Ceritanya, berlatar belakang langit sore gelap gulita. Mendung. Hujan tak turun, tapi tak dinanti sebagian orang, juga dinanti sebagian orang lainnya. Kalaupun turun, mari bersyukur.
Sore itu diawali menuju Masjid Raudhatul Mukhlisin.
Bangunan masjid ini terlihat begitu jumawa, mengasyikkan mata dan terkesan futuristik. Kita diajak melihat masjid ini seperti layaknya di negara Turki. Arsitektur masjid ini didominasi warna Kuning dan Jingga. Khat Arabic di tulis pakar piawai. Pilarnya dihiasi ornament layaknya istana. Aku mencoba menembak; pasti arsitek masjid ini orang Jepara (dalam hati). Mohon maaf, aku enggan melakukan penelitian (sekedar menerka saja). Hehehe. Dus, siapapun berada di masjid ini akan betah, disusul dengan karpet merah, indah warnanya, nyaman untuk tasyakur bin nikmah -- dengan bersujud padanya.
Kisaran lima belas Remaja Masjid itu menghitung sumbangan kotak akhirat, dalam hati kecilku berujar, " semoga kalian (Remaja Masjid) mendapat ganjaran setimpal telah menyumbangkan tenaga kecilmu untuk mengurus Rumah Allah ini, dan semoga para dermawan yang telah mengeluarkan sebagian hartanya sebagai pensucian jiwanya." di akhiri ucapan āmin āmin, dalam hati.
Aku ke masjid tidak untuk sembahyang dan baca Qur'an, tapi aku hendak menemui takmir masjid. Berkeperluan mengadakan acara besar, perihal pengundangan seorang Tokoh novelis Adikarya Ayat-ayat Cinta ternama Indonesia. Kang Abik, panggilan akrabnya. Pasti para pecinta Novel Islami kenal nama panggilan ini. Tak perlu aku tulis nama beliau dalam cerita pinggir ini. Mengapa? Karena Beliau sudah ternama. Untuk yang belum ternama saja tulis, semisal, Fathur Roziqin misalnya,... Penulis cerita pinggir ini. Hehehe.
Sore itu aku tidak sendirian, melainkan ditemani kawan, namanya; Rul (untuk tidak melengkapi nama aslinya, Khoirul). Dia sewaktu berbincang dengan takmir masjid, agak tampil konyol. Kisanak,! ternyata takmir masjid yang hendak kita temui adalah dosennya dia. Dan Rul, dia lupa 90 derajat Wkwkwk. Dasar Rul! Konyol...
Begini.., sketsa obrolan kami:
"Dari mana, mas." Tanya takmir.
"Saya dari komunitas Intellectual Movement Community (IMC), pak. IAIN Jember. Kedatangan kami kesini, ada kepentingan perihal pengundangan seorang tokoh novelis Indonesia. Beliau juga dalam buku-buku-nya banyak mengangkat keislaman, memang latarbelakang beliau dari pesantren. Nah, kami ingin bekerjasama dengan takmir masjid di sini, untuk menempatkan acaranya di masjid, pak." niat baik Rul.
"Oh, njeh. Boleh mas. Silahkan mengajukan proposal saja, tulis siapa saja yang mau di undang. Kira-kira kapan acaranya." Tanya Pak takmir.
"Insyaallah bulan Maret depan, pak." Jawab Arul.
"Prodi apa samean, mas."
"Saya: kalau saya prodi Manajemen Zakat dan Wakaf, pak."
"Arul: saya pendidikan agama Islam, pak."
"Saya juga dosen IAIN juga mas, di Tarbiyah."
"Loh, iya tah pak.!" Arul nampak begitu kaget, plus mulai muncul ingatannya.
"Saya ngajar Ilmu Kalam, dan ilmu keislaman lainnya, mas."
"Apa Bpk yang namanya, Pak Mahrus?"
"Iya, betul mas."
"Owalah, berarti kenal sama Fikri nggeh Pak"
"Dia ponakan saya mas. Ayahnya Fikri itu Mas saya"
"Saya dulu pernah diajari jenengan waktu semester empat, Pak. Baru ingat ini pak." Dengan canda tawa aku melihat Rul.
Dosenya sendiri sampai lupa. Setidaknya ada dua kemungkinan mengapa Rul sampai lupa: pertama, mungkin dia (Rul) jarang masuk waktu kelas (kuliah) beliau. Kedua, mungkin juga dia (Rul) dalam ingatannya --- hanya kekasih tercintanya; kalaupun ada. Wkwkwkw.
