Rabu, 21 September 2022 2 Komentar

Memaknai Ucapan "Selamat Ulang Tahun"

Beberapa kawan dengan tulus mengucapkan "selamat ulang tahun" atas hari kelahiran saya kemarin lalu. Saya senang niat mereka adalah mendoakan saya, sesuatu yang selalu saya harapkan dari mereka, pun sebaliknya, mereka (kadang) mengharapkan doa dari saya. Tetapi, sesuatu yang saya tunggu-tunggu sebenarnya (jika boleh jujur), saya tidak mendapat kado selain "bingkisan doa" saja, padahal saya mengharapkan mereka menghadiahkan kado istimewa, buku Yuval Noah Harari, Sapiens misalnya, atau yang Homo Deus

Entah. Mungkin mereka mengucapkan "selamat" atas hari kelahiran ini karena ingin mendoakan atau ada dorongan lain (semisal dorongan untuk merawat tradisi kebiasaan menceburkan kawannya ke kolam kalau pas hari kelahiran) sebagai bentuk kawan baik, dan saya tidak tahu pasti, biarkan Tuhan yang Maha Esa saja yang tahu soal niat itu. Titik. Tapi saya yakin bahwa mereka jauh dari sifat buruk semisal mendoakan yang jelek. 

Namun di sisi lain, menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran ini telah mengetuk tempurung kesadaran saya selama ini. Sebab berkurangnya usia membuat kecemasan saya semakin akut tak ketulungan. Entah. Saya belum menemukan jawaban pasti mengapa saya begitu cemas dan bingung menerima ucapan "selamat" atas hari kelahiran. Sewaktu mereka mengucapkan "selamat" lewat pesan WhatsApp saya kikuk dan berpikir dalam-dalam untuk jawab apa sebab ini baru pertama kali saya mendapat ucapan selamat. 

Mungkin sebagian jawaban atas kebingungan dan kecemasan ini adalah pada suatu hari, yang entah mengapa dan kenapa, tiba-tiba saja saya menulis sesuatu tentang hari kelahiran. Saya menulis demikian: 

"Hari ini adalah hari usia saya diingatkan. Saya sadar bahwa setiap waktu adalah kesempatan. Ada dalam kendali setiap diri yang memanfaatkan atau menyia-nyiakan. Dalam ketakutan yang semakin akut, dari waktu ke waktu, yang saya takuti adalah seluruh kejadian yang pernah saya lalui di dunia ini akan terulang kembali. 

Itu sebabnya saya tidak menginginkan hari ulang tahun, tidak pernah menginginkan atau menerima ucapan selamat ulang tahun, dari siapapun, pada hari kelahiran. Saya tidak ingin tahun sudah berlalu terulang kembali dengan seluruh kejadian-kejadiannya, dengan seluruh entah berantahnya. 

Datangnya hari kelahiran, setidaknya bagi saya, adalah waktu kehilangan dan usia diingatkan, dengan kesadaran atau ketidaksabaran. 

Jika saya menerima ucapan selamat atas hari kelahiran, apakah saya berada dalam kesadaran atau ketidaksadaran, keduanya selalu menjadi pedang yang sewaktu-waktu menghunus kesempatan, dan kemanusiaan manusia dipertaruhkan, rela atau tidak rela, suka atau tidak suka. 

Selalu ada ketakutan mendera yang tidak bisa dijelaskan ke dalam kata-kata dan ketakutan itu memungkinkan saya mati dalam kebisingan, cemas dalam kesendirian, tak berdaya dalam kesunyian---dari ribuan pertanyaan tentang kehidupan."
***
Mungkin kebingungan dan kecemasan saya selama ini disebabkan oleh karena saya masih mengulangi tahun sudah berlalu itu; dengan seluruh kejadian-jadiannya; yang menyebabkan saya semakin bingung serta cemas akan suatu hal tentang kehidupan ini. 

