Oleh: Fathur Roziqin
Setiap orang berpotensi melakukan tindak kejahatan. Sekalipun ia orang baik, berpendidikan, normal secara akal sehat dan hati nurani, taat pada aturan, namun ia akan melakukan tindak kejahatan bilamana pikiran telah buntu, tak dapat mengkritisi suatu hal, dan kurangnya daya imajinasi. Kematian Gilang Endi Saputra, mahasiswa yang meninggal saat mengikuti kegiatan Latihan Dasar (Diklatsar) Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS Surakarta itu, adalah korban dari ketidakmampuan seseorang atau si pelaku tindak kejahatan, yang tak dapat mengkritisi suatu hal, kurangnya daya imajinasi, yang biasa mereka anggap “hal biasa” sebagai tradisi penguatan (atau menguji) mental mahasiswa militanisme senioritas-junioritas organisasi kampus.
Yang dalam bahasa Hanna Arent, seorang filsuf politik kelahiran (1906) Hanover, Jerman, disebut banalitas kejahatan.
Pasalnya, kematian Gilang bukanlah satu-satunya korban Diklatsar-Menwa ini. Pada 2013 pernah terjadi penganiyaan mahasiswa hingga nyawa melayang, selain penganiayaan kepada peserta Diklatsar lain tentu saja.
Novaria Putri Yudianti, alumni Diklatsar-Menwa angkatan 2013, bercerita di twetternya, pada tahun itu, pernah terjadi kasus penganiayaan hingga nyawa melayang yang menimpa kawannya, Rochim Haritsah. Ia bercerita bagaimana kekejaman ketika mengikuti kegiatan selama tiga minggu (baca selengkapnya tweet: Novaria Putri Yudianti). Singkatnya, budaya kekerasan di organisasi Menwa ketika diklat dari tahun ke tahun di setiap angkatan itu benar-benar terjadi adanya. Dan budaya kekerasan di organisasi kampus kerap terjadi tanpa peduli apa dampak pada si korban. Biasanya pelaku ini berdalih bahwa tradisi tersebut adalah bekal untuk menguji-menguatkan mental mahasiswa! Dan bagi mereka hal itu dianggap “biasa/kewajaran”.
Mengatakan bahwa tradisi atas nama menguji mental dengan cara menganiaya junior itu seperti bentuk legitimasi untuk menghalalkan tindak kekerasan-kejahatannya. Adakah bukti ilmiah yang mengatakan bahwa melakukan tindak kekerasan-kejahatan kepada mahasiswa itu dapat meningkatkan mental mahasiswa? Saya belum mendengar para ahli psikolog mengatakan demikian bahkan bersentuhan dengan teks sekalipun tindakan ekstrim tersebut dapat dibenarkan secara keilmuan. Dan saya menunggu keabsahan informasi tersebut.
Mari kita bertanya: bagaimana kekerasan-kejahatan itu bisa terbentuk, dalam sebuah aksi, bahkan orang-orang tampak baik-berpendidikan sekalipun? Mari kita mencoba melihat-memutar peristiwa pada 1961.
Adolf Eichmann, seorang perwira yang patuh, tokoh peran penting dalam mengorganisir holocaust (pemusnahan massal), melarikan diri ke Argentina dengan identitas palsu, Ricardo Klement, namanya. Ia tinggal di bagian San Fernando di Buenos Aires. Ia diberi tugas mengatur-mengumpulkan data untuk mendeportasi orang-orang Yahudi di bawah naungan Jerman oleh atasannya, Letnan Jenderal Reinhard Heydrich. Ia pernah membunuh orang-orang Yahudi sekitar tiga hingga empat juta sebelum akhir perang dunia II.
Pada 11 Mei 1960 agen intelijen Israel, Mossad, menangkap-membawanya di meja pengadilan atas tindak kejahatannya yang pernah ia lakukan pada orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Perdana Menteri Israel, Ben Gurion, mengumumkan Adolf Eichmann ditahan Israel. Ada sekitar 500 jurnalis dari seluruh dunia menuju ke Yerussalem untuk menghadiri persidangan. Satu di antara 500 jurnalis itu, Hanna Arent. Pada 11 April 1961 s.d 14 Agustus 1961 Arent melakukan penelitan bagaimana kekerasan-kejahatan yang dilakukan Adolf Eichmann dapat terbentuk.