Di tutup salam.... Dan wassalam pamit pulang. Dan aku pamit ke Rul, untuk melanjutkan perjalanan menuju Gramedia membeli buku.
Matahari sore masih tetap redup di petala langit. Awan abu-abu kehitaman menggelayut, ditambah angin makin kesana-kemari. Mengipasi kulit yang licin di sekujur tubuh ini. Musim kemarau belum benar-benar tiba waktunya. Musim hujan kini mulai berjatuhan. Rerumputan di area di pinggir jalan tak nampak haknya sebagai hiasan bumi. Ia tak di beri hak untuk menampilkan kehijauannya sebagai lestari lingkungan. Ranting-ranting pepohonan mulai berguguran di pelataran area jalan. Angin berseliweran, tak ada hujan, tetapi angin bertiup kencang. Suaranya seperti mendesau-desau. Sayup-sayup angin segar terdengar kemuruh disana. Tapi tak disusul suara petir kala itu, sebatas angin kencang di jalanan perkotaan Jember.
Suara khas knalpot masing-masing memberi irama dan jalanan sesak oleh asap knalpot. Polusi terjadi tiap hari. Sebagian pengendara memakai masker, sebagian lainnya cukup helm. Mobil itu melaju lebih cepat dibandingkan motor yang aku tunggangi, melewati garda terdepan, di sebelah kanan dan terus melaju ke depan; aku tak menututinya.
Beberapa jurus kemudian, aku telah sampai di pertigaan Talang Sari belok ke kanan dan terus melaju hingga memasuki separuh perjalanan menuju Gramedia. Sendirian.
Semakin dekat dan semakin mendekat, telah sampai tujuan.
Area pelataran Toko itu motor dan mobil berceceran, saling membariskan tubuhnya. Sang penjaga kendaraan ramah pada pengguna jalan, sesekali ia memberi senyuman sembari menerima upahnya. Dari sang orator kendaraan ini aku belajar; setidaknya mengenai amanah. Menjaga barang milik orang lain.
Klik.., helm menempati haknya istirahat, dan motor menjadi sandarannya.
Aku bergegas masuk Gramedia...
"Ada yang bisa saya bantu, Mas." Tanya pelayan.
"Saya cari buku Kondom Gergaji, Mas." Jawabku.
"Sebentar, Mas. Saya carikan ya..."
Buku Kondom Gergaji, terlintas aneh judulnya, menarik isinya. Sebuah esai yang di tulis oleh Cak Dhofir Az-Zuhri. Seorang filosof muda NU online. Biasanya, beliau mengisi kajian di NU online. tiap Hari Minggu jam 16:00 wib Sore.
Sore itu di Gramed, aku tengah asyik menemukan buku bagus. Judulnya, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu. Ditulis oleh: P Swantoro. Buku ini menarik sekali aku baca, isinya menggiurkan. Di dalamnya, terdapat buku-buku yang berceceran dan kelebihannya, buku ini lengkap dengan nama Penulis, Tahun, sampai Penerbit, dan halaman. Dan kekurangannya dompet aku tak memenuhi untuk meminangnya. Harganya, sekitar seratus ribu ke atas. Berikut sekelumit hasil bacaan (Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu) aku.
Buku P. Swantoro ini adalah kumpulan kisah tentang manusia. Dari berbagai negara, dari berbagai peristiwa, dari aneka sifat dan wataknya, penulis mencoba mengambil bagian yang menarik dari manusia sebagai objek sejarah.
Manusia. Dalam sejarahnya, P. Swantoro tuliskan Socrates, yang mati karena menenggak racun. Ia dihukum karena dituduh merusak generasi muda. Dan P. Swantoro, juga menuliskan kisah tentang Thomas More Perdana Menteri Inggris di abad XVI. Thomas More akan selalu dikenang karena telah menuliskan kitab klasik yang bertajuk Utopia.
Thomas More, tergolong manusia malang. Ia harus menjalani hukuman mati potong leher di usia 57 tahun. Ia lengket berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dimilikinya. Ia diminta untuk menyetujui tindakan Raja Inggris Henry VIII yang hendak menceraikan permaisurinya Chatarina asal Spanyol, dan mengawini Anna Boleyn, dayang Sang Permaisuri (h.35). Karena mempertahankan prinsip itulah, akhirnya Thomas More pun dijatuhi hukuman mati.
