Akhir bulan Juli tahun lalu, 2022, saya—dan kawan-kawan KKN—berkesempatan berkunjung ke salah satu Desa Jampit, Kecamatan Ijen, Bonbowoso. Sebuah desa wisata yang boleh kita sebut lain sebagai desa surga.
Awalnya kami nggak ada niatan pasti hendak jalan-jalan ke desa Jampit tersebut. Meskipun sebelumnya kami sudah tahu bahwa di desa Jampit, tak kalah erotis dibanding desa tempat kami bernaung, Kalianyar. Maka tertariklah kami main-main ke sana, sekadar berlibur.
Sekadar menerima ajakan perangkat desa untuk mengambil sesuatu di desa lain, maksudnya di kantor desa Jampit itu, dan diajaklah kami ke desa Jampit itu yang keindahannya bukan kepalang.
Tapi tak hanya keindahan yang kami rasakan, borok-borok perjalanan pun kami “lewati”—untuk tidak mengatakan “rasakan!”, kata Pak Sopir waktu itu, sekaligus kedinginan akut, padahal waktu perjalanan siang; tepatnya menuju waktu zuhur.
Singkatnya, Pak Perangkat Desa sekaligus sopir pada waktu itu membawa kami dan ingin memberi pelajaran agak penting: sesekali merasakan hidup di desa terpencil dam terpinggir.
Di awal perjalanan, yang melewati desa Sempol, kami biasa-biasa saja ketika naik Mobil Triton GLX, yang mulai masuk perbatasan antara desa Sempol dan desa Jampit, yang dikelilingi kebon kopi, jarak sekitar satu kilo dari tempat tinggal kami, mulailah kami kapok dan bertanya kepada bapak sopir apakah nggak ada jalan pintas, Pak.
“Ada. Tapi jauh lebih ekstrim. Nantilah pulangnya kalian rasakan sendiri,” katanya.
Kami menggerutu, ingin rasanya mengumpat, dan mengajak balik pulang, tapi tak ada pilihan selain melanjutkan perjalanan, sebab tinggal setengah jam lagi, katanya Pak Sopir.
Di babak pertengahan jalanan itu, bukan main tersiksanya kami. Jalanan penuh borok-borok itu sepertinya memang disiapkan bagi pengguna jalan yang sabar nan ikhlas. Bebatuan berukuran besar hampir menutupi jalanan, belum lagi debu-debu beterbangan sesaat kami, dan pengguna jalan lain, berseberangan arah.
Dapatlah kami sabun abu gratisan pada suatu siang; pada jam memasuki salat zuhur itu.
Kami sempat ngoceh di belakang mobil dan bertanya-tanya apakah warga desa Jampit punya puskesmas untuk menampung orang mau melahirkan; dan bagaimana jika pemerintah setempat tidak menyiapkan keperluan mendesak tersebut?
“Ya itu, Dek. Sudah sejak lama kami pikirkan , tapi hingga hari ini belum ada kebijkan dari pemerintah untuk mendirikan niatan mulia itu,”kata Pak Sopir, kala itu.
“Lalu solusinya bagaimana, Pak?” lanjut kami bertanya.
“Di Jampit masih ada dukun beranak. Jadi harapan warga cuma dukun."
"Cuma dukun?"
"Iya, cuma dukun."
Anda tahu—jarak desa Jampit menuju desa Sempol lumayan jauh dan memakan waktu sekitar 45 menit idealnya naik motor; dengan bebatuan yang tajam-tajam. Desa Sempol satu-satunya desa yang paling dekat dengan puskesmas. Tapi, bagaimana akan ditempuh bagi orang yang mau melahirkan, apalagi pada waktu malam?
Kami tak tahu kelanjutan tugas pemerintah selanjutnya. Moga-moga ada perbaikan kedepannya.
Lalu kami tetap melaju meskipun tetap agak jengkel melewati jalanan berlubang; dan setelah melewati tantangan ekstrim tersebut, yang hampir setengah jam, yang hampir menuju tujuan, masuklah kami ke gerbang Guest House dan pemukiman pertama perumahan warga.
