginginkan belajar di perguruan tinggi dan hari ini saya diberi kesempatan untuk memaksimalkan kesempatan ini—dengan cara sebisa mungkin dapat saya beri kepada masyarakat atau generasi bangsa semisal mengajar atau mendidik anak orang (sebelum mendidik anak sendiri tentu saja).

Dari luar Jawa (sengaja tidak saya sebut nama lembaga tempat saya mengajar pertama itu sebab saya tidak menginginkan atau menuliskannya di sini) saya belajar cara belajar dan setelah dari sana saya mendapat kesempatan lain belajar mengajar di tempat lain—yaitu Jember—hingga saya bisa melanjutkan di perguruan tinggi—mungkin—berkat doa anak didik saya di pesantren mistahul ulum (sudah pernah saya tulis mengenai cerita ini di sini) itu.

Dan hari ini, ketika tengah menjalani KKN, saya teringat pada anak didik saya di luar jawa itu, dan saya merindukannya. Saya rindu pada anak-anak didik saya itu ketika menangis, ketika tertawa terbahak-bahak, ketika menyebut huruf-hurur hijaiyah dengan blepotan, dan, saya rindu pada mereka ketika meminta pulang dan bilang kepada keluarganya bahwa “saya sudah bisa baca surah-surah pendek!”

Pada dasarnya mereka adalah guru kehidupan saya. Saya belajar pada mereka tentang makna kesabaran dan mereka belajar pada saya tentang pengetahuan sebab—mungkin kita pernah tahu bahwa—katanya, “semua murid; semua guru”. Anak-anak saya itu adalah guru dan saya adalah muridnya. 

Dan catatan ini seperti guru yang merindu pada anak didiknya—jangan lagi dicari apa tujuannya. 
Sabtu, 02 Juli 2022 0 Komentar

Pertanyaan-pertanyaan Arti Pertemuan dan Perpisahan dalam Kejadian-kejadian tentang Suatu Hari Nanti (1)


Ini adalah kesunyian yang muncul kembali setelah dinginnya malam masuk melalui celah-celah jendela, melalui lubang-lubang kecil yang kerap kami alami pada malam-malam penuh syahdu bersamaan dengan suara-suara gemericik hewan; sebilah kesunyian yang akan dipecahkan oleh lelucon Mbak Faiz dan kawan-kawan lain yang melenturkan kebekuan kulit-kulit kami yang dihujam oleh dinginnya malam Kawan Ijen. 

Dan kesunyian bersamaan dinginnya malam itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan. 

Terkadang saya berpikir dan menghayal yang cukup menguras emosional tentang sebuah persaudaraan yang disatukan oleh kewajiban kami sebagai mahasiswa adalah; apakah suatu masa nanti kami akan dipertemukan kembali setelah usai menjalani KKN ini; setelah kami lulus menempuh studi ini; setelah mungkin di antara kami telah sampai pada batas usia dan mati tak lagi dapat berjumpa kembali di dunia yang fana ini? 

Terkadang saya berpikir tentang suatu masa di mana pikiran tak lagi mampu menjawab pertanyaan tentang sebuah perpisahan; apakah perpisahan itu benar-benar ada? Apakah arti dari sebuah perjumpaan dan perpisahan itu? Apakah ada jarak antara ruang waktu kita setelah kejadian di dunia ini berakhir? Ah, apakah pula makhluk akhir itu? Adakah akhir dari segala yang akhir ini? 

Ah, kenapa pikiran ini cukup liar akan pertanyaan-pertanyaan; seolah-olah menyetujui apa yang dikatakan Goenawan Mohammad itu: pikiran adalah lika-liku cerewet. 

Pikiran cerewet yang mempertanyakan suatu masa tentang arti kehidupan yang telah dirancang sedemikian sistematis oleh suatu Sang Ada dan perangkat-perangkat tubuh ini seperti digerakkan oleh-Nya. 

Misalnya, ingatan saya tiba-tiba bergelayut secara otomatis tentang kejadian-kejadian dari bangun tidur hingga menjelang tidur ini. Suatu ketika kami kedatangan tamu dari posko lain dan terjadilah suatu percakapan. 

Sabtu, 02 Juni 2022

"Siapa di sini yang dari Puger?" saya bertanya kepada para tamu itu. 

"Saya ..." ia mengacungkan tangan. 

Mata para hadirin menikam mata saya dan saya diserbu oleh celotehan kawan-kawan. 

"Tadi malam katanya mau dicarikan masa depan. Itulah loh sudah ada. Sama-sama dari Puger lagi."

"Wah, ini namanya jodoh di posko sebelah," seseorang menyambung celotehan. 

"Gas dah ...." kata yang lain. " Cocok."

Dan saya tersipu malu tingkat akut siang itu. Orang-orang senang melihat saya jadi bulan-bulanan celotehan mereka di tengah suasana keharmonisan antar sesama posko.

Pikiran saya tiba-tiba muncul kejadian-kejadian lain hari-hari sebelumnya dan setelahnya tentang kebaikan-kebaikan masyarakat desa Kalianyar ini. Suatu ketika kami ditawarkan segala macam sayur-sayuran dari hasil ladang. 

"Mainlah ke rumah nanti malam," tawar tetangga yang baru saja bertemu di teras rumahnya. "Ada sayur-mayur buat laut, Dek. Nggak usah beli kalau di sini."

"Iya, Pak, kalau ada waktu, akan kami sempatkan main," jawab saya. "Jangan lupa siapkan kopinya." 

Ia tertawa dan menepuk-nepuk pundak saya keras-keras sambil terkekeh-kekeh. 

"Bisa aja kau, Nak!" 

Sekali lagi bapak tua itu terkekeh-kekeh senang saat saya tagih kewajibannya menghormati tamu agung yang bakal datang itu. 