Ada hal yang berbeda ketika P. Swantoro menghidangkan kisah tragis itu, ketika menuliskan hukuman mati, meski kita tahu, objeknya adalah “manusia”. Ada kecenderungan P Swantoro meletakkan kisah muram tentang manusia ini sebagai sebuah kaca benggala bagi kita. Bahwa manusia itu pelik. Pantaslah kalau Pramoedya pernah menyinggung tentang manusia ini. Meski kita memiliki pengetahuan yang cukup mafhum, manusia tetaplah tidak sesederhana yang kita pikirkan.
Di tengah asyik membaca, tiba-tiba,
"Mas, tolong carikan buku fiksi untuk anak saya." Datang pasangan suami istri separuh baya tergesa-gesa mencarikan buku untuk anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). "Tapi jangan Novel percintaan ya, mas." Tegas pintanya. " Enjeh, buk." Jawab pelayan Gramed.
Aku yang khusuk membaca buku P. Swantoro itu, seketika teringat buku lautan sastra yang pernah aku baca, Caping-nya, Goenawan Mohamad -- kata "fiksi" dalam kisah Yunus, kata Gabriel Garcia Marquez. Pengarang Seratus Tahun Kesenyapan ini mengatakan, "Fiksi dimulai di satu siang ketika Yunus pulang ke rumahnya dan meyakinkan istrinya bahwa ia terlambat tiga hari karena ditelan ikan paus." Tokoh Yunus yang dimaksud Gabriel adalah yang disebut dalam Alkitab dan Al-Qur'an.
Kata "fiksi" berasal dari Prancis abad ke-13, ficcion, "sesuatu yang ditemukan atau dibayangkan dalam pikiran". Kata GM. Fiksi berarti karya sastra dalam bentuk novel dan cerita pendek. Ia bertali-temali dengan kata fictum dalam bahasa Latin yang berarti "palsu", "tiruan". Tetapi "fiksi" tidak melulu buruk dan terkutuk. Gabriel menyatukan kembali "fiksi" --- cerita yang digubah dalam imajinasi dalam novel yang Tokoh muktamarnya Yunus.
Tak lama kemudian, pelayan Gramed itu menunjukkan buku yang dicari ibu tadi; novel remaja. "Ini, buk. Novelnya." Hatur pelayan. "Berapa ini, mas." Tanya sang ibu. Aku dengar harga buku itu Lima Puluh Ribu ke atas. Serentak tawar sang ibu, "Boleh kurang mas. Tiga lima ya, mas?" Dengan suara yang keras. "Tidak bisa ibu. Ini harga pas" Jawab pelayan dengan senyum hormat.
"Coba carikan yang lebih murah, Mas. Tapi yang bagus juga isinya." Pintanya.
Aku yang tak sengaja mendengar hal itu -- di buat senyum tipis manis kehilangan konsentrasi saat membaca buku yang aku pegang. Yeah, ibu itu bikin aku cengengesan sendirian. Wkwkwkw...
Mari kembali ke buku Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu.
Dalam buku ini, kita diajak berpetualang menelusuri dan menyimak pengisahan tentang manusia. Kisah seorang Ghandi yang menurut aku cukup menarik : Ghandi, sebenarnya bukan seorang yang doktriner. Pemikirannya selalu mengalami perkembangan, proses, evolusi. Tiap hari Senin, ia mengunci rapat mulutnya. Pada hari itu, ia lebih memerhatikan dirinya, dan untuk menulis gagasan-gagasan cemerlang.
Buku ini layaknya karya jurnalisme, apa yang ditulis oleh P. Swantoro ini boleh dikatakan langka di negeri kita. Model penulisan memakai Metode jurnalisme-histori, layak untuk diteruskan, mengingat banyaknya manusia indonesia dengan berbagai peristiwa dan peranannya yang ada di negeri ini. buku ini tetap membuat kita enak membacanya. Anda tertarik untuk membacanya? Silahkan baca versi digital di-Ipusnas. Gratis. Jangan lupa! Siapkan Kouta...
Mengingat waktu sore mulai redup, dan cuaca kurang mendukung. Buku yang aku cari hanya dapat yang terbaru karya Gus Dhofir Az-Zuhri, Nabi Muhammad bukan Orang Arab. Dan Kondom Gergaji tidak dapat aku beli, stoknya habis.