Saya ingin mereka mengucapkan "Selamat Hilang Tahun", agar kesadaran kemanusiaan saya pulih bahwa hidup adalah tentang kesempatan dan harapan; bahwa hidup tentang "menunggu" atau "ditunggu" (meminjam istilah cerpen almarhum Eyang Sapardi) yang "Maha", karena itu kehidupan ini terkadang harus dipertanyakan "mau kemana" atau "hendak kemana" tujuannya. 

Setiap datang hari kelahiran adalah kata lain dari hari kehilangan. Setidaknya itu menurut saya yang sedang mengarungi kehidupan ini. 

Hal yang paling esensial dari kehidupan ini adalah kedudukan kita sebagai manusia. Sebab terkadang kita sebagai manusia jauh atau bahkan kehilangan sifat kemanusiaan kita. Oleh karena itu, saya merenung dan menulis puisi demikian:

Masihkah Aku Manusia?

Sesudah melanglang buana
Aku butuh jeda
untuk menemukan sesiapa
Aku butuh merasa
untuk mempelajari dunia
Aku butuh aksara
untuk mengikat makna

Yang kan ku tulis dalam lembaran sajak sajak tentang siapa manusia

Aku terus mencari
Dan terus mencari di ujung sunyi

Tapi tak ku temukan aku:

Tentang aku yang merindu
Tentang aku yang hampa
Tentang aku yang dusta
Tentang aku yang putus asa
Tentang aku yang menghamba
Atau aku Tuhan semesta? 

Tentang pencarian aku sebenarnya. 
Apakah aku benar-benar manusia? 

Dan aku berakhir. 
Berakhir dari hingar bingar dunia. 

Aku menemukan aku
Bahwa aku adalah manusia
Tapi pantaskah aku 
kau sebut manusia? 
*** 
Ya, sebaiknya, sering-seringlah menjumpai kemanusiaan kita, sebab perjalanan paling terjal adalah menjadi manusia. 
Rabu, 07 September 2022 0 Komentar

Masihkah Aku Manusia?

Sila baca di sini.  

Jumat, 02 September 2022 0 Komentar

Surat Kesan 40 Hari

Satu perempuan yang saya anggap bisa diajak diskusi dan enak diajak ngobrol adalah Vina. Ia satu-satunya perempuan yang bisa saya ajak tukar keluh kesah perihal problematika kampus di antara perempuan lain selama saya menempuh studi di perguruan. Memang saya baru kenal dan kenal lebih dekat setelah satu atap di tempat KKN. 

Karena momen KKN ini agak langka dan begitu membekas dalam hidup saya dan, mungkin satu-satunya pengalaman dalam hidup ini, karena itu, saya meminta kepada Vina untuk menulis hal-hal paling berkesan ketika mengenal saya selama kurun waktu 40 hari itu. 

Namun begitu, setelah saya menerima tulisan darinya, saya mendapati puji-pujian, yang sebenarnya, saya ingin Vina menulis sesuatu tentang saya yang paling bikin ia sebal; atau yang paling tidak ia sukai; atau yang paling bikin ia marah; atau sesuatu yang mungkin bikin ia jatuh cinta, misalnya. (ha.ha.ha) 

Tentu bukan hanya Vina sebenarnya, yang saya minta untuk menulis catatan kesan 40 hari itu, kawan-kawan lain juga saya minta, tetapi hingga kini saya belum menerima tulisan dari mereka, mungkin mereka lupa atau sengaja melupakan, atau entahlah. Meski begitu, saya ucapkan terima kasih kepada mereka semua sebab dari mereka saya belajar menjadi kawan, saya belajar bagaimana menjadi manusia. 

Jika kelak saya berhasil menaklukkan mimpi, sebagaimana mimpi-mimpi saya pernah saya ceritakan kepada mereka, maka itu semua tidak lain karena partisipasi mereka telah mengisi hidup saya, yang sangat berkontribusi besar terhadap glora belajar saya. 