Kelopak mata saya seperti meminta haknya untuk tidur bersamaan akan selesainya catatan ini yang akan dilanjutkan secara berkala. 

Sabtu, 02 Juni 202
Jumat, 01 Juli 2022 0 Komentar

Diabadikan Kenangan


Dan waktu kerja bakti sosial dimulai: dari lokasi penginapan menuju ke spot wisata Kalipait; sebelum sampai ke sana, kami memotong rerumputan yang berkeliaran di jalan raya menuju Kawah Ijen; tapi untuk sampai di sana … kami harus memeluk dingin sekalipun senang melihat pemandangan elok di sekitar lingkungan kerja yang hendak kami pangkas rerumputannya—sekalipun harus menggigil dan, … sialnya: kami hanya memakai kaos seragam KKN!

“Tahu gitu aku pakek jaket tadi,” gerutu Mbakyu. 

“Rasakan!” kata saya.

Dari ujung mata ke ujung alam gunung-gunung itu berbusa kabut dan ternyata itu bukan kabut.

“Kayaknya di atas gerimis.” kata Pak Pengarah itu.

“Ini kayak embun yang turun, ya …” sambung Mbakyu.

“Bukan.” 

“Ya … ini embun siang!” sambung yang lain.

Ah, baru kali ini saya tahu ada embun siang—yang ada dan yang saya tahu hanyalah embun pagi. Atau embun fajar atau embun subuh.

“Embun pagi bersahaja …” Pak Kasum itu tiba-tiba bernyanyi. “Itu lagu siapa?” 

Saya pikir keras-keras dan mencari memori lagu tahun 2000-an dan ingatakan saya cukup baik.

“Letto, Pak! Embun pagi …” jawab saya. 

“Betul. Kau cukup baik mengingat lagu kenangan.”

“Kenangan harus diabadikan dalam ingatan sekalipun sedingin Ijen, Pak.”

Ia cekikikan dan kawanan lain hanya bisa melongos sirik, eh.

“Bentar lagi kita sampai.” Ia beri kabar gembira setelah 30 menit memangkas arca-arca rumput yang berkeliaran ke jalan. “Disana nanti ada spot Kalipait.”

“Kenapa dinamakan Kalipait, Pak?” saya bertanya penasaran.

“Karena air kalinya pait.”

“Tidak sepait kenangan kan, Pak?”

“Tentu saja, Nak!”

Kerja bakti sosial terbalaskan setelah 40 menit menebang kayu-kayu yang berkelindan di jalanan dan meskipun harus menempuh jarak kurang lebih 4 kilo menuju spot wisata alam itu—rasa lelah kami hilang. Dan Kalipait menjadi destina kenangan yang ke-3 dan beria-gembiralah kita. 

Air itu mengalir dari ketinggian dengan tenang dan gemerciknya seperti alunan alarm perairan yang memancarkan musik-musik kecil tapi halus didengar. Sementara bebaturan itu terlihat mengkilat seperti baru saja dipoles minyak permata yang memancarkan cahaya yang menambah eksotis mata untuk segera menanjakkan kaki di atasnya dan berdiam diri dan berswafoto tentu saja.

“Kau dulu.” Kata saya pada Faqih. “Nanti gantian teh.”

Ia bergaya yang tak tahu gaya macam apa dan setelah tiga kali klik—giliran  saya, dan kawan-kawan dari mobil lain datang dan bergabung menikmati alam.

“Kau pasang potrek terbaik, teh.” kata saya.

“Belum terasa.” ujar saya ketika ia mengklik tombol kamera.

“Belum terasa.” saya ulang lagi.

Dan kawan-kawan lain berhamburan mencicipi bagian alam; sementara perangkat desa yang menemani kami ini—hanya menyaksikan ulah tingkah kami yang tak ketulungan kemaruhnya.

“Jangan sampai pikiranmu khilaf mengabadikan kenangan ini, Thur!” kata salah satu kawan.

Saya mengiyakan dan tak lupa mendoakan: moga-moga tulisan ini abadi dalam ingatan menjadi kenangan.
Kamis, 30 Juni 2022 0 Komentar

Yang Menawan Mas Alan; Serupa Air Terjun Gentongan


Rabu, 29 Juni 2022

Pak Kasum mengajak kami ke gubuk singgah, yang kira-kira terletak tiga ratus meter dari tempat penginapan, tampak sangat antusias sekali ketika kami bertanya-tanya tentang aset-aset desa Kalianyar, Ijen, Bondowoso. 

"Ada sekitar delapan spot wisata, Mas, yang kita miliki: Kawan Ijen, Kawah Wurung, Air Terjun Belawan, Air Terjun Busa, Niagara Mini, Pemandian Air Panas, Lava Basaltis, Air Terjun Gentongan," jawabnya. 

Yang saya tahu hanyalah Kawah Ijen—sebelum saya datang ke desa Kalianyar ini. 

Dan saya baru tahu bahwa spot wisata di sini tidak hanya gunung yang menyemburkan api biru itu, melainkan ada banyak sekali spot-spot wisata; rasanya ingin sekali saya kunjungi satu persatu untuk memetakan aset-aset yang bisa kami tulis-abadikan, dan betapa aduhainya jika saya dapat merekam keindahan Surga Ijen itu ke dalam kata-kata. 

Tetapi waktu empat puluh hari adalah sangat terbatas dan saya pikir langkah paling efektif untuk mengabadikan momen-momen ini sedikit atau banyak akan saya tulis apa yang saya lakukan; apa yang saya rasa; apa yang saya cium; apa yang saya tatap tajam-tajam di momen itu. Dan ... 