Sejurus kemudian, aku berniat pulang dan mampir ke kasir untuk membayar belanjaan. Belum sampai ke tempat kasir, tiba-tiba seorang gadis pelayan Gramed mengenaliku dan aku mengenalinya, "Eh, Mas, itu ya..." Sapa gadis itu menunjuk dengan tangannya. "
Oh, ya... Siapa dah ini..." Seketika aku amnesia.
"Hayo... Siapa aku?" Gadis itu memaksa aku mengingat siapa dirinya. Tapi aku nyaris pingsan bukan kepalang, otakku tak berfungsi pada waktu itu. Melihat kanan-kiri pelayan dan pelanggan lain memerhatikan kami berdua.
"Aku Mas, aku... Adeknya, E (untuk tidak menyebutkan namanya)"
"iya ya... Tapi siapa dah, namanya, santri Sultan Agung itu pokoknya." Tetap saja ingatanku tak muncul siapa namaya. Padahal, dulu kita satu pesantren.
"Aku mas, D (nama depannya)." Terpaksa dia menyebutkan namanya sendiri.
"Nah, iya itu... D. Mohon maaf ya.., Lupa." Akhirnya, amnesiaku sembuh seketika.
"Owalah Mas, kok sampek lupa. Oh, ya Mas. Sekarang ada dimana?"
"Masih ada di pesantren. Tapi tidak lagi di Sultan. Tapi di Ponpes Miftahul ulum sambil kuliah." Jawabku
"Alhamdulillah kalau begitu. Memang kuliah dimana? Jurusan apa?" Tanya-nya celoteh penuh gembira. Pun juga aku melihatnya.
"Kuliah di IAIN Jember di jurusan Manajemen Zakat dan Wakaf."
"Hemmm... Sudah lama di Jember?"
"Ya... Sekitar satu tahun lah. Lumayan lama. Sambil ngajar juga di sana. Biasa.., sekarang jadi ustadz dadakan. Hehehe" candaku mulai menghiasi obrolan.
"Wah, bagus dong kalau begitu..." Balasnya.
"Mas, samean pernah ke pondok gak?" Lanjut tanya dia.
"Terakhir kemarin waktu sholat Ied di pesantren, setelah itu tidak lagi ke pesantren. Juga habis itu dari Lampung juga." Terangku padanya, dengan senyam-senyum tipis.
"Sudah besar sekarang ya... . Dulu kecil banget.., beda banget sama yang dulu."
"Ya dong Mas... Ini sekarang aku." Dengan raut wajah ceria ia melambaikan senyuman.
"Lagi cari apa Mas, kesini..."
"Ini lagi beli buku... Nabi Muhammad bukan Orang Arab?" Aku menunjukkan buku ke hadapannya.
"Semoga bermanfaat ya..."
"Sebenarnya, ada yang masih aku cari. Tapi stoknya sudah habis, Katanya..."
"Memang cari buku apalagi?"
"Ini buku Kondom Gergaji."
Sepertinya, dia mendengar buku yang aku sebutkan terasa aneh. Tapi sebetulnya, itu buku menarik dan sangat aku butuhkan waktu itu.
"Hemmm... Biasanya, kalau tidak ada. Bisa pesan lewat online. Paling lama, tiga hari empat hari." Dengan senyum indah ia terangkan.
"Iya. Sudah aku cek barusan. Ada kalau beli online..." Terangku padanya.
Obrolan kami nampak begitu asyik sekali...
Tak terasa aku terlelap dalam balutan kesopanannya. Sebab, dia sungguh seorang gadis yang senantiasa ceria. Penghabisan dari setiap kalimat dari bibirnya selalu diiringi tawa. Wajahnya tertimpa surga. Cemerlang matanya terapit dua alis yang tersusun rapi dan rapat, seolah pernah sengaja dia bentuk agar berkomposisi sempurna. Hidungnya sederhana (untuk tidak mengatakan pesek), bibirnya segaris saja, terlihat ikhlas ketika senyum.
"Gimana, sekarang sudah kelas berapa? Sekolah dimana?" Tanyaku padanya.
"Ini sekolah di SMK Negeri 4 Jember. Sekarang sudah kelas 2."
"Aku sering loh.., beli buku disini hampir tiap setengah bulan. Tapi tidak pernah ketemu samean?"
"Iya, Mas. Aku masih baru disini. Aku sekarang lagi PSG disini." Lanjut jawabnya.