Kami menyaksikan keindahan surga dunia lebih dekat, bentangan alam sekitar ... dan sesekali kami meminta kepada bapak sopir untuk tidak segera melaju lebih cepat dan memotret beberapa pemandangan sekitar, dan hasilnya cukup bagus.
“Indahnya bukan main, Gaes,” kata Mita. “Foto, Gaes. Foto-foto, Resa.”
Guest House
Resa memotret beberapa kepingan pemandangan alam dan perkebunan kopi. Gerbang Guest House menunjukkan kepada kami bahwa perjalanan akan segera sampai.
Sebelum tiba ke tujuan tersebut kami diperlihatkan banyak perkebunan kopi dan semburan awan-awan di sekitar kawasan Kawah Wurung yang terlihat sangat jelas, serta orang-orang yang sedang mengembala sapi dan kambing.
Sekitar sepuluh menit kemudian kami sampai ke penginapan tempat KKN kawanan kami yang sama-sama dari UIN KHAS Jember. Mampirlah kami sebentar dan dilanjutkan main-main ke Guest House tersebut.
Guest House tersebut merupakan hasil peninggalan Belanda dan diperkirakan berdiri sejak tahun 1927. Bangunan bercorak elitis itu unik serta megah dan identik dengan gaya arsitektur Eropa, halamannya luas, bunga-bunga bermekaran di sekitar perumahan, ada kuning serta merah, ada putih serta agak berwarna oren, dan segala macam jenis bunga ada di situ.
Saya bertanya kepada kawan-kawan KKN posko lain itu apakah Guest House dibuat penginapan para wisatawan dan mereka menjawan “iya”; dan tarifnya dalam semalam, cukup orang-orang kaya mungkin yang menikmatinya.
“Sekitar 2 Juta ke ataslah, Mas,” katanya. “Fasilitas empat kamar tidur dan kamar mandi dalam. Satu kamar driver, ruang tempat untuk bersantai serta penghangat ruangan, dan juga 2 petugas.”
Kami mengobrol banyak hal dan bertukar nasip selama setengah bulan menjalani KKN di sini. Menurut cerita mereka warga sekitar menyambut hangat kedatangannya, dan cukup membantu ketika ada keperluan agak penting di ladang belakang dan sesekali mereka mengajar dan menjalankan program kerja kampus.
Lalu saya bertanya apa kendala yang paling dirasakan di sini dan semua sepakat: “Kedinginan dan sulit sinyal, Mas,” katanya.
Maka mereka diberi wifi oleh petugas Guest House tersebut dan kebetulan penginapan mereka dekat situ dan setiap hari mereka menyaksikan surga—baik malam maupun siang. Namun ya itu tantangannya dinginnya bukan kepalang.
“Biasanya suhunya 1 bahkan sampai 0 celcius, Mas,” katanya kepada kami. “Di Kalianyar berapa biasanya, Mas?”
“Ya paling banter 5 itulah,” kata kawan saya, perempuan.
Mungkin kami sama-sama memiliki wilayah kenyamanan dan ketidaknyamanan tersendiri, tetapi satu hal yang dapat kami petik perbincangan itu: “pengalaman eksotis”.
Sekitar satu jam lebih kami bercakap-cakap dan berbincang-bincang banyak hal tentang pengalaman selama KKN dan hari ini di antara mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing dan sebagian di antara mereka sudah menyelesaikan sempro dan sebagian lainnya belum dan kami merindukan pertemuan itu.
Merindukan banyak hal: kawan-kawan, kedinginan, melihat surga lebih dekat, warga sekitar yang penuh keramahan, obrolan receh-receh, gelagak tawa, dan harapan ingin bertemu kembali seperti pada masa KKN itu.
Mungkin Tuhan berbaik hati pada suatu hari nanti akan mempertemukan kami kembali, pada suatu kesempatan di lain waktu.