Saya tiba-tiba teringat sesuatu, semester dua dulu, bahwa saya pernah mencatat sesuatu di peta impian lima tahun ke depan; bahwa saya pernah bermimpi menaklukkan kawah Ijen! 

Ya, saya baru ingat sekarang: Saya pernah menulis peta impian dan salah satunya adalah Kawah Ijen.

Saya menulis peta impian itu ketika berada di pesantren dan kini catatan itu mungkin bangkainya masih ada dan sudah saya pindahkan ke buku catatan harian dan kini saya benar-benar bukan saja menaklukkan Ijen melainkan saya memeluk kawasan Ijen beserta dinginnya. Apakah ini yang namanya takdir? 

Ah, saya tak mampu menjawab teka-teki misteri ini, dan tiba-tiba Pak Kasum memutus lamunan saya di tengah hamparan bukit geopark. 

"Mari, sore nanti kita lanjutkan ke Ijen Geopark, kita bisa ngopi-ngopi gratis di sana, dan besok kita lanjutkan ke spot wisata lain.” pungkasnya. 

Kamis, 20 Juni 2022

“Jangan panggil saya Bapak,” katanya malu-malu.

“Lalu saya harus panggil apa?” potong Liha.

Kawan-kawan pada cekikikan mendengar celoteh Liha. Dan kami tidak sabar menunggu jawaban Pak Kasum paling muda ini—yang rupa-rupa usianya tidak jauh berbeda dengan kami yang rerata berumur 22 tahun.

“Panggil nama saja,” ia jawab menundukkkan kepala, menunjukkan mati kutu dihadapan kami. “Panggil saja Alan.”

“Mas Alan?” sahut kawan.

“Ohya … Mas Alan. Gitu ya …”

“Hemm … Mas Alan.”

Saya diam memerhatikan. Faqih yang ada disamping saya cekikikan tak ketulungan.

Mas Alan manusia tangguh—setidaknya bagi saya. Dihadapan para Mbakyu, Mas Alan dengan cerdik serta tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang aset-aset desa. Empat belas orang dihadapannya tidak membuat ia lari dari pertanyaan yang agaknya seperti mendapat pertanyaan ujian sidang skirpsi.

“Saya hanya lulus SMK Mas/Mbak. Jadi maklum kalau saya bicara sama mahasiswa, kayak kalian ini, agak blepotan.”

Saya sedikit canggung mau menanggapi; agar suasana obrolan lebih segar dan tidak ada kata sungkan; Mas Alan tiba-tiba menyihir kami, “Saya masih belajar, Mas.”

Suatu sikap yang sampai pada taraf tawaduk. 

Kami mendengar dengan khidmat dan mencatat apa yang dikatanya: dari sejarah mengapa ia tiba-tiba diangkat menjadi kepala dusun watu capil, tentang keseharian pemuda di sini yang seumurannya, dan keunikan desa kalianyar ini yang memiliki delapan spot wisata itu.

“Yang satu ada dibelakang rumah, Mas.” katanya antusias.

“Dibelakang rumah?” pikir saya agak sedikit bingung.

Dan benar … kami ditunjukkan spot air terjun gantungan itu dari belakang rumah. 
“Untuk lebih jelasnya, seperti kita harus kesana,” pinta kawan. 

Kemudian kami diajak ke tempat langsung dan menyaksikan pemandangan yang memanjakan mata dan, ah …. alam luas itu terlihat di sana: gunung-gunung yang menjulang tinggi, pohon-pohon biru yang sesekali melambai-lambai, burung-burung yang menari-nari dari kejauhan, pesawat numpang lewat yang tiba-tiba saja ikut menggambar pemandangan alam, air ria yang memancur secara tiba-tiba, awan-awan yang seakan berada di atas kepala. 

“Saya ingin berlama-lama di sini …” kata saya pada satu kawan yang baru saja mengabadikan pengalaman ini.

“Cukup elegan,” ujar saya. “Terima Kasih. Anda cukup berpengalaman jadi fotografer.”

Dari kejauhan kawan-kawan mengajak Mas Alan berswafoto dan kini ia tampak lebih segar—tampak lebih menawan serupa air terjun gantungan.
Selasa, 28 Juni 2022 0 Komentar

Pelajaran Musim Dingin KKN: Subuh itu; Kawah Ijen itu; Api Biru itu...


Subuh pertama adalah pelajaran musim dingin: Saya bangkit dari tempat tidur malam itu dengan kedinginan yang tak ketulungan, hawa dingin masuk melalui lubang-lubang kecil atap rumah, melalui celah-celah jendela, berhasil menembus empat helai kain yang membalut tubuh kurus keriput saya. 

Beberapa kawan- kawan masih terlelap tidur; sementara satu dua tiga di antara sudah bangun dan pergi menuju kamar mandi dan setelah selesai menunaikan hajat lalu keluar dengan tubuh gemetar seperti orang tersengat tegangan listrik dan saya membayangkan kalau saya akan seperti mereka sebentar lagi, dengan tubuh gemetar setelah bersentuhan dengan air masjid. 

Saya memilih menunaikan hajat buang air ke masjid dan sekalian sembahyang di sana dan setelah bersentuhan dengan air itu kulit-kulit tipis ini seperti kaget dan saya pun mengambil wudu cukup satu kali basuhan dan segeralah mengikuti gerakan imam, jangan bertanya saya khusuk maksimal. 

Usai sembahyang saya melanjutkan kebiasaan mengaji dan kali ini saya tidak sendiri, melainkan mengaji bersama jamaah sembahyang subuh dan sekali saya disodorkan mikrofon menunjukkan sudah waktunya giliran saya mengaji dan setelah selesai empat halaman mushaf saya sodorkan lagi mikrofon itu dan kemudian saya selesaikan setengah juz lebih lima halaman itu mengakhiri bacaan dan memutuskan untuk melanjutkan sore nanti.