"Oh. Iya iya... Dulu kita terakhir ketemu dimana ya? Sampai lupa dah. Hehehe"
"Itu Mas. Aku boyong dari pondok pas kelas enam MI."
"Owalah. Oke-oke. Sekarang tinggal dimana. Disini, Ngekos apa gimana?"
"Tinggal sama orang tua di Tegal Besar sana."
"Dekat ya..." Ujarku. Well. Dalam hati, siap kalau di suruh main kerumahnya. Yeah. Ngarep!!!
"Iya... Di daerah Perumahan Queen Gardenia."
"Oke-oke siap. Tapi aku tidak bisa lama-lama ini. Lain kali, kalau bisa sekiranya ada reoni gitu..., Biar tidak putus hubungan."
"Iya, Mas." Jawabnya dengan senyum.
"Oh iya. Gimana nanti kalau sudah ada bukunya. Apa bisa aku hubungi samean." Pintaku padanya.
Sebenarnya, aku mau terus terang, mau minta nomor WhatsAppnya. Namanya orang malu.., takut dikira apa nanti. Bisikku dalam hati kecik.
"Wah, aku gak bawa hp Mas. Gini aja, sini tak catat nomor WhatsApp samean, nanti tak Chat ya..." Responnya.
Ulu-ulu. Malah dia yang mau catat WhatsAppku. Yeah. GERE banget Lo Thur... Senang campur malu sebetulnya...
Sejurus kemudian, aku serahkan nomer WhatsAppku padanya. Dia tulis nomorku di tangan kirinya.
"Oke, Mas. Nanti kalau ada, tak kabari langsung ya..." Ujarnya.
"Oke-oke siap. Aku pamit pulang dulu ya..."
Di tutup senyum perpisahan. Dia membalas senyuman manisnya.
"Iya, Mas. Hati-hati dijalan." Perhatiannya.
Orang-orang pelayan-pelanggan diam, tersenyum tanya? menyeludupkan reaksi tak biasa ketika melihat seorang berpakaian taqwa kehitaman bercorak sulit diungkapkan warnanya, dan bersarung ala kaum sarungan; ciri khas santri. Berbincang tawa dengan seorang Gadis cantik nan jelita. Ia berbaju seragam Gramedia. Pakaianku khas santri. Sandal jepit berwarna putih dengan tali biru, lilitan kakiku. Santri banget!!!!
Ia adalah bocah kecil Cantik. Wajahnya, layaknya putri seorang tokoh agama. Neng. Biasa santri menyebutnya.
Aku dan dia. Dulu ketika di pesantren satu kelas di Madrasah Al-Qur'an Al-Masya'iyah. Dia lebih dulu masuk pesantren. Saat aku belum masuk pesantren, dia sering seliweran di pelataran sekolah. Lari-lari kecil, kejar-kejaran sama mbknya. Dan santri lain. Siapapun melihatnya senang, sejak kecil sudah dalam penjara suci. Sesekali terkadang nangis tukaran sama mbknya. Mungkin rebutan mainan. Kala itu, dia masih kelas 3 MI awal masuk pesantren. Dan aku duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) kelas 2 pertengahan. Umurku dengannya, sejarak lima tahun. Cocok sekali kalau aku nanti. Yeah. Mulai dah. Angan-angan konyolnya.
Ceritanya, pas pertama kali aku masuk pesantren. Dia bocah yang paling ramai di kelas. Saat pertama kali kenalan, dia santri yang pertama kali nyuruh aku maju di depan sekawan santri. Mulailah aku memperkenalkan diri. Di samping itu ada ustadz. Namanya, ustadz Munir. Di pertengahan perkenalan, aku masih ingat betul celotehannya. Dia sempat bilang, "Hidungnya mancung ya... Ganteng." Ujarnya.
Well. Jadi GE,ER deh. Kalau tidak salah sempat celoteh seperti itu.
Ustadz Munir malah tertawa, "D... Kok sudah tau cowok masih kecil!!" Sentaknya, sambil menahan tawa.
Aku masih ingat betul. Dia berpakaian ala orang Arab. Cadarnya, kesana-kemari. Berbelok-belok tak tentu garis fhaishonnya. Karena memang di pondok di wajibkan memakai cadar waktu sekolah Diniyyah. kala itu, aku memakai baju taqwa berwarna Oren. Sarung juga sesuai dengan warna yang aku kenakan. Cocok.
Setelah perkenalan selesai, dimulailah pelajaran Tarikh. Sampai Wallahu a'lam bishowaaff.