Senin, 28 Februari 2022 0 Komentar

Siapa Berani Bilang Kita Fana?

Yang berani bilang 
kita akan fana siapa? 
Katakan tidak ada!  
kita adalah butir-butir mutiara bak intan permata di lautan yang indah dipandang dan dikenang. 

Yang fana adalah waktu. Kita abadi, kata Pak Sapardi. 

Kita adalah tokoh cerita hidup 
dari waktu fajar ke waktu senja 
dan kita merangkai peristiwa peristiwa, 
yang kita sebut itu cerita, 
yang kita sebut itu kenangan. 

Yang berani bilang 
kita akan fana siapa? 
Katakan tidak ada! 
Dirangkainya setiap senyuman detik demi detik dan waktu menjadi saksi 
bahwa kita akan abadi. 

Yang sirna adalah waktu. Cerita kita abadi. Pun sajak-sajak kita ini.
Minggu, 20 Februari 2022 0 Komentar

Mencintai Sahabat

Untuk mengawali tulisan ini, izinkan saya mengutip kalimat pembuka cerpen, Cuma Teman, karya Raditya Dika: "Kalau ada yang bilang cewek sama cowok mustahil bisa sahabatan tanpa ada perasaan, bawa orangnya ke depanku." 

Kalimat pembuka di atas mengingatkan saya pada pengalaman masa kecil, pada kenangan bersama seseorang, yang agak lebay sebenarnya untuk diceritakan di sini, tetapi saya kira tidak ada salahnya, sebab ini blog saya; karena itu wajar apabila saya menceritakan pengalaman saya tentang arti sebenar-benarnya perasaan, yang kadang bikin saya tersenyum sendiri. 

Orang-orang menyebut itu cinta, aih. 

Dulu saya punya temen dekat. Perempuan. Dekat sekali. Saking dekatnya, keluarga saya menganggap dia sebagai anak sendiri. Apa-apa kebutuhan hidup saya juga kebutuhan hidupnya, makan misalnya. 

Hampir sepulang bermain dan ketika perut mulai keroncongan, makan satu piring adalah tradisi kami. Dan saya tidak malu makan berdua dengannya dan begitu pun sebaliknya; sebab begitulah kebiasaan kami selama berteman bertahun-tahun sedari kecil. 

Kedekatan kami seperti saudara kandung. Persis seperti pandangan orang lain terhadap kami yang menganggap bahwa kami adalah saudara kandung. Dan jelas secara biologis kami tidak ada hubungan darah apapun dan murni hanyalah berteman biasa pada mulanya. 

Saya menganggap dia sebagai sahabat, begitu pun sebaliknya, anggapan dia terhadap saya. Karena kedekatan dan kecocokan bermain itulah keluarga kami bersepakat bahwa kami tidak boleh ada pertengkaran dikemudian hari dan satu sama lain harus saling menjaga, saling mengisi dalam banyak dimensi.

Namun kedekatan "hubungan sahabat" itu membuahkan perasaan. Anda tahu bukan, seperti apa sepasang bocah yang sedang tersengat api perasaan itu? Yeah ... begitulah benih-benih itu sempat meluluhlantahkan hubungan kami. 

Pada mulanya tiap berangkat sekolah kami naik sepeda berdua, bersama pula kawan-kawan rumah lain, yang satu gedung sekolah. Tiap pagi saya jadi supir dia untuk berangkat ke sekolah dan begitu pun sehabis pulang sekolah. Pulang pergi saya jadi supir dia. Yang jaraknya dari rumah ke sekolah cukup jauh, sekitar 4 kilo. Sesekali saja dia jadi supir kalau kelihatan saya ngos-ngosan dan biasanya tidak lama, cukup beberapa kilo, selanjutnya berganti posisi saya sebagai supir. 

Di sekolah, hubungan persahabatan kami cukup terkenal lekat di mata guru dan kawan-kawan bermain. Tidak ada indikasi bahwa kami ini punya hubungan spesial. Dalam pandangan mereka, kami adalah saudara kandung. Dan fakta sesungguhnya, adalah bahwa kami sebagai teman dekat atau kata lain sahabat, bukan seperti anggapan mereka, tentu saja. 

Sebagai sahabat, satu sama lain, kadang ada perseteruan ganas dan untuk meredupkan amarah, salah satu di antara kami harus ada yang mengalah dan biasanya, saya yang mengalah sebab perempuan katanya selalu benar dan lelaki selalu salah. 

Tetapi, apapun persoalannya, kami tetap saling  mengerti dan menjaga kepercayaan sebab itulah hubungan kami cukup terkenal baik di mata orang-orang dan tidak mungkin ada hubungan nyeleneh. Namun, dalam perjalanan menjalin persahabatan  yang cukup dramatis pada satu sisi dan simetris di sini lain, adalah kejanggalan itu pasti ada, yang sulit sekali bagi kami untuk saling jujur. 

Dan, tentu saja, saya tidak mungkin. 

Saya tidak mungkin melupakan tentangnya sebab dialah yang mengajari saya tentang arti cinta sesungguhnya; begitu pun sebaliknya, dia terhadap saya. Yang pernah saling memberi perhatian, ketulusan, dan kepercayaan bahwa kami harus merawat perasaan sesungguhnya dan persahabatan sesungguhnya. 

Hingga hari ini kami masih berhubungan erat meski satu di antara kami sudah berkeluarga dan punya kebahagiaan lain bersama anak dan suami. Meski demikian, tentang curhatan masa kecil ini, tidak perlu pula anda bertanya, apakah saya masih menaruh perasaan?