Dan saya berjalan kaki menuju penginapan KKN sendirian...

Ibu-ibu bakda subuh itu berjalan berdampingan dengan masing-masing memakai sepatu bot; dengan kepanjangan seperti kereta kencana menuju ke tempat kerja kebun atau ke ladang dan kedua tangannya mendekap erat-erat pada tiap-tiap perut dan perbincangannya yang mengeluarkan asap seperti orang baru saja merokok adalah pelajaran subuh pertama di musim dingin wilayah Ijen. 

Sesekali pandangan bola mata, saya arahkan pada gunung-gunung yang menjulang tinggi itu yang tubuhnya diselimuti asap-asap; saya membayangkan dari kejauhan; dari masjid tempat saya sembahyang subuh; akan terlihat api biru kawah Ijen menyala-nyala; seolah-olah saya baru saja sampai di sana menikmati panorama indahnya surga Ijen yang terkenal di seluruh penghujung dunia itu. 

Tetapi alih-alih saya berada di sana; musim dingin adalah rintangan menjalani pelajaran empat puluh hari di sini ialah kemelut dingin yang harus saya lawan dan harus saya pilih untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang mematikan ini. 

Menjelang mentari sebentar lagi akan muncul, tubuh-tubuh kami siap-siap bergelut dengan kedinginan hingga fajar kembali datang.
0 Komentar

Menuju Ijen: Sebuah Pengantar KKN

Dan tubuh kurus saya seperti berada dalam kulkas ketika sampai jalan menuju kawah Ijen, google maps menunjukkan bahwa perjalanan kurang lebih lima puluh lima menit lagi untuk sampai ke tempat lokasi KKN, balai desa Kalianyar.

Orang-orang pada lalu lalang dan dapat saya duga bahwa mereka sedang mencari sesuap nasi di alam liar dan sebagian lagi ke kebun dan sebagian lainnya entah kemana.

Dalam perjalanan itu bola mata saya hanya menyaksikan pohon-pohon aren menjulang tinggi serta gunung-gunung bertubuh seksi memanjakan mata penuh ketakjuban; tidak ada kicauan burung-burung di alam liar sana; hanya kedinginan menyelimuti tubuh kecil ini.

Dan empat puluh menit telah berlalu dan saya belum sampai tujuan dan kecamuk pikiran semakin liar menari-nari apakah saya tersesat dalam hujan penuh rimbunan pepohonan ini? Segera saya pangkas pikiran cemas itu; tetapi tidak saya pungkiri saya semakin cemas.

Dalam kecemasan akut itu, saya seperti tokoh Kafka dalam novel Dunia Kafka Haruki Murakami yang lari dari rumah menghindari kutukan sang ayah dan pergi menuju suatu tempat tetapi ia tidak tahu harus pergi entah ke mana, hanya petunjuk naluri ia turuti.

Saya tatap jam tangan menunjukkan lebih jam tujuh pagi; sementara acara pembukaan penerimaan KKN kurang lima menit lagi dan saya masih dalam perjalanan, saya baru ingat bahan bakar motor tinggal sedikit dan saya memutuskan untuk mengisi bensin di pinggir jalan dan saya bertanya kepada Ibu penjual bensin apakah desa Kalianyar masih jauh?

"Masih jauh, Mas," ujarnya.

Pikiran saya masih berkecamuk cemas, apakah KKN ini lebih menantang daripada KKN di Desa Penari itu?

Kecemasan semakin menjadi-jadi mengingat saya hanya seorang diri; tanpa teman; tanpa kawan; tanpa ayang tentu saja.

***
Dua hari sebelum pelepasan KKN tubuh ini terasa lemas seperti orang kurang makan empat hari; mungkin penyakit lemas itu akibat memikirkan pekerjaan belum tuntas: ujian akhir semester belum saya ikuti hingga hari ini, menulis blog pribadi belum saya isi,  rencana menulis Call for Papers ke Jakarta bersama Bu Dosen masih tahap riset, dan sebagainya.

Akhirnya saya memutuskan cek kesehatan ke klinik terdekat rumah dan hasil tes menunjukkan tensi darah saya hanya 90 dan entahlah mungkin karena tiga hari yang lalu saya lupa makan pagi hingga siang.

"Mulai kapan terasa lemas, Mas," tanya Pak Perawat.

"Sekitar tiga hari yang lalu," jawab saya.

Pak Perawat juga memastikan kepada saya untuk selalu minum teh manis serta sate kambing dan saya pikir sepertinya saya kekurangan gizi.

"Betul, sampean kurang gizi, Mas," ujarnya.

Segera saya pulang dan memastikan kepada Ibu untuk membuatkan saya teh manis dan makan sebentar sedikit untuk keperluan minum obat yang diberikan Pak Perawat.

***
Tepat pada sekitar jam tujuh lewat tiga puluh menit jam tangan saya menunjukkan bahwa tempat lokasi yang saya tuju tinggal tiga menit lagi dan tiba-tiba saja salah satu kawan menelepon.

"Sudah sampai di mana?" tanyanya.

Saya jawab sebenar lagi sampai dan jangan menelepon dulu sebab baterai smartphone saya tinggal sedikit lagi dan akhirnya, saya datang tepat pada waktunya; sementara pikiran saya masih cemas akan empat puluh hari tinggal di desa seperti musim salju ini.

Senin, 27 Juni 2022 0 Komentar

Waspada Terorisme!