Demikianlah surat kesan dari Vina ini. Teks tulisan tentang kesan ini saya perbaiki demi kelancaran pembaca enak membaca, tanpa mengubah subtansi tulisan. 
***
Demikianlah perkuliahan berlangsung ketika pengabdian masyarakat itu ditugaskan ... Bahwa KKN telah mengukir pengalaman baru dalam hidup saya: Kawan baru, wawasan baru, saudara baru, dan, ini agak sulit diduga, saya dipertemukan dengan orang yang saya kenal sebelumnya lantaran jual-beli buku (siapakah sosok dia; tidak begitu spesial diceritakan di awal). Dan itulah yang terjadi pada saya sewaktu menjelang KKN. 

Saat pengumuman kelompok dan penempatan daerah yang akan ditempati selama 40 hari itu adalah awal stalker saya siapa saja orang-orang yang menjadi partner selama KKN. Dan hasrat naluri kita mendambakan kawan yang satu prinsip. 

Setelah mengetahui dengan siapa saya akan bernafas dalam satu naungan tujuan KKN nanti ternyata kebanyakan orang yang tidak saya kenal sebab kebanyakan dari prodi-fakultas lain! Meski begitu tampak ada satu nama yang rupa-rupanya tidak asing dalam tikaman mata saya; sesosok nama yang tidak begitu familiar, namun begitu, saya pernah tahu sebelumnya, yang tidak tahu jauh dari dunia literasi. 

Saya memang tidak begitu akrab dengan  sosok makhluk ini. Namun dikalangan pencinta buku, mungkin banyak mengenalnya. Ia adalah penjual buku. Kawan-kawan mengenalnya Fathur Roziqin. Kawan-kawan memanggilnya Teteh, sebutan aneh yang melekat pada dirinya, seperti  adagium KKN 176 satu tujuan, yang entah apa maksudnya. 

Orang memandang Fathur kebanyakan mengenal si paling pendiam, si paling kalem bin serius, tipikal kurang asik diajak bercanda. 

Namun, benar kita tidak bisa mengukur orang dari luarnya toh memang seharusnya demikian. Orangnya tinggi, namun bukan tinggi postur badannya ya, tapi tinggi cita-citanya dan ilmunya. Maklum, jika disorot lebih dekat ia memang sedang-sedang saja; tidak terlalu tinggi; juga tidak terlalu pendek, tipikal sedang-sedang saja. 

Meski begitu ia termasuk satu-satunya cowok paling berbeda dari yang lain; entah karena kepribadiannya atau perawakannya yang tampak lebih dari kawan lain. Ketika kita merancang kegiatan dan program kerja, hal paling menonjol dari sisi makhluk absurd ini adalah selalu bersama jimatnya, yang tidak pernah dilepas dan selalu dijaga yaitu buku! 

Ia dianggap si kutu buku. Dan memang terlihat dari sosoknya dalam bertutur kata dan tampak dewasa sekali perawakannya mencerminkan orang yang berpengalaman dan intelektual. Dengan bahasa ilmiahnya, tak jarang apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang baru. Kawan-kawan KKN kadangkala sampai kebingungan memahami alur pembicaraannya, yang terkesan agak sulit. 

Meski begitu, sebagaimana dugaan awal, yang kurang asyik diajak becanda, ternyata juga bisa humoris dan bisa menyesuaikan ritme pembahasan ala lelucon sejawatnya. 

Selain itu, ia rupanya tidak hanya muncul sebagai orang yang dikenal pintar, paling dewasa diantara yang lain, ataupun yang paling berbeda dari kawan yang lain. Ia rupanya rela menjadi bahan ledekan kawan-kawan.

Suatu ketika ia pernah digosipkan dengan satu cewek posko dan cewek dari posko lain. Hal semacam ini memang sekadar hiburan, namun bagi saya itu bisa membawa implikasi keceriaan dan kegembiraan bahan yang bisa menghidupkan suasana di antara kami. 

Ya begitu saja pengenalan saya pada kawan yang satu ini; yang sangat terkenal dengan kelebihan dan karismanya. Ia adalah Teh Fathur. 
***
O, sebenarnya, surat kesan ini, ingin saya tanggapi langsung. Tetapi karena tulisan ini agak terkesan panjang. Saya memutuskan untuk mengakhirinya. Dan jika memungkinkan, akan saya tulis-teruskan secara berkala pada topik lain, dengan senang Kawan. 
 
;