Dan saya membetulkan kalimat pembuka cerpen di atas, atas kejujuran masa kecil dulu. Untuk menjawab pertanyaan di atas jelaslah bahwa saya pun memiliki kebahagiaan yang sama sebab itulah saya menulis tentangnya
Senin, 14 Februari 2022 0 Komentar

Membaca untuk Bersenang-senang

Apa penyebab anak Indonesia malas membaca buku? Saya kira jawabannya adalah pemahaman anak serta orang tua (mungkin juga guru, meskipun tidak semua guru dan orang tua beranggapan demikian) bahwa membaca buku identik dengan belajar. Fenomena pemahaman demikian mengakar dalam benak anak serta orang tua bahwa membaca buku ya berarti untuk belajar.
__
Selengkapnya baca di sini.
Jumat, 04 Februari 2022 0 Komentar

Sial

Ini adalah perasaan paling sial yang pernah singgah, racun yang tak tercium oleh waktu, digerogoti oleh peristiwa-peristiwa memilukan, yang tiap hari melangkah ke sebuah arah, namun tak tentu menemukan tempat berteduh di gubuk kebahagiaan.

Persinggahan itu tak menemukan makna tepat hingga hujan arang itu membakar diri, yang menyambar-nyambar ke segala vital, yang lebur menjadi debu. 
0 Komentar

Sakit

Serial sebelumnya, bisa baca di sini.

H+4 Kamis 27, Januari 2022

Yang paling saya khawatir adalah sakit dan kehabisan uang. Dua kepingan harta yang sangat penting dalam menjalani hidup.

Orang kaya punya setumpuk uang serta aset cukup melimpah, tetapi bila jatuh sakit, uang dan aset tidaklah berarti, dan bisa pula habis karenanya. Orang miskin sering kehabisan uang, tetapi selama mereka punya kesehatan yang cukup dan mampu untuk bekerja, saya kira mereka masih ada kesempatan untuk bertahan hidup, dan tentu saja kesempatan berbahagia.

Tetapi … bagaimana dengan orang miskin yang tak punya uang dan kesehatan mereka bermasalah? Saya tidak bisa menjawab dan hanya bisa menangis. Saya pernah merasakan pengalaman tersebut (untuk tahu lebih lanjut mengenai pengalaman ini, bisa dengar di tulisan saya di sini karena berbentuk podcast) tahun lalu—pada masa krisis pandemi.

Saya tidak sepakat dengan orang kaya yang kerap mempersempit cara pandang hidup yang mengatakan, “Lebih baik jadi orang miskin daripada kaya tapi sakit-sakitan.” Well, tidak semua orang miskin itu memiliki stok kesehatan lebih! Banyak pula di antara mereka jatuh sakit karena memikirkan uang untuk menopang hidup. Jadi … mengapa tidak menjadi orang kaya yang kesehatannnya terjaga.

Tentu saja … mengapa tidak jadi orang kaya yang dapat berbagi sesamanya, tipikal orang kaya yang sulit dilakukan. 

Sakit menjadi momok menakutkan yang dapat merambat pada segala aktifitas yang sudah tersusun dengan sempurna dan ketika jatuh sakit, seperti tidak punya tenaga untuk bergerak; hidup seperti kian tak berarti; hidup bisa merepotkan orang lain; dan sakit pula merampas kebahagiaan.

Sedikit orang berbahagia karena sakit; mungkin orang-orang pilihan Tuhan saja yang dapat menjalani sakit dengan kegembiraan; dengan banyak waktu untuk berdialog dengan Tuhannya.

Ketika saya—di tempat PPL—jatuh sakit, remuklah badan saya tidak dapat bergerak; terbengkalaulah segala jadwal aktifitas yang tersusun dengan rapi; dan saya hanya mampu menulis catatan ini—sebagai obat untuk menepis sedih—;hanya mampu mengaji quran—saya tidak bisa meninggalkan aktifitas ini bagaimanapun keadaan fisik—;hanya mampu membaca buku; dan saya kehilangan waktu membantu kawan-kawan lain yang tengah sibut melakukan kewajiban.

Dan saya mungkin merepotkan mereka—karena sakit ini. 

Maka catatan ini pula menyadarkan saya pada kelemahan diri dan perlu saya meminta maaf pada kawan-kawan; dan moga-moga mereka memaafkan saya dan moga-moga saya segera pulih dari tidur panjang melelahkan ini.

Saya tidak mungkin dapat melupakan kebaikan-kebaikan mereka; tidak mungkin melupakan kepedulian mereka terhadap saya; tidak mungkin melupakan perhatian mereka selama saya sakit; tidak mungkin melupakan Mbak Pink ketika menyodorkan obat dan minuman siang itu; tidak mungkin saya melupakan kebaikan-kebaikan itu; maka kalau saja nanti saya sukses—moga-moga saja—tak-lain-dan-tak-bukan adalah karena ada peran mereka dalam kehidupan saya.

Saya ingin mencatat kebaikan-kebaikan itu agar saya tidak lupa diri. Ya … agar saya tidak lupa kalau nanti saya sukses bahwa ada peran mereka dalam kehidupan saya. Dan saya kini lupa cara menangis berkat menulis catatan ini—yang biasanya kalau sakit suka menangis khawatir banyak hal. Khawatir hidup merepotkan banyak orang.

 
;