Saya baru tahu kalau tulisan saya dimuat media online harakatuna. Jika anda berkenan membaca, bisa anda klik di sini.
Jumat, 17 Juni 2022 3 Komentar

Mahasiswa yang Sentimen

Sungguh kacau dunia ini jika semua hal harus ditanggapi dengan sentimen, alih-alih adu argumen. Orang-orang yang hanya mengedepankan sentimen biasanya terlalu cetek pikirannya—sulit menalar persoalan. Seolah-olah itu kebenaran serta kebaikan.

Jenis orang-orang seperti ini ternyata ada pula pada kalangan mahasiswa. Saya tentu kaget pertama kali kuliah dan hari ini—saya tidak terlalu kaget. Namun saya resah keberadaaan jenis-jenis mahasiswa semacam ini.

Dan dengan alasan itulah saya menulis catatan ini. Moga-moga tulisan ini dibaca oleh mereka dengan kepala hangat; dengan kacamata sehat; dengan pikiran terarah; dengan pikiran jernih serta terbuka.

*
Dalam sebuah kasus, apapun kasus itu akan jauh lebih terarah dan menguntungkan kedua belah pihak, yang harus dilihat adalah inti persoalan, bukan hal lainnya. Jika satu persoalan kemudian dipelintirkan sedemikian rupa sehingga memicu polemik kekaburan suatu percakapan, alamat salah satu pihak akan dirugikan dan diuntungkan oleh pihak lain, yang oleh karena hanya teman dekat. 

Dan parahnya, yang diuntungkan adalah yang menggunakan kata-kata sentimen, sungguh terlaknat mahasiswa semacam itu.

Alih-alih mendukung proses belajar seseorang—ia menjadi penghalang karena sifat buruknya yang agak sinis melihat orang lain rajin, berani berpendapat, dan mau mengajukan ketidakberkenaannya akan suatu hal, dengan sinisme tingkat akut.

Mungkin kasus tersebut bisa saya paparkan sebagai berikut.

Misalnya, kalau saya mengatakan bahwa ketidaksiapan bukanlah alasan tepat bagi mahasiswa untuk tidak presentasi adalah sesuatu yang kacau dan potensial merugikan banyak pihak. Itu klaim yang saya ajukan untuk memprotes mahasiswa yang suka menunda-nunda tanggung jawab presentasi—yang itu berimpas merugikan banyak pihak (kecuali menunda-nunda pekerjaan untuk diri sendiri; tidak masalah). 

Betapa pun banyaknya waktu yang diberikan; seorang yang suka menunda-nunda akan selalu—dan kemungkinan besar akan beralasan kembali bahwa dirinya tidak siap. Itu jantung persoalan yang saya protes; bukan hari tertentu (ingat! bukan hari tertentu). 

Saya mengajukan hari tertentu—yaitu Jum’at—karena hari setelahnya, Sabtu, saya ada acara dan tentu saja itu sekadar pendapat, dan bentuk pengajuan diri sebagai kelompok yang berhak presentasi. Tapi anehnya, pikiran cetek dan sentimen justru tak mampu menangkap jantung persoalan yang saya gugat, alih-alih, justru hal tersebut  dianggap bentuk protes. 

Hey … mana pikiran sehat anda?

Alih-alih memahami secara keseluruhan klaim, protes jantung persoalan, pendapat, dan penawaran kami untuk presentasi hari tertentu, adalah justru nada sentimen yang mengedepankan cibiran dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” dan nada-nada serupa lainnya, bentuk ketidakmampuan menalar persoalan dengan baik, alih-alih memahami secara keseluruhan. 

Alih-alih menanggapi dengan kepala hangat; malah justru mengklaim bahwa “kelompok kami tidak siap”. Apa bukti kalau kelompok kami tidak siap? 

Oih, anda mengatakan “kami tidak siap” lantaran salah satu orang dari kami mengatakan demikian bukanlah klaim yang mendukung dan menguatkan klaim-klaim serampangan-sentimen anda tersebut (saya kira pembuktian hanya satu orang tidak cukup; yang sebenarnya harus melibatkan banyak pihak yang dimintai keterangan). Jelas itu sentimen yang bernada merendahkan. 

Tapi sayang—mahasiswa yang cetek pikirannya selalu menganggap bahwa itu sebuah kebenaran dan kebaikan untuk melegalkan klaim-klaim serampangan untuk menjatuhkan mitra lawan bicara.

Sebenarnya saya malas meladeni mahasiswa yang pemahaman serta pembicarannya selalu mengedepankan sentimen. Tetapi jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi pertemanan. Saya katakan demikian karena cibiran atau sentimen atau sinis itu potensial menjatuhkan semangat seseorang belajar—alih-alih mendukung keberhasilan teman.

Mencibir mitra lawan bicara dengan mengatakan “udah tahu, kalau kau paling rajin, kau selalu paling benar, kau paling pintar, kau paling segalanya,” seperti merendahkan diri sendiri karena ketidakmampuannya melakukan apa yang dikatakannya. Padahal setiap orang telah diberi waktu dalam 24 jam untuk bisa rajin, pintar, cerdas, dalam mengejarkan sesuatu dengan tepat waktu. 

Namun karena dirinya bersifat sebaliknya adalah justru sifat sinis melihat orang lain pintar, rajin, cerdas, dalam mengerjakan sesuatu, terbentuklah sifat sentimental tersebut. Saya jengkel kepada seseorang yang merasa rendah diri semacam ini. Karena itu saya melawan diri seolah-olah ingin mengetuk tempurung kepalanya yang agak sulit dibuka mata pikirannnya itu.

Dan kembali lagi ...

Sungguh basi “ketidaksiapan” dijadikan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Alih-alih memberikan alasan masuk akal “mengapa tidak siap” justru malah mengeluarkan kata-kata sentimen pada orang yang mau menggugat perihal ketidaksiapannya. 

