Serial sebelumnya, bisa baca di sini.
H+4 Kamis
27, Januari 2022
Yang
paling saya khawatir adalah sakit dan kehabisan uang. Dua kepingan harta yang
sangat penting dalam menjalani hidup.
Orang
kaya punya setumpuk uang serta aset cukup melimpah, tetapi bila jatuh sakit,
uang dan aset tidaklah berarti, dan bisa pula habis karenanya. Orang miskin
sering kehabisan uang, tetapi selama mereka punya kesehatan yang cukup dan
mampu untuk bekerja, saya kira mereka masih ada kesempatan untuk bertahan hidup,
dan tentu saja kesempatan berbahagia.
Tetapi
… bagaimana dengan orang miskin yang tak punya uang dan kesehatan mereka
bermasalah? Saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa menangis. Saya pernah merasakan
pengalaman tersebut (untuk tahu lebih lanjut mengenai pengalaman ini, bisa dengar
di tulisan saya di sini karena berbentuk podcast) tahun lalu—pada masa krisis
pandemi.
Saya
tidak sepakat dengan orang kaya yang kerap mempersempit cara pandang hidup yang
mengatakan, “Lebih baik jadi orang miskin daripada kaya tapi sakit-sakitan.”
Well, tidak semua orang miskin itu memiliki stok kesehatan lebih! Banyak pula
di antara mereka jatuh sakit karena memikirkan uang untuk menopang hidup. Jadi
… mengapa tidak menjadi orang kaya yang kesehatannnya terjaga.
Tentu
saja … mengapa tidak jadi orang kaya yang dapat berbagi sesamanya, tipikal
orang kaya yang sulit dilakukan.
Sakit
menjadi momok menakutkan yang dapat merambat pada segala aktifitas yang sudah
tersusun dengan sempurna dan ketika jatuh sakit, seperti tidak punya tenaga
untuk bergerak; hidup seperti kian tak berarti; hidup bisa merepotkan orang
lain; dan sakit pula merampas kebahagiaan.
Sedikit
orang berbahagia karena sakit; mungkin orang-orang pilihan Tuhan saja yang
dapat menjalani sakit dengan kegembiraan; dengan banyak waktu untuk berdialog
dengan Tuhannya.
Ketika
saya—di tempat PPL—jatuh sakit, remuklah badan saya tidak dapat bergerak;
terbengkalaulah segala jadwal aktifitas yang tersusun dengan rapi; dan saya
hanya mampu menulis catatan ini—sebagai obat untuk menepis sedih—;hanya mampu
mengaji quran—saya tidak bisa meninggalkan aktifitas ini bagaimanapun keadaan
fisik—;hanya mampu membaca buku; dan saya kehilangan waktu membantu kawan-kawan
lain yang tengah sibut melakukan kewajiban.
Dan saya mungkin merepotkan mereka—karena sakit ini.
Maka catatan ini pula
menyadarkan saya pada kelemahan diri dan perlu saya meminta maaf pada
kawan-kawan; dan moga-moga mereka memaafkan saya dan moga-moga saya segera pulih dari
tidur panjang melelahkan ini.
Saya
tidak mungkin dapat melupakan kebaikan-kebaikan mereka; tidak mungkin melupakan
kepedulian mereka terhadap saya; tidak mungkin melupakan perhatian mereka
selama saya sakit; tidak mungkin melupakan Mbak Pink ketika menyodorkan obat
dan minuman siang itu; tidak mungkin saya melupakan kebaikan-kebaikan itu; maka
kalau saja nanti saya sukses—moga-moga saja—tak-lain-dan-tak-bukan adalah
karena ada peran mereka dalam kehidupan saya.
Saya
ingin mencatat kebaikan-kebaikan itu agar saya tidak lupa diri. Ya … agar saya
tidak lupa kalau nanti saya sukses bahwa ada peran mereka dalam kehidupan saya.
Dan saya kini lupa cara menangis berkat menulis catatan ini—yang biasanya kalau
sakit suka menangis khawatir banyak hal. Khawatir hidup merepotkan banyak
orang.