Sekilas mungkin kita menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, bengis, takberperikemanusiaan karena telah melayangkan jutaan nyawa orang Yahudi. Persis anggapan kita seperti anggapan Jaksa Israel pada Eichmann pada waktu itu. Banyak orang menganggap bahwa Eichmann adalah orang jahat, kejam, penuh dendam pada orang-orang Yahudi, begitu persepsi para Jaksa Israel. Namun hasil penelitian Arent berkata lain. Eichmann, dalam pandangan Arent, adalah orang biasa, normal secara akal, dan patuh pada aturan hukum.
Arent tidak menemukan tanda-tanda pada diri Eichmann bahwa ia melakukan tindak kejahatan atas kemauannya sendiri. Sebagai perwira militer yang taat, patuh terhadap aturan militer, maka ia wajib patuh aturan militer. Dan sikap patuh dalam dunia militer, bagi Eichmann, adalah keharusan, bukan kejahatan. Artinya kepatuhan seorang Eichmann adalah sesuatu yang wajar dalam dunia militer. Karena, sekali lagi, kepatuhan adalah bentuk kesetiaan pada negara. Ia merasa tidak bersalah atas kelakuan kejamnya. Bahkan ia bersikukuh keras dan tak pelak ia bahkan menentang-membela diri di pengadilan itu.
Menurut Arent, Eichmann sama sekali tidak sadar atas sikap patuhnya pada atasannya mengakibatkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Inilah dalam bahasa Hanna Arent disebut banalitas kejahatan. Suata kejahatan bertumpu mulanya pada ketaatan aturan hukum tanpa disertai pikiran kritis dan tumpulnya rasionalitas dihadapan aturan. Sehingga ia tak sadar bahwa aturan tersebut membahayakan nyawa orang lain (baca: tugas dari Letnan Jenderal Reinhard Heydrich).
Istilah banalitas sendiri, secara etimologis, berarti menganggap biasa atau kewajaran, kewajaran menjalankan sebuah perintah. Banalitas kejahatan terbentuk ketika seseorang atau pelaku tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, rasionalitas tunduk pada aturan (perintah). Pandangan Arent terhadap Eichmann bahwa ia bukanlah sosok yang bodoh, kejam, melainkan ia orang yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, menilai sebuah perintah, dan kurangnya daya imajinasi. Akibat ketidakberpikiran menelaah sebuah perintah itulah Eichmann pun bertindak brutal hingga nyawa jutaan orang Yahudi pun melayang di tangannya, rasio tunduk pada aturan. Kedua, akibat kurangnya imajinasi, hati nurani Eichmann sebagai manusia pun pudar.
Jika kita mengaitkan-mengkontekstualisasikan kasus kematian Gilang dengan peristiwa pada 1961 (baca: holocaust) ada keselarasan, di mana, pada masa itu, bunuh-membunuh adalah “hal biasa/kewajaran” seorang perwira militer dalam menjalankan tugasnya untuk membersihkan kota, membasmi kehadiran orang-orang Yahudi, yang mulai beroperasi 20 Agustus 1938. Dengan meminjam pemikiran Hanna Arent, apa yang terjadi di Diklatsar-Menwa merupakan bentuk tradisi dari tahun ke tahun yang mereka anggap sebuah “kewajaran/hal biasa” atas dasar menguji-menguatkan mental mahasiswa sebagai kultur Diklatsar-Menwa. Siapa yang mewariskan tradisi brutal itu kalau bukan senior terdahulunya? Kejahatan yang dilakukan oleh kedua tersangka mungkin didorong atas kepatuhannya dan nalurinya terhadap otoritas tempat (si pelaku banalitas kejahatan) itu bernaung di organisasi Menwa. Dan tanpa ia disadari (kedua tersangka panitia) telah merenggut nyawa orang lain.
Titip penting yang ingin saya sampaikan adalah ketika kekerasan di anggap hal “biasa/kewajaran” oleh suatu golongan dan mereka anggap hal itu bentuk keharusan-kepatuhan dari tradisi—maupun senior (yang membuat aturan tak selaras dengan sisi kemanusiaan)—itulah kebobrokan-ketidakberpikiran menelaah dampak apa yang bakal terjadi. Dan opini ini adalah upaya saya meminjam pemikiran Hanna Arent dalam menjelaskan situasi kejahatan yang kerap kali berseliweran di dunia organisasi kampus atas alasan pembentukan mental mahasiswa dengan cara-cara tak manusiawi. Lahu al-fatihah untuk Alm. Gilang Endi Saputra…
___
Pertama dimuat koran Radar Jember (Kamis, 11/11/2021)