Sebenarnya tidak begitu masalah jika kita merasa tidak siap pada satu kondisi yang tidak memungkinkan untuk menampilkan hasil kerja dengan baik. Namun yang patut dicatat adalah ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen. Saya ulangi kembali: ketidaksiapan bukanlah alat efektif untuk melegalkan praktik sentimen!

Saya rasa, merasa tidak siap adalah satu bentuk kejujuran. Namun bentuk kejujuran itu rusak bilamana kata-kata dibalut dengan sinisme, serta, kata-kata sentimen tidak layak dipakai oleh kalangan yang merasa seorang pembelajar.

Tapi, lagi-lagi, saya rasa, bentuk protes karena ketidaksiapan untuk presentasi adalah sah-sah saja dan patut saya gugat sebab itu kepentingan banyak orang. Terlalu banyak waktu hangus lantaran keberadaan orang-orang yang selalu merasa tidak siap dan itu merugikan banyak pihak dan itu bukan satu dua kali beralasan demikian, bukan? 

Maksudnya adalah mahasiswa yang beralasan “tidak siap” pada dasarnya peralihan dari kemalasan yang ia ciptakkan sendiri.

Lagi, mungkin dalam pikiran mereka saya beralasan karena “ada acara pada hari sabtu” itu tidak tepat dan sebab itulah mereka mengutuk saya sebagai mahasiswa supersibuk dan sebagainya. Ini persoalan prioritas, Kawan. Jika saya beralasan demikian pada hari kuliah mungkin boleh anda mengutuk saya dan menyarankan agar saya memilih prioritas mana yang tepat bagi saya. 

Tetapi, sekali lagi, anda tidak punya kuasa mengutuk orang pada hari diluar hari kuliah. Kenapa anda mempersoalkan hanya karena saya ada acara dan menfokuskan diri untuk melawan mitra bicara anda dengan nada-nada sentimen seolah-olah itu sebuah bentuk kebenaran dan kebaikan?

Lain waktu saya tidak akan menanggapi kata-kata yang bernada sentimen. Lebih baik saya menanggapi nada-nada argumen. Kata-kata sentimen  biasanya hanya akan berujung pada kebencian; sementara kata-kata argumen mengetuk tempurung kepala yang cetek dan biasanya akan melahirkan kejernihan pikiran. Selalu mewanti-wanti diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata sentimen adalah upaya diri untuk tidak membenci. 

Sentimen dan argumen adalah dua hal yang kontradiktif. Oleh karena itu, keduanya tidak mungkin berhubungan romantis, dan karena itu pula, saya harus lebih berhati-hati menanggapi suatu hal yang hanya berujung permusuhan. Caranya adalah dengan tidak menanggapi itu tadi. Namun kadang saya perlu menanggapi jika hal tersebut merugikan diri di hadapan banyak orang.

Dari watak serta sifat mereka (baca: sinisme, sentimen) dapat saya simpulkan: Sesungguhnya, tanpa ia sadari, orang berlagak merendah diri adalah orang yang merasa paling diri dan paling benar sendiri. Sayang, mereka tidak sadar akan hal itu dan mereka sematkanlah kata-kata itu pada mitra lawan bicaranya, eh. Maaf.
Selasa, 31 Mei 2022 1 Komentar

Hari Kelahiran

Setiap waktu adalah kesempatan. Ada dalam kendali setiap diri yang memanfaatkan atau menyia-nyiakan. Dalam ketakutan yang semakin akut, dari waktu ke waktu, yang saya takuti adalah seluruh kejadian yang pernah saya lalui di dunia ini akan terulang kembali. 

Itu sebabnya saya tidak menginginkan hari ulang tahun, tidak pernah menginginkan atau menerima ucapan selamat ulang tahun, dari siapapun, pada hari kelahiran. Saya tidak ingin tahun sudah berlalu terulang kembali dengan seluruh kejadian-kejadiannya, dengan seluruh entah berantahnya. 

Datangnya hari kelahiran, setidaknya bagi saya, adalah waktu kehilangan dan usia diingatkan, dengan kesadaran atau ketidaksabaran. 

Jika saya menerima ucapan selamat atas hari kelahiran, apakah saya berada dalam kesadaran atau ketidaksadaran, serupa pedang yang sewaktu-waktu menghunus kesempatan, dan kemanusiaan manusia dipertaruhkan, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka. 

Selalu ada ketakutan mendera yang tidak bisa dijelaskan dalam kata-kata dan ketakutan itu memungkinkan saya mati dalam kebisingan, cemas dalam kesendirian, tak berdaya dalam kesunyian---dari ribuan pertanyaan tentang kehidupan. 
Minggu, 08 Mei 2022 1 Komentar

Waspadalah!

Pada sore hari di sebuah kafe, dengan duduk santai sambil menikmati sajian kopi, kami mengobrol hal-hal receh-receh seputar kebisingan kampus dan beberapa menit kemudian topik obrolan mengarah pada pengalaman masing-masing dan ia ingin mengatakan sesuatu, dengan arah narasi satu hal, seolah-olah, bahwa dirinya sering dimanfaatkan oleh manusia-manusia berkepentingan. 

"Saya kalo mau minta bayaran dari jurnal yang saya tulis itu, Qin," ia meyakinkan pembicaranya dan saya tahu bahwa ia tidak mungkin berbohong sebab saya kenal dekat, "saya kaya raya, Qin. Tapi ya ..." ia beri jeda kata-katanya, seolah-olah ada sekat kata dalam tenggorokannya. 

Tampak saya melihat ada kekesalan dan kejengkelan di wajahnya ketika kata-kata "tapi ya ..." itu ia tahan, seolah-olah ia ingin memberontak konsep patuh, pada orang-orang yang dianggap guru, yang tidak patut ditiru. 

Ia membuka pikiran saya untuk berpikir realistis pada apa yang kita kerjakan dan saya setuju dengan nasihatnya itu. "Idealis bukan berarti harus menolak upah menulis, Qin." katanya. 

Saya tersenyum seraya menyetujui. "Betul, Mas. Kadang prinsip idealis oleh segelintir mahasiswa dikira harus menolak segala bentuk materi," jawab saya. "Sepertinya mereka punya kekuatan lebih untuk bertahan hidup meski tanpa uang."

Dan ia cekikikan, lalu kemudian menyeruput kopi yang agak mulai kedinginan. 

Saya memahami pengalaman getirnya, karena saya juga pernah mengalami hal serupa, meski bentuk rupa kepentingan itu berbeda. Ia kemudian berterus terang bahwa dilingkungan sekitarnya, banyak orang-orang yang ingin memanfaatkan dirinya; memanfaatkan keahliannya menulis; dengan rupa dan gelagat sama; yang suatu hari jika ada kebutuhan mendesah mereka datang dengan raut muka polos dan semacamnya, berbagai variannya.

Mereka pasang muka polos dan melobi segala cara untuk mendapatkan bantuan dengan tujuan persoalan tugas kampus selesai (dibalik kepolosannya ternyata ada maksud terselubung yang ingin meminta bantuan dan setelah urusan itu selesai, persetan mulai).

Tipikal manusia semacam di atas mungkin banyak dan tidak melulu urusan satu hal dan waspadalah keberadaannya. Sebab keberadaan mereka jauh lebih berbahaya dan konsekuensinya, jika terlanjur masuk ke dalam dunianya: waktu habis oleh kepentingan-kepentingannya, yang sama sekali bukan tanggung jawab kita. 

Sesungguhnya ia tidak pernah menolak jika ada orang yang kesulitan menyelesaikan persoalannya dan meminta bantuannya; jika satu dua tiga kali mereka datang, tentu saja. Tetapi jika urusan bantu-membantu itu berulang-ulang kali dan pekerjaan itu memungkinkan mampu diselesaikan sendiri, kenapa harus merepotkan orang? 

"Kan bisa dipelajari sendiri," katanya. "Bisa dikerjakan sendiri."

Saya mengelaborasi obralan itu dengan realita yang terjadi di kalangan mahasiswa, yang belakangan---oh, jika saya tidak salah baca alamat---sulit gemar membaca. 

"Itulah pentingnya belajar menulis, Qin. Kita dituntut membaca sekaligus menulis," sanggahnya. "Kalau pun belajar menulis bukan untuk jadi penulis. Minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah."

Dan sekali lagi saya setuju. 

Kesulitan mereka menyelesaikan problem kepentingannya---yaitu tugas-tugas kampus itu---adalah minimnya semangat mereka membaca dan menulis. Saya setuju bahwa kalau pun tidak ada niatan untuk menjadi penulis, minimal belajar menulis untuk menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan tulis-menulis. 

Dan tugas-tugas kampus, sialnya, tidak seperti pekerjaan sawah yang berkaitan dengan cangkul, dan kawanannya, sebagaimana kita tahu bahwa, tugas kampus selalu bertali-temali dengan urusan membaca-menulis, kecuali masuk kampus pertanian. 

Dan obrolan sore itu kami tutup dengan misi yang sama: kita harus lebih berhati-hati kedepannya. Manusia-manusia berkepentingan masih berkeliaran di sekeliling kita dan kita harus rela menjaga jarak agar mereka tahu menempatkan diri bahwa dirinya juga mampu menyelesaikan problem ke-diri-annya.
Rabu, 04 Mei 2022 0 Komentar

Menentukan Hidup

Kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari seorang ibu yang kaya, pintar, salihah, keluarga berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya. Tetapi kita bisa memilih dan menentukan hidup, ketika suatu saat kita mulai dewasa, dengan siapa kita bersama menempuh kehidupan baru. Maka wanita salihah adalah pilihannya. 

Memilih wanita salihah melebihi dari keindahan fisik, tentu saja. Ketika suatu saat dipertemukan dengan wanita yang memiliki kepribadian cerdas serta dewasa, cara berpikirnya, seolah-olah ingin hidup membersamainya. Diam-diam saya memerhatikan. Diam-diam saya menaruh perasaan.
Jumat, 01 April 2022 0 Komentar

Pola Pendidikan Keluarga

Terlahir dari keluarga buruh tani, yang jauh dari  tradisi orang-orang berpendidikan, tidak membuat saya gemar belajar, selalu berpandangan sempit akan suatu hal, dan selalu gamang untuk melaju lebih jauh, kerapkali menghantui masa depan pendidikan saya: apakah pendidikan yang saya tempuh hari ini mampu menjemput kesuksesan belajar pada suatu hari kelak? 

Ada baiknya, untuk tidak buru-buru mengurai lebih lanjut tulisan ini, saya yakin dan memang harus yakin sebagai orang beragama; bahwa kewajiban seorang pelajar adalah belajar ... belajar ... dan belajar; sebab itu kunci keberhasilan seorang pelajar yang saya dapat dari guru ketika masih nyantri di pesantren (meskipun hingga kini boleh dikatakan saya masih santri). Dan ada baiknya pula menilik akar persoalan mengapa seorang pelajar terkadang gamang melihat masa depan pendidikannya dan bagaimana kemudian menyikapinya. 

Pola asuh anak yang benar dan baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga, adalah berperan penting dalam menentukan keberhasilan orangtua menyiapkan masa depan pendidikan anaknya. Orangtua yang tidak menguasai pentingnya pendidikan parenting keluarga, akan memperlambat proses belajar sang anak, akan membuat darah tinggi sesaat setelah sang anak menginjak masa remaja-dewasa---jika kesalahan pola asuh mengakar. 

Bisa jadi anak nakal adalah produk kesalahan dari pola asuh keluarga yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar belajar ada pola asuh dan pendidikan yang keliru; bisa jadi anak tidak gemar membaca buku adalah kurangnya buku-buku bagus dilingkungan rumah, tidak serta merta kemalasan anak sepenuhnya. Kita mungkin sepakat bahwa lingkungan pula turut berpengaruh. 

Sebagaimana pengalaman saya semasa kecil dan temuan saya ketika bertemu orangtua yang memperlakukan anaknya secara tidak tepat (untuk tidak mengatakan tidak benar): Ialah orang tua menginginkan anaknya berkata jujur, orangtua menginginkan anaknya gemar membaca; sedangkan pada waktu-waktu tertentu, orang tua kerapkali berkata tidak jujur; orangtua bahkan (sebagian) melarang jika anaknya lebih suka membaca buku-buku cerita. 

Padahal fakta menunjukkan bahwa buku-buku cerita dapat memperkaya imajinasi dan menumbuhkan rasa empati tinggi serta kecerdasan sang anak. Kata Albert Einstein: "Jika anda menginginkan anak-anak yang cerdas, bacakan mereka dongeng. Jika anda menginginkan anak-anak lebih cerdas, bacakan lebih banyak dongeng".

Kembali pada topik "ketidakjujuran orangtua", suatu kali saya melihat seorang bocah sedang bermain di lingkungan rumahnya; yang di temani ibu serta neneknya; karena bocah tersebut terlalu jauh bermain dari lingkaran batas rumah; sang ibu dan nenek itu tidak membolehkannya dan mengatakan, sebagai teguran mungkin, bahwa disekitarnya ada ular! Padahal kenyataannya, di tempat yang dimaksud tidak ada ular. Ibu dan nenek itu telah berbohong agar bocah tersebut tidak terlalu jauh bermain dan berharap mengikuti perintahnya. 

Contoh pola asuh kebohongan-kebohongan kecil mungkin pernah kita temui di sekitar lingkungan rumah atau tempat lain, dengan konteks contoh yang berbeda. Kebohongan kecil "tidak jujur" seperti itulah membuat anak akan memperlakukan orangtua sebaliknya: berkata tidak jujur.

Silakan uji pernyataan ini dan perhatikan pengalaman kebohongan kecil pola asuh tersebut setelah anak menginjak remaja; dan saya telah membuktikannya, bahwa suatu kali orangtua saya berbohong kepala saya; dengan alasan agar saya menuruti akan perintahnya; dan saya sering berbohong kepadanya; dengan alasan tidak jauh berbeda, agar keinginan saya dipenuhi.

Tanpa disadari atau disadari sebenarnya. Bahwa saya telah berbohong atas produk kebohongan-kebohongan kecil orangtua dulu memperlakukan saya, sebagaimana pengakuan di atas. 

Sebenarnya pola asuh keluarga saya bersangkut-paut dengan minimnya tingkat pendidikan. Keluarga saya bukanlah keluarga orang berpendidikan. Ibu mengaku bahwa ibu hanya lulusan sekolah dasar; sementara bapak sekolah dasar pun tak tamat; kata bapak, dulu berhenti pada kelas 3 karena keterbatasan ekonomi. Orangtua bercerita bahwa dulu anak desa bisa sekolah menengah pertama saja dan bisa lulus itu berarti orang berkecukupan---tipikal orang-orang berada. 

Jelas orangtua saya tidak punya bekal pengetahuan cara mendidik anak yang baik, sebagaimana panduan pendidikan parenting keluarga yang seharusnya ia pelajari, namun bapak ibu telah berusaha menjadi orangtua bertanggungjawab dan memberikan pola asuh semampu dan sebaik mungkin.

Terbukti saya dan, adik saya, diusahakan agar menempuh pendidikan selayak mungkin, dengan dorongan semangatnya yang tak pernah saya lupa serta dorongan kuatnya setiap kali saya sedang malas belajar. "Kalau kamu malas belajar, ingatlah orangtua saat berjemur di bawah terik matahari, gotong jagung panas-panas di sawah," katanya pada suatu hari ketika menjenguk saya di pesantren. "Usahakan jangan ikut profesi bapak. Kamu berhak menentukan hidupmu sendiri."

Yang perlu kita sadari adalah bahwa kita tidak bisa meminta pada Tuhan ingin dilahirkan dari keluarga kaya raya, berpendidikan, berkecukupan, dan kesempurnaan lainnya; tetapi sejatinya kita bisa memilih dan menentukan hidup, meski dengan keterbatasan yang kita miliki, bahwa kita berhak menentukan arah hidup; bahwa kita berhak memilih dengan siapa kita kelak menempuh kehidupan baru, dengan bekal pendidikan yang telah kita jalani.
 
Kedua, kita semakin sadar bahwa pola pendidikan keluarga yang baik adalah dipengaruhi oleh lingkungan serta pendidikan baik sang anak; yang kelak menentukan keberhasilan perjalanan pendidikannya; yang akan berdampak pada cara berpikir serta cara bertingkah laku sang anak (sebagaimana orientasi pendidikan pesantren) ketika kelak ia mulai tumbuh dewasa. 

Hal tersebut saya rasakan semenjak masih bocah hingga saya masuk ke pesantren, berlanjut ketika mulai menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan banyak mengenal orang-orang sukses dan bersentuhan dengan buku-buku bagus. 

Terlepas dari kekurangan pola asuh keluarga, setelah kini saya menyadari sebagai mahasiswa, adalah bahwa penting menanamkan dan mempelajari pendidikan parenting serta belajar mengarungi arah hidup